Anda di halaman 1dari 42

Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S.

, ITB 2009

Bab VII

Hole Problem

7.1. Ketidakstabilan Dinding Sumur Pemboran


Usaha memelihara kestabilan lubang bor sewaktu pemboran menembus formasi
shale, akan dipersulit dengan adanya masalah yang ditimbulkan oleh sifat-sifat
shale tersebut (shale problem), dalam hal ini terutama masalah clay swelling
didalamnya. Clay swelling bersama dengan sifat-sifat shale yang lainnya (dispersi
dan lain-lainnya) menimbulkan masalah yang bervariasi yang dilukiskan sebagai
sloughing shale, heaving shale, running shale, gas bearing shale dan pressure
shale, pada umumnya secara geografis terbatas pada daerah geologi yang berumur
lebih tua dari Recent. Mud making shale atau shale yang dapat menghidrate adalah
jenis yang dapat menimbulkan pembesaran lubang bor bila terjadi interaksi secara
kimia dengan fluida pemboran, ini terjadi bila didalamnya terkandung bentonitic
shale yang sedikit atau dapat menghidrat seperti seperti illiti, chlorit atau caolinitic
secara kimiawi hanya sedikit dipengaruhi oleh lumpur pemboran.
Semua masalah shale yang dapat menimbulkan ketidakstabilan lubang bor di
atas adalah disebabkan oleh faktor fisika, kimia atau mekanis atau gabungan dari
faktor-faktor tersebut. Yang sering terjadi adalah gabungan dari dua atau tiga faktor
bersama-sama. Dalam hubungannya dengan swelling (interaksi antara fluida
pemboran dalam hal ini adalah filtrat air dengan clay yang swelling ), faktor kimia
sangat menonjol, dan yang paling umum terjadi pada formasi shale yang
mengandung kimia clay yang menghidrat (mineral monmorillonite misalnya
bentonit), dimana formasi akan menghidrat filtrat lumpur sehingga terjadi swelling
diikuti gugurnya formasi ke dalam lubang bor. Keadaan ini membahayakan karena
akan menaikkan jumlah padatan dalam lumpur, menimbulkan penyumbatan lubang
bor, dan lebih jauh lagi akan menyebabkan terjepitnya drill pipe (drill pipe sticking).
Gugurnya formasi setelah terjadinya swelling akan dipercepat oleh adanya aksi
mekanis alat-alat bor seperti perputaran drill string. Kejadian ini terutama
disebabkan oleh perputarannya yang akan konsentris.
Seperti telah kita ketahui pada bab sebelumnya, bahwa clay yang mengalami
swelling, pada batas tertentu akan mengalami dispersi. Terdispersinya clay (yang
terdistribusi dalam formasi shale) dalam lumpur pemboran, secara tidak terkendali
akan menaikkan kadar padatan dalam lumpur dengan densitas yang rendah,
sedangkan viscositasnya meningkatkan, sehingga akan memperbesar kehilangan
tekanan (pressure loss), dan ini akan mengakibatkan turunnya laju pemboran.
Keadaannya akan lebih buruk lagi apabila rangkaian pipa bor terjepit (drill pipe
sticking) dikarenakan terlalu banyaknya partikel clay terdispersi dalam lumpur yang
pemboran tidak terangkat oleh sirkulasi lumpur ke permukaan.
Pada saat sedimentasi air terjebak dalam formasi shale akan mengalami hidrasi,
dengan demikian proses kompaksi tidak berlangsung secara normal, tidak semua
air yang terperas dialirkan melalui media yang porous, melainkan sebagian masih
terjebak diantara butiran-butiran dalam tubuh formasi, sehingga tekanan pori-pori
dalam tubuh formasi shale tersebut masih tetap tinggi, bahkan bila ada gas terlarut
masih tetap tinggi, bahkan bila gas terlarut dalam pori-pori tersebut maka
tekanannya akan mendekati tekanan overburden.

Hole Problem 333


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

7.2. Formation Damage


Terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif yang mengandung clay
(formasi shale atau formasi dirty sands dengan kandungan claynya lebih tinggi)
akan mengakibatkan terjadinya hidrasi air filtrat oleh clay sehingga terjadi
pembengkakan (swelling) dari partikel-partikel clay tersebut. Keadaan tersebut
mengakibatkan well bore damage (formation damage), yaitu pengurangan
permeabilitas dari formasi produktif disebabkan berubahnya sifat-sifat fisik batuan
reservoir karena swelling tadi di daerah formasi produktif.

7.2.1. Perubahan Pada Sifat-sifat Fisik Batuan Reservoir


Pembentukan mud cake yang tipis dan kuat dengan permeabilitas yang rendah
pada dinding lubang bor, adalah merupakan salah satu fungsi lumpur pemboran
yang penting. Pembentukan mud cake yang terlalu tebal pada dinding lubang bor
akan mempersempit ruang gerak bahkan terjepitnya drill string. Mud cake yang
terlalu tebal ini tergantung dari keberesan fungsi lumpur terutama dipengaruhi
kondisi sifat-sifat dari batuan reservoir. Tetapi dalam hal ini akan ditekankan pada
pengaruh invasi mud filtratnya terhadap sifat-sifat (batuan) reservoir terutama :
a. Porositas batuan
Seperti telah kita ketahui bahwa formasi mempunyai permeabilitas dan lumpur
pemboran memiliki sifat filtration loss, maka terjadi invasi mud filtrat, dimana
fasa cair dari lumpur akan tersaring masuk ke dalam formasi yang permeabel
di sekitar lubang bor tadi, sedangkan padatan lumpur (mud solids) tertinggal
dan akan membentuk mud cake pada dinding lubang sumur bor. Sketsa dari
invasi mud filtrat ke dalam formasi permeabel ini dapat kita lihat pada (Gambar
7.1).

Gambar 7.1. Invasi Mud Filtrat Ke Dalam Formasi Melalui


Dinding Sumur Yang Permeabel.
Apabila mud filtratnya adalah air (dari water base mud) dan formasinya
mengandung clay yang menghidrate (formasi shale atau formasi dirty sands),
maka akan terjadi hidrasi dan swelling (pembengkakan) dari partikel clay tadi
sehingga menyebabkan berkurangnya ruang pori-pori mula-mula dari batuan
reservoir, seperti yang kita lihat pada (Gambar 7.2), dimana didalam formasi
yang bersangkutan terdistribusi material clay yang dapat mengembang (material
expandable clays).

334 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.2. Pengecilan ruang pori-pori batuan akibat swelling clay.

Dengan mengecilnya pori-pori batuan tadi maka akan mengakibatkan


mengecilnya porositas batuan tersebut.

b. Saturasi, permeabilitas, tekanan kapiler dan sifat kebasahan batuan.


Seperti telah dibicarakan diatas, bahwa dengan terjadinya swelling clay di dalam
formasi, maka akan terjadi penyumbatan ruang pori-pori batuan dalam formasi
tersebut, sehingga akan menyebabkan terhambatnya aliran fluida melalui media
berpori tadi. Sebagaimana diketahui bahwa permeabilitas suatu batuan reservoir
adalah merupakan ukuran kemampuan batuan tersebut untuk mengalirkan fluida
melalui media berpori yang saling berhubungan di dalamnya.
Pengaruh porositas terhadap aliran fluida di dalam media berpori tidak langsung,
tetapi porositas akan mempengaruhi harga permeabilitas. Pada umumnya untuk
suatu lapangan dengan formasi sand stone dalam suatu lapisan, sering
didapatkan hubungan yang linier antara log permeabilitas dan porositas seperti,
pada Gambar 7.3.

Gambar 7.3. Hubungan permeabilitas dengan Porositas Batuan.


Adanya material clay yang expandable dalam batuan reservoir dapat
memperkecil porositas batuan tersebut. Dari hubungan di atas dapat dilihat
bahwa dengan mengecilnya porositas maka permeabilitas akan turun, dan ini
tidak dikehendaki, sebab dengan mengecilnya permeabilitas efektif minyak maka
produktivitasnya akan turun.
Saturasi fluida dalam media berpori adalah persentase volume fluida tersebut
terhadap volume ruang pori-pori. Adanya material clay yang menghidrat
"irreducible water saturation". Saturasi air yang terikat oleh material clay ini
merupakan karakteristik formasi shaly sands. Keadaan tersebut dapat
ditunjukkan dalam (Gambar 7.4).

Hole Problem 335


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Persentase air yang terikat tadi sebesar dari ruang pori-pori sehingga bila
dijumlahkan dengan Swi (ireducible water saturation) mula-mula menjadi total
non movable water saturation (Swnm) sebesar:
S wnm  S wi  h clean sand

Gambar 7.4. Hidrasi air oleh partikel clay pada formasi shaly sands

Dengan terpengaruhnya harga saturasi oleh adanya hidrasi clay, maka


"performance" saturasi terhadap aliran fluida juga akan berubah. Terjadinya clay
swelling juga akan mempengaruhi tekanan kapiler, dimana pembengkakan
partikel clay yang memperkecil jari-jari ruang pori-pori mengakibatkan turunnya
permeabilitas. Dengan demikian tekanan kapiler akan meningkat, karena
hubungannya berbanding terbalik dengan jari-jari ruang pori-pori sehingga akan
menghambat pergerakan fluida yang terkandung di dalam media berpori
tersebut.
Secara tidak langsung, terjadinya clay swelling di dalam formasi juga akan
mempengaruhi sifat kebasahan (wettability) batuan, karena hubungannya
merupakan fungsi dari tekanan kapiler dan permeabilitas batuan tadi.
Tentang perubahan harga saturasi dan permeabilitas batuan akibat adanya
invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif, dapat kita lihat dari data testing
pengaruh lumpur pemboran terhadap kerusakan formasi (formation damage)
pada formasi "Steven sand Paloma Field USA", seperti yang ditunjukan pada
(Tabel 7.1).
Dari Tabel 7.1.dapat kita lihat :
1. Efek invasi filtrat dari lumpur fresh water, starch menimbulkan kerusakan
yang cukup besar terhadap formasi, dimana interstitial water naik dari 34,6 %
menjadi 45,3 %, sedangkan permeabilitas minyak turun dari 100 % menjadi
30 %.
2. Pemakaian calcium chloride mud memberikan efek perbaikan formasi,
dimana interstitial turun dari 32,3% menjadi 25,7 %, sedangkan permeabilitas
minyak naik dari 100 % menjadi 110 %.
3. Efek dari invasi oil base mud menurunkan interstitial water dari 25,2%
menjadi 24,9 %, sedangkan permeabilitas minyak tetap; jadi tidak
menimbulkan kerusakan formasi.
4. Penggunaan jenis lumpur lainnya ternyata menimbulkan kerusakan formasi,
ini dapat dilihat dari penurunan permeabilitas minyak.

336 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 7.1. Efek invasi filtrat terhadap permeabilitas minyak pada lapangan
Paloma USA

Kedalaman invasi mud filtrat ke dalam formasi telah dibicarakan dalam bab
sebelumnya (mengenai filtration dinamik), tetapi selain itu jarak invasi mud filtrat
dapat diketahui secara kualitatif dari porositas formasi. Porositas yang kecil pada
suatu tempat menunjukkan jarak invasi mud filtrat ke dalam formasi tersebut.
Gambar 7.5 menunjukan distribusi fluida secara kualitatif setelah terjadi invasi
mud filtrat di sekitar lubang bor.

Gambar 7.5. Distribusi Radial Fluida Di Sekitar Lubang Bor Sesudah Invasi Mud
Filtrat (kualitatif)

Luas daerah invasi mud filtrat di sekitar lubang bor tergantung dari
karakteristik filtrasi lumpur, tekanan differensial antara formasi dengan lubang
bor (tekanan hidrostatik), lama kontak lumpur pemboran dengan dinding lubang
bor serta karakteristik batuan dalam formasi. Gambar 7.6 menunjukan kondisi di
sekitar lubang bor sesudah terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi.

Hole Problem 337


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7. 6. Penampang horizontal melalui lapisan (oil bearing)


permeabel, (Sw 60%)

7.2.2. Skin Effect


Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa akibat adanya invasi
mud filtrat ke dalam formasi dapat menimbulkan kerusakan dalam formasi
tersebut. Kedalam invasi tersebut akan menentukan luas daerah formasi yang
mengalami damage ini relatif tipis (hanya di sekitar lubang bor) dibandingkan
dengan luas keseluruhan formasi (sehingga dengan alasan ini maka formation
damage disebut juga sebagai skin effect), tetapi ia cukup berpengaruh terhadap
kelancaran operasi teknik reservoir, yaitu terhadap recovery.
Hidrasi filtrat lumpur (air) oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam formasi
(sehingga terjadi swelling) adalah salah satu sebab terjadinya skin effect. Sebab
lain adalah karena adanya invasi mud solids ke dalam formasi. Tetapi pada
hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh adanya invasi liquid sendiri ke dalam
formasi, selain dapat menimbulkan terjadinya swelling akibat lain yang erat
hubungannya dengan terjadinya skin effect adalah:
1. Terbentuknya endapan garam, parafin (wax) yang menimbulkan akibat yang
sama dengan akibat adanya invasi solids ke dalam formasi.
2. Terbentuknya emulsi dengan fluida formasi yang ada sehingga mengakibatkan
kenaikan viskositas sistem fluida keseluruhan, dan ini dapat menimbulkan
"Capillary blocking".

Invasi keseluruhan filtrat juga dapat mempengaruhi (mengubah) resistivity


formasi sesuai dengan jarak invasinya (mempengaruhi kurva electric logging).
Besar kecilnya skin effect pada zona damage tersebut dinyatakan dengan skin
effect factor, dimana ini dinyatakan dengan notasi "S". Untuk pembahasan
selanjutnya mengenai skin effect ini, kita lihat Gambar 7.7 yang menunjukkan
penampang horizontal sekitar lubang bor yang mengalami pengubahan akibat
invasi mud filtrat ke dalam formasi.
dimana :
ke = Permeabilitas undamage reservoir
ka = Permeabilitas zonal damage (altered zone)
338 Hole Problem
Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ra = Jari-jari zonal damage


Pe = Tekanan pada batas pengurasan
Pw = Tekanan pada batas sumur
q = Rate aliran ke lubang sumur

Gambar 7.7. Sketsa ideal sekitar daerah pengurasan sumur17)


Menurut Everdingen dan Hurst besarnya harga skin factor "S" adalah :
 ke  ra
S    1 ln ........................................................................................... (7-1)
 ka  rb
Dimana harga "S" menunjukkan kondisi (kerusakan) sekitar lubang bor yang
dipe-ngaruhi langsung oleh harga permeabilitas sesudah dan sebelum ada
gangguan.
Persamaan standar untuk menentukan besar skin factor "S" ini dapat
ditentukan dari hasil Pressure Build Up Test, yaitu sebagai berikut:
  P1 jam  Pwf  ko 
S  1.151    log  .............................................. (7-2)
 m  Crw  3.23 
2

dimana :
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test
 = Porositas, fraksi
k = Permeabilitas, md
 = Viscositas, cp
C = Compressibilitas batuan, psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
Dari persamaan itu juga dapat kita mengetahui, bila harga:
S > 0 berarti ada kerusakan Ka < Ke
S = 0 berarti tidak ada kerusakan Ka = Ke
S < 0 berarti ada perbaikan Ka > Ke
Kurva pressure build up test menetukan P skin dapat kita lihat pada (Gambar
7.8) sedangkan (Gambar 7.9) menunjukan pola aliran radial fliuda dalam reservoir.

Hole Problem 339


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.8. Kurva dari PBU test untuk menentukan harga skin

Gambar 7.9. Pola aliran radial fluida reservoir.17)

Harga dari P skin dapat dihitung dengan persamaan berikut :


ΔPskin = 0.87( S )( m ) ................................................................................... (7-3)

Dimana m adalah kemiringan kurva build up test, ditentukan dari persamaan


berikut :
162.5qo  o Bo
m .......................................................................................... (7-4)
ko h
dimana
q o = Laju produksi minyak, BPD
 = Viskositas minyak, cp
Bo = Formation volume factor, BPD/STB
k o = Permeabiltas minyak, mD
h = Ketebalan formasi produktif, ft

340 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

sedangkan P skin sendiri didefinisikan sebagai pressure drop pada zona


damage, psi. Sebagai fungsi langsung dari harga skin effect tadi maka harga
Pskin dapat ditentukan dengan persamaan:
q
Pskin  S ......................................................................................... (7-5)
2kh

Dimana semua satuan dinyatakan dalam Darcy unit, dengan K adalah


permeabilitas rata-rata. Dengan demikian maka distribusi tekanan dalam
reservoir setelah terjadinya skin effect dapat ditunjukkan oleh Gambar 7.10.

Gambar 7.10. Distribusi tekanan dalam resevoir setelah terjadinya skin effect.17)

Dengan adanya skin effect, juga akan menyebabkan turunnya productivity


ratio. Productivity ratio merupakan perbandingan antara rate aliran sesudah dan
sebelum adanya skin effect. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Productivity index adalah perbandingan antara rate aliran produksi dengan
draw-down pressure (tekanan differensial antara tekanan statik dan tekanan alir
sumur, draw-down = Ps - Pwf. Productivity indeks sebelumnya adalah:
q
PI actual  ........................................................................................ (7-6)
Ps  Pwf

Sedangkan productivity indeks setelah adanya skin effect adalah:


q
PI ideal  ............................................................................ (7-7)
Ps  Pwf  Pskin

Dengan demikian maka productivity ratio adalah :


PI Ps  Pwf  Ps
PR  actual  ...................................................................... (7-8)
PI ideal Ps  Pwf

Turunnya harga productivity indeks ini dapat pula dihitung dengan persamaan:

Hole Problem 341


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

PI k o /  o Bo 
 ........................................................ (7-9)
PI mulamula ln re / ra   k e / k a  ln ra / rw 

dengan demikian maka productivity ratio dapat dihitung dengan persamaan:


k avg ln re / rw 
PR   ........................................................ (7-10)
ko ln re / ra   k e / k a  ln ra / rw 
dimana
k avg = Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke = Permeabilitas mula-mula
ra = Jari-jari zone damage
rw = Jari-jari sumur

7.3. Penyebab Lost Circulation Dan Cara Penanggulangannya


Sebagaimana diketahui lost circulation adalah hilangnya semua atau sebagian
lumpur dalam sirkulasinya dan masuk ke formasi. Berdasarkan keadaan ini lost
circulation dapat dibagi dua, yaitu:
 Partial Lost
 Total Lost
Partial Lost adalah bila lumpur yang hilang hanya sebagian saja, dan masih ada
lumpur yang mengalir ke permukaan. Sedangkan total lost adalah hilangnya seluruh
lumpur dan masuk kedalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari flow sensor,
dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit.

7.3.1. Penyebab Lost Circulation


Penyebab lost circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup besar di
dalam lubang bor, yang memungkinkan lumpur untuk mengalir kedalam formasi,
dan tekanan didalam lubang lebih besar dari tekanan formasi. Celah tersebut
dapat terjadi secara alami dalam formasi yang cavernous, fracture, fissure,
unconsolidate, atau tekanan yang terlalu besar.

7.3.1.1. Formasi Natural Yang Dapat Menyebabkan Lost


Walau formasi yang menyebabkan lost ciculation tidak diketahui secara
nyata, namun dapat dipastikan bahwa formasi tersebut mesti berisi lubang pori
yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur. Hal ini ditunjukkan dalam banyak
kasus bahwa phase solid dari lumpur tidak akan masuk ke pori dari formasi yang
terdiri dari clay, shale, dan sand dengan permeabilitas normal.
Formasi yang mempunyai formasi alami cukup besar untuk mengalirkan
lumpur adalah:
a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi permeabilitas
Studi menunjukkan bahwa formasi memerlukan permeabilitas yang tinggi untuk
dimasuki lumpur. Permeabilitas yang tinggi ini dapat terjadi pada shallow sand
dan lapisan gravel. Formasi yang tidak berkonsolidasi dengan baik, dapat
menyebabkan keguguran dinding sumur yang membentuk gua-gua.
Hal ini dapat terjadi karena tekanan overburden atau berat rig (Gambar 7.11).

342 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.11. Coarse dan Gravel Sebagai Zona Lost

b. Breksiasi
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan.
Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan lost circulation. Gambar 7.12
menunjukkan rekahan yang ditimbulkan oleh breksiasi.

Gambar 7.12. Dimensi Rekahan Akibat Breksiasi

c. Cavernous atau vugular formation


Pada prinsipnya zone cavernous atau vugular terjadi pada formasi limestone.
Pada formasi limestone, vugs dihasilkan oleh aliran yang kontinu dari air alami,
yang menghancurkan bagian dari matriks batuan menjadi encer dan larut. Ketika
formasi ini ditembus, lumpur akan hilang ke formasi dengan cepat. Volume
lumpur yang hilang tergantung pada derajat vug yang saling berhubungan.
Sedangkan cavernous dapat terjadi karena pendinginan magma (Gambar 7.13)

Hole Problem 343


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.13. Cavernous dan Vugs Sebagai Zona Lost

d. Cracked dan fracture


Lost Circulation dapat juga terjadi pada sumur yang tidak mengandung zona
coarse yang permeabel atau formasi yang cavernous. Loss seperti ini mungkin
terjadi karena adanya cracked atau fracture yang dapat terjadi secara alami,
atau adanya tekanan hidrostatik lumpur yang terlalu besar (Gambar 7.14).

Gambar 7.14.Fracture Horizontal Sebagai Zona Lost

Selain itu, lost circulation dapat terjadi pada depleted zone. Depleted sand
sangat potensial untuk terjadinya lost. Formasi produksi dalam lapangan yang sama
dapat menyebabkan tekanan subnormal akibat produksi dari fluida formasi. Dalam
kasus ini, berat lumpur yang diperlukan untuk mengontrol tekanan formasi yang
lebih dangkal, mungkin terlalu tinggi untuk lapisan sand dibawahnya. Akibatnya
lapisan sand menjadi rekah dan akan dimasuki lumpur. Kasus seperti ini sering
dijumpai pada pemboran sumur pengembangan, dimana tekanan formasi telah
turun akibat sumur-sumur yang telah ada sudah lama berproduksi (Gambar 7.15).

344 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.15. Depleted Zones


7.3.1.2. Lost Circulation Karena Tekanan
Selain karena adanya formasi natural yang dapat menyebabkan lost, lost
circulation dapat juga terjadi karena kesalahan yang dilakukan pada saat opersi
pemboran yang berkaitan dengan tekanan, misalnya:

a. Memasang intermediate casing pada tempat yang salah


Jika casing dipasang di atas zona transisi antara zona yang bertekanan normal
dengan zona yang bertekanan tidak normal, maka diperlukan lumpur yang berat
untuk mengimbangi tekanan yang abnormal. Lumpur yang berat ini dapat
memecahkan formasi.

b. Pelanggaran downhole pressure


Pelanggaran downhole pressure yang sering dilakukan adalah:
 Mengangkat atau menurunkan pipa yang terlalu cepat.
 Pipe whipping
 Sloughing shale
 Peningkatan tekanan pompa yang terlalu cepat.
 Lumpur yang terlalu berat.

7.3.2. Penanggulangan Lost Circulation


Lost circulation dapat menimbulkan beberapa masalah dan kerugian, misalnya:
 Hilangnya lumpur.
 Bahaya terjepitnya pipa.
 Formation demage.
 Kehilangan waktu.
 Tidak diperolehnya cutting untuk sample log.
 Penurunan permukaan lumpur dapat menyebabkan blowout pada formasi
berikutnya.
Untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya lost
circulation, maka lost circulation harus dicegah atau ditanggulangi bila sudah
terjadi. Beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi lost
circulation adalah:

Hole Problem 345


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

7.3.2.1. Mengurangi tekanan pompa


Terjadinya lost circulation dapat diketahui dari flow sensor, atau
berkurangnya lumpur di mud pit. Bila berat lumpur normal dan tekanan abnormal
bukanlah faktor penyebab, langkah pertama dan paling mudah dilakukan adalah
mengatur tekanan pompa dan berat lumpur.
Tekanan sirkulasi lumpur berkisar antara 900 psi sampai 3000 psi. Fungsi
dari tekanan ini adalah untuk menanggulangi kehilangan tekanan selama
pengaliran lumpur. Tekanan total pada dasar lubang adalah besarnya tekanan
permukaan ditambah dengan tekanan tekanan kolom lumpur, dan dikurangi
dengan kehilangan tekanan untuk mensirkulasikan lumpur dalam pipa bor dari
permukaan sampai dasar. Misalnya tekanan permukaan sebesar 1500 psi. Bila
70% kehilangan tekanan untuk sirkulasi lumpur dari atas sampai dasar pipa bor
termasuk pahat, dan tekanan kolom lumpur seimbang dengan tekanan formasi,
maka perbedaaan tekanan antara lumpur dengan fluida formasi adalah 450 psi
(30% x 1500 psi), sehingga tekanan dasar lubang adalah tekanan hidrostatik
lumpur 450 psi. Pada saat lost circulation terjadi, semakin besar perbedaan
tekanan, semakin banyak lumpur yang hilang. Untuk itu bila lost circulation
terjadi, tekanan pompa harus dikurangi sebesar mungkin tanpa mengurangi laju
sirkulasi lumpur. Karena pengurangan tekanan ini akan mengurangi differensial
pressure antara lumpur dan fluida formasi.
Misalnya pada contoh diatas, bila tekanan permukaan dikurangi sampai 700
psi, maka perbedaan tekanan yang terjadi antara lumpur dan fluida formasi
hanya 210 psi. Penurunan ini tentunya akan mengurangi banyaknya lumpur
yang hilang ke formasi. Keuntungan dari metode ini adalah dapat dilakukan
dengan cepat.

7.3.2.2. Mengurangi berat lumpur


Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah untuk mengimbangi tekanan
formasi. Semakin besar berat lumpur, semakin besar differensial pressure antara
kolom lumpur dan formasi. Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan
pecahnya formasi. Jika lost circulation terjadi pada zona yang normal, laju aliran
yang hilang adalah fungsi differensial pressure. Pengurangan berat lumpur akan
mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida formasi, sehingga
aliran lumpur yang hilang akan menurun.

7.3.2.3. Menaikkan Viskositas dan Gel Strength


Pada shallow depth, lost circulation umumnya disebabkan oleh formasi yang
porous yang terdiri dari coarse, gravel atau cavernous. Peningkatan viskositas
dan gel strength akan membantu memecahkan masalah ini. Ketika lost terjadi,
pola aliran fluida pada lubang bor tidak diketahui. Jika formasi yang porous
terdiri dari lapisan sand, gravel, cavernous dalam sebuah permukaan horizontal
yang datar sebagai hasil pengangkatan dari tekanan overburden, pola alirannya
adalah radial. Jika porositas berupa fissures atau fractures, atau formasi
dipecahkan pada bidang vertikal, pola alirannya adalah numerous channels.
Dalam kasus ini pola aliran adalah antara aliran radial dan tubular.
Untuk aliran radial Muskat telah merumuskan:

346 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

2khPw  Pf 
Q
 ln Rw / R f  ...................................................................................... (7-11)
dimana :
Q = Laju Volume, bbl/dt
h = Tinggi lapisan, ft
k = Permeabilitas, md
Pw = Tekanan lubang bor, psi
Pf = Tekanan radius efektif, psi
R w = Radius lubang bor, pft
R f = Radius efektif lubang bor
 = Viskositas fluida, cp

Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan viskositas fluida


pemboran akan menurunkan volume lumpur yang hilang ke formasi.

7.3.2.4. Mengurangi Tekanan Surge Lubang Bor


Tekanan surge dihasilkan dari penurunan pipa kedalam lubang bor yang
terlalu cepat. Kondisi ini dapat memecahkan formasi. Untuk itu drill string mesti
diturunkan dengan lambat untuk mengurangi tekanan surge yang dapat
memecahkan formasi.

7.3.2.5. Sealing Agent


Bila beberapa metode yang diuraikan sebelumnya gagal untuk me-ngatasi
lost, biasanya ditambahkan Lost Circulation Material (LCM), bahan pengurang
kehilangan lumpur.
Ada tiga cara additive LCM untuk mengatasi masalah lost circulation, yaitu:
1. Menjaga agar tidak terjadi rekahan akibat penyemenan. Dalam hal ini
tekanan hidrostatik harus kecil. LCM jenis ini antara lain adalah extenders.
2. Mengatasi lost circulation dengan menempatkan material yang mampu
menahan hilangnya semen/sumur. Material ini antara lain granular, flake dan
fibrous.
3. Kombinasi dari kedua cara diatas.

Menurut CHILINGARIAN, 1983, tipe granular adalah jenis LCM yang sangat
baik digunakan. Namun demikian, untuk lebar rekahan yang lebih dari 0,22 inch
material ini tidak berguna lagi. Penggunaan bahan plug yang dapat terhidrasi
dengan cepat jika bercampur dengan air atau water base mud, seperti bentonit +
diesel oil (BDO) akan memberikan efektivitas penyumbatan yang baik.
Bentonit Diesel Oil (BDO) termasuk penyumbatan jenis lunak dan biasanya
digunakan untuk mengatasi hilangnya lumpur yang disebabkan rusaknya formasi
akibat fluida pemboran. Lumpur (water base mud) + BDO dicampur dengan
perbandingan 1:3 sebelum dipompakan dalam zone hilang lumpur melalui
rangkaian pipa bor.
Gambar 7.16 menunjukkan pengaruh jumlah lumpur (persen volume) yang
digunakan terhadap yield strength mempunyai harga yang maksimum.
Polymer plug digunakan baik untuk menyumbat zona lumpur pada rekahan
yang disebabkan operasi pemboran maupun rekahan alami. Campuran polymer

Hole Problem 347


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

bentonit 10:90 dapat mengembang, baik menggunakan air tawar maupun air
asin, membentuk suatu jaringan yang dapat menyumbat zona hilang lumpur.

Gambar 7.16. Pengaruh persentase lumpur pada M+BDO terhadap Yield strength

7.3.2.6. Cement plug


Penggunaan semen untuk mengatasi hilang lumpur terutama didaerah yang
banyak mengandung gerowong (vuggy) sebagaimana terdapat pada formasi
karbonat merupakan langkah terakhir dimana hilang lumpur yang terjadi sudah
tidak dapat diatasi dengan lumpur.
Cement plug adalah material (semen) yang dipompa ke dalam zone yang
porous, dengan harapan bahwa material akan menutup pori dengan membentuk
plastik yang kuat atau solid. Cement plug biasanya tidak cukup hanya dilakukan
sekali, tetapi harus berkali-kali. Sebenarnya Cement plug sangat efektif untuk
menutup ruang pori. Hanya saja penggunaan cement plug ini menimbulkan
kendala karena semen lebih keras dari formasi, yang tentunya akan menurunkan
laju penembusan.
Semen yang akan digunakan pada sumur-sumur minyak biasanya
ditambahkan suatu aditif untuk mendapatkan karakteristik semen yang sesuai de
ngan kebutuhan. Berikut ini adalah jenis-jenis aditif yang biasanya digunakan:

a. Accelerator
Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung pada
temperatur dan tekanan, sesuai dengan kekuatan tekanan (compressive
strength) dari semen tersebut, yang juga tergantung pada temperatur dan
tekanan. Suatu saat additive accelerator dapat ditambahkan untuk mempercepat
tercapainya thickening time sehingga semen mempunyai kekuatan tekan yang
mampu menahan beban uji sebesar 500 psi.
Mekanisme acceleration didalam bubur semen sehingga saat ini belum dipahami
secara seluruhnya. Akan tetapi suatu studi telah menemukan pengaruh dari
CaCl2 terhadap laju hidrasi dan pengembangan kekuatan tekan yang lebih dini.
Kesimpulan umum dari studi ini adalah bahwa acceleration seperti CaCl 2 tidak
menyatu dengan produk hidrasi baru tetapi hanya mempengaruhi laju hidrasi
dimana semen tersebut ditempatkan. Dengan kata lain CaCl2 mempercepat
pembentukan Ca(OH)6. Kondo et all, telah menemukan mekanisme tersebut
berdasarkan laju difusi dari Alkalikhlorida melalui selaput tipis semen portland ke
dalam larutan kalsium hidroksida. Hasil studi menunjukkan bahwa laju difusi ion-

348 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ion Cl- adalah empat kali lebih cepat daripada kation alkali. Hal ini berarti bahwa
pada dasarnya penetralan elektrik dijaga oleh difusi ion OH- dari larutan Ca(OH)6.

b. Retarder
Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk memperlambat setting semen
(kebalikan dari accelerator), yang diperlukan untuk mendapatkan waktu yang
cukup dalam penempatan semen. Retarder yang tersedia dipasaran antar lain :
salt (D44), lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan
sellulosa (D8), dan polyhydroxy organik acid dan sugar additive (D25, D109).

c. Dispersant
Dispersant biasanya digunakan untuk mengontrol rheologi bubur semen agar
pada pemompaan yang rendah menghasilkan aliran turbulen. Hal ini diperlukan
untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang masih terdapat dalam kolom annulus.
Selain itu dispersant juga dapat menurunkan kadar air dalam semen, sehingga
akan menaikkan kekuatan semen tersebut.

d. Extenders
Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen, sehingga
tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih kecil selama penyemenan. Selain
itu, extanders dapat menaikkan yield bubur semen. Material yang termasuk
extenders antara lain bentonit, D-75, silicates, litepi D-124 dan lain-lain.

e. Zat Pemberat
Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar tekanan pori
yang tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi demikian biasanya berat lumpur yang
digunakan berkisar antara 18 - 18,5 lb/gal. Material yang termasuk zat pemberat
antara lain ilmenite, hematite, dan barite.

7.3.2.6.1. Penyemenan Multi Stage


Penyemenan banyak tahap diperlukan untuk menghindari hilangnya semen
ke dalam formasi Karbonate yang banyak mengandung rekahan. Gambar 3.17
menunjukkan skema kedudukan semen untuk mengurangi hilangnya semen ke
dalam rekahan. Tahap awal dari penyemenen dengan teknik ini biasanya
dirancang sebagaimana pada penyemenan satu tahap. Semen dipompa
dibawah melalui tubing dan naik melalui annulus. Tahap selanjutnya semen
dipompa melalui suatu special port collar yang akan membuka jika tahap
pertama telah selesai.

7.3.2.6.2. Semen Busa


Semen jenis ringan ini diperlukan terutama pada zona- zona lunak untuk
mengurangi kerusakan formasi lebih lanjut akibat tekanan hidrostatik semen.
Selain itu, jenis semen ini juga sangat baik untuk zona yang banyak
mengandung rekahan atau gerowong.
Semen busa menggunakan gas N2 (Nitrogen) sebagai extender yang
berfungsi menurunkan densitas. Gelombang Nitrogen di dalam bubur semen
tidak akan pecah jika tekanan hidrostatik naik. Gelembung-gelembung tersebut
akan menyusut, sehingga memerlukan tambahan konsentrasi nitrogen untuk
menjaga tekanan hirostatik.

Hole Problem 349


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.17. Skema Kedudukan Penyemenan Multi Stage Untuk Mengatasi Lost
Circulation.

Ada beberapa kelebihan penggunaan semen busa ini antara lain :

a). Penyemenan formasi lunak


Densitas semen bisa mencapai 7 lb/gal. Gambar 7.18 menunjukkan perubahan
tekanan hidrostatik semen pada semen busa. Hal ini sangat cocok untuk
penyemenan casing pada formasi lunak.

b). Mengatasi hilang sirkulasi


Gambar 7.19 menunjukan sifat thixotropic semen busa. Sifat ini dapat mencegah
hilangnya lumpur ke zona gerowong karena semen mampu membentuk gel
dalam keadaan statik. Sifat thixotropic ini disebabkan adanya campuran CaSO 4
hemihydrate dan CaCl2 dengan semen portland.

350 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.18. Tekanan hidrostatik semen dengan dan tanpa busa

Gambar 7.19. Sifat thixotropic semen busa.

7.3.2.6.3. Quick Setting Cement


Quick setting cement adalah jenis semen yang mempunyai tingkat
pengerasan yang sangat cepat. Semen ini umumnya terdiri dari campuran
semen portland dan gypsum dengan perbandingan 5:95 sampai 15:86. Semen
gypsum ini adalah jenis semen dengan kekuatan yang tinggi dan setting
semen yang sangat cepat. Hal ini sangat berguna untuk menanggulangi
masalah hilang lumpur pada kedalaman yang relatif dangkal. Semen ini
mempunyai waktu setting sekitar 20-40 menit.

7.3.2.6.4. High-filter-loss slurry squeeze (HFLSS)


Semen HFLSS sangat efektif untuk mengatasi masalah hilang lumpur, baik
partial lost atau total lost. Bahan- bahan seperti attapulgite, serbuk gamping,
LCM jenis granular (coarsa, walnut), LCM fiber (kertas, nylon), dan LCM flake
(cellophone) ditambahkan kedalam bubur semen untuk kemudian dipompakan
ke dalam zona hilang melalui rangkaian pipa bor.

7.3.2.6.5. Down hole-mixed soft/hard pug (M+BDO2C)


Lumpur + minyak diesel, bentonit, dan semen (M+BDO2C) digunakan untuk
menanggulangi lost circulation total. Jenis lumpur yang digunakan adalah
water base mud. Sedangkan komponen BDO2C terdiri dari 100 lb sak bentonit,
2x94 lb sak semen portland dicampur dengan 26,5 gal minyak diesel.
Penambahan minyak diesel ditujukan agar bubur semen lebih mudah untuk
dipompa, mengingat bubur semen terdiri dari padatan-padatan yang
tersuspensi.

Hole Problem 351


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pemilihan perbandingan bentonit terhadap semen didasarkan pada


karakteristik bubur semen yang mempunyai kemampuan untuk membentuk gel
jika bercampur dengan lumpur, yang diperlukan untuk menutup daerah hilang
lumpur. Dalam keadaan statik, kekuatan tekan akan berkembang sangat cepat.
Berdasarkan hal ini, ditentukan suatu komposisi bentonit dan semen yang
optimum, yaitu pada perbandingan 1:6.
Gambar 7.20 menunjukkan pengaruh persentase lumpur yang digunakan
terhadap shear strength maksimum yang dapat dicapai akan lebih besar.
Sedangkan penambahan Q-Broxin pada BDOC akan menurunkan viskositas
campuran yang mengakibatkan kecilnya shear strength maksimum yang dapat
dicapai.

Gambar 7.20. Pengaruh Persentase Lumpur Pada M+BDO2C Terhadap Shear


Strength.

7.3.2.6.6. Drilling blind


Drilling blind adalah pemboran yang dilakukan secara membabi buta,
dimana sirkulasi lumpur tidak ada karena semua lumpur hilang ke formasi.
Fluida umumnya membawa cutting masuk ke dalam zona loss, sehingga
cutting ini dapat menutup formasi. Drilling blind sangat bahaya karena cutting
yang tidak terangkat kepermukaan dapat menjepit pipa/stuck. Disamping itu ,
tidak diperolehnya cutting di permukaan menyebabkan log sample batuan tidak
bisa dilakukan. Setelah zona lost dilalui, perlu dipasang casing untuk
menghindari terjadinya lost lebih lanjut. Metode drilling blind biasanya
dilakukan bila tekanan normal, dan air tersedia dalam jumlah yang banyak.

7.3.2.6.7. Aerated drilling


Aerated drilling mud dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan densitas
lumpur. Metoda ini sangat cocok diterapkan untuk mengatasi lost circulation
yang dijumpai pada formasi yang cavernous, vug yang besar, khususnya pada
bagian atas lubang bor. Bila lumpur yang digunakan mempunyai kadar solid
yang rendah, dan tekanan formasi normal, mungkin tekanan formasi telah
cukup untuk menempatkan fluida formasi masuk kedalam zona loss.
Penanggulangan dengan semen sering kali mengalami kegagalan karena

352 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ukuran pori yang terbuka cukup besar dan adanya pengenceran dari campuran
semen yang terjadi. Dalam hal ini penambahan udara ke dalam fluida
pemboran biasanya dapat memecahkan masalah.
Metoda ini dilakukan dengan memompa campuran air dan udara kedalam
lubang. Jumlah air yang dipompa ke dalam lubang dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan. Setelah daerah vugular dilewati, pipa dapat diset atau aerated
water drilling dapat diteruskan.

7.4 Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah


7.4.1. Pendahuluan
7.4.1.1. Deteksi Tekanan Pori Formasi
Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendeteksi tekanan formasi
yang lebih besar daripada gradien hidrostatik formasi normal (0,465 psi/ft atau 9
ppg berat lumpur). Metoda yang paling banyak digunakan adalah metoda Drilling
Rate, dimana metoda ini didasarkan pada perhitungan d-exponent.
Perbedaan tekanan yang besar antara tekanan hidrostatik lumpur dengan
tekanan formasi dapat menurunkan laju pemboran. Untuk meningkatkan laju
pemboran, densitas lumpur harus diturunkan. Dari sisi tekanan formasi, adanya
kenaikan tekanan formasi juga akan meningkatkan laju pemboran.Perlu diingat
juga bahwa laju penembusan dipengaruhi oleh parameter lain seperti WOB,
RPM, pembersihan lubang sumur, litologi, sifat-sifat fluida, serta jenis dan
keadaan pahat. Sehingga perlu kiranya diperhitungkan parameter-parameter
tersebut bersama-sama agar perubahan-perubahan yang terjadi terhadap laju
penembusan benar-benar dapat menunjukkan adanya tekanan formasi
abnormal.
Jordan dan Shirley memberikan suatu hubungan persamaan antara
beberapa parameter pemboran di atas yang di sebut dengan d'Eksponen.
Dengan mengamati perubahan harga d'Eksponen ini terhadap kedalaman maka
dapat diperkirakan adanya tekanan abnormal. Kenyataan ini dapat digunakan
untuk mendeteksi zona over-pressured, dengan menentukan nilai d-exponent
pada tiap kedalaman.
Jorden dan Shirley telah membuat suatu hubungan matematis antara laju
penembusan R, kecepatan putar rotary table N, berat pahat W, dan diameter
pahat D untuk digunakan dalam memperkirakan tekanan pori formasi.
Persamaan tersebut ialah :
d
 WOB 
ROP  k x RPM  
e
 ......................................................................... (7-12)
 D 
dimana,
e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju
penembusan,
k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap
laju penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr

Hole Problem 353


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik memberikan


hubungan:
 ROP 
log  
e 

d  k x RPM  .................................................................................... (7-13)


 WOB 
log  
 D 
Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :
 ROP 
log  
e 

d  60 x k x RPM 
.............................................................................. (7-14)
 12 x WOB 
log  6

 10 x D 

persamaan di atas dikenal sebagai d'eksponen yang tidak berdimensi. Baik


harga suku ROP/60kRPMe dan suku 12WOB/106D pada persamaan di atas
selalu lebih kecil dari satu, sehingga harga logaritma dari masing-masing adalah
negatif. Kemudian Jordan dan Shirley menyederhanakan pesamaan di atas
dengan mengasumsikan k sama dengan 1 dan e juga sama dengan 1.
Persamaan di atas kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan pe-
ngaruh densitas lumpur, menjadi:
  mn 
d corr  d   ......................................................................................... (7-15)
  mc 
dimana:
dcorr = d-exponent terkoreksi
mn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg)
mc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg

Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan pe-ningkatan


secara linier jika tekanan pori formasi normal, akan tetapi akan berkurang secara
tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan tekanan pori formasi.
Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman
menyebabkan laju penembusan berkurang karena batuan semakin kompak
akibat bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga d'eksponen
bertambah. Pertambahan d'eksponen ini mengikuti suatu kecenderungan yang
disebut trend d'eksponen normal.
Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan abnormal
maka laju penembusan akan naik dengan tiba-tiba, meninggalkan trend laju
penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang
sumur dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan mengakibatkan batuan
yang sedang dibor semakin mudah terlepas, sehingga laju penembusan
bertambah. Disamping itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki
porositas yang lebih tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama lainnya,
sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika dikaitkan dengan persamaan
d'eksponen, maka naiknya harga laju penembusan ROP akan mengakibatkan
turunnya harga d'eksponen.
Jika dibuat hubungan antara d'eksponen terhadap kedalaman, maka
perubahan harga d'eksponen yang mengindikasikan zona bertekanan abnormal
354 Hole Problem
Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ini akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend d'eksponen


normal (d'eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data d'eksponen yang
menunjukkan penyimpangan ke kanan (membesar) maka hal ini
mengindikasikan adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan normal
(subnormal) dan berpotensi pada terjadinya lost circulation.
Sebagai contoh, dapat digunakan data-data yang terdapat pada Tabel1.

Gambar 7.21. Laju Pemboran vs Kedalaman


Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 1
di atas, dimana terdapat penurunan laju pemboran dari 100 ft/hr pada
kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800 ft.

Tabel 7-2. Data Tekanan Formasi dan d-exponent


Depth, Drilling Weight Rotary It Size, Mud
feet Rate, on Bit, Speed, Inch Density,
ft/hr 1000 RPM lb/gal
lbs
6000 106.0 35 120 8.5 90
6500 103.0 35 120 8.5 90
7000 76.9 35 110 8.5 90
7500 66.0 35 110 8.5 90
8000 44.5 30 110 8.5 94
8500 46.0 30 110 7.875 94
9000 39.4 30 110 7.875 94
9500 36.0 30 110 7.875 94
10000 30.8 30 110 7.875 10.1
10200 26.3 30 100 7.875 10.1
10400 24.7 30 100 7.875 10.1
10600 23.2 30 100 7.875 10.5
10800 21.8 30 90 7.875 11.1
11000 19.1 30 90 7.875 11.1
11200 17.9 30 90 7.875 11.3
11400 16.8 30 90 7.875 11.6
11600 21.9 35 90 7.875 11.6
11800 20.6 35 90 7.875 11.8
12000 20.6 35 90 7.875 13.1

Hole Problem 355


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

12200 20.0 35 90 7.875 13.4


12400 18.0 35 90 7.875 13.6
12600 18.0 35 90 7.875 14.2
12800 17.0 35 90 7.875 14.5

Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya
d-exponent pada tiap kedalaman dengan menggunakan persamaan (3). Dengan
memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa
densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent
terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil perhitungan d-exponent terkoreksi
kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 7.26.
Pada Gambar 7.22 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier
hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian menurun secara tajam. Dari
kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr
sebelum kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent
normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah 0,000038, sehingga garis
tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut:
dnormal = 0.000038 x depth + 1.23

Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan


persamaan berikut:
d 
P  Gn  normal  .......................................................................................... (7-16)
 d corr 
dimana:
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW
Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg

Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar
23.

356 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.22. D-Exponent Terkoreksi vs Kedalaman

Gambar 7.23. Tekanan Pori vs Kedalaman

Hole Problem 357


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

7.5. D-Exponen Terkoreksi


Seperti telah dijelaskan di atas, d'eksponen merupakan suatu parameter yang
diturunkan dari persamaan laju penembusan pemboran, di mana trend nilai
d'eksponen terhadap kedalaman dapat mencerminkan perubahan tekanan formasi
batuan.
D'eksponen dihitung dengan menggunakan persamaan (7-14). Dengan memplot
d'eksponen terkoreksi terhadap kedalaman (Gambar 7.24), dan menarik garis trend
tekanan normal, maka dapat ditentukan tekanan formasi dalam satuan EMW,
seperti telihat pada Gambar 7.26.

Gambar 7.24. Plot d-exponen terkoreksi terhadap kedalaman

358 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.25. Plot EMW dan berat lumpur terhadap kedalaman


Dari Gambar 7.24 dapat dilihat pada kedalaman 2100 m nilai d'eksponen mulai
menyimpang ke arah kiri, yang menandakan adanya formasi bertekanan abnormal.
Hal ini juga dapat dilihat pada plot EMW, yaitu pada kedalaman 2111 m EMW mulai
bertambah. Namun kemudian terlihat bahwa tekanan ekuivalen formasi terus naik
hingga mencapai puncaknya pada kedalaman 2350 m, yaitu sekitar 35 ppg. Hal ini
tidak realistis, sebab seharusnya tekanan abnormal formasi tidak mencapai harga
ini. Biasanya tekanan abnormal hanya berkisar antara 11 hingga 17 ppg. Selain itu
dapat dilihat juga bahwa lumpur yang digunakan saat pemboran tidak pernah
mencapai nilai EMW dari d'eksponen tadi. Berat lumpur maksimum hanya mencapai
16.2 ppg pada kedalaman 2500 m.
Kejadian yang menarik di sini ialah pada interval kedalaman zona abnormal
(kurang lebih 2200 hingga 2700 meter) pemboran menggunakan bit jenis PDC,
berbeda dengan zona di atasnya, yaitu bit jenis three cone bit. Seperti kita ketahui,
pemboran dengan menggunakan PDC bit akan mempunyai laju penetrasi yang
sangat tinggi, bisa mencapai 6 hingga 30 kali pemboran dengan three cone bit
untuk kondisi yang sama.2) Dengan demikian, perkiraan tekanan formasi dengan
menggunakan d'eksponen koreksi ini akan mengalami kesalahan karena perbedaan
sifat-sifat dari bit yang digunakan. Laju penetrasi yang tinggi akibat penggunaan
PDC Bit ini akan mengakibatkan nilai d'eksponen koreksi bergeser lebih ke kiri
(semakin kecil) (Gambar 7.24) walaupun seandainya tidak terdapat perubahan
tekanan formasi, sesuai persamaan (3). Pergeseran akibat penggunaan PDC bit ini
dapat dilihat dengan jelas pada plot EMW terhadap kedalaman (Gambar 7.25), yaitu
pada kedalaman 2215 m terdapat pergeseran/peningkatan EMW secara drastis,
dari sekitar 15 ppg menjadi sekitar 25 ppg.

Hole Problem 359


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada operasi pemboran yang
menggunakan dua jenis bit, yaitu three cone bit dan PDC bit, perhitungan
d'eksponen pada interval kedalaman yang menggunakan PDC Bit harus dikoreksi,
yaitu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi. Untuk melakukan ini penulis
menggunakan data dari dua buah sumur pada reservoar yang sama, di mana pada
zona abnormal masing-masing sumur menggunakan bit PDC. Penulis berusaha
menyelaraskan perkiraan tekanan pori formasi (EMW) dengan berat lumpur yang
dipakai pada saat itu dan juga dengan membandingkannya dengan hasil perkiraan
tekanan pori batuan di lapangan, sehingga dapat ditentukan suatu koreksi terhadap
harga d'eksponen terkoreksi.
Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di bawah zona
tekanan abnormal (di bawah 2760 m), terdapat juga kesalahan perhitungan EMW
formasi, di mana EMW formasi pada zona ini lebih besar dari berat lumpur yang
digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar 7.25), suatu hal yang tidak mungkin,
karena pemboran pada sumur ini bukan merupakan pemboran under balanced.
Kesimpulan yang dapat ditarik di sini ialah akibat perubahan ukuran bit (pada
interval ini ukuran bit ialah 8.5", sedangkan ukuran bit pada interval di atas formasi
bertekanan normal ialah 17.5"). Jadi pada interval kedalaman di bawah formasi
tekanan abnormal tadi juga perlu dilakukan koreksi terhadap d'eksponen terkoreksi
akibat perubahan ukuran bit.
Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error maka diperoleh dua
konstanta koreksi, yaitu masing-masing konstanta koreksi terhadap penggunaan bit
PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit (dari 17.5" menjadi 16.5").
Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC ialah sebesar 0.226. Artinya, pada
interval kedalaman yang menggunakan bit PDC, nilai d'eksponen terkoreksi perlu
ditambahkan dengan 0.226. Angka ini ternyata berlaku juga untuk sumur kedua,
walaupun keduanya menggunakan bit PDC dengan seri yang berbeda.
Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap penggunaan PDC
menjadi:
9
D' corr  x d  0.225 .................................................................................. (7-17)
MW
Hal yang sama juga dilakukan terhadap d'eksponen normal pada kedalaman di
bawah zona bertekanan abnormal (seksi 8.5"), yaitu dengan menambahkan faktor
koreksi sebesar 0.35 pada d'eksponen terkoreksi, akibat perubahan ukuran bit dari
17.5" menjadi 8.5". Selain itu, pada kedalaman bit PDC juga perlu ditambahkan
faktor koreksi (sebesar 0.2) karena pada kedalaman ini juga terjadi perubahan
ukuran bit (17.5" menjadi 16.5"). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk
sumur kedua. Untuk penggunaan yang lebih umum dibuat persamaan yang dapat
mendekati hubungan antara besarnya faktor koreksi terhadap perubahan diameter
bit, dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi dan perubahan diameter bit ialah
linier.
f c  0.04 x d1  d 2  ........................................................................................... .(7-18)
Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami perubahan
ukuran bit menjadi:
x d  v0.04 x d1  d 2  .................................................................... (7-19)
9
D' corr 
MW
Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit
dan juga menggunakan PDC maka kedua koreksi di atas harus dilakukan. Plot

360 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

d'eksponen koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan tipe dan ukuran bit
dapat dilihat pada Gambar 7.26.

Gambar 7.26. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap type bit
PDC dan ukuran Bit
Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 7.27 dan
7.27a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa koreksi yang telah dilakukan
terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran yang
menggunakan PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5" memberikan harga
EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang digunakan pada saat
pemboran.

Hole Problem 361


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.27. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit
PDC dan ukuran bit.

362 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.27a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit
PDC dan ukuran bit.

Dari hasil penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa koreksi


sebagai berikut:
D eksponen koreksi untuk PDC bit:
9
D' corr  x d  0.225
MW

D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 8.5" :


9
D ' corr  x d  0.36
MW

D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 16.5" :


9
D ' corr  x d  0.2
MW

Hole Problem 363


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

7.5.1 Gradien Rekah


7.5.1.1. Tekanan
Tekanan adalah suatu gejala alam yang terjadi pada setiap benda di
permukaan bumi ini, yang merupakan besarnya gaya yang bekerja dalam setiap
satuan luas. Secara empiris dapat dituliskan sbb:
F
P  ........................................................................................................ (7-20)
A
dimana :
P = Tekanan, ML-1T-2
F = Gaya yang bekerja pada daerah luas ybs, MLT -2
A = Luas permukaan yang menerima gaya, L2
Di lapangan biasanya gaya memakai satuan pounds, luas dengan satuan
inch2 (square inch) maka tekanan dalam pounds per square inch (psi).
Sedangkan tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh beban
fluida yang ada diatasnya, secara empiris dapat dituliskan sebagai berikut : (lihat
Gambar 28).
P x g xh
............................................................................................... (7-21)
g xh
dimana :
r = berat jenis, ML-3
g = percepatan gravitasi, LT-2
 = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2
h = ketinggian, L

Gambar 7.28. Tekanan Hidrostatik


7.5.1.2. Tekanan Overburden
Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh berat
seluruh beban yang berada diatas suatu kedalaman tertentu tiap satuan luas.
Berat material se dim en  berat cairan
Pob 
Luas

Gradien tekanan overburden adalah menyatakan tekanan overburden tiap


satuan kedalaman.

364 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Pob
Gob  .................................................................................................... (7-22)
D
Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain dari
analisa log juga dapat ditentukan sbb: (lihat Gambar 29)

Gambar 7.29. Penentuan Gradien Tekanan Overburden


n

 l i,  i 
Gob  i 1
........................................................................................ (7-23)
Dn
dimana:
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft

Menurut Christman gradien tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai


berikut:
Gob 
0,433
 w . Dwt   b . Db  ..................................................................... (7-24)
D
dimana:
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
 w = berat jenis cairan, gr/cc
 b = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc

Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap


sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-rata
sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah
0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433psi/ft = 1,0
psi/ft.

Hole Problem 365


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

7.5.1.3. Tekanan Formasi Normal


Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang
mengisi rongga formasi, secara hidrostatis untuk keadaan normal sama dengan
tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan.
Bila isi dari kolom yang terisi berbeda cairannya, maka besarnya tekanan
hidrostatiknya pun berbeda, untuk kolom air tawar diberikan gradien tekanan
hidrostatik sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya
sebesar 0,465 psi/ft.
Penentuan dari tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa log atau dari data
Drill Stem Test (DST).

7.5.1.4. Tekanan Rekah


Tekanan Rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang dapat
ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Besarnya gradien tekanan rekah
dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan formasi dan kondisi
kekuatan batuan.
Mengetahui gradien tekanan rekah sangat berguna ketika meneliti kekuatan
dasar selubung (casing), sedangkan bila gradien tekanan rekah tidak diketahui
maka akan mendapat kesukaran dalam pekerjaan penyemenan dan
penyelubungan sumur.
Selain dari hasil log, gradien tekanan rekah dapat ditentukan dengan
memakai prinsip leak-off test, yaitu memberikan tekanan sedikit-sedikit
sedemikian rupa sampai terlihat tanda-tanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan
dengan kenaikan tekanan terus menerus kemudian tiba-tiba turun. Penentuan
gradien tekanan rekah ini juga bisa dari perhitungan, antara lain :
Hubbert and Willis, yang menganggap tekanan overburden berpe-ngaruh
efektif terhadap tekanan rekah.
Pt 1  Pob 2 P 
    ....................................................................................... (7-25)
D 3 D D 
dimana :
Pf = tekanan rekah, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft

bila dianggap gradien tekanan overburden (Pob/D) adalah 1 psi/ft, maka


persamaan (10) menjadi :
Pf 1  D 
 1  2 ........................................................................................ (7-26)
D 3  D f 

Mathews and Kelley, memberikan persamaan :


P  P P 
Fr    ob  K i ............................................................................... (7-27)
D  D 
dimana,
Fr = gradien tekanan rekah, psi/ft

366 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.30. Matrix Stress Coefficient

Kedua persamaan di atas menganggap gradien tekanan overburden tetap


untuk setiap kedalaman. Karena pada kenyataanny tidak demikian maka timbul
persamaan-persamaan lain yang lebih memperhitungkan masalah kondisi
batuan.
Pennebaker, menuliskan persamaan :
P  P P 
Fr    ob  K  ................................................................................ (7-28)
D  D 
dimana :
tekanan mendatar
K
tekanantegak
= perbandingan tekanan efektif (lihat Gambar 10)

Eaton, menulis persamaan :


P  P  P   
Fr    ob   ..................................................................................... (7-29)
D  D   1   
dimana,
 = poisson's ratio (lihat Gambar 31)

Hole Problem 367


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.31. Perbandingan Tekanan Efektif

Gambar 7.32. Poisson's Ratio

Selanjutnya dari persamaan Eaton ini dibuat suatu nomograph untuk


menentukan gradien tekanan rekah.
Harga faktor-faktor perbandingan yang mengindahkan kekuatan batuan di
atas bermacam-macam, maka W. L. Brister mendapatkan harga rata-ratanya
(Ka) sbb :
P  P 
K a  3,9  ob   2,88 jika  ob  0,94  ........................................................ (7-30)
 D   D 
368 Hole Problem
Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

P  P 
K a  3,2  ob   2,224 jika  ob  0,94  ....................................................... (7-31)
 D   D 

atau dari grafik pada Gambar 12, sehingga kita mendapatkan rumus akhir :
P  P P 
Fr    ob  K a  .............................................................................. (7-32)
D  D 

Sedangkan bila kejadiannya berada di bawah permukaan laut maka harga-


harga tersebut di atas perlu dikoreksi, hal ini dapat diterangkan oleh Zamora sbb
:
f D  Dw   8,5 Dw 
Fc  ............................................................................. (7-33)
D
dimana :
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut

Gambar 7.33. Perbandingan Tekanan Rata-Rata

7.6. Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah


Dari informasi offset well, termasuk resistivity, sonic dan radioaktif log, informasi
pemboran dan lumpur, bersamaan dengan interpretasi geologi, dapat dipersiapkan
suatu evaluasi tekanan formasi terhadap kedalaman. Dengan informasi tekanan
formasi terhadap kedalaman tersebut, gradien rekah dapat ditentukan. Dual plot
antara tekanan formasi dan gradien rekah terhadap kedalaman dapat dibuat dalam
skala linier untuk memudahkan memperoleh interpolasi yang akurat.

Hole Problem 369


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 7.34. Contoh Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah Terhadap
Kedalaman

370 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Latihan 1

No Depth ROP WOB RPM Densitas Bit. Dia Fracture


(ft) (ft/h) (1000 (ppg) (in) Grad
lb) (ppg)
1 5000 110.1 25 120 9 8.5 13
2 6000 93.2 25 120 9 8.5 13.5
3 6500 90.9 30 100 9 8.5 13.8
4 7000 84 30 90 9 8.5 14.5
5 7200 73.3 30 90 9 8.5 14.8
6 7400 40.7 20 110 9 8.5 14.9
7 7600 48 20 120 9 8.5 16.3
8 7800 50.6 20 130 9 8.5 16.6
9 8000 54.2 19 150 10.3 8.5 16.7
10 8200 56.8 18 140 10.7 8.5 16.9
11 8400 57.9 20 140 11.3 8.5 16.4
12 8600 66.4 20 120 11.9 8.5 16.5
13 9000 57.1 21 120 16.8 8.5 16.7
14 9500 48 21 100 14 8.5 16.9
15 10000 24.8 20 100 12 8.5 16.5
16 10500 27.1 22 100 10.2 8.5 16
17 11000 17.3 22 100 10 8.5 16.7

Berdasarkan data tabel di atas tentukanlah :


1. Buatlah Plot EMW terhadap Kedalaman.
2. Tentukan selang kedalaman formasi bertekanan abnormal
3. Buatlah overlay untuk tekanan formasi dengan selang 1 ppg
4. Tentukan tekanan formasi maksimum
5. Tentukan pada kedalaman berapa formasi rekah

Hole Problem 371


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Hole Problem)

ke = Permeabilitas undamage reservoir


ka = Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra = Jari-jari zonal damage
Pe = Tekanan pada batas pengurasan
Pw = Tekanan pada batas sumur
q = Rate aliran ke lubang sumur
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test
 = Porositas, fraksi
k = Permeabilitas, md
 = Viscositas, Cp
C = Compressibillitas batuan ,psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
qo = Laju produksi minyak, BPD
o = Viskositas minyak, cp
Bo = Formation volume factor, BPD/STB
ko = Permeabiltas minyak, md
h = Ketebalan formasi produktif, ft
k avg = Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke = Permeabilitas mula-mula
ra = Jari-jari zone damage
rw = Jari-jari sumur

372 Hole Problem


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN


(Penentuan Tekanan Formasi Gradien Rekah)

e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan


k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap
laju penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr
dcorr = d-exponent terkoreksi
rmn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg)
rmc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg
EMWGn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg
r = berat jenis, ML-3
g = percepatan gravitasi, LT-2
g = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2
h = ketinggian, L
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
rw = berat jenis cairan, gr/cc
rb = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Pf = tekanan rekah, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut

Hole Problem 373


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PUSTAKA

1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer


Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986
2. Bradley H.B., "Petroleum Engineering Handbook", Third Printing, Society of
Petroleum Engineers, Richardson TX, 1987.
3. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual.
4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Tulsa-
Oklahoma, 1974.
5. McCray A.W., Cole F.W., "Oil Well Drilling Technology", The University of Oklahoma
Press,1979.
6. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973.
7. Klozt, "Drilling Optimization", halaman 6-9.
8. Rubiandini, Rudi, "Perhitungan Berbagai Metoda Pressure Control Dalam
Penanggulangan Well Kick", Kolokium, Jurusan Teknik Perminyakan Institut
Teknologi Bandung, 1984.

374 Hole Problem

Anda mungkin juga menyukai