NAMA : ISTIQOMAH
NIM : G3A016100
A. LATAR BELAKANG
Fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri,
serta jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi lengkap atau tidak lengkap (Helmi, 2012).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Fraktur merupakan suatu kondisi
dimana terjadi di integritas tulang. Penyebab terbanyak Fraktur adalah
kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan
sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses
degeneratif dan patologi. Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak
kasus fraktur di indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat
kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi di antara fraktur lainnya
yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas
bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang
femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami
fraktur tibia, 9702 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di
kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila tidak
diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang akan
mengganggu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif
untuk meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien. Secara garis besar
ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi
dan manajemen non farmakologi. (Potter & Perry, 2005).
Salah satu manajemen non farmakologi untuk menurunkan nyeri
yang dirasakan pada pasien fraktur adalah dengan kompres dingin (Potter
& Perry, 2006). Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan
2 endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi
serabut saraf berdiameter besar A-Beta sehingga menurunkan transmisi
implus nyeri melalui serabut kecil A-delta dan serabut saraf C. tindakan
kompres dingin selain memberikan efek menurunkan sensasi nyeri,
kompres dingin juga memberikan efek fisiologis seperti menurunkan
respon inflamasi jaringan, menurunkan aliran darah dan mengurangi
edema (Tamsuri, 2007).
Khodijah (2011) dalam penelitiannya tentang “Efektivitas kompres
dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur di Rindu B
RSUP. H. Adam Malik Medan” menyimpulkan bahwa pasien fraktur yang
diberikan kompres dingin mengalami penurunan nyeri yang signifikan.
Berdasarkan latar belakang, maka penulis tertarik untuk mengalikasikan
hasil evidence based nursing practice tentang “Efektifitas kompres dingin
terhadap intensitas nyeri pada pasien fraktur di ruang IGD RSUD Depok”
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengaplikasikan kompres dingin untuk
mengurangi nyeri pada pasien dengan fraktur di Ruang ruang IGD
RSUD Depok.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan aplikasi kompres dingin untuk mengurangi nyeri
pada pasien fraktur diharapkan mahasiswa mampu:
a. Mendeskripsikan hasil data pengkajian
b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan
c. Mendeskripsikan hasil intervensi keperawatan
d. Menganalisis hasil aplikasi jurnal evidence based nursing riset
yang telah diberikan
C. MANFAAT
1. Bagi pendidikan
Diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan tentang
aplikasi kompres dingin untuk mengurangi nyeri pada pasien dengan
fraktur
2. Bagi pasien
Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang cara mengurangi
nyeri dengan kompres dingin
3. Bagi Parawat
Diharapkan dapat memberikan informasi bagi perawat dalam
meningkatkan Asuhan Keperawatan kepada pasien fraktur
4. Bagi Rumah sakit
Sebagai masukan dalam memberikan kompres dingin untuk
mengurangi nyeri pada pasien fraktur.
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer,
2002). Fraktur adalah setiap patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Price, 2006 ; Wilson, 2006).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
C. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,
2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare,
2002). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di
ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smelzter dan Bare, 2002).
E. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar
yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat
fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk
yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau
kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000).
4. INTERVENSI
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan diskontinuitas
tulang
Tujuan : gangguan perfusi jaringan dapat berkurang setelah
dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan perfusi jaringan
2) Tingkat kesadaran composmentis
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda vital tiap 2 jam
2) Observasi dan periska bagian yang terlukan atau cedera
3) Kaji kapilari refill tiap 2 jam
4) Kaji adanya tanda-tanda gangguan perfusi jaringan; keringat
dingin pada ekstremitas bawah, kulit sianosis, baal
5) Amati dan catat pulsasi pembuluh darah dan sensasi (NVD)
sebelum dan sesudah manipulasi dan pemasangan splinting.
6) Luruskan persendian dengan hati-hati dan seluruh splint harus
terpasang dengan baik.
b. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan adanya
robekan jaringan pada area fraktur
Tujuan : nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria hasil :
1) Klien menyatakan nyeri berkurang
2) Rampak rileks, mampu berpartisipasi dalam
aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
3) Tekanan darah normal
4) Tidak ada peningkatan nadi
Intervensi :
1) Kaji rasa nyeri pada area di sektiar fraktur
2) Atur posisi klien sesuai kondisi, untuk fraktur ekstremitas
bawah sebaiknya posisi kaki lebih tinggi dari badan
3) Ajarkan relaksasi untuk mengurangi nyeri
4) Kaji tanda-tanda vital tiap 2 jam
5) Berikan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur dan nyeri
Tujuan :
kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan
tindakan keperawatan
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan mobilitas pada tingakt paling tinggi yang
mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
4) Menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
2) Tinggikan ekstremitas yang sakit
3) Instruksikan klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada
ekstremitas yang sakit dan tak sakit
4) Beri penyangga pada ekstremitas yang sakit di atas dan di
bawah fraktur ketika bergerak
5) Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
6) Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam
lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan. Awasi
tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitas
7) Ubah posisi secara periodic
8) Kolaborasi fisioterapi/okuasi terapi
d. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka,
bedah perbaikan
Tujuan : kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah
tindakan perawatan
Kriteria hasil :
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
Intervensi :
1) Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi
atau drainage
2) Monitor suhu tubuh
3) Lakukan perawatan kulit dengan sering pada patah tulang
yang menonjol
4) Lakukan alih posisi dengan sering, pertahankan kesejajaran
tubuh
5) Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
6) Massage kulit sekitar akhir gips dengan alkohol
7) Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
8) Kolaborasi pemberian antibiotic (Musliha, 2010 dan Paula
Krisanty, 2009)
G. KONSEP NYERI
1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah perasaan tertekan, menderita atau kesakitan yang
disebabkan oleh stimulasi ujung-ujung saraf tertentu. Nyeri adalah
sesuatu hal yang bersifat subjektif dan sangat bersifat individual
(Potter & Perry, 2006).
2. Jenis Nyeri
Menurut Tamsuri (2007), klasifikasi nyeri dibedakan menjadi 4 yaitu:
Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan Berdasarkan waktu kejadian, nyer
dapat dikelompokan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis.
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu kurang
dari enam bulan. Umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut,
atau pembedahan dengan awitan cepat. Dapat hilang dengan
sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan
sembuh.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih
dari enam bulan. Umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau
bahkan persisten. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa
putus asa dan frustasi. Nyeri ini dapat menimbulkan kelelahan
mental dan fisik.
Keterangan :
0: Tidak nyeri. 1-3 (Nyeri ringan) : Hilang tanpa pengobatan, tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. 4-6 (Nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian
bawah, mengganggu aktivitas sehari- hari, membutuhkan obat untuk mengurangi
nyerinya. 7-9 (Nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat, muntah,
diare, sangat mengganggu aktifitas sehari- hari. 10 (Nyeri tidak tertahankan) :
Menangis, meringis, gelisah, menghindari percakapan dan kontak sosial, sesak
nafas, immobilisasi, menggigit bibir, penurunan rentan kesadaran.
TELAAH JURNAL
A. JUDUL
Pengaruh pemberian kompres dingin terhadap nyeri pada pasien fraktur
ekstremitas tertutup di IGD RSMH Palembang
B. PENELITI
Devi Mediarti, Rosnania, Sosya Mona Seprianti
C. TEMPAT PENELITI
RSMH Palembang
D. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan
desain one group pre test-post test (pra-post test dalam satu kelompok)
secara kuantitatif, dimana suatu kelompok diberikan perlakuan untuk
menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah eksperimen, tetapi
sebelumnya dilakukan observasi pertama (pre-test), setelah itu dilakukan
post-test. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan
menggunakan non random sampling dengan metode porposive sampling.
E. HASIL DAN KESIMPULAN
Rata-rata nyeri sebelum dilakukan kompres dingin adalah 6,40
(95% CI: 5,85-6,95), median 6,00 dengan standar seviasi 0,986. Nyeri
terendah adalah 5 dan nyeri tertinggi adalah 8. Dan hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata nyeri sebelum
dilakukan kompres dingin adalah diantara 5,85 sampai dengan 6,95.
Rata-rata skala nyeri setelah dilakukan kompres dingin adalah 3,53
(95% CI: 2,81-4,25), median 3,00 dengan standar deviasi 1,302. Nyeri
terendah adalah 2 dan nyeri tertinggi adalah 6. Dan hasil estimasi interval
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata nyeri sebelum
dilakukan kompres dingin adalah diantara 2,81 sampai dengan 4,25.
Ada perbedaan intensitas nyeri sebelum dan setelah pemberian kompres
dingin pada pasien fraktur ektremitas tertutup di Instalasi Gawat Darurat
RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang P value =0,000.
F. JUSTIIKASI/ALASAN
Fraktur merupakan ancaman potensial maupun aktual terhadap
integritas seseorang, sehingga akan mengalami gangguan fisiologis
maupun psikologis yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri
tersebut adalah keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan
ketidaknyamanan secara verbal maupun non verbal. Padahal rasa nyaman
merupakan salah satu kebutuhan dasar individu dan merupakan tujuan
diberikannya asuhan keperawatan pada seseorang di rumah sakit.
Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu
manajemen farmakologi dan manajemen nonfarmakologi. Manajemen
farmakologi merupakan manajemen kolaborasi antara dokter dengan
perawat yang menekankan pada pemberian obat yang mampu
menghilangkan sensasi nyeri, sedangkan manajemen nonfarmakologi
merupakan manajemen untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan
teknik manajemen nyeri meliputi, stimulus dan massage kutaneus, terapi
es dan panas (pemberian kompres dingin atau panas), stimulus saraf
elektris transkutan, distraksi, imajinasi terbimbing, hipnotis, dan teknik
relasasi.
Menurut Kozier, (2010) kompres dingin dapat dilakukan di dekat
lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan
lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5 sampai 10 menit selama 24 sampai
48 jam pertama setelah cedera. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri
cenderung memberi hasil yang terbaik, sedangkan Smeltzer & Bare
(2002), mengatakan untuk menghilangkan nyeri pada cidera dapat
dilakukan dengan pemberian kompres dingin basah atau kering ditempat
yang cedera secara intermitten 20 sampai 30 menit selama 24 sampai 48
jam pertama setelah cedera, dengan pemberian kompres dingin dapat
menyebabkan vasokontriksi, yang dapat mengurangi pendarahan, edema
dan ketidaknyamanan.
G. LANDASAN TEORI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer,
2002).
Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu
manajemen farmakologi dan manajemen nonfarmakologi. Manajemen
farmakologi merupakan manajemen kolaborasi antara dokter dengan
perawat yang menekankan pada pemberian obat yang mampu
menghilangkan sensasi nyeri, sedangkan manajemen nonfarmakologi
merupakan manajemen untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan
teknik manajemen nyeri meliputi, stimulus dan massage kutaneus, terapi
es dan panas (pemberian kompres dingin atau panas), stimulus saraf
elektris transkutan, distraksi, imajinasi terbimbing, hipnotis, dan teknik
relasasi.
Menurut Kozier, (2010) kompres dingin dapat dilakukan di dekat
lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan
lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5 sampai 10 menit selama 24 sampai
48 jam pertama setelah cedera. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri
cenderung memberi hasil yang terbaik, sedangkan Smeltzer & Bare
(2002),
H. MEKANISME APLIKASI JURNAL/SOP