No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 TENTANG REGISTRASI DAN
PRAKTIK BIDAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007 TENTANG STANDAR PROFESI BIDAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTIK BIDAN
Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTEK BIDAN
No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan tugas tenaga kesehatn termasuk
didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada BAB dan Pasal sebagai berikut :
BAB VII Bagian Kedua
Tenaga Kesehatan
Pasal 50
1. Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan
sejahtera.
2. Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami istri,
anak, dan anggota keluarga lainnya.
Pasal 13
Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran dalam rangka menciptakan
keluarga yang sehat dan harmonis.
Pasal 14
Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, persalinan, pasca
persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan
Pasal 15
1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan
tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan atau suami atau keluarganya;
d. pada sarana kesehatan tertentu
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam
1. SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota
2. SIPB berlaku selama STR masih berlaku.
Pasal 5
1. Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2. Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana
tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik
4. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II
terlampir
Pasal 6
1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat
praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran
peraturan ini.
3. Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib
memasang nama praktik kebidanan
Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 8
Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 9
1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu
dan bayi
2. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3. Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi
baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
2. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a
berwenang untuk:
a. Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b. Bimbingan senam hamil
c. Episiotomi
d. Penjahitan luka episiotomi
e. Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f. Pencegahan anemi
g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j. Pemberian minum dengan sonde/pipet
k. Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka
menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan
supervisi dokter;
c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah; dan
e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan
prahamil.
Pasal 13
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual
(IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit
lainnya.
Pasal 14
1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di
tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan
atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan
bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal 15
Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan
kematian.
2.Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya,
dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.
Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 TENTANG IJIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTEK BIDAN
Secara Garis Besar Permenkes RI no. 1464 ini merupakan pembaruan dari Permenkes No.149,
hanya beberapa perbedaan yaitu :
Bidan memberikan penyuluhan mengenai “pemberian air susu ibu ekslusif” yang dalam
ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan
sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI)
sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi. Pemberian ASI berdasarkan pada
“indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak
memungkinkanmemberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga
medis.
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi serta layanan
kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan memperhatikan masalah dan kebutuhan
agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat
pengembangan potensi anak. Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan
pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar sekolah untuk
meningkatkan kemampuan hidup anak dalamlingkungan hidup yang sehat sehingga dapat
belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas.
Bayi tabung
Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami isteri
(pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan keturunan. Namun di sisi
yang lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Khususnya
reaksi dari para alim ulama yang mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai dari
sudut agama.
Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan) dengan syarat sperma
dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah. Sebab hal itu termasuk dalam ranah
ikhtiar (usaha) yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika hasil pembuahan sperma
dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain. Demikian pula ketika menggunakan sperma
yang telah dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan
ovum yang bukan berasal dari pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung dalam hal ini juga
haram.
Adapun undang-undang bayi tabung jika dilihat dari sudut pandang hukum perdata di
Indonesia, bisa ditemui dalam Pasal 127 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal tersebut mengatur tentang upaya kehamilan yang dilakukan di luar cara alamiah, yakni
hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dengan ketentuan:
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim isteri dari mana ovum berasal
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
c. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
Dengan demikian status anak tersebut adalah anak sah sehingga ia memiliki hubungan waris
dan keperdataan sebagaimana yang berlaku pada anak kandung.
Namun Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang isteri ketika ia telah bercerai dari
suaminya, maka status anak yang terlahir sah jika anak tersebut lahir sebelum 300 hari sejak
perceraian terjadi. Bila anak terlahir setelah masa 300 hari sejak perceraian, status anak tidak sah
sehingga ia tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan mantan suami dari sang ibu
(Pasal 255 KUH Perdata).
Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari beberapa kondisi
berikut ini:
1 Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta keperdataan
selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).
2 Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak yang
terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki benih
(Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata)
3 Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi embrionya
diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir statusnya sah bagi
pasutri tersebut.
4 Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir adalah anak di luar
nikah
2) Kewenangan:
Episiotomi
Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif
Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
Penyuluhan dan konseling
Bimbingan pada kelompok ibu hamil
Pemberian surat keterangan kematian
Pemberian surat keterangan cuti bersalin
2. Pelayanan kesehatan anak
1) Ruang lingkup:
Pelayanan bayi baru lahir
Pelayanan bayi
Pelayanan anak balita
Pelayanan anak pra sekolah
2) Kewenangan:
Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi
menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28
hari), dan perawatan tali pusat
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah
Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
Pemberian konseling dan penyuluhan
Pemberian surat keterangan kelahiran
Pemberian surat keterangan kematian
3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dengan
kewenangan:
1) Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
2) Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom
Selain kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi bidan yang
menjalankan program Pemerintah mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan
kesehatan yang meliputi:
1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan
memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu
(dilakukan di bawah supervisi dokter)
3. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak,
anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak
sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap
Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah
Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan
penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat
dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut.
Selain itu, khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan
juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah
terdapat tenaga dokter.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang tenaga
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah,dan /atau masyarakat.
3. Uji kompetisi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan,keterampilan
G. UU Praktik Kedokteran
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan:
a. nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun
pengalaman serta etika profesi;
b. manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat;
c. keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat serta pelayanan yang bermutu;
d. kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan
yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras;
e. keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga
keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat;
f. perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak
hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan
derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
Yang dimaksud dengan “standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi” adalah
pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan sistem pendidikan nasional.Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter dan
dokter gigi dilakukan oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi institusi
pendidikan kedokteran gigi dengan
mengikutsertakan kolegium kedokteran, kolegium kedokterangigi, dan asosiasi rumah sakit
pendidikan.
Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter spesialis dan dokter gigi spesialis
dilakukan oleh kolegium kedokteran dan kolegium kedokteran gigi dengan mengikutsertakan
asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi dan rumah
sakit pendidikan.Konsil Kedokteran Indonesia mengesahkan standar pendidikan profesi dokter,
dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis yang telah ditetapkan tersebut diatas. Yang
dimaksud dengan “asosiasi institusi pendidikan kedokteran” adalah suatu lembaga yang dibentuk
oleh para dekan fakultas kedokteran yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam rangka
memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan kedokteran yang diselenggarakan oleh
fakultas kedokteran.
berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang
bersangkutan.Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under
curatele) persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat
antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudarasaudara kandung.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera
diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang
tidak sadar,maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak
ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka
penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien
sudah sadar.
Pasal 15
(1) Dokter dan dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis
dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pelimpahan wewenang kepada perawat, bidan atau tenaga lainnya dalam keadaan tertentu
dimana pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak terdapat dokter dan dokter gigi di
tempat tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
(1) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter dan dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
(2) Daftar dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP pada sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
(3) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib menempatkan daftar dokter dan dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tempat yang mudah dilihat.
Pasal 17
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki SIP dan menyelenggarakan praktik
perorangan wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat nama dokter atau dokter gigi
dan nomor registrasi, sesuai dengan SIP yang diberikan.
(3) Dalam hal dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ayat (2) berhalangan
melaksanakan praktik dapat menunjuk dokter dan dokter gigi pengganti.
(4) Dokter dan dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP yang setara dan tidak harus SIP di tempat tersebut.
(5) Dalam keadaan tertentu untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan, dokter atau
dokter gigi yang memiliki SIP dapat menggantikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis,
dengan memberitahukan penggantian tersebut kepada pasien.
Pasal 18
(1) Dokter dan dokter gigi yang berhalangan melaksanakan praktik atau telah menunjuk dokter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) wajib membuat pemberitahuan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditempelkan atau
ditempatkan pada tempat yang mudah terlihat.
Pasal 19
(1) Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus sesuai dengan
kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Dokter dan dokter gigi, dalam rangka memberikan pertolongan pada keadaan gawat darurat
guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan, dapat melakukan tindakan kedokteran dan
kedokteran gigi diluar kewenangannya sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan
sesuai dengan standar profesi.
I. UU wabah
Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian,yang meluas secara cepat baik dalam
jumlah kasus maupunluas daerah penyakit, dan dapat menimbulkan malapetaka menurut (
Undang-Undang Wabah , 1969)
Wabah harus mencakup:
- Jumlah kasus yang besar.
- Daerah yang luas .
- Waktu yang lebih lama.
- Dampak yang timbulkan lebih berat.
Petunjuk penetapan wabah :
1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular disuatu Kecamatan menunjukkan kenaikan
3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih.
2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu Kecamatan,
menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bilasuatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan
dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata sebulan dalam setahun
sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut itu.
3. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit
menular di suatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila dibandingkan
dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama di Kecamatan
yang sama pula
4. Case Fatality rate suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di sutu Kecamatan,
menunjukkan kenaikan 50 % atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang sama dalam bulan
yang lalu di Kecamatan tersebut.
5. Proporsional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu bulan,
dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular yang sama selama
periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih.
6. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS :
• Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas,di suatu daerah
endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas
• Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut diatas, di suatu
Kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakitd atas, tersebut, paling sedikit bebas selama 4
minggu berturut-turut.
7. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat.
8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada/dikenal.
J. Kejadian luar biasa
Pengertian KLB
Kejadian yang melebihi keadaan biasa, pada satu /sekelompok masyarakat tertentu. ( Tempo,
2007)Peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi
tertentu, pada tempat dan musim atau tahun yang sama(Mac Mahon and Pugh, 1970; Last, 1983,
Benenson, 1990),
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 949/ MENKES/SK/VII/Kejadian Luar Biasa (KLB) :
timbulnya atau meningkatnya kejadian Kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Kriteria Kejadian Luar Biasa (Keputusan Dirjen PPM No 451/91) tentang Pedoman Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Tergolong Kejadian luar biasa, jika ada unsur :
o Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
o Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktuberturut-turut menurut
penyakitnya (jam, hari, minggu).
o Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya (jam,hari,minggu,bulan,tahun).
o Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
Tujuan Penyidikan KLB
Mencegah meluasnya (penanggulangan).
Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang
Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).
Tujuan khusus :
Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit .
Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB
Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan
Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB
Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi KLB
Langkah-langkah penyidikan KLB :
1 Persiapan penelitian lapangan.
2 Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
3 Memastikan Diagnosis Etiologis
4 Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan
5 Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu dan tempat.
6 Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan).
7 Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran
8 Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB
9 Merencanakan penelitian lain yang sistimatis
10 Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan.
11 Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi.
12 Melaporkan hasil penyidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada sistim
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Perix/2010 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 161/Menkes/PER/2010 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan.
5. Kepmenkes No. HK.02.02/149/Sk/MENKES/2010 Tentang Penyelenggaraan Praktik
Bidan.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/Menkes/Per/Iv/2007 Tentang
Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Sk/Viii/2004
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit
Menular
A. DASAR HUKUM
1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
2. Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002 “TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK
BIDAN”
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor “369/MENKES/SK/III/2007”
Tentang Standar Profesi Bidan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Iindonesia Nomor “HK.02.02/MENKES/149/2010”
Tentang Izin dan Penyelengaraan Praktik Bidan
5. Permenkes RI No. 1464/Menkes/SK/X/2010 Tentang Ijin dan Penyelengaraan Praktek Bidan.
1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan tugas tenaga kesehatn termasuk
didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada BAB dan Pasal sebagai berikut :
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Kepmen Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002
Bidan diharuskan memenuhi persyaratan dan perizinan untuk melaksanakan praktek, dalam
peraturan ini, terdapat ketentuan-ketentuan secara birokrasi hal-hal yang harus bidan penuhi
sebelum melakukan praktik dan juga terlampir informasi-informasi petunjuk pelaksanaan praktik
kebidanan. bidan hal tersebut tertuang pada Bab dan Pasal-pasal berikut :
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 9
(1) Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki SIPB.
(2) Bidan dapat menjalankan praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan.
Pasal 10
(1) SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan,
antara lain meliputi:
a. fotokopi SIB yang masih berlaku;
b. fotokopi ijazah Bidan;
c. surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai Pegawai Negeri atau
pegawai pada sarana kesehatan.
d. surat keterangan sehat dari dokter;
e. rekomendasi dari organisasi profesi;
f. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e,
setelah terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan, kepatuhan
terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik bidan.
Pasal 11
(1) SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui kembali.
(2) Pembaharuan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan :
a. fotokopi SIB yang masih berlaku;
b. fotokopi SIPB yang lama;
c. surat keterangan sehat dari dokter;
d. pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
e. rekomendasi dari organisasi profesi;
Pasal 12
Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti tidak memerlukan SIPB.
Pasal 13
Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban meningkatkan kemampuan keilmuan
dan/atau keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
http://dianhusadaganarendrawinarti.blogspot.com/p/blog-page_6974.html