Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengluarkan getah. Tanaman jarak pagar memiliki daun tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5. Daun tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau dengan bagian bawah lebih pucat dibandingkan dengan permukaaan atas. Bunga tanaman jarak pagar adalah bunga majemuk berbentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal, dan berumah satu (putik dan benang sari dalam satu tanaman). Bunga betina 4-5 kali lebih banyak dari bunga jantan. Jarak pagar termasuk tanaman monoecious dan bunganya uniseksual. Kadangkala muncul bunga hermaprodit yang berbentuk cawan berwarna hijau kekuningan. Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm, panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah berwarna hijau ketika muda serta abu-abu kecoklatan atau kehitaman ketika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga dalam setiap buah terdapat tiga biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30-50% dan mengandung racun sehingga tidak dapat dimakan (Heller 1996).
Penyebaran dan Syarat Tumbuh Jarak Pagar
Penyebaran Jarak Pagar Jarak pagar diperkirakan berasal dari Amerika Tengah, khususnya Meksiko. Di daerah tersebut, tanaman tumbuh secara alami di kawasan hutan pinggiran pantai. Di Afrika dan Asia, jarak pagar hanya ditemukan sebagai tanaman pagar atau pembatas lahan pertanian (Heyne 1950; Heller 1996 ). Jarak pagar menyebar di Malaka setelah tahun 1700-an dan di Filipina sebelum tahun 1750 (Heller 1996). Di Malaka, jarak pagar disebut sebagai Dutch castor oil dan di Jawa sebagai Chinese castor oil. Di Afrika dan Asia, jarak pagar disebut sebagai castor 4 oil plant yang menunjukkan bahwa tanaman ini dibawa dari daerah lain dan ditanam untuk diambil minyaknya. Selanjutnya jarak pagar dikenal luas sebagai hedge castor oil plant yang menunjukkan bahwa tanaman ini biasanya ditanam di pagar-pagar (Heyne 1950; Heller 1996; Fundora et al. 2004). Penyebaran jarak pagar di Thailand terjadi lebih dari dua abad yang lalu oleh saudagar-saudagar Portugis. Terdapat lima spesies jarak di Thailand, yaitu J. curcas, J. gossypifolia, J. multifida, J. integrrima, dan J. podagrica. Menurut catatan setempat, orang Portugis menggunakan biji jarak untuk membuat sabun cuci dan lainnya (Sadakorn 1984). Di Indonesia tidak ada catatan yang pasti kapan jarak pagar masuk ke wilayah Nusantara, tetapi diperkirakan bersamaan dengan di Malaysia. Jarak pagar dapat ditemukan di berbagai tempat, namun umumnya tumbuh di pagar- pagar atau tepi jalan di pedesaan (Heyne 1950). Jarak pagar dikenal dengan berbagai nama daerah, antara lain nawaih nawas di Aceh, jarak wolanda di Manado, jirak di Minangkabau, jarak kosta di Jawa Barat, jarak budeg, jarak gundul, jarak iri, jarak pager, jarak cina, kaleke di Madura, jarak pageh di Bali, tangang-tangan kali kanjoh di Makassar, malate (hoti) di Seram Timur, bolacai di Halmahera Utara, dan balacai hisa di Tidore (Heyne 1950).
Syarat Tumbuh Jarak Pagar
Jarak pagar tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi yaitu 480-2 380 mm/tahun (Jones & Miller 1992), 200-2 000 mm/tahun (Heller 1996), tetapi tanaman tumbuh baik pada curah hujan 900-1 200 mm/tahun (Becker & Makkar 1999). Di Indonesia, jarak pagar dapat dijumpai di beberapa daerah dengan curah hujan lebih dari 3 000 mm/tahun, seperti di Bogor, Sumatera Barat, dan Minahasa. Ketinggian tempat berkisar 0-1 700 m dpl, dengan suhu 11-38 °C. Jarak pagar tidak tahan cuaca yang sangat dingin (frost) dan tidak sensitif terhadap panjang hari (daylength) karena tanaman berasal dari daerah tropis (Heller 1996). Menurut Henning (2004), jarak pagar membutuhkan curah hujan minimal 600 mm/tahun. Jika curah hujan kurang dari 600 mm/tahun maka tanaman tidak dapat tumbuh, kecuali dalam kondisi tertentu seperti di Kepulauan Cape Verde 5 dengan curah hujan hanya 250 mm/tahun tetapi kelembapan udaranya sangat tinggi. Di daerah-daerah dengan kelengasan tanah bukan menjadi faktor pembatas (misalnya irigasi atau curah hujan cukup merata), jarak pagar dapat berproduksi sepanjang tahun, tetapi tidak dapat bertahan dalam kondisi tanah jenuh air. Iklim yang kering akan meningkatkan kadar minyak biji, tetapi kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan tanaman menggugurkan daun sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Jones & Miller 1992). Sebaliknya, pada daerah dengan curah hujan tinggi seperti di Bogor, tanaman memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebat tetapi pembentukan bunga dan buah kurang. Arivin et al. (2006) melaporkan bahwa di Desa Cikeusik Malingping, Banten, dengan curah hujan 2 500-3 000 mm/tahun, tanaman jarak pagar dapat berbunga dan berbuah, tetapi hal ini masih perlu diteliti apakah pembungaan tersebut berlangsung sepanjang tahun. Walaupun curah hujan daerah ini cukup tinggi, yang memungkinkan radiasi rendah, pembuahan cukup baik. Hal ini diduga merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dan lingkungan seperti suhu yang selalu panas (± 27 °C) karena letaknya di tepi pantai, serta tekstur tanahnya berpasir yang menjamin drainase dan aerasi yang baik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2006) mengemukakan bahwa tipe iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jarak pagar. Jarak pagar tumbuh baik di lahan kering dataran rendah beriklim kering dengan ketinggian tempat < 500 m dpl, curah hujan 300-1 000 mm/tahun, serta suhu > 20 °C. Jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah, tetapi pertumbuhan yang baik dijumpai pada tanah-tanah ringan atau lahan dengan drainase dan aerasi yang baik (terbaik mengandung pasir 60-90%). Tanaman jarak pagar dapat beradaptasi di lahan marginal dan dapat tumbuh pada tanah berbatu, berpasir, berliat, dan pada lahan yang tererosi (Mal & Joshi 1991). Tanaman ini dapat pula dijumpai di wilayah perbukitan atau sepanjang saluran air dan batas kebun (Heller 1996; Arivin et al. 2006). Menurut Okabe dan Somabhi (1989), jarak pagar yang ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir menghasilkan biji lebih tinggi daripada di tanah bertekstur lainnya. Selanjutnya Jones dan Miller (1992) mengemukakan bahwa meskipun jarak pagar dapat tumbuh dengan baik di tanah yang dangkal dan umumnya ditemukan tumbuh di tanah berkerikil, berpasir, dan 6 berliat, pada tanah yang tererosi berat pertumbuhannya kerdil. Di daerah yang sangat kering, umumnya tinggi tanaman hanya 2-3 m. Jarak pagar dapat tumbuh pada tanah yang ketersediaan air dan unsur-unsur haranya terbatas atau lahan marginal, tetapi lahan yang berdrainase baik merupakan tempat yang sesuai bagi tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal. Bila perakarannya sudah berkembang, jarak pagar toleran terhadap kondisi tanah masam atau alkalin (terbaik pada pH tanah 6.50) (Heller 1996; Arivin et al. 2006). Jones dan Miller (1992) menyatakan untuk mendapatkan produksi yang tinggi pada tanah miskin hara dan alkalin, tanaman perlu dipupuk dengan pupuk anorganik maupun organik, yang mengandung sedikit kalsium, magnesium, dan sulfur. Pada daerah-daerah dengan kandungan fosfat rendah, penggunaan mikoriza dapat membantu pertumbuhan tanaman jarak.
Sifat Umum Tanah
Media tumbuh yang digunakan dalam percobaan ini meliputi tanah jenis Andosol, Entisol dan Grumusol. Andosol merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk volkan seperti: hujan abu, deposit abu aluvial, pasir vulkanik maupun bahan piroklastik. Andosol memiliki reaksi tanah masam sampai agak masam, kandungan bahan organik tinggi, kafasitas fiksasi tinggi dan muatan fraksi koloid tergantung pH. Mineral liat alofon dan imogilit pada Andosol dapat membentuk komplek dengan bahan organik sehingga kadar bahan organik di lapisan permukaan tanah dapat dipertahankan yang dicirikan dengan warna tanah yang gelap (Mohr et al. 1972). Sifat yang mencolok dari Andosol adalah kemampuan memegang air yang sangat tinggi yang dapat mencapai 200% dari bobot keringnya, terutama pada horizon B. Hal ini mungkin disebabkan oleh keberadaan humus yang berlimpah serta mineral koloid dan struktur bahan vulkanik yang sangat porous. Andosol memiliki rasio C/N yang tinggi (terkadang mencapai 20-30) dan nilai pH bervariasi dari 4.5-5.5. Andosol ditemukan pada daerah yang memiliki curah hujan sedang hingga sangat tinggi dengan suhu yang cocok. Andosol memiliki konsistensi gembur, kurang plastis dan tidak lengket. Selain itu, umumnya Andosol bertekstur lempung berpasir sampai dengan lempung (Soepraptohardjo 7 1978). Menurut Schaetzl dan Anderson (2005), Andosol memiliki banyak karakteristik unik yang membedakannya dengan jenis tanah lainnya: solum tebal, horizon A berwarna gelap, porositas tinggi, bobot isi rendah, muatan permanen rendah, komplek pertukaran yang didominasi oleh muatan variabel, serta kapasitas erapan anion dan daya retensi air yang tinggi. Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horison diagnostik yang nyata karena pelapukan baru diawali bahan induk yang sukar larut seperti pasir kuarsa, atau berbentuk batuan keras yang larutnya lambat seperti batu gamping, atau topografi sangat miring sehingga kecepatan erosi melebihi pembentukan horison pedogenik (Darmawijaya 1990). Sifat fisik Entisol sebagian besar tidak baik. Umumnya penghambat utama tanah ini adalah sifat fisik disertai kurangnya air (Komar 1984). Entisol mempunyai kadar lempung dan bahan organik yang rendah, sehingga daya menahan airnya rendah, struktur remah sampai berbutir dan sangat jarang, hal ini menyebabkan tanah tersebut mudah melewatkan air dan air mudah hilang karena perkolasi. Menurut klasifikasi Pusat Penelitian Tanah (PPT), Grumusol setara dengan Order Vertisol pada sistem taksonomi tanah. Faktor pembentuk tanah yang dominan untuk Grumusol adalah iklim yang relatif agak kering sampai kering dengan bulan-bulan kering yang jelas dan/atau bahan induk yang relatif kaya basa, seperti bahan volkan intermedier, batu gamping, napal, batu liat, batu berkapur atau bahan alluvial (Subagyo et al. 2004). Sifat khas Grumusol adalah mengembang dan lengket pada keadaan basah serta mengekerut sehingga tanah menjadi keras dan retak-retak pada keadaan kering. Sifat tersebut disebabkan kandungan liat Grumusol yang tinggi (lebih dari 30%) dan didominasi oleh mineral liat yang mempunyai sifat mengembang dan mengkerut (Mohr et al. 1972). Menurut Soepraptohardjo (1978), Grumusol merupakan tanah yang mempunyai solum yang tebal (1-2 meter) dengan warna kelabu sampai hitam. Kandungan liatnya semakin ke bawah semakin meningkat. Tanah ini berekasi agak masam (pH H2O 5.5-6.5) hingga alkalin (pH H2O 7.5-8.0), tingkat kejenuhan basa tinggi (80-100%) dengan kandungan Ca dan Mg tinggi. 8 Penyambungan Tanaman Perbanyakan Vegetatif dengan Penyambungan Penyambungan merupakan metode perbanyakan vegetatif buatan. Penyambungan adalah seni menyambungkan dua jaringan tanaman hidup sedemikian rupa sehingga keduanya bergabung dan tumbuh serta berkembang sebagai satu tanaman gabungan. Teknik apapun yang memenuhi kriteria ini dapat digolongkan sebagai metode penyambungan (Hartmann et al. 1997). Tanaman sebelah atas disebut entres atau batang atas (scion), sedangkan tanaman batang bawah disebut understam atau batang bawah (rootstock) (Ashari 1995). Batang atas berupa potongan pucuk tanaman yang terdiri atas beberapa tunas dorman yang akan berkembang menjadi tajuk, sedangkan batang bawah akan berkembang menjadi sistem perakaran (Hartmann et al. 1997). Penyambungan dipilih dengan pertimbangan untuk memperbanyak tanaman yang sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara stek, perundukan, pemisahan, atau dengan cangkok. Menurut Ashari (1995), banyak jenis tanaman buah-buahan yang sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara-cara tersebut, tetapi mudah dilakukan penyambungan, misalnya pada manggis, mangga, belimbing, jeruk dan durian. Alasan lain untuk melakukan penyambungan adalah: (1) memperoleh keuntungan dari batang bawah tertentu, seperti perakaran kuat, toleran terhadap lingkungan tertentu, (2) mengubah kultivar dari tanaman yang telah berproduksi, yang disebut top working, (3) mempercepat kematangan reproduktif dan produksi buah lebih awal, (4) mempercepat pertumbuhan tanaman dan mengurangi waktu produksi, (5) mendapatkan bentuk pertumbuhan tanaman khusus, dan (6) memperbaiki kerusakan pada tanaman (Hartmann et al. 1997). Aplikasi penyambungan juga dapat dilakukan untuk membuat satu tanaman dengan jenis yang berbeda-beda, untuk mengatasi masalah polinasi, dalam kasus self- incompability atau tanaman berumah dua (Ashari 1995).
Proses Pertautan Sambungan
Proses pertauatan sambungan diawali dengan terbentuknya lapisan nekrotik pada permukaan sambungan yang membantu menyatukan jaringan sambungan terutama di dekat berkas vaskular. Pemulihan luka dilakukan oleh sel-sel 9 meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak terluka dengan lapisan nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan digantikan oleh kalus yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim (Hartmann et al. 1997). Menurut Ashari (1995) sel-sel parenkim batang atas dan batang bawah masing-masing mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim tertentu mengadakan diferensiasi membentuk kambium sebagai kelanjutan dari kambium batang atas dan batang bawah yang lama. Pada akhirnya terbentuk jaringan/pembuluh dari kambium yang baru sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas dan sebaliknya dapat berlangsung kembali. Agar proses pertautan tersebut dapat berlanjut, sel atau jaringan meristem antara daerah potongan harus terjadi kontak untuk saling menjalin secara sempurna. Ashari (1995) mengemukakan bahwa hal ini hanya mungkin jika kedua jenis tanaman cocok (kompatibel) dan irisan luka rata, serta pengikatan sambungan tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat, sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan. Dalam melakukan penyambungan (grafting) atau okulasi (budding), perlu diperhatikan polaritas batang atas dan batang bawah. Untuk batang atas bagian dasar entris atau mata tunas harus disambungkan dengan bagian atas batang bawah. Untuk okulasi, mata tunas harus menghadap ke atas. Jika posisi ini terbalik, sambungan tidak akan berhasil baik karena fungsi xilem sebagai pengantar hara dari tanah meupun floem sebagai pengantar asimilat dari daun akan terbalik arahnya (Ashari 1995). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyambungan adalah kompatibilitas. Pengertian kompatibilitas adalah kemampuan dua jenis tanaman yang disambung untuk m.enjadi satu tanaman baru. Bahan tanaman yang disambung akan menghasilkan persentase kompatibilitas tinggi jika masih dalam satu spesies atau satu klon, atau bahkan satu famili, bergantung pada jenis tanaman masing-masing (Ashari 1995). Inkompatibilitas antar jenis tanaman yang disambung dapat dilihat dari kriteria sebagai berikut menurut Hartmann et al (1997), diantaranya tingkat keberhasilan sambungan rendah, pada tanaman yang sudah berhasil tumbuh, terlihat daunnya menguning, rontok, dan mati tunas, mati muda, pada bibit sambungan, terdapat perbedaan laju tumbuh antara batang bawah dengan batang atas, serta terjadinya pertumbuhan berlebihan baik batang atas maupun batang bawah. 10 Sifat Batang Bawah Batang bawah adalah tanaman yang berfungsi sebagai batang bagian bawah yang dilengkapi dengan sistem perakaran. Menurut Prastowo dan Roshetko (2006), keuntungan batang bawah dari biji diantaranya adalah perkembangan sistem perakarannya lebih kuat dan dalam karena memiliki akar tunggang, sehingga relatif lebih tahan terhadap kekeringan. Penyediaan batang bawah jenis ini bisa dilakukan dalam jumlah banyak. Kriteria tanaman yang akan dijadikan batang bawah: mampu beradaptasi atau tumbuh kompak dengan batang atasnya, sehingga batang bawah ini mampu menyatu dan menopang pertumbuhan batang atasnya. Selain itu batang bawah harus berada dalam keadaan sehat, sistem perakarannya baik dan dalam serta tahan terhadap keadaan tanah yang kurang menguntungkan, termasuk hama dan penyakit yang ada dalam tanah. Batang bawah yang disambungkan dengan batang atas juga tidak boleh mengurangi kualitas dan kuantitas buah pada tanaman. Perawatan batang bawah seperti pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta penyiraman perlu diperhatikan agar batang bawah tumbuh subur dan sehat. Pertumbuhan yang subur dan sehat memudahkan pengelupasan kulit dan kayunya, karena sel-sel kambium berada dalam keadaan aktif membelah diri. Proses pembentukan kalus atau penyembuhan luka berlangsung dengan baik, sehingga pada akhirnya keberhasilan sambungan atau okulasinya juga tinggi. Menurut Supriyanto (2000), tanaman yang menjadi batang bawah harus mempunyai pertumbuhan yang baik dan perakaran yang kuat, tahan terhadap kekurangan dan kelebihan air, berasal dari tanaman yang subur serta tahan terhadap penyakit sehingga mempunyai daya kompatibitilitas yang tinggi dengan batang atas. Sebagai contoh pada tanaman jeruk, yang biasa dijadikan sebagai batang bawah adalah jeruk var. Rough Lemon (RL) atau Japanesche Citroen (JC). Jenis jeruk ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu penyebaran akar dalam tanah cukup luas, baik secara lateral maupun vertikal, serta mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kekeringan. Pada penyambungan tanaman karet, syarat batang bawah harus mempunyai perakaran kuat dan daya serap hara yang baik (Anwar 2001). 11 Pengaruh Batang Bawah terhadap Batang Atas Pada penyambungan sifat-sifat batang bawah sangat berpengaruh terhadap batang atas. Salah satu peran nyata batang bawah adalah pengaruh terhadap kecepatan tumbuh batang atas. Hasil penelitian Barus (2000) menunjukkan bahwa batang bawah jeruk var. Rough Lemon dan Rangpur Lime paling dapat mengendalikan pertumbuhan batang atas jeruk besar Nambangan dan Cikoneng dibandingkan dengan batang bawah jeruk var. Japansche Citroen dan Citrumelo. Jeruk besar Nambangan dan Cikoneng yang disambung dengan jeruk var. Rough Lemon dan Rangpur Lime mempunyai tinggi tanaman, panjang tunas, jumlah daun, luas daun, diameter batang, bobot akar dan bobot tajuk yang lebih kecil. Di Inggris batang bawah tanaman apel telah berhasil dipilah-pilah. Batang bawah yang dapat menghasilkan batang atas kerdil (dwarf), semi kerdil (semi- dwarf) dan vigor (vigorous) (Ashari 1995). Hasil penelitian Roose et al. (1989) menunjukkan batang bawah jeruk var. C-32 citrange bersifat mendorong pertumbuhan batang atas untuk jeruk var. Wasington Navel sehingga memiliki volume yang lebih besar. Sebaliknya, batang bawah jeruk var. C-35 citrange bersifat dapat mengendalikan pertumbuhan batang atas dan menghasilkan pohon yang berukuran lebih kecil serta menghasilkan efisiensi hasil yang lebih baik pada tanaman jeruk var. Wasington Navel. Batang bawah juga dapat menyebabkan tanaman resisten terhadap penyakit (Cameron & Soost 1986). Penyakit busuk pangkal batang akan banyak menyerang tanaman apabila anggur var. Redblush disambung dengan batang bawah anggur var. sweet orange Precoe de Valence dibandingkan dengan batang bawah yang lain, sehingga walaupun produksinya tinggi namun tidak menguntungkan digunakan sebagai batang bawah pada pertanaman komersial (Rouse & Maxwell 1979).