, ITB 2009
Bab VII
Hole Problem
Persentase air yang terikat tadi sebesar dari ruang pori-pori sehingga bila
dijumlahkan dengan Swi (ireducible water saturation) mula-mula menjadi total
non movable water saturation (Swnm) sebesar:
S wnm S wi h clean sand
Gambar 7.4. Hidrasi air oleh partikel clay pada formasi shaly sands
Tabel 7.1. Efek invasi filtrat terhadap permeabilitas minyak pada lapangan
Paloma USA
Kedalaman invasi mud filtrat ke dalam formasi telah dibicarakan dalam bab
sebelumnya (mengenai filtration dinamik), tetapi selain itu jarak invasi mud filtrat
dapat diketahui secara kualitatif dari porositas formasi. Porositas yang kecil pada
suatu tempat menunjukkan jarak invasi mud filtrat ke dalam formasi tersebut.
Gambar 7.5 menunjukan distribusi fluida secara kualitatif setelah terjadi invasi
mud filtrat di sekitar lubang bor.
Gambar 7.5. Distribusi Radial Fluida Di Sekitar Lubang Bor Sesudah Invasi Mud
Filtrat (kualitatif)
Luas daerah invasi mud filtrat di sekitar lubang bor tergantung dari
karakteristik filtrasi lumpur, tekanan differensial antara formasi dengan lubang
bor (tekanan hidrostatik), lama kontak lumpur pemboran dengan dinding lubang
bor serta karakteristik batuan dalam formasi. Gambar 7.6 menunjukan kondisi di
sekitar lubang bor sesudah terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi.
dimana :
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test
= Porositas, fraksi
k = Permeabilitas, md
= Viscositas, cp
C = Compressibilitas batuan, psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
Dari persamaan itu juga dapat kita mengetahui, bila harga:
S > 0 berarti ada kerusakan Ka < Ke
S = 0 berarti tidak ada kerusakan Ka = Ke
S < 0 berarti ada perbaikan Ka > Ke
Kurva pressure build up test menetukan P skin dapat kita lihat pada (Gambar
7.8) sedangkan (Gambar 7.9) menunjukan pola aliran radial fliuda dalam reservoir.
Gambar 7.8. Kurva dari PBU test untuk menentukan harga skin
Gambar 7.10. Distribusi tekanan dalam resevoir setelah terjadinya skin effect.17)
Turunnya harga productivity indeks ini dapat pula dihitung dengan persamaan:
PI k o / o Bo
........................................................ (7-9)
PI mulamula ln re / ra k e / k a ln ra / rw
b. Breksiasi
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan.
Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan lost circulation. Gambar 7.12
menunjukkan rekahan yang ditimbulkan oleh breksiasi.
Selain itu, lost circulation dapat terjadi pada depleted zone. Depleted sand
sangat potensial untuk terjadinya lost. Formasi produksi dalam lapangan yang sama
dapat menyebabkan tekanan subnormal akibat produksi dari fluida formasi. Dalam
kasus ini, berat lumpur yang diperlukan untuk mengontrol tekanan formasi yang
lebih dangkal, mungkin terlalu tinggi untuk lapisan sand dibawahnya. Akibatnya
lapisan sand menjadi rekah dan akan dimasuki lumpur. Kasus seperti ini sering
dijumpai pada pemboran sumur pengembangan, dimana tekanan formasi telah
turun akibat sumur-sumur yang telah ada sudah lama berproduksi (Gambar 7.15).
2khPw Pf
Q
ln Rw / R f ...................................................................................... (7-11)
dimana :
Q = Laju Volume, bbl/dt
h = Tinggi lapisan, ft
k = Permeabilitas, md
Pw = Tekanan lubang bor, psi
Pf = Tekanan radius efektif, psi
R w = Radius lubang bor, pft
R f = Radius efektif lubang bor
= Viskositas fluida, cp
Menurut CHILINGARIAN, 1983, tipe granular adalah jenis LCM yang sangat
baik digunakan. Namun demikian, untuk lebar rekahan yang lebih dari 0,22 inch
material ini tidak berguna lagi. Penggunaan bahan plug yang dapat terhidrasi
dengan cepat jika bercampur dengan air atau water base mud, seperti bentonit +
diesel oil (BDO) akan memberikan efektivitas penyumbatan yang baik.
Bentonit Diesel Oil (BDO) termasuk penyumbatan jenis lunak dan biasanya
digunakan untuk mengatasi hilangnya lumpur yang disebabkan rusaknya formasi
akibat fluida pemboran. Lumpur (water base mud) + BDO dicampur dengan
perbandingan 1:3 sebelum dipompakan dalam zone hilang lumpur melalui
rangkaian pipa bor.
Gambar 7.16 menunjukkan pengaruh jumlah lumpur (persen volume) yang
digunakan terhadap yield strength mempunyai harga yang maksimum.
Polymer plug digunakan baik untuk menyumbat zona lumpur pada rekahan
yang disebabkan operasi pemboran maupun rekahan alami. Campuran polymer
bentonit 10:90 dapat mengembang, baik menggunakan air tawar maupun air
asin, membentuk suatu jaringan yang dapat menyumbat zona hilang lumpur.
Gambar 7.16. Pengaruh persentase lumpur pada M+BDO terhadap Yield strength
a. Accelerator
Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung pada
temperatur dan tekanan, sesuai dengan kekuatan tekanan (compressive
strength) dari semen tersebut, yang juga tergantung pada temperatur dan
tekanan. Suatu saat additive accelerator dapat ditambahkan untuk mempercepat
tercapainya thickening time sehingga semen mempunyai kekuatan tekan yang
mampu menahan beban uji sebesar 500 psi.
Mekanisme acceleration didalam bubur semen sehingga saat ini belum dipahami
secara seluruhnya. Akan tetapi suatu studi telah menemukan pengaruh dari
CaCl2 terhadap laju hidrasi dan pengembangan kekuatan tekan yang lebih dini.
Kesimpulan umum dari studi ini adalah bahwa acceleration seperti CaCl 2 tidak
menyatu dengan produk hidrasi baru tetapi hanya mempengaruhi laju hidrasi
dimana semen tersebut ditempatkan. Dengan kata lain CaCl2 mempercepat
pembentukan Ca(OH)6. Kondo et all, telah menemukan mekanisme tersebut
berdasarkan laju difusi dari Alkalikhlorida melalui selaput tipis semen portland ke
dalam larutan kalsium hidroksida. Hasil studi menunjukkan bahwa laju difusi ion-
ion Cl- adalah empat kali lebih cepat daripada kation alkali. Hal ini berarti bahwa
pada dasarnya penetralan elektrik dijaga oleh difusi ion OH- dari larutan Ca(OH)6.
b. Retarder
Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk memperlambat setting semen
(kebalikan dari accelerator), yang diperlukan untuk mendapatkan waktu yang
cukup dalam penempatan semen. Retarder yang tersedia dipasaran antar lain :
salt (D44), lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan
sellulosa (D8), dan polyhydroxy organik acid dan sugar additive (D25, D109).
c. Dispersant
Dispersant biasanya digunakan untuk mengontrol rheologi bubur semen agar
pada pemompaan yang rendah menghasilkan aliran turbulen. Hal ini diperlukan
untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang masih terdapat dalam kolom annulus.
Selain itu dispersant juga dapat menurunkan kadar air dalam semen, sehingga
akan menaikkan kekuatan semen tersebut.
d. Extenders
Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen, sehingga
tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih kecil selama penyemenan. Selain
itu, extanders dapat menaikkan yield bubur semen. Material yang termasuk
extenders antara lain bentonit, D-75, silicates, litepi D-124 dan lain-lain.
e. Zat Pemberat
Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar tekanan pori
yang tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi demikian biasanya berat lumpur yang
digunakan berkisar antara 18 - 18,5 lb/gal. Material yang termasuk zat pemberat
antara lain ilmenite, hematite, dan barite.
Gambar 7.17. Skema Kedudukan Penyemenan Multi Stage Untuk Mengatasi Lost
Circulation.
ukuran pori yang terbuka cukup besar dan adanya pengenceran dari campuran
semen yang terjadi. Dalam hal ini penambahan udara ke dalam fluida
pemboran biasanya dapat memecahkan masalah.
Metoda ini dilakukan dengan memompa campuran air dan udara kedalam
lubang. Jumlah air yang dipompa ke dalam lubang dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan. Setelah daerah vugular dilewati, pipa dapat diset atau aerated
water drilling dapat diteruskan.
d 60 x k x RPM
.............................................................................. (7-14)
12 x WOB
log 6
10 x D
Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya
d-exponent pada tiap kedalaman dengan menggunakan persamaan (3). Dengan
memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa
densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent
terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil perhitungan d-exponent terkoreksi
kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 7.26.
Pada Gambar 7.22 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier
hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian menurun secara tajam. Dari
kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr
sebelum kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent
normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah 0,000038, sehingga garis
tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut:
dnormal = 0.000038 x depth + 1.23
Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar
23.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada operasi pemboran yang
menggunakan dua jenis bit, yaitu three cone bit dan PDC bit, perhitungan
d'eksponen pada interval kedalaman yang menggunakan PDC Bit harus dikoreksi,
yaitu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi. Untuk melakukan ini penulis
menggunakan data dari dua buah sumur pada reservoar yang sama, di mana pada
zona abnormal masing-masing sumur menggunakan bit PDC. Penulis berusaha
menyelaraskan perkiraan tekanan pori formasi (EMW) dengan berat lumpur yang
dipakai pada saat itu dan juga dengan membandingkannya dengan hasil perkiraan
tekanan pori batuan di lapangan, sehingga dapat ditentukan suatu koreksi terhadap
harga d'eksponen terkoreksi.
Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di bawah zona
tekanan abnormal (di bawah 2760 m), terdapat juga kesalahan perhitungan EMW
formasi, di mana EMW formasi pada zona ini lebih besar dari berat lumpur yang
digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar 7.25), suatu hal yang tidak mungkin,
karena pemboran pada sumur ini bukan merupakan pemboran under balanced.
Kesimpulan yang dapat ditarik di sini ialah akibat perubahan ukuran bit (pada
interval ini ukuran bit ialah 8.5", sedangkan ukuran bit pada interval di atas formasi
bertekanan normal ialah 17.5"). Jadi pada interval kedalaman di bawah formasi
tekanan abnormal tadi juga perlu dilakukan koreksi terhadap d'eksponen terkoreksi
akibat perubahan ukuran bit.
Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error maka diperoleh dua
konstanta koreksi, yaitu masing-masing konstanta koreksi terhadap penggunaan bit
PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit (dari 17.5" menjadi 16.5").
Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC ialah sebesar 0.226. Artinya, pada
interval kedalaman yang menggunakan bit PDC, nilai d'eksponen terkoreksi perlu
ditambahkan dengan 0.226. Angka ini ternyata berlaku juga untuk sumur kedua,
walaupun keduanya menggunakan bit PDC dengan seri yang berbeda.
Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap penggunaan PDC
menjadi:
9
D' corr x d 0.225 .................................................................................. (7-17)
MW
Hal yang sama juga dilakukan terhadap d'eksponen normal pada kedalaman di
bawah zona bertekanan abnormal (seksi 8.5"), yaitu dengan menambahkan faktor
koreksi sebesar 0.35 pada d'eksponen terkoreksi, akibat perubahan ukuran bit dari
17.5" menjadi 8.5". Selain itu, pada kedalaman bit PDC juga perlu ditambahkan
faktor koreksi (sebesar 0.2) karena pada kedalaman ini juga terjadi perubahan
ukuran bit (17.5" menjadi 16.5"). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk
sumur kedua. Untuk penggunaan yang lebih umum dibuat persamaan yang dapat
mendekati hubungan antara besarnya faktor koreksi terhadap perubahan diameter
bit, dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi dan perubahan diameter bit ialah
linier.
f c 0.04 x d1 d 2 ........................................................................................... .(7-18)
Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami perubahan
ukuran bit menjadi:
x d v0.04 x d1 d 2 .................................................................... (7-19)
9
D' corr
MW
Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit
dan juga menggunakan PDC maka kedua koreksi di atas harus dilakukan. Plot
d'eksponen koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan tipe dan ukuran bit
dapat dilihat pada Gambar 7.26.
Gambar 7.26. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap type bit
PDC dan ukuran Bit
Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 7.27 dan
7.27a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa koreksi yang telah dilakukan
terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran yang
menggunakan PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5" memberikan harga
EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang digunakan pada saat
pemboran.
Gambar 7.27. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit
PDC dan ukuran bit.
Gambar 7.27a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit
PDC dan ukuran bit.
Pob
Gob .................................................................................................... (7-22)
D
Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain dari
analisa log juga dapat ditentukan sbb: (lihat Gambar 29)
l i, i
Gob i 1
........................................................................................ (7-23)
Dn
dimana:
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
P P
K a 3,2 ob 2,224 jika ob 0,94 ....................................................... (7-31)
D D
atau dari grafik pada Gambar 12, sehingga kita mendapatkan rumus akhir :
P P P
Fr ob K a .............................................................................. (7-32)
D D
Gambar 7.34. Contoh Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah Terhadap
Kedalaman
Latihan 1
DAFTAR PUSTAKA