Anda di halaman 1dari 34

Aplikasi Peraturan dan Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas Fungsi dan Praktek Bidan

pada Masa Kehamilan

PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELANDASI TUGAS, PRAKTIK DAN FUNGSI


BIDAN

 No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
 Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 TENTANG REGISTRASI DAN
PRAKTIK BIDAN
 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007 TENTANG STANDAR PROFESI BIDAN
 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTIK BIDAN
 Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTEK BIDAN
No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan tugas tenaga kesehatn termasuk
didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada BAB dan Pasal sebagai berikut :
BAB VII Bagian Kedua
Tenaga Kesehatan
Pasal 50

1. Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai


dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
2. Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V,Bagian Kedua
Kesehatan Keluarga
Pasal 12

1. Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan
sejahtera.
2. Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami istri,
anak, dan anggota keluarga lainnya.
Pasal 13
Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran dalam rangka menciptakan
keluarga yang sehat dan harmonis.
Pasal 14
Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, persalinan, pasca
persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan
Pasal 15

1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan
tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan atau suami atau keluarganya;
d. pada sarana kesehatan tertentu
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002


Bidan diharuskan memenuhi persyaratan dan perizinan untuk melaksanakan praktek, dalam
peraturan ini, terdapat ketentuan-ketentuan secara birokrasi hal-hal yang harus bidan penuhi
sebelum melakukan praktik dan juga terlampir informasi-informasi petunjuk pelaksanaan praktik
kebidanan. bidan hal tersebut tertuang pada Bab dan Pasal-pasal berikut :
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 9
(1) Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki SIPB.
(2) Bidan dapat menjalankan praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan.
Pasal 10
(1) SIPB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan mengajukan permohonan
kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
(2) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan, antara lain
meliputi:
a. fotokopi SIB yang masih berlaku;
b. fotokopi ijazah Bidan;
c. surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai Pegawai Negeri atau
pegawai pada sarana kesehatan.
d. surat keterangan sehat dari dokter;
e. rekomendasi dari organisasi profesi;
f. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e,
setelah
terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan, kepatuhan terhadap
kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik bidan.
Pasal 11
(1) SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui kembali.
(2) Pembaharuan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan :
a. fotokopi SIB yang masih berlaku;
b. fotokopi SIPB yang lama;
c. surat keterangan sehat dari dokter;
d. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
e. rekomendasi dari organisasi profesi;
Pasal 12
Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti tidak memerlukan SIPB.
Pasal 13
Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban meningkatkan kemampuan
keilmuan dan/atau keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
BAB V
PRAKTIK BIDAN
Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan
yang meliputi :
a. pelayanan kebidanan;
b. pelayanan keluarga berencana;
c. pelayanan kesehatan masyarakat.
Pasal 15
(1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a ditujukan kepada ibu
dan anak.
(2) Pelayanan
kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan, masa persalinan, masa
nifas,
menyusui dan masa antara (periode interval).
(3) Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa bayi, masa anak
balita
dan masa pra sekolah.
BAB lain dalam peraturan pemerintah ini, mengacu ke pada dua BAB tersebut, kedua bab ini
memberi gambaran umum mengenai ketentuan praktik bidan dan bab lain yang tidak si sebutkan
disini melengkapi atau menjabarkan hal-hal umum tersebut.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
369/MENKES/SK/III/2007
Secara Umum Isi Kepmenkes ini mencakup : Definsi dan pengertian bidan, asuhan kebidanan,
praktek bidan dan standar kompetensi bidan (pengetahuan maupun keterampilan). Hal-hal
tersebut yang mendasari praktek bidan. Praktek kebidanan dikatakan baik apabila memenuhi
standar kompetensi sebagia berikut :

 STANDAR KOMPETENSI BIDAN


Kompetensi ke 1 : Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-
ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang
bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya.
 PRA KONSEPSI, KB, DAN GINEKOLOGI
Kompetensi ke-2 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan
yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk
meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan
menjadi orang tua
 ASUHAN DAN KONSELING SELAMA KEHAMILAN
Kompetensi ke-3 : Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk mengoptimalkan
kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari
komplikasi tertentu.
 ASUHAN SELAMA PERSALINAN DAN KELAHIRAN
Kompetensi ke-4 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap
kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan yang bersih dan
aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan
wanita dan bayinya yang baru lahir.
 ASUHAN PADA IBU NIFAS DAN MENYUSUI
Kompetensi ke-5 : Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan mneyusui yang bermutu
tinggi dan tanggap terhadap budaya setempat.
 ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR
Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi
baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.
 ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA
Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi
dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun).
 KEBIDANAN KOMUNITAS
Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada
keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat.
 ASUHAN PADA IBU/WANITA DENGAN GANGGUAN REPRODUKSI
Kompetensi ke-9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan
sistem reproduksi.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NO HK.02.02/MENKES/149/2010
Dalam peraturan ini, berisi mengenai ketentuan-ketentuan yang harus di lakukan bidan untuk
menyelenggarakan praktek kebidanan sesuai dengan standar kebidanan yang ada. Ketentuan-
ketentuan tersebut secara khusus diatur yaitu mengenai perizinan dan penyelenggaraan praktik.
Yang tertuang pada BAB II dan III sebagai berikut
BAB II PERIZINAN
Pasal 2

1. Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan


2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
3. Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan.
Pasal 3

1. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB


2. Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah
sebagai Bidan Desa.
Pasal 4

1. SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota
2. SIPB berlaku selama STR masih berlaku.
Pasal 5

1. Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2. Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana
tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik
4. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II
terlampir
Pasal 6

1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat
praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran
peraturan ini.
3. Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib
memasang nama praktik kebidanan
Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 8
Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 9

1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu
dan bayi
2. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3. Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi
baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
2. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a
berwenang untuk:
a. Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b. Bimbingan senam hamil
c. Episiotomi
d. Penjahitan luka episiotomi
e. Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f. Pencegahan anemi
g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j. Pemberian minum dengan sonde/pipet
k. Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan

Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka
menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan
supervisi dokter;
c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah; dan
e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan
prahamil.
Pasal 13
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual
(IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit
lainnya.
Pasal 14

1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di
tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan
atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan
bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal 15

1. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di


daerah yang tidak memiliki dokter
2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleenggarakan sesuai dengan modul
Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
3. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.
Pasal 16
Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan dengan
pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang
telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.

Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan
kematian.
2.Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya,
dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.
Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTEK BIDAN
Secara Garis Besar Permenkes RI no. 1464 ini merupakan pembaruan dari Permenkes No.149,
hanya beberapa perbedaan yaitu :

 Pada Pasal II ayat 2 ditiadakan


 Terdapat Revisi pada pasal III menjadi 3 ayat
1. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan wajibMemiliki SIKB
2. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
3. SIKB dan SIPB sebagaimana di maksud ayat 1 dan 2 berlaku untuk satu tempat
 Terdapat Revisi pada Pasal 4, 5
 Pasal 8 pada permenkes ini masuk Pada Bab III
 Bab III direvisi sampai dengan Pasal 19
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELANDASI TUGAS, FUNGSI
DAN PRAKTIK BIDAN
A. PP 32 tahun 1996

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 32


Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,dipandang perlu menetapkan Standar Profesi
bagi Bidan dengan Keputusan Menteri Kesehatan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (LembaranNegara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran NegaraNomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3547);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran NegaraNomor 3637);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (LembaranNegara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan
danPengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran NegaraTahun
2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang
Registrasi Dan Praktik Bidan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Kesatu : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PROFESI BIDAN.
Kedua : Standar Profesi Bidan dimaksud Diktum Kesatu sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.
Ketiga : Standar Profesi Bidan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua agardigunakan
sebagai pedoman bagi Bidan dalam menjalankan tugas profesinya.
Keempat : Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas KesehatanKabupaten/Kota
melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan ini dengan mengikutsertakan
organisasi profesi terkait, sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Kelima : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Maret 2007
MENTERI KESEHATAN,
Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp.JP (K)

B.UU 36 tahun 2009


pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah
pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut:
1. asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan
golongan agama dan bangsa.
2. asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual.
3. asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harusmemberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.
4. asas pelindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan pelindungan
dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
5. asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan
menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
6. asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan
yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
7. asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan
perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
8. asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati
serta tidak membedakan agama yang dianut masyaraka
.
Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan
kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya.Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin
dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yangnyata dari
setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara
terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata kepada masyarakat,
diperlukan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata dalam arti pendayagunaan dan
penyebarannya harus merata ke seluruh wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga
memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan. Peran serta aktif masyarakat
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
perlu digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dan Untuk
melaksanakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat diperlukan
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan diseluruh wilayah sampai daerah terpencil yang
mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Fase yang harus diperhatikan sebagai petugas kesehatan :
a. Fase janin
b. Ibu Hamil
c. Anak-anak
d. Remaja
e. Dewasa
f. Lanjut Usia.

Bidan memberikan penyuluhan mengenai “pemberian air susu ibu ekslusif” yang dalam
ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan
sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI)
sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi. Pemberian ASI berdasarkan pada
“indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak
memungkinkanmemberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga
medis.

Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi serta layanan
kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan memperhatikan masalah dan kebutuhan
agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat
pengembangan potensi anak. Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan
pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar sekolah untuk
meningkatkan kemampuan hidup anak dalamlingkungan hidup yang sehat sehingga dapat
belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas.

C. berdasarkan PP tentang aborsi dan bayi tabung


Aborsi Di Indonesia diatur oleh:
• Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
- dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih
diterapkan.
• Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
• Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan - dalam kondisi tertentu, bisa
dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Sampai dengan saat ini masih diterapkan.
Keuntungan:
• Undang-undang (KUHP) dibuat pada jaman Belanda untuk menyelamatkan ibu dari kematian
akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun).
Kerugian:
• Aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan secara aman
(safe abortion).
• UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang salah
sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum. Pada KUHP, baik
pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang membantu mendapatkan
pelayanan, dinyatakan bersalah.
• Akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu
mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih
Aborsi seharusnya:
1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan dokter umum yang ditunjuk dan terlatih
(bersertifikat)
Keuntungan: Aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion).
Kerugian: Profesi lain selain dokter yang ditunjuk dan tersertifikasi, tidak diperkenankan untuk
memberikan pelayanan aborsi
2. Dilakukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk.
Keuntungan:
Aborsi dapat dilakukan secara lebih aman, karena rumah sakit dan klinik yang ditunjuk akan
dimonitor keamanan dan kualitasnya.
Kerugian:
• Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah, dilarang memberikan pelayanan aborsi
• Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk, hanya diijinkan memberikan pelayanan aborsi pada
perempuan dengan usia kehamilan tidak lebih dari usia kehamilan yang ditentukan.
3. Disetujui oleh sekurang-kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang ditunjuk, atau oleh
seorang dokter bila dalam keadaan darurat (emergency).
Keuntungan :
• Kerahasiaan pasien terjamin
• Pasien mendapatkan pertolongan sesegera mungkin
• Pasien diberikan konseling, sebelum mendapatkan pelayanan medis.
Kerugian :
• Keputusan aborsi ditentukan oleh satu konselor dan satu dokter
• Terjadi penundaan bagi perempuan untuk mendapatkan pelayanan aborsi aman
• Dokter merasa lebih berwenang dibandingkan konselor
• Dokter yang ditunjuk harus menjaga kode etik kedokteran
• Dokter dibolehkan untuk tidak menuliskan alasan penolakan memberikan pelayanan aborsi
kepada pasien
• Dokter bisa menolak untuk memberikan pelayanan aborsi kepada pasiennya
• Tantangan dari kelompok konselor dan dokter anti aborsi.
Tindak aborsi dibolehkan dalam kondisi perempuan sebagai berikut:
(a) Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan munculnya risiko
lebih besar pada pasien (perempuan) bila kehamilan dilanjutkan, seperti gangguan mental, fisik
dan psikososial
(b) Ancaman gangguan/cacat mental permanen pasien (perempuan)
(c) Membahayakan jiwa pasien (perempuan) jika kehamilan dilanjutkan
(d) Risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat fisik/mental yang
serius.
Dalam menentukan risiko tindakan seperti yang tersebut di atas, dokter harus
mempertimbangkan keadaan pasien pada saat itu.
PENJELASAN KONDISI
a) Risiko gangguan fisik, mental dan psikososial perempuan: batas toleransi usia kehamilan 12
minggu
Keuntungan: Penafsiran konselor dan/atau dokter bahwa dengan melanjutkan kehamilan pasien akan
mengalami gangguan kesehatan fisik, mental dan psikososial.
Kerugian: Hukum dapat ditafsirkan secara kaku oleh sebagian dokter dan/atau konselor untuk tidak
mengijinkan tindak aborsi tanpa adanya bukti-bukti riwayat sakit fisik dan mental pasien.
b) Risiko cacat fisik dan mental pasien (perempuan) yang permanen: tidak ada batasan usia
kehamilan
Keuntungan: Dalam kondisi pasien terancam cacat fisik dan mental secara permanen, perempuan dengan
usia kehamilan di atas 12 minggu dibolehkan mendapatkan pelayanan aborsi.
Kerugian: Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter
c) Mengancam jiwa pasien: tidak ada batasan usia kehamilan
Keuntungan: Disetujui/didukung oleh banyak orang
Kerugian: Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter
d) Janin tidak normal: tidak ada batasan usia kehamilan
Keuntungan: Dalam kondisi janin tidak normal, perempuan dengan usia kehamilan di atas 12 minggu
dibolehkan melakukan aborsi.
Kerugian:
Membuka penafsiran yang berbeda antar dokter mengenai definisi/kriteria cacat serius
Aborsi dianggap ilegal bila janin ternyata tidak cacat
Aborsi dianggap ilegal bila keputusan diambil berdasarkan pertimbangan jender.

Bayi tabung
Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami isteri
(pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan keturunan. Namun di sisi
yang lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Khususnya
reaksi dari para alim ulama yang mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai dari
sudut agama.
Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan) dengan syarat sperma
dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah. Sebab hal itu termasuk dalam ranah
ikhtiar (usaha) yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil pembuahan sperma
dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain. Demikian pula ketika menggunakan sperma
yang telah dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan
ovum yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung dalam hal ini juga
haram.
Adapun undang-undang bayi tabung jika dilihat dari sudut pandang hukum perdata di
Indonesia, bisa ditemui dalam Pasal 127 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal tersebut mengatur tentang upaya kehamilan yang dilakukan di luar cara alamiah, yakni
hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dengan ketentuan:
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim isteri dari mana ovum berasal
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
c. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu

Dengan demikian status anak tersebut adalah anak sah sehingga ia memiliki hubungan waris
dan keperdataan sebagaimana yang berlaku pada anak kandung.
Namun Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang isteri ketika ia telah bercerai dari
suaminya, maka status anak yang terlahir sah jika anak tersebut lahir sebelum 300 hari sejak
perceraian terjadi. Bila anak terlahir setelah masa 300 hari sejak perceraian, status anak tidak sah
sehingga ia tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan mantan suami dari sang ibu
(Pasal 255 KUH Perdata).

Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari beberapa kondisi
berikut ini:
1 Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta keperdataan
selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).
2 Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak yang
terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki benih
(Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata)
3 Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi embrionya
diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir statusnya sah bagi
pasutri tersebut.
4 Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir adalah anak di luar
nikah

D.Berdasarkan pemenkes Hk.02.02/Menkes/149/I/2010


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/149/I/2010,
kewenangan Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan yang
meliputi:
1. Pelayanan kebidanan
Pelayanan kebidanan ditujukan kepada ibu dan bayi. Pelayanan kebidanan kepada ibu
diberikan pada masa kehamilan,masa persalinan, masa nifas, dan masa menyusui. Pelayanan
kebidanan kepada bayi diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan)
hari.Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi:
penyuluhan dan konseling;
pemeriksaan fisik;
pelayanan antenatal pada kehamilan normal;
pertolongan persalinan normal;
pelayanan ibu nifas normal;
Pelayanan kebidanan kepada bayi meliputi pemeriksaan bayi baru lahir yaitu :
perawatan tali pusat
perawatan bayi
resusitasi pada bayi baru lahir
pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah dan pemberian
penyuluhan.
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu berwenang untuk:
memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
bimbingan senam hamil
episiotomi
penjahitan luka episiotomi
kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan dilanjutkan dengan perujukan
pencegahan anemi
inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
pemberian minum dengan sonde /pipet;pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum
dan manajemen aktif kala tiga
pemberian surat keterangan kelahiran dan pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan
cuti melahirkan.
2.Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan berwenang untuk:
memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka
menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan
supervisi dokter;
memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah; dan memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa
pranikah dan prahamil.

3. Pelayanan kesehatan masyarakat.


Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi
melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas dan melaksanakan deteksi dini, merujuk dan
memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter
di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya. Bagi
bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya.
Daerah yang tidak memiliki dokter adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam hal daerah tersebut telah terdapat
dokter,kewenangan bidan dimaksud tidak berlaku.
Kewenangan yang diatur dalam Permenkes Nomor Hk.02.02/Menkes/149/I/2010 pada
perkembangannya ternyata dianggap menghambat program karena kewenagan bidan disini
sangat dibatasi seperti pelayanan kebidanan hanya diberikan kepada bayi dan diberikan pada
bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari diamana sebenarnya bidan
memberikan pelayanan kebidanan kepada anak dan diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak
balita, dan anak pra sekolah.
Untuk menunjang pelaksanaan penurunan kematian ibu dan bayi/anak maka Permenkes
Nomor Hk.02.02/Menkes/149/I/2010 direvisi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
yang mengatur kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan sebagai berikut yang meliputi:
pelayanan kesehatan ibu
pelayanan kesehatan anak dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana.
1. Pelayanan kesehatan ibu
(1) Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa
nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.
(2) Pelayanan kesehatan ibu meliputi:
pelayanan konseling pada masa pra hamil
pelayanan antenatal pada kehamilan normal
pelayanan persalinan normal
pelayanan ibu nifas normal
pelayanan ibu menyusui
pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.
(3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk:
episiotomi
penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
pemberian tablet Fe pada ibu hamil
pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif
pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
penyuluhan dan konseling
bimbingan pada kelompok ibu hamil
pemberian surat keterangan kematian
pemberian surat keterangan cuti bersalin.

2. Pelayanan kesehatan anak


Pelayanan kesehatan anak diberikan pada bayi baru lahir,bayi, anak balita, dan anak pra
sekolah. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak berwenang untuk:
a. melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi
menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal dan perawatan
tali pusat.
b. penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
c. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
d. pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
e. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
f. pemberian konseling dan penyuluhan
g. pemberian surat keterangan kelahiran
h. pemberian surat keterangan kematian.

3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.


Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana, berwenang untuk:
a. memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
b. memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.
Selain kewenangan tersebut bidan yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan
pelayanan kesehatan meliputi:
1. pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan
alat kontrasepsi bawah kulit
2. asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di
bawah supervisi dokter
3. penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4. melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia
sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
6. melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7. melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual
(IMS) termasuk pemberian kondom,penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya
8. pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.
Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi
dan anak balita sakit, dan penanganan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Narkotika
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih
untuk itu.
Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya.
Daerah yang tidak memiliki dokter adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang
ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Dalam hal daerah tersebut
telah terdapat dokter, kewenangan bidan dimaksud tidak berlaku.
Untuk bidan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi:
memiliki tempat praktik, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan,
serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan prasekolah yang
memenuhi persyaratan lingkungan sehat
menyediakan maksimal 2 (dua) tempat tidur untuk persalinan
memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku

E. berdasarkan permenkes 1464/Menkes/Per/X/2010


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010
tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1. Kewenangan normal:
 Pelayanan kesehatan ibu
 Pelayanan kesehatan anak
 Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2. Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah
3. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki
dokter
Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki oleh seluruh bidan. Kewenangan ini
meliputi:
1. Pelayanan kesehatan ibu
1) Ruang lingkup:
Pelayanan konseling pada masa pra hamil
Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
Pelayanan persalinan normal
Pelayanan ibu nifas normal
Pelayanan ibu menyusui
Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan

2) Kewenangan:
Episiotomi
Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif
Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
Penyuluhan dan konseling
Bimbingan pada kelompok ibu hamil
Pemberian surat keterangan kematian
Pemberian surat keterangan cuti bersalin
2. Pelayanan kesehatan anak
1) Ruang lingkup:
Pelayanan bayi baru lahir
Pelayanan bayi
Pelayanan anak balita
Pelayanan anak pra sekolah
2) Kewenangan:
Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi
menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28
hari), dan perawatan tali pusat
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah
Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
Pemberian konseling dan penyuluhan
Pemberian surat keterangan kelahiran
Pemberian surat keterangan kematian
3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dengan
kewenangan:
1) Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
2) Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom
Selain kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi bidan yang
menjalankan program Pemerintah mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan
kesehatan yang meliputi:
1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan
memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu
(dilakukan di bawah supervisi dokter)
3. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak,
anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak
sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah
Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan
penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat
dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut.
Selain itu, khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan
juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah
terdapat tenaga dokter.

F. Menkes 161 Tahun 2010


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 161/MENKES/PER/2010
TENTANG
REGISTRASI TENAGA KESEHATAN
nimbang : 1. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 23 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah(lembaran
negara republik indonesia tahun 2004 nomor 125.(tambahn lembaran negara republik indonesia
nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 12 tahun 2008
tentang perubahan kedua atas undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
(lembaran negara republik indonesia tahun 2008 nomor 59,tambahan lembaran negara republik
indonesia nomor 4844)
2. undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (lembaran negara republik
indonesia tahun 2009 nomor 144. Tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 5063)
3. undang undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit (lembaran negara republik
indonesia tahun 2009 nomor 153. Tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 5073)
4. peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2009 tentang tenaga kesehatan (lembaran negara
republik indonesia tahun 1996 nomor 49. Tambahan lembaran negara republik indonesia nomor
3637)
5. peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah,pemerintah daerah propinsi,dan pemerintahan daerah kabupaten /kota (lembaran
negara republik indonesia tahun 2007 nomor 82. Tambahan lembaran negara republik indonesia
nomor 4737)
6. peraturan menteri kesehatan nomor 1575/menkes/per/XI/2005 tentang organisasi dan tata
kerja departemen kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan peraturan menteri
kesehatan nomor 439/menkes/per/VI/2009 tentang perubahan kedua atas peraturan menteri
kesehatan nomor 1575/menkes/per/XI/2005 tentang organisasi dan tata kerja departemen
kesehatan.
MEMUTUSKAN :
Penetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REGISTRASI
TENAGA KESEHATAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang tenaga
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah,dan /atau masyarakat.
3. Uji kompetisi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan,keterampilan

G. UU Praktik Kedokteran
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan:
a. nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun
pengalaman serta etika profesi;
b. manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat;
c. keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat serta pelayanan yang bermutu;
d. kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan
yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras;
e. keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga
keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat;
f. perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak
hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan
derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.

Yang dimaksud dengan “standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi” adalah
pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan sistem pendidikan nasional.Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter dan
dokter gigi dilakukan oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi institusi
pendidikan kedokteran gigi dengan
mengikutsertakan kolegium kedokteran, kolegium kedokterangigi, dan asosiasi rumah sakit
pendidikan.
Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter spesialis dan dokter gigi spesialis
dilakukan oleh kolegium kedokteran dan kolegium kedokteran gigi dengan mengikutsertakan
asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi dan rumah
sakit pendidikan.Konsil Kedokteran Indonesia mengesahkan standar pendidikan profesi dokter,
dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis yang telah ditetapkan tersebut diatas. Yang
dimaksud dengan “asosiasi institusi pendidikan kedokteran” adalah suatu lembaga yang dibentuk
oleh para dekan fakultas kedokteran yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam rangka
memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan kedokteran yang diselenggarakan oleh
fakultas kedokteran.
berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang
bersangkutan.Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under
curatele) persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat
antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudarasaudara kandung.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera
diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang
tidak sadar,maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak
ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka
penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien
sudah sadar.

H. Permenkes 512 tahun 2007


Pelaksanaan praktik
Pasal 14
(1) Praktik kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan berdasarkan hubungan
kepercayaan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya maksimal
pengabdian profesi kedokteran yang harus dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penyembuhan
dan pemulihan kesehatan pasien sesuai dengan standar pelayanan,standar profesi, standar
prosedur operasional dan kebutuhan medis pasien.
(3) Upaya maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat.

Pasal 15
(1) Dokter dan dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis
dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pelimpahan wewenang kepada perawat, bidan atau tenaga lainnya dalam keadaan tertentu
dimana pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak terdapat dokter dan dokter gigi di
tempat tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16

(1) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter dan dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
(2) Daftar dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP pada sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
(3) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib menempatkan daftar dokter dan dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tempat yang mudah dilihat.

Pasal 17
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki SIP dan menyelenggarakan praktik
perorangan wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat nama dokter atau dokter gigi
dan nomor registrasi, sesuai dengan SIP yang diberikan.
(3) Dalam hal dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ayat (2) berhalangan
melaksanakan praktik dapat menunjuk dokter dan dokter gigi pengganti.
(4) Dokter dan dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP yang setara dan tidak harus SIP di tempat tersebut.
(5) Dalam keadaan tertentu untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan, dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP dapat menggantikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis,
dengan memberitahukan penggantian tersebut kepada pasien.

Pasal 18
(1) Dokter dan dokter gigi yang berhalangan melaksanakan praktik atau telah menunjuk dokter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) wajib membuat pemberitahuan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditempelkan atau
ditempatkan pada tempat yang mudah terlihat.
Pasal 19
(1) Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan
kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Dokter dan dokter gigi, dalam rangka memberikan pertolongan pada keadaan gawat darurat
guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan, dapat melakukan tindakan kedokteran dan
kedokteran gigi diluar kewenangannya sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan
sesuai dengan standar profesi.

I. UU wabah
Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian,yang meluas secara cepat baik dalam
jumlah kasus maupunluas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan malapetaka menurut (
Undang-Undang Wabah , 1969)
Wabah harus mencakup:
- Jumlah kasus yang besar.
- Daerah yang luas .
- Waktu yang lebih lama.
- Dampak yang timbulkan lebih berat.
Petunjuk penetapan wabah :
1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular disuatu Kecamatan menunjukkan kenaikan
3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih.
2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu Kecamatan,
menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bilasuatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan
dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata sebulan dalam setahun
sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut itu.
3. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit
menular di suatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila dibandingkan
dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama di Kecamatan
yang sama pula
4. Case Fatality rate suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di sutu Kecamatan,
menunjukkan kenaikan 50 % atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang sama dalam bulan
yang lalu di Kecamatan tersebut.
5. Proporsional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu bulan,
dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular yang sama selama
periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih.
6. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS :
• Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas,di suatu daerah
endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas
• Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut diatas, di suatu
Kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakitd atas, tersebut, paling sedikit bebas selama 4
minggu berturut-turut.
7. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat.
8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada/dikenal.
J. Kejadian luar biasa
Pengertian KLB
Kejadian yang melebihi keadaan biasa, pada satu /sekelompok masyarakat tertentu. ( Tempo,
2007)Peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi
tertentu, pada tempat dan musim atau tahun yang sama(Mac Mahon and Pugh, 1970; Last, 1983,
Benenson, 1990),
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 949/ MENKES/SK/VII/Kejadian Luar Biasa (KLB) :
timbulnya atau meningkatnya kejadian Kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Kriteria Kejadian Luar Biasa (Keputusan Dirjen PPM No 451/91) tentang Pedoman Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Tergolong Kejadian luar biasa, jika ada unsur :
o Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
o Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktuberturut-turut menurut
penyakitnya (jam, hari, minggu).
o Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya (jam,hari,minggu,bulan,tahun).
o Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
Tujuan Penyidikan KLB
Mencegah meluasnya (penanggulangan).
Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang
Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).

Tujuan khusus :
Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit .
Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB
Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi KLB
Langkah-langkah penyidikan KLB :
1 Persiapan penelitian lapangan.
2 Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
3 Memastikan Diagnosis Etiologis
4 Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
5 Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu dan tempat.
6 Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan).
7 Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
8 Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB
9 Merencanakan penelitian lain yang sistimatis
10 Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.
11 Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi.
12 Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Perix/2010 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 161/Menkes/PER/2010 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan.
5. Kepmenkes No. HK.02.02/149/Sk/MENKES/2010 Tentang Penyelenggaraan Praktik
Bidan.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/Menkes/Per/Iv/2007 Tentang
Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Sk/Viii/2004
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit
Menular

Peraturan dan Perundang – Undangan Melandasi Tugas Praktek Bidan


Peraturan dan perundang – undangan yang melandasi tugas, fungsi dan praktek bidan
7.4 Peraturan dan perundang – undangan yang melandasi tugas, fungsi dan praktek bidan
PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELANDASI TUGAS, PRAKTIK DAN FUNGSI
BIDAN

A. DASAR HUKUM

1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
2. Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 “TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK
BIDAN”
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor “369/MENKES/SK/III/2007”
Tentang Standar Profesi Bidan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Iindonesia Nomor “HK.02.02/MENKES/149/2010”
Tentang Izin dan Penyelengaraan Praktik Bidan
5. Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 Tentang Ijin dan Penyelengaraan Praktek Bidan.

1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan

Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan tugas tenaga kesehatn termasuk
didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada BAB dan Pasal sebagai berikut :

a) BAB VII Bagian Kedua Tenaga Kesehatan


Pasal 50
Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.Ketentuan mengenai
kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b) BAB V,Bagian Kedua Kesehatan Keluarga
Pasal 12
Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan
sejahtera.Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami
istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.
Pasal 13
Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran dalam rangka menciptakan
keluarga yang sehat dan harmonis.
Pasal 14
Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, persalinan, pasca
persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan
Pasal 15
Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medis tertentu.
Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan
tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan atau suami atau keluarganya;
d. pada sarana kesehatan tertentu

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002

Bidan diharuskan memenuhi persyaratan dan perizinan untuk melaksanakan praktek, dalam
peraturan ini, terdapat ketentuan-ketentuan secara birokrasi hal-hal yang harus bidan penuhi
sebelum melakukan praktik dan juga terlampir informasi-informasi petunjuk pelaksanaan praktik
kebidanan. bidan hal tersebut tertuang pada Bab dan Pasal-pasal berikut :
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 9
(1) Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki SIPB.
(2) Bidan dapat menjalankan praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan.
Pasal 10
(1) SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan,
antara lain meliputi:
a. fotokopi SIB yang masih berlaku;
b. fotokopi ijazah Bidan;
c. surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai Pegawai Negeri atau
pegawai pada sarana kesehatan.
d. surat keterangan sehat dari dokter;
e. rekomendasi dari organisasi profesi;
f. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e,
setelah terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan, kepatuhan
terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik bidan.
Pasal 11
(1) SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui kembali.
(2) Pembaharuan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan :
a. fotokopi SIB yang masih berlaku;
b. fotokopi SIPB yang lama;
c. surat keterangan sehat dari dokter;
d. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
e. rekomendasi dari organisasi profesi;
Pasal 12
Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti tidak memerlukan SIPB.
Pasal 13
Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban meningkatkan kemampuan keilmuan
dan/atau keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
http://dianhusadaganarendrawinarti.blogspot.com/p/blog-page_6974.html

Anda mungkin juga menyukai