Cranio Syn Ostos Is
Cranio Syn Ostos Is
PENDAHULUAN
1
Manifestasi Craniosynostosis tidak hanya terbatas pada deformitas cranium, namun
juga menyebabkan berbagai masalah neurologis pada anak yang sedang tumbuh.
Hipertensi intrakranial, malformasi hidrosefalus dan Chiari adalah masalah yang
sering timbul berkaitan dengan craniosynostosis. Deformitas cranium dan masalah
neurologis ini menyebabkan disfungsi neurologis dan kognitif.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cranium berkembang dari mesenkim sekitar jaringan otak. Cranium terdiri atas dua
bagian yaitu neurocranium (bagian yang melindungi otak) dan viscerocranium
(tulang wajah) sperti pada Gambar 2.1.5
Gambar 2.1 Struktur cranium; struktur mesenkim berasal dari sel neural warna
biru, lateral plate mesoderm warna kuning, dan mesoderm parsial atau somit
warna merah
Neurocranium melindungi bagian ventral, lateral, posterior otak dan telinga serta
hidung. Neurocranium terbagi atas dua bagian yaitu membranosa dan kartilago
(chondrocranium). Neurocranium membranosa terbentuk dari osifikasi
3
intramembran. Sel mesenkim berasal dari neural crest dan mesoderm paraksial. Sel
tersebut kemudian melingkari otak dan membentuk sebagian besar tulang pipih
cranium. Tulang pipih ini ditandai dengan adanya spikula (Gambar 2.2).5
Gambar 2.2 Tulang pipih cranium fetus usia 3 bulan menunjukkan persebaran
spikula dari pusat osifikasi primer
4
Gambar 2.3 Cranium pada bayi baru lahir
5
Viscerocranium yang membentuk tulang-tulang wajah, berasal dari dua arcus
faringeal yang pertama dan dibagi menjadi viscerocranium membranous dan
viscerocranium chondral.7
Arkus faringeal pertama memiliki bagian ventral dan dorsal yang tampak pada
Gambar 2.5. Bagian dorsal (processus maxillaris) mengalami osifikasi
intramembran dan membentuk maxilla, tulang zygomaticum, squamous temporal,
vomer, dan palatina. Pada bagian ventral (processus mandibularis) terdapat
kartilago Meckel dan bagian ini akan dikelilingi oleh sel mesenkim yang mengalami
kondensasi dan osifikasi intramembran sehingga membentuk mandibula. Condylus
mandibularis mengalami osifiksi endokondral.7
Umumnya sel neural crest bersama sel mesenkim berada pada bagian kepala. Sel-
sel ini bermigrasi ke arkus faringeal lalu membentuk tulang dan jaringan ikat di
wajah. Tulang rawan dari dua arkus faringeal pertama berkembang menjadi
cranium fetus. Kartilago pada dorsal arkus pertama (kartilago Meckel) membentuk
malleus dan incus, sementara arkus kedua (kartilago Reichert) membentuk stapes
dan processus styloideus seperti pada Gambar 2.6. Osifikasi dari tiga osikel dimulai
dari bulan keempat. Bagian ventral arkus kedua mengalami osifikasi dan
membentuk sebagian cornu hyoid. Arkus ketiga bagian ventral membentuk
sebagian lainnya dari hyoid. Arkus ke-4 dan 6 menyatu membentuk kartilago
laringeal kecuali bagian epiglotis, terbentuk dari eminentia hypobrachial arkus 3
dan 4.7
6
Gambar 2.6 Tulang-tulang yang berasal dari arkus kartilago faringeal
Calvaria tumbuh paling cepat selama 12 bulan pertama, sementara volume otak
meningkat dua kali lipat selama 6 bulan pertama dan kembali meningkat pada usia
dua tahun. Sementara ekspansi calvaria paling pesat selama dua tahun pertama dan
berlanjut linier hingga usia 6-7 tahun, pada saat ini ukuran cranium 90 ukuran
dewasa. Sebagian besar pertumbuhan cranial terletak pada sutura antara tulang
pipih. Populasi sel osteoprogenitor proliferatif banyak terdapat di tengah area
sutura. Sebagian sel tersebut memasuki jalur difierensiasi osteogenik membentuk
matriks tulang pembentuk osteoblas pada ujung tulang dan berperan dalam ekspansi
cranium. Sutura cranial normal menutup dari depan ke belakang, dari lateral ke
medial, sementara sutura metopic menutup antara usia 9-11 bulan dan sisanya
menyatu pada usia dewasa.8
7
mengganggu keseimbangan ini antara lain genetik, perubahan didapat pada reseptor
faktor pertumbuhan / profil ligan, hilangnya kontak antara sel dura dan sutura, serta
peningkatan gaya mekanik eksternal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
sebagian besar bentuk sindromik craniosynostosis terjadi karena perubahan
kaskade FGF/FGFR, TGF-β/TGF-βR, dan BMP.8
2.3.1 FGFR
Di antara ketiga jenis mutasi FGFR, mutasi FGFR2 terjadi pada sebagian besar
kasus sindromik craniosynostosis, namun mutasi FGFR2 menunjukkan manifestasi
klinis yang beragam dan pasien yang sama-sama mengalami mutasi FGFR2 dapat
8
menunjukkan manifestasi klinis yang berbeda. Sehingga sindromik
craniosynostosis terkait FGFR2 biasanya dinamai sesuai manifestasi ekstra
cranialnya.10
2.3.2 TWIST
2.3.3 MSX-2
2.4 Klasifikasi
9
Gambar 2.7 Jenis-jenis sinostosis
a. Sinostosis Sagital
10
saja sehingga menyebabkan deformitas fokal. Sinostosis sagitalis anterior akan
menyebabkan restriksi pertumbuhan lateral dari tulang parietal bagian frontal. Pada
sinostosis sagitalis posterior dimana terjadi deposisi tulang oksipital pada sutura
lambdoid, akan menyebabkan cranium yang menonjol pada bagian belakangnya
tanpa disertai deformitas cranium anterior. Keberhasilan koreksi bedah pada kasus
sinostosis sagitalis diperankan atas pertimbangan dua hal, yaitu beranya deformitas
yang ada dan usia penderita. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
merupakan indikasi tindakan operasi yang segera.15
b. Sinostosis Coronal
Sinostosis coronal dapat melibatkan semua atau hanya sebagian dri sutura coronal
saja. Luasnya keterlibatan sutura ini akan menentukan bentuk abnormalitas
cranium. Tampilan klinis dari sinostosis coronal unilateral adalah pendataran
bagian frontal (termaasuk regio supra-orbita) dan parietal ipsilateral, serta
penonjolan frontal dan parietal kontralateral. Orbita menjadi asimetri dimana pada
sisi ipsilateral sinostosis dimensi mediolateral mata memendek dan dimensi
vertikalnya melebar. Pada pemeriksaan CT scan khusunya bagian basis, tampak
sudut sfenopetrosal ipsilateral menyempit dan deviasi basis anterior dari garis
tengah ke arah sisi sutura yang menutup. Sinostosis coronal bilateral mempunyai
tampilan klinis khas yang terdiri atas pendataran bagian kaudal tulang frontal dan
margo supraorbita, serta penonjolam bagian kranial tulang frontal. Pars skuamosa
11
tulang temporal sangat menonjol dan verteks tampak berada lebih ke anterior.
Tampilan cranium seperti ini mirip dengan menara dan dinamakan tower-shaped-
head atau turribrachicephaly.15
c. Sinostosis Lambdoid
Terdapat tiga komponen dasar dari deformitas akibat sinostosis sutura lambdoid,
yaitu:
12
d. Sinostosis Metopik
Sinostosis metopik merupakan kasus yang agak jarang terjadi. Dalam keadaan
normal sutura metopik menutup pada sekitar usia dua tahun. Terjadinya penutupan
dini menyebabkan pertumbuhan cranium bagian frontal yang lebih mendatar,
melebar di parietal, menjadikan suatu bentuk penampang cranium yang khas yaitu
segitiga dan diistilahkan trigonocephaly. Di sini margo supraorbital menjadi lebih
datar dan kedua sisi temporalnya menyempit. Hipertelorisme (pemendekan jarak
interkantal) adalah bentuk wajah yang khas dari sinostosis metopik. Pada kasus
tertentu terjadi fusi prematur semua sutura, dalam hal ini sebagian tulang calvaria
antara sutura tetap tumbuh melebar namun daerah sutura sendiri tertahan tidak
tumbuh, menjadikan suatu bentuk kepala cloverleaf-shape yang diistilahkan
kleebatschadel.17
a. Sindrom Pleiffer
13
dengan gejala-gejala mirip sindrom Crouzon dan Jackson-Weiss, disebabkan oleh
mutasi gen FGFR2. Kelainan pada kraniofasial meliputi sinostosis sutura koronal
(brachycephaly), hipoplasia midface, dan prognatisme. Pada beberapa kasus juga
dapat dijumpai hipertelorisme, hidung menonjol, atau arkus palatum tinggi.
Brakidaktili akibat pemendekan jari tengah sering dijumpai pada sindrom ini.18
b. Sindrom Jackson-Weiss
Sindrom ini disebabkan oleh mutasi gen FGFR2, diturunkan secara autosomal
dominan dan bermanifestasi klinis craniosynostosis serta deformitas kaki. Kelainan
bentuk kaki berupa ibu jari yang besar dan deviasi ke arah medial, penyatuan
tulang-tulang tarsal, dan penyatuan tulang-tulang calcaneus dan cuboid. Pada
beberapa kasus juga terdapat sindaktili kutaneus pada jari kedua dan ketiga. Pada
14
sindrom Jackson-Weiss tidak terdapat abnormalitas pada tangan atau ibu jari, hal
tersebut yang membedakannya dengan sindrom craniosynostosis lainnya.18
c. Sindrom Apert
15
Gambar 2.14 Sindrom Apert ditandai dengan dahi tinggi menonjol, penurunan
fisura palpebra, dan sindaktili
d. Sindrom Crouzon
Sindrom Crouzon merupakan salah satu sindrom tersering yang diturunkan secara
autosomal dominan dengan craniosynostosis tipe koronal. Sebagian besar sindrom
ini disebabkan oleh mutasi gen FGFR2. Gejala klinis lainnya meliputi hipoplasia
midface dan pendangkalan tulang orbita sehingga terjadi proptosis. Menifestasi
klinis sindrom ini umumnya terbatas pada regio kepala leher. Sementara pada
sindrom lain, abnormalitas dapat terjadi pada kaki, tangan atau keduanya. Sindrom
Crouzon ditandai dengan brachycephaly. Klinis lain yang mungkin muncul adalah
hipertelorisme, strabismus, hipoplasia midface, arkus palatum tinggi, prognatisme
mandibula dan maloklusi gigi. Proptosis hampir selalu ditemukan karena adanya
pendangkalan tulang orbita. Pada kasus yang sangat jarang dapat terjadi subluksasi
bola mata. Otot-otot mata juga terpengaruh sehingga meyebabkan strabismus.
Kelaianan cervical yang umum terjadi adalah fusi C2-C3, sementara fusi arkus
trakea terjadi pada beberapa kasus. Klinis lain yang sering muncul adalah tuli
konduktif.20
16
Gambar 2.15 Sindrom Crouzon
e. Sindrom Muenke
Sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada Pro253Arg FGFR3. Terjadi sinostosis
bicoronal atau unicoronal, hipoplasia midface, penurunan fisura palpebra, dan
ptosis. Pada beberapa kasus dapt terlihat gejala yang mirip sindrom rouzon, sindrom
Pfeiffer, sindrom Jackson-Weiss atau sindrom Saethre-Chotzen. Pada beberpa
kasus diikuti dengan hambatan perkembangan, kelainan kaki berupa brakidaktili,
hipoplasia jari kedua dan ketiga, malsegmentasi tulang carpal. Meskipun
manifestasi klinisnya sangat luas, ciri khas sindrom ini adalah coronal
craniosynostosis dan brakidaktili carpal/tarsal.21
17
2.5 Diagnosis
2.6 Komplikasi
18
dibandingkan dengan sutura coronal tunggal. Selain itu, dilatasi abnormal ruang
subarachnoid umumnya ditemukan pada anak-anak dengan craniosynostosis, dan
dapat menyebabkan beberapa gangguan pada penyerapan CSF.24
Selain gangguan penyerapan CSF, obstruksi saluran napas bagian atas juga menjadi
faktor risiko peningkatan TIK. Hal ini disebabkan karena retensi karbon dioksida
selama episode obstruktif dan perubahan cerebral flow selama tidur. Oleh karena
itu, pemantauan TIK yang berkepanjangan termasuk TIK saat tidur penting untuk
membedakan obstruksi jalan napas pada pasien craniosynostosis dari etiologi
lainnya. Untuk mengelola peningkatan TIK dalam situasi ini dapat dilakukan
tekanan positif saluran nafas nokturnal atau maxillofacial advancment.25
19
otak) kurang umum diidentifikasi sebagai penyebab gangguan ventilasi, dan
obstructive sleep apnea (OSA) lebih mungkin terjadi. OSA bersifat multifaktorial,
namun paling sering disebabkan oleh hipoplasia midfacial. Hipoplasia ini
mengangkat langit-langit mulut dan akan mengurangi ukuran saluran napas.
Penggunaan masker tekanan positif yang terus-menerus dan tonsilektomi
merupakan pilihan konservatif untuk kasus-kasus yang didiagnosis dengan OSA.
Di sisi lain, trakeostomi temporer menurunkan tingkat mortalitas pada sindrom
craniosynostosis yang lebih parah dan harus dipertimbangkan pada semua bayi dan
anak-anak muda yang tidak responsif terhadap terapi konservatif.26
Malformasi Chiari ditandai oleh herniasi ke bawah dari bagian kaudal cerebelum
dan/ atau medulla oblongata melalui foramen magnum. Malformasi Chiari terjadi
pada pasien dengan kraniosynostosis sindromik dan nonsindromik. Kejadian
malformasi Chiari sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sutura yang terlibat.
Peneliitan menunjukkan bahwa pasien dengan sinostosis tunggal lambdoid (55,6%)
atau craniosynostosis multisuture dengan melibatkan sutura lambdoid (57,1%)
lebih cenderung memiliki malformasi Chiari. Hal ini disebabkan oleh kepadatan
yang berlebihan pada fossa cranialis posterior akibat pertumbuhan normal
hindbrain dengan tulang oksipital yang tidak berkembang.28
20
mesial temporal merupakan malformasi parenkim khas pada sindrom
craniosynostosis.29
2.7 Tatalaksana
21
lebih muda. Dari perspektif pertumbuhan tengkorak jangka panjang, data saling
bertentangan. Pada tahun 1987, Whitaker menunjukkan bahwa seiring
bertambahnya usia bedah, kemungkinan operasi sekunder juga meningkat. Di sisi
lain, Fearon menemukan bahwa usia pasien yang lebih tua (≥12 bulan) dikaitkan
dengan pertumbuhan tengkorak yang lebih baik setelah craniosynostosis sutural
tunggal. Tidak disarankan merekonstruksi anak-anak di atas usia 12 bulan, karena
dura tidak akan meregenerasi tulang dengan mudah. Dari sudut pandang
perkembangan mental, Arnaud melaporkan bahwa mental pasca operasi secara
signifikan lebih baik saat operasi dilakukan sebelum pasien mencapai usia 12 bulan.
Meskipun masih menjadi kontroversi, sebagian besar ahli bedah melakukan
tindakan bedah antara usia 3 dan 12 bulan. Jangka waktu spesifik tergantung pada
jenis pendekatan bedah yang digunakan. Secara umum, koreksi endoskopi
dilakukan pada usia yang lebih awal, yaitu pada usia 3 sampai 4 bulan.31
a. Koreksi Endoskopik
Untuk sinostosis coronal metopik, anak diposisikan supinasi. Satu sayatan kecil
digunakan untuk mengakses sutura yang menyatu. Burr hole lalu endoskopi untuk
memisahkan dura dari tulang di atasnya. Sutura yang menyatu lalu digunting.
Irigasi dan Gelfoam digunakan untuk hemostasis, lalu sayatan ditutup.32
22
Untuk sinostosis sagital, anak diposisikan pronasi. Dua sayatan kecil digunakan di
kedua sisi sutura yang menyatu. Burr hole melalui masing-masing sutura dan
endoskopi digunakan untuk memisahkan dura sinus sagital superior dari tulang di
atasnya. Tulang yang menyatu kemudian dipotong. Gelfoam ditempatkan di atas
sinus sagital superior, dan kedua sayatan ditutup. Pasca operasi, pasien
menggunakan helm orthotic selama 7 sampai 12 bulan untuk memudahkan
perubahan pembentukan kranial yang dinamis.32
Teknik ini bergantung pada akses dengan sayatan terbuka, osteotomi pada sutura
yang menyatu, penempatan omega-shaped tension springs di seluruh area
osteotomi dan penempatan compressive springs di sepanjang area kompensasi
pertumbuhan (Gambar 2.19). Spring implan biasanya dilepas 4 sampai 7 bulan
pasca operasi.33
23
Gambar 2.20 Spring-assisted pada sinostosis sagital dengan menempatkan dua
omega-shaped tension springs 1
Metode ini mencakup insisi terbuka, osteotomi tulang pasa sutura yang menyatu,
dan penempatan internal versus external distraction devices (Gambar 2.21). Setelah
masa laten 3 sampai 5 hari, perangkat akan diaktifkan selama beberapa minggu
sampai ekspansi yang diinginkan dan kemudian dilanjutkan dengan periode
konsolidasi 2 sampai 3 minggu.34
24
2.8 Prognosis
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbott MM, Rogers GF, Proctor MR, Busa K, Meara JG: Cost of treating
sagittal synostosis in the first year of life. J Craniofac Surg 23:88–93, 2012
2. Arts S, Delye H, van Lindert EJ: Intraoperative and postoperative
complications in the surgical treatment of craniosynostosis: minimally invasive
versus open surgical procedures. J Neurosurg Pediatr 21:112–118, 2018
3. Bir SC, Ambekar S, Notarianni C, Nanda A: Odilon Marc Lannelongue (1840–
1911) and strip craniectomy for craniosynostosis. Neurosurg Focus 36(4):E16,
2014
4. Bonfield CM, Sharma J, Cochrane DD, Singhal A, Steinbok P: Minimizing
blood transfusions in the surgical correction of craniosynostosis: a 10-year
single-center experience. Childs Nerv Syst 32:143–151, 2016
5. Chan JW, Stewart CL, Stalder MW, St Hilaire H, McBride L, Moses MH:
Endoscope-assisted versus open repair of craniosynostosis: a comparison of
perioperative cost and risk. J Craniofac Surg 24:170–174, 2013
6. Di Rocco F, Arnaud E, Renier D: Evolution in the frequency of nonsyndromic
craniosynostosis. J Neurosurg Pediatr 4:21–25, 2009
7. Dvoracek LA, Skolnick GB, Nguyen DC, Naidoo SD, Smyth MD, Woo AS, et
al: Comparison of traditional versus normative cephalic index in patients with
sagittal synostosis: measure of scaphocephaly and postoperative outcome.
Plast Reconstr Surg 136:541–548, 2015
8. Farber SJ, Nguyen DC, Skolnick GB, Naidoo SD, Smyth MD, Patel KB:
Anthropometric outcome measures in patients with metopic craniosynostosis.
J Craniofac Surg 28:713–716, 2017
9. Fearon JA, McLaughlin EB, Kolar JC: Sagittal craniosynostosis: surgical
outcomes and long-term growth. Plast Reconstr Surg 117:532–541, 2006
10. Garber ST, Karsy M, Kestle JRW, Siddiqi F, Spanos SP, Riva- Cambrin J:
comparing outcomes and cost of 3 surgical treatments for sagittal synostosis: a
retrospective study including procedure-related cost analysis. Neurosurgery
81:680–687, 2017
11. Ghenbot RG, Patel KB, Skolnick GB, Naidoo SD, Smyth MD, Woo AS:
27
Effects of open and endoscopic surgery on skull growth and calvarial vault
volumes in sagittal synostosis. J Craniofac Surg 26:161–164, 2015
12. Ghosh TD, Skolnick G, Nguyen DC, Sun H, Patel K, Smyth MD, et al:
Calvarial thickness and diploic space development in children with sagittal
synostosis as assessed by computes tomography. J Craniofac Surg 25:1050–
1055, 2014
13. Gociman B, Marengo J, Ying J, Kestle JR, Siddiqi F: Minimally invasive strip
craniectomy for sagittal synostosis. J Craniofac Surg 23:825–828, 2012
14. Goodnough LT: Risks of blood transfusion. Anesthesiol Clin North America
23:241–252, v, 2005 16. Han RH, Nguyen DC, Bruck BS, Skolnick GB,
Yarbrough CK, Naidoo SD, et al: Characterization of complications associated
with open and endoscopic craniosynostosis surgery at a single institution. J
Neurosurg Pediatr 17:361–370, 2016
15. Hashim PW, Patel A, Yang JF, Travieso R, Terner J, Losee JE, et al: The
effects of whole-vault cranioplasty versus strip craniectomy on long-term
neuropsychological outcomes in sagittal craniosynostosis. Plast Reconstr Surg
134:491–501, 2014
16. Kapp-Simon KA, Speltz ML, Cunningham ML, Patel PK, Tomita T:
Neurodevelopment of children with single suture craniosynostosis: a review.
Childs Nerv Syst 23:269–281, 2007
17. Keshavarzi S, Meltzer H, Cohen SR, Breithaupt A, Ben-Haim S, Newman CB,
et al: The risk of growing skull fractures in craniofacial patients. Pediatr
Neurosurg 46:193–198, 2010
18. Kolar JC: An epidemiological study of nonsyndromal craniosynostoses. J
Craniofac Surg 22:47–49, 2011
19. Lavoie J: Blood transfusion risks and alternative strategies in pediatric patients.
Paediatr Anaesth 21:14–24, 2011
20. Le MB, Patel K, Skolnick G, Naidoo S, Smyth M, Kane A, et al: Assessing
long-term outcomes of open and endoscopic sagittal synostosis reconstruction
using three-dimensional photography. J Craniofac Surg 25:573–576, 2014
21. Lee HQ, Hutson JM, Wray AC, Lo PA, Chong DK, Holmes AD, et al:
Changing epidemiology of nonsyndromic craniosynostosis and revisiting the
28
risk factors. J Craniofac Surg 23:1245–1251, 2012
22. Liberati A, Altman DG, Tetzlaff J, Mulrow C, Gøtzsche PC, Ioannidis JP, et
al: The PRISMA statement for reporting systematic reviews and meta-analyses
of studies that evaluate health care interventions: explanation and elaboration.
PLoS Med 6:e1000100, 2009
23. Likus W, Bajor G, Gruszczyńska K, Baron J, Markowski J, Machnikowska-
Sokołowska M, et al: Cephalic index in the first three years of life: study of
children with normal brain development based on computed tomography. Sci
World J 2014:502836, 2014
24. MacKinnon S, Proctor MR, Rogers GF, Meara JG, Whitecross S, Dagi LR:
Improving ophthalmic outcomes in children with unilateral coronal synostosis
by treatment with endoscopic strip craniectomy and helmet therapy rather than
fronto-orbital advancement. J AAPOS 17:259–265, 2013
25. Mehta VA, Bettegowda C, Jallo GI, Ahn ES: The evolution of surgical
management for craniosynostosis. Neurosurg Focus 29(6):E5, 2010
26. Murray DJ, Kelleher MO, McGillivary A, Allcutt D, Earley MJ: Sagittal
synostosis: a review of 53 cases of sagittal suturectomy in one unit. J Plast
Reconstr Aesthet Surg 60:991–997, 2007
27. Nguyen DC, Patel KB, Skolnick GB, Naidoo SD, Huang AH, Smyth MD, et
al: Are endoscopic and open treatments of metopic synostosis equivalent in
treating trigonocephaly and hypotelorism? J Craniofac Surg 26:129–134, 2015
28. Rogers GF, Wood BC, Amdur RL, Jeelani Y, Reddy S, Proctor MR, et al:
Treatment type is associated with population hand preferences in patients with
unilateral coronal synostosis: implications for functional cerebral
lateralization. Plast Reconstr Surg 136:782e–788e, 2015
29. Shah MN, Kane AA, Petersen JD, Woo AS, Naidoo SD, Smyth MD:
Endoscopically assisted versus open repair of sagittal craniosynostosis: the St.
Louis Children’s Hospital experience. J Neurosurg Pediatr 8:165–170, 2011
30. Shamseer L, Moher D, Clarke M, Ghersi D, Liberati A, Petticrew M, et al:
Preferred reporting items for systematic review and meta-analysis protocols
(PRISMA-P) 2015: elaboration and explanation. BMJ 350:g7647, 2015
31. Siu A, Rogers GF, Myseros JS, Khalsa SS, Keating RF, Magge SN: Unilateral
29
coronal craniosynostosis and Down syndrome. J Neurosurg Pediatr 13:568–
571, 2014
32. Tan SP, Proctor MR, Mulliken JB, Rogers GF: Early frontofacial symmetry
after correction of unilateral coronal synostosis: frontoorbital advancement vs
endoscopic strip craniectomy and helmet therapy. J Craniofac Surg 24:1190–
1194, 2013
33. Thompson DR, Zurakowski D, Haberkern CM, Stricker PA, Meier PM,
Bannister C, et al: Endoscopic versus open repair for craniosynostosis in
infants using propensity score matching to compare outcomes: a multicenter
study from the Pediatric Craniofacial Collaborative Group. Anesth Analg
126:968–975, 2018
34. Vogel TW, Woo AS, Kane AA, Patel KB, Naidoo SD, Smyth MD: A
comparison of costs associated with endoscope-assisted craniectomy versus
open cranial vault repair for infants with sagittal synostosis. J Neurosurg
Pediatr 13:324–331, 2014
35. Yarbrough CK, Smyth MD, Holekamp TF, Ranalli NJ, Huang AH, Patel KB,
et al: Delayed synostoses of uninvolved sutures after surgical treatment of
nonsyndromic craniosynostosis. J Craniofac Surg 25:119–123, 2014
30