Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Craniosynostosis merupakan kelainan craniofacial yang membutuhkan terapi


pembedahan yang paling sering dijumpai. Craniosynostosis merupakan fusi
prematur dan patologis, baik parsial atau lengkap dari satu atau lebih sutura kranial
yang muncul di intrauterin atau sesaat setelah kelahiran. Hal tersebut dapat
menyebabkan pertumbuhan pada sutura yang lain dan akan membuat bentuk kepala
yang abnormal. Selain bentuk yang abnormal, kelainan tersebut juga dapat
memberikan gangguan fungsional seperti peningkatan tekanan intra kranial,
hydrocephalus, gangguan perkembangan, dan amblyopia.1

Craniosynostosis terjadi pada kira-kira 1 dari 2000-2.500 kelahiran hidup. Kelainan


ini paling sering terjadi pada sutura sagital, meliputi 40% - 60% kasus, diikuti oleh
sutura koronal (20% -30% kasus), sutura metopik (< 10% kasus); dan pada sutura
lambdoid yang jarang terjadi.2

Insidens sindroma craniosynostosis yaitu sindroma Apert dan Crouzon berturut-


turut 15.5 : 1.000.000 dan 16.5 : 1.000.000 tiap kelahiran. Insiden craniosynostosis
di Indonesia sendiri masih tidak tercatat dengan baik, begitu juga permasalahan
yang sering dijumpai yaitu masih rendahnya tingkat diagnosis dan pelaporan dari
kelainan tersebut.3

Craniosynostosis dapat diklasifikasikan menjadi nonsindromik atau sindromik.


Craniosynostosis dikatakan tunggal jika hanya melibatkan satu sutura, dan
dikatakan kompleks jika melibatkan lebih dari satu sutura. Isolated
craniosynostosis ditemukan pada 80% kasus dan biasanya bersifat sederhana, tidak
berasosiasi dengan abnormalitas lain dan etiologinya non-genetik. Kemungkinan
terjadi isolated craniosynostosis adalah restriksi kepala fetal saat di intrauterin.
Syndromic craniosynostosis memiliki gejala yang lebih kompleks dimana sering
kali lebih dari satu sutura yang terlibat dan bersifat genetik. Syndromic
craniosynostosis sering kali dikaitkan dengan mutasi pada Fibroblast Growth Factor
Receptors (FGFR).1,2

1
Manifestasi Craniosynostosis tidak hanya terbatas pada deformitas cranium, namun
juga menyebabkan berbagai masalah neurologis pada anak yang sedang tumbuh.
Hipertensi intrakranial, malformasi hidrosefalus dan Chiari adalah masalah yang
sering timbul berkaitan dengan craniosynostosis. Deformitas cranium dan masalah
neurologis ini menyebabkan disfungsi neurologis dan kognitif.2

Tatalaksana craniosynostosis sangat bervariasi dan belum ada konsensus terkait


waktu optimal atau jenis intervensi bedah yang diambil. Tatalaksana tergantung
pada usia pasien saat presentasi, jenis synostosis, tingkat keparahan deformitasnya,
dan preferensi tim bedah. Indikasi utama untuk intervensi bedah pada
craniosynostosis adalah menyediakan ruang yang memadai untuk pertumbuhan
otak normal dan mengoreksi bentuk cranium untuk pertimbangan kosmetik dan
psikososial.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Craniosynostosis

Craniosynostosis didefinisikan sebagai penutupan prematur dari satu atau lebih


sutura yang memisahkan tulang pembentuk calvaria sehingga menyebabkan
pertumbuhan abnormal calvaria dan basis cranii serta mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan otak. Hal ini sesuai dengan hukum Virchow (1851) dimana
terhentinya pertumbuhan pada arah tegak lurus dari sutura yang terkena, sedangkan
pada arah paralel dari sutura tersebut, pertumbuhan tetap berlangsung.4

2.2 Embriologi Pembentukan Cranium

Cranium berkembang dari mesenkim sekitar jaringan otak. Cranium terdiri atas dua
bagian yaitu neurocranium (bagian yang melindungi otak) dan viscerocranium
(tulang wajah) sperti pada Gambar 2.1.5

Gambar 2.1 Struktur cranium; struktur mesenkim berasal dari sel neural warna
biru, lateral plate mesoderm warna kuning, dan mesoderm parsial atau somit
warna merah

Neurocranium melindungi bagian ventral, lateral, posterior otak dan telinga serta
hidung. Neurocranium terbagi atas dua bagian yaitu membranosa dan kartilago
(chondrocranium). Neurocranium membranosa terbentuk dari osifikasi

3
intramembran. Sel mesenkim berasal dari neural crest dan mesoderm paraksial. Sel
tersebut kemudian melingkari otak dan membentuk sebagian besar tulang pipih
cranium. Tulang pipih ini ditandai dengan adanya spikula (Gambar 2.2).5

Spikula menyebar progresif dari pusat osifikasi primer menuju ke permukaan.


Contoh bagian membranosa antara lain tulang frontal, parietal, squamous
temporal, occipital, nasal dan lacrimal.6

Gambar 2.2 Tulang pipih cranium fetus usia 3 bulan menunjukkan persebaran
spikula dari pusat osifikasi primer

Lempeng tulang membranosa yang membentuk calvaria berasal dari tengah


osifikasi primer dan menyebar ke permukaan, namun masing-masing lempeng tidak
menyatu satu sama lain selama masa prenatal. Konsekuensinya, bayi baru lahir
memiliki sutura yang belum tertutup dan fontanella seperti pada Gambar 2.3.
Diskontinuitas sementara antar tulang pembentuk calvaria ini membantu proses
persalinan pervaginam dan memfasilitasi pertumbuhan ukuran cranium sesuai
pertumbuhan otak. Fontanella posterior menutup selama tahun pertama dan
fontanella anterior menutup selama tahun kedua setelah kelahiran, namun beberapa
sutura tetap terbuka sampai dewasa.7

4
Gambar 2.3 Cranium pada bayi baru lahir

Chondrocranium terbentuk dari kombinasi mesodermal sclerotom dan sel neural


crest. Selama proes perkembangan, kartilago terbentuk dari sekeliling otak awal
pada notochord. Sehingga dengan mengacu pada sella tursica, tulang yang terletak
rostral dari titik tersebut berasal dari sel neural crest. Sementara tulang yang
terletak pada bagian posterios sella tursica berasal dariparaxial mesoderm.
Sehingga basis cranii terbentuk ketika kartilago terbentuk dari keduanya dan
menyatu serta mengalami osifikasi endokondral seperti tampak pada gambar 2.4.7

Gambar 2.4 Basis cranii dewasa menunjukkan beragam komponen embrionik


asal; warna biru berasal dari neural crest, warna merah berasal dari paraxial
mesoderm

5
Viscerocranium yang membentuk tulang-tulang wajah, berasal dari dua arcus
faringeal yang pertama dan dibagi menjadi viscerocranium membranous dan
viscerocranium chondral.7

Arkus faringeal pertama memiliki bagian ventral dan dorsal yang tampak pada
Gambar 2.5. Bagian dorsal (processus maxillaris) mengalami osifikasi
intramembran dan membentuk maxilla, tulang zygomaticum, squamous temporal,
vomer, dan palatina. Pada bagian ventral (processus mandibularis) terdapat
kartilago Meckel dan bagian ini akan dikelilingi oleh sel mesenkim yang mengalami
kondensasi dan osifikasi intramembran sehingga membentuk mandibula. Condylus
mandibularis mengalami osifiksi endokondral.7

Gambar 2.5 Kepala leher dari sisi lateral

Umumnya sel neural crest bersama sel mesenkim berada pada bagian kepala. Sel-
sel ini bermigrasi ke arkus faringeal lalu membentuk tulang dan jaringan ikat di
wajah. Tulang rawan dari dua arkus faringeal pertama berkembang menjadi
cranium fetus. Kartilago pada dorsal arkus pertama (kartilago Meckel) membentuk
malleus dan incus, sementara arkus kedua (kartilago Reichert) membentuk stapes
dan processus styloideus seperti pada Gambar 2.6. Osifikasi dari tiga osikel dimulai
dari bulan keempat. Bagian ventral arkus kedua mengalami osifikasi dan
membentuk sebagian cornu hyoid. Arkus ketiga bagian ventral membentuk
sebagian lainnya dari hyoid. Arkus ke-4 dan 6 menyatu membentuk kartilago
laringeal kecuali bagian epiglotis, terbentuk dari eminentia hypobrachial arkus 3
dan 4.7

6
Gambar 2.6 Tulang-tulang yang berasal dari arkus kartilago faringeal

Perkembangan cranium dibagi atas pembentukan neurocranium dan


viscerocranium yang dimulai pada usia gestasi 23-26 hari. Neurocranium tumbuh
membentuk calvaria melalui osifikasi membranosa, sementara viscerocranium
berkembang menjadi pembentukan tulang wajah melalui osifikasi endokondrial.
Sutura cranial terbentuk mulai usia gestasi 16 minggu pada pertemuan beberapa
osteogenic fronts dan merupakan bagian aktif pembentukan tulang serta deposisi,
yang secara langsung dipengaruhi oleh gaya tekan dari pertumbuhan otak, refleksi
dura dan faktor pertumbuhan lokal.8

Calvaria tumbuh paling cepat selama 12 bulan pertama, sementara volume otak
meningkat dua kali lipat selama 6 bulan pertama dan kembali meningkat pada usia
dua tahun. Sementara ekspansi calvaria paling pesat selama dua tahun pertama dan
berlanjut linier hingga usia 6-7 tahun, pada saat ini ukuran cranium 90 ukuran
dewasa. Sebagian besar pertumbuhan cranial terletak pada sutura antara tulang
pipih. Populasi sel osteoprogenitor proliferatif banyak terdapat di tengah area
sutura. Sebagian sel tersebut memasuki jalur difierensiasi osteogenik membentuk
matriks tulang pembentuk osteoblas pada ujung tulang dan berperan dalam ekspansi
cranium. Sutura cranial normal menutup dari depan ke belakang, dari lateral ke
medial, sementara sutura metopic menutup antara usia 9-11 bulan dan sisanya
menyatu pada usia dewasa.8

Gangguan keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan apoptosis


menyebabkan osifikasi prematur pada sutura dan synostosis. Faktor yang

7
mengganggu keseimbangan ini antara lain genetik, perubahan didapat pada reseptor
faktor pertumbuhan / profil ligan, hilangnya kontak antara sel dura dan sutura, serta
peningkatan gaya mekanik eksternal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
sebagian besar bentuk sindromik craniosynostosis terjadi karena perubahan
kaskade FGF/FGFR, TGF-β/TGF-βR, dan BMP.8

2.3 Etiologi Craniosynostosis

Etiologi craniosynostosis belum banyak diketahui secara pasti, namun banyak


faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penutupan prematur sutura calvaria.
Senyawa teratogen, mutasi genetik, dan gangguan metabolisme merupakan
beberapa faktor terjadinya craniosynostosis.9

Sebagian besar sindrom craniosynostosis disebabkan oleh mutasi gen pengkode


Fibroblast Growth Factor Receptors (FGFR) yaitu FGFR1, FGFR2, dan FGFR3,
selain itu juga faktor transkripsi TWIST dan MSX-2. Secara umum, penambahan
fungsi terjadi pada mutasi gen FGFR dan MSX2, sementara kehilangan fungsi
terjadi pada mutasi gen TWIST.9

2.3.1 FGFR

Perkembangan sutura cranial dipengaruhi oleh gen FGFR yang meyebabkan


keseimbangan proliferasi dan diferensiasi sel osteogenik. Pada enam minggu awal
embrio, FGFR1 dan FGFR2 terdapat pada mesenkim calvaria, sementara FGFR3
belum bisa dideteksi. Pada perkembangan selanjutnya, ketiga FGFR diekspresikan
dalam preosteoblas sekitar osteoid dan osteoblas membentuk jaringan mineral.
FGFR1 berperan dalam mengatur diferensiasi osteogenik, FGFR2 mengatur
proliferasi stem cell, dan FGFR3 berperan dalam proses perkembangan sutura.
Mekanisme pasti terjadinya mutasi pada gen FGFR masih belum dapat dijelaskan
secara pasti. Studi in vitro menunjukkan bahwa pada kondisi kultur FGF yang
berbeda, terjadi peningkatan atau penurunan diferensiasi osteoblas diikuti dengan
apoptosis.10

Di antara ketiga jenis mutasi FGFR, mutasi FGFR2 terjadi pada sebagian besar
kasus sindromik craniosynostosis, namun mutasi FGFR2 menunjukkan manifestasi
klinis yang beragam dan pasien yang sama-sama mengalami mutasi FGFR2 dapat

8
menunjukkan manifestasi klinis yang berbeda. Sehingga sindromik
craniosynostosis terkait FGFR2 biasanya dinamai sesuai manifestasi ekstra
cranialnya.10

2.3.2 TWIST

Saethre-Chotzen adalah satu-satunya sindrom kraniofasial yang tarjadi akibat


mutasi faktor transkripsi TWIST-1. TWIST-1 mempengaruhi diferensiasi
osteogenik sel mesenkim dengan memodulasi FGFR2, sehingga mengaktifkan jalur
sinyal diferensiasi osteoblas. Mutasi gen ini mengakibatkan ekspansi sel osteogenik
yang memproduksi kolagen dan penutupan sutura prematur.11

2.3.3 MSX-2

Craniosynostosis tipe Boston yang diturunkan secara autosomal dominan


disebabkan oleh mutasi gen MSX-2. Sindrom ini sangat jarang terjadi dan
umumnya terjadi pada satu keluarga besar. Sindrom ini ditandai dengan
craniosynostosis tanpa hipoplasia midfasial atau kelaianan pada extrimitas. MSX-
2 mengkode faktor transkripsi yang diperkirakan mencegah penyatuan sutura
dengan meningkatkan pool sel osteogenik.12

2.4 Klasifikasi

Craniosynostosis dapat diklasifikasikan menjadi nonsindromik atau sindromik.


Sindrom craniosynostosis lebih jarang terjadi dibandingkan tipe nonsindromik
(80%).13

2.4.1 Jenis-Jenis Craniosynostosis

Berdasarkan letaknya, craniosynostosis meliputi sinostosis pada sutura sagital


(scaphocephaly), coronal (brachycephaly), metopik (trigonocephaly), dan
lambdoid (plagiocephaly). Kasus yang paling sering berturut-turut adalah
sinostosis sagital, diikuti oleh sinostosis coronal unilateral dan bilateral, sinostosis
metopik, dan sutura lambdoid.14

9
Gambar 2.7 Jenis-jenis sinostosis

a. Sinostosis Sagital

Fusi prematur sutura sagitalis merupakan kasus craniosynostosis yang paling


umum dijumpai. Laki-laki lebih dominan diandingkan dengan perempuan. Pada
kasus ini kompensasi dan pertumbuhan hanya terjadi pada sutura coronal dalm
lambdoid, sehingga bentuk kepala menjadi panjang dan sempit (diistilahkan
sebagai dolisefali). Kejadian fusi prematur dapat terjadi hanya pada sebagian sutura

10
saja sehingga menyebabkan deformitas fokal. Sinostosis sagitalis anterior akan
menyebabkan restriksi pertumbuhan lateral dari tulang parietal bagian frontal. Pada
sinostosis sagitalis posterior dimana terjadi deposisi tulang oksipital pada sutura
lambdoid, akan menyebabkan cranium yang menonjol pada bagian belakangnya
tanpa disertai deformitas cranium anterior. Keberhasilan koreksi bedah pada kasus
sinostosis sagitalis diperankan atas pertimbangan dua hal, yaitu beranya deformitas
yang ada dan usia penderita. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
merupakan indikasi tindakan operasi yang segera.15

Gambar 2.8 Sinostosis sagital

b. Sinostosis Coronal

Sinostosis coronal dapat melibatkan semua atau hanya sebagian dri sutura coronal
saja. Luasnya keterlibatan sutura ini akan menentukan bentuk abnormalitas
cranium. Tampilan klinis dari sinostosis coronal unilateral adalah pendataran
bagian frontal (termaasuk regio supra-orbita) dan parietal ipsilateral, serta
penonjolan frontal dan parietal kontralateral. Orbita menjadi asimetri dimana pada
sisi ipsilateral sinostosis dimensi mediolateral mata memendek dan dimensi
vertikalnya melebar. Pada pemeriksaan CT scan khusunya bagian basis, tampak
sudut sfenopetrosal ipsilateral menyempit dan deviasi basis anterior dari garis
tengah ke arah sisi sutura yang menutup. Sinostosis coronal bilateral mempunyai
tampilan klinis khas yang terdiri atas pendataran bagian kaudal tulang frontal dan
margo supraorbita, serta penonjolam bagian kranial tulang frontal. Pars skuamosa

11
tulang temporal sangat menonjol dan verteks tampak berada lebih ke anterior.
Tampilan cranium seperti ini mirip dengan menara dan dinamakan tower-shaped-
head atau turribrachicephaly.15

Gambar 2.9 Sinostosis Coronal

c. Sinostosis Lambdoid

Terdapat tiga komponen dasar dari deformitas akibat sinostosis sutura lambdoid,
yaitu:

- Oksipital mendatar nilateral atau bilateral

- Penonjolan frontal asimetri/ simetri, dan

- Elevasi tinggi absolut kepala.

Terapi operasi pada sinostosis lambdoid bervariasi sesuai dengan keadaan


kelainanya (unilateral atau bilateral) namuun secara umum teknisnya sama.16

Gambar 2.10 Sinostosis Lambdoid sisi kanan; dengan displacement telinga

12
d. Sinostosis Metopik

Sinostosis metopik merupakan kasus yang agak jarang terjadi. Dalam keadaan
normal sutura metopik menutup pada sekitar usia dua tahun. Terjadinya penutupan
dini menyebabkan pertumbuhan cranium bagian frontal yang lebih mendatar,
melebar di parietal, menjadikan suatu bentuk penampang cranium yang khas yaitu
segitiga dan diistilahkan trigonocephaly. Di sini margo supraorbital menjadi lebih
datar dan kedua sisi temporalnya menyempit. Hipertelorisme (pemendekan jarak
interkantal) adalah bentuk wajah yang khas dari sinostosis metopik. Pada kasus
tertentu terjadi fusi prematur semua sutura, dalam hal ini sebagian tulang calvaria
antara sutura tetap tumbuh melebar namun daerah sutura sendiri tertahan tidak
tumbuh, menjadikan suatu bentuk kepala cloverleaf-shape yang diistilahkan
kleebatschadel.17

Gambar 2.11 Cloverleaf-shape

2.4.2 Sindrom Craniosynostosis

a. Sindrom Pleiffer

Sindrom Pleiffer diturunkan secara autosomal dominan dan menunjukkan


manifestasi klinis berupa craniosynostosis, ibu jari kaki dan tangan yang lebar.
Sindrom Pleiffer disebabkan oleh mutasi genetik FGFR1 atau FGFR2. Penderita
dengan gejala ringan biasanya disebabkan oleh mutasi FGFR1, sementara penderita

13
dengan gejala-gejala mirip sindrom Crouzon dan Jackson-Weiss, disebabkan oleh
mutasi gen FGFR2. Kelainan pada kraniofasial meliputi sinostosis sutura koronal
(brachycephaly), hipoplasia midface, dan prognatisme. Pada beberapa kasus juga
dapat dijumpai hipertelorisme, hidung menonjol, atau arkus palatum tinggi.
Brakidaktili akibat pemendekan jari tengah sering dijumpai pada sindrom ini.18

Gambar 2.12 Sindrom Pleiffer ditandai dengan brachycephaly, hipoplasia


midface, prognatisme mandibula, brakidaktili, ibu jari besar, ibu jari kaki pendek
dan besar serta sindaktili kutaneus parsial

b. Sindrom Jackson-Weiss

Sindrom ini disebabkan oleh mutasi gen FGFR2, diturunkan secara autosomal
dominan dan bermanifestasi klinis craniosynostosis serta deformitas kaki. Kelainan
bentuk kaki berupa ibu jari yang besar dan deviasi ke arah medial, penyatuan
tulang-tulang tarsal, dan penyatuan tulang-tulang calcaneus dan cuboid. Pada
beberapa kasus juga terdapat sindaktili kutaneus pada jari kedua dan ketiga. Pada

14
sindrom Jackson-Weiss tidak terdapat abnormalitas pada tangan atau ibu jari, hal
tersebut yang membedakannya dengan sindrom craniosynostosis lainnya.18

Gambar 2.13 Sindrom Jackson-Weiss; brachycephaly (kiri) dan acrocephaly


(kanan) dengan ibu jari besar dan sindaktili

c. Sindrom Apert

Merupakan sindrom craniosynostosis yang paling mudah dikenali. Sembilan puluh


sembilan persen kasus menunjukkan adanya mutasi Ser252Trp dan Pro250Arg
dalam FGFR2. Craniosynostosis pada sindrom ini berupa penutupan sutura koronal
saat lahir, sutura sagital dan metopik tidak terbentuk sama sekali. Selain itu juga
terdapat jarak yang lebar sepanjang bagian atas cranium dimulai dari glabella.
Selama usia 2-4 tahun, celah ini terisi bony island yang akhirnya menyatu
membentuk calvaria intak. Pada extrimitas, kelainan ditandai dengan adanya
sindaktili pada jari tengah. Sindrom Apert juga sering diikuti dengan kelainan organ
internal dan sistem saraf pusat, berupa gangguan mental. Malformasi organ
tersering meliputi sistem kardiovaskular (10%), sistem urogenital (9,6%)
gastrointestinal (1,5%) dan sistem respirasi (1,5%). Kelainan pada wajah antara lain
dahi tinggi dan menonjol, hipoplasia midface, hidung bengkok, arkus palatum
tinggi, dan maloklusi gigi.19

15
Gambar 2.14 Sindrom Apert ditandai dengan dahi tinggi menonjol, penurunan
fisura palpebra, dan sindaktili

d. Sindrom Crouzon

Sindrom Crouzon merupakan salah satu sindrom tersering yang diturunkan secara
autosomal dominan dengan craniosynostosis tipe koronal. Sebagian besar sindrom
ini disebabkan oleh mutasi gen FGFR2. Gejala klinis lainnya meliputi hipoplasia
midface dan pendangkalan tulang orbita sehingga terjadi proptosis. Menifestasi
klinis sindrom ini umumnya terbatas pada regio kepala leher. Sementara pada
sindrom lain, abnormalitas dapat terjadi pada kaki, tangan atau keduanya. Sindrom
Crouzon ditandai dengan brachycephaly. Klinis lain yang mungkin muncul adalah
hipertelorisme, strabismus, hipoplasia midface, arkus palatum tinggi, prognatisme
mandibula dan maloklusi gigi. Proptosis hampir selalu ditemukan karena adanya
pendangkalan tulang orbita. Pada kasus yang sangat jarang dapat terjadi subluksasi
bola mata. Otot-otot mata juga terpengaruh sehingga meyebabkan strabismus.
Kelaianan cervical yang umum terjadi adalah fusi C2-C3, sementara fusi arkus
trakea terjadi pada beberapa kasus. Klinis lain yang sering muncul adalah tuli
konduktif.20

16
Gambar 2.15 Sindrom Crouzon

e. Sindrom Muenke

Sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada Pro253Arg FGFR3. Terjadi sinostosis
bicoronal atau unicoronal, hipoplasia midface, penurunan fisura palpebra, dan
ptosis. Pada beberapa kasus dapt terlihat gejala yang mirip sindrom rouzon, sindrom
Pfeiffer, sindrom Jackson-Weiss atau sindrom Saethre-Chotzen. Pada beberpa
kasus diikuti dengan hambatan perkembangan, kelainan kaki berupa brakidaktili,
hipoplasia jari kedua dan ketiga, malsegmentasi tulang carpal. Meskipun
manifestasi klinisnya sangat luas, ciri khas sindrom ini adalah coronal
craniosynostosis dan brakidaktili carpal/tarsal.21

Gambar 2.16 Sindrom Muenke ditandai dengan brachycephaly, ptosis, penurunan


fisura palpebra, proptosis ringan, hipertelorisme, dan prognatisme

17
2.5 Diagnosis

Evaluasi untuk menegakkan diagnosis meliputi klinis dan radiologis. Anamnesis


didapatkan riwayat deformitas asimetri calvaria, riwayat keluarga yang menderita
gejala serupa dan gejala peningkatan tekanan intra kranial (TIK). Pemeriksaan fisik
untuk mengevaluasi bentuk dan ukuran calvaria, penutupan dini fontanella anterior
(normnalnya terbuka hingga usia 12-18 bulan), kalsifikasi, dan tanda peningkatan
TIK. Funduskopi untuk menilai papil edema bisa menjadi salah satu prediktor
peningkatan TIK namun tidak 100% sensitif pada anak < 8 tahun. Asimetri
craniofacial dinilai dari lingkar kepala, cranial indeks, dan pengukuran
antropometri.22

Peran pemeriksaan radiologis dapat dimulai dari prenatal dengan evaluasi


ultrasound sonografi untuk mendeteksi craniosynostosis in utero. Pada beberapa
pusat juga dilakukan fetal magnetic resonance imaging (MRI). Computed
Tomography (CT scan) mendai barometer yang sensitif untuk menilai fusi tulang
dibandingan foto x-ray. Teknologi terbaru CT scan 3D memberikan gambaran yang
lebih jelas dari maaing-masing sutura dan cranium keseluruhan. Evaluasi
laboratorium kadar hormon tiroid, kalsium, fosfat, alkalin fosfatase, dan vitamin D
dapat berfungsi sebagai tambahan penunjang diagnosis.23

2.6 Komplikasi

2.6.1 Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)

Peningkatan TIK merupakan komplikasi craniosynostosis yang sering terjadi.


Peningkatan TIK tergantung pada jumlah sutura yang terkena, multisultura yang
terlibat akan meningkatkan risiko terjadi peningkatan TIK. Selan itu, beberapa
faktor lain yang mempengaruhi peningkatan TIK pada craniosynostosis antara lain
sirkulasi abnormal Cerebrospinal Fluid (CSF), hidrosefalus, obstruksi saluran
napas atas, atau kongesti vena intrakranial akibat gangguan drainase vena. Dari
berbagai faktor, hambatan penyerapan CSF diketahui sebagai penyebab utama
peningkatan TIK. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan TIK yang lebih
sering terjadi pada craniosynostosis pada sutura tengah seperti sagital atau metopik,

18
dibandingkan dengan sutura coronal tunggal. Selain itu, dilatasi abnormal ruang
subarachnoid umumnya ditemukan pada anak-anak dengan craniosynostosis, dan
dapat menyebabkan beberapa gangguan pada penyerapan CSF.24

Terdapat beberapa dugaan mekanisme penyerapan abnormal CSF pada


craniosysnostosis. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa kompresi langsung
sinus superior sagital di dalam alur tulang yang abnormal, yang disebabkan oleh
fusi prematur sutura sagital dapat menyebabkan malabsorpsi CSF. Selain itu,
penelitian lain menjelaskan bahwa perubahan tulang di sepanjang sutura sagital
dapat secara langsung mengganggu penyerapan granulasi arachnoid pada
sinostosis sagital.24

Selain gangguan penyerapan CSF, obstruksi saluran napas bagian atas juga menjadi
faktor risiko peningkatan TIK. Hal ini disebabkan karena retensi karbon dioksida
selama episode obstruktif dan perubahan cerebral flow selama tidur. Oleh karena
itu, pemantauan TIK yang berkepanjangan termasuk TIK saat tidur penting untuk
membedakan obstruksi jalan napas pada pasien craniosynostosis dari etiologi
lainnya. Untuk mengelola peningkatan TIK dalam situasi ini dapat dilakukan
tekanan positif saluran nafas nokturnal atau maxillofacial advancment.25

Peningkatan TIK dapat menyebabkan berbagai masalah klinis pada pasien


craniosynostosis. Peningkatan TIK kronis pada pasien craniosynostosis dapat
menyebabkan atrofi optik dan kebutaan, dan dapat mengganggu kecerdasan.
Umumnya pasien craniosynostosis menunjukkan menifestasi klinis progresif
secara perlahan, mayoritas pasien tidakmenunjukkan tanda atau gejala dini saat
baru lahir. Gejala yang paling umum dari pasien craniosynostosis dengan TIK
meningkat adalah nyeri kepala, muntah, fontanela menonjol, dan perubahan
mental.25

2.6.2 Obstruksi Saluran Napas Atas

Untuk mencegah gangguan neurokognitif dan memaksimalkan perkembangan anak


dengan sindrom craniosynostosis, menghindari hipoksia jangka panjang
merupakan fokus penting. Pada awal masa kanak-kanak, central sleep apnea
(biasanya terkait dengan malformasi Chiari, yang menyebabkan kompresi batang

19
otak) kurang umum diidentifikasi sebagai penyebab gangguan ventilasi, dan
obstructive sleep apnea (OSA) lebih mungkin terjadi. OSA bersifat multifaktorial,
namun paling sering disebabkan oleh hipoplasia midfacial. Hipoplasia ini
mengangkat langit-langit mulut dan akan mengurangi ukuran saluran napas.
Penggunaan masker tekanan positif yang terus-menerus dan tonsilektomi
merupakan pilihan konservatif untuk kasus-kasus yang didiagnosis dengan OSA.
Di sisi lain, trakeostomi temporer menurunkan tingkat mortalitas pada sindrom
craniosynostosis yang lebih parah dan harus dipertimbangkan pada semua bayi dan
anak-anak muda yang tidak responsif terhadap terapi konservatif.26

2.6.3 Hidrosefalus pada Craniosynostosis

Hidrosefalus progresif pada craniosynostosis harus dibedakan dari


ventrikulomegali non progresif. Dilatasi ventrikel pada craniosynostosis dapat
diakibatkan oleh hidrosefalus progresif shunt-dependent atau ventrikulomegali
shunt-independent. Hidrosefalus pada craniosynostosis dapat terjadi sebagai akibat
dari penyumbatan aliran CSF atau penyerapan CSF yang terganggu, karena
keduanya terkait dengan kelainan bentuk cranium.27

2.6.4 Malformasi Chiari

Malformasi Chiari ditandai oleh herniasi ke bawah dari bagian kaudal cerebelum
dan/ atau medulla oblongata melalui foramen magnum. Malformasi Chiari terjadi
pada pasien dengan kraniosynostosis sindromik dan nonsindromik. Kejadian
malformasi Chiari sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sutura yang terlibat.
Peneliitan menunjukkan bahwa pasien dengan sinostosis tunggal lambdoid (55,6%)
atau craniosynostosis multisuture dengan melibatkan sutura lambdoid (57,1%)
lebih cenderung memiliki malformasi Chiari. Hal ini disebabkan oleh kepadatan
yang berlebihan pada fossa cranialis posterior akibat pertumbuhan normal
hindbrain dengan tulang oksipital yang tidak berkembang.28

2.6.5 Malformasi Parenkim Otak

Mutasi genetik yang menyebabkan craniosynostosi juga dapat dikaitkan dengan


fenotipe yang berbeda dari parenkim otak. Ventrikulomegali non-progresif,
agenesis corpus callosum, defek septum pellucidum dan abnormalitas kelainan

20
mesial temporal merupakan malformasi parenkim khas pada sindrom
craniosynostosis.29

2.6.6 Gangguan Perkembangan Neuropsikologis

Craniosynostosis terutama pada kasus sindromik memiliki risiko kerusakan sistem


saraf pusat dan kerusakan kognitif terkait oleh mekanisme peningkatanTIK,
hidrosefalus dan malformasi parenkim otak. Kecerdasan intelektual (IQ), anak-
anak dengan kraniosynostosis menunjukkan kecerdasan yang secara signifikan
lebih rendah (IQ rata-rata 83,1) daripada rata-rata populasi normatl (IQ rata-rata
100). Tindakan bedah tidak berperan besar dalam perkembangan neuropsikologis.
Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa intervensi bedah dapat
memperbaiki fungsi neurokognitif dan perilaku pasien dengan kraniosynostosis
meskipun mereka berusia lebih dari 4 tahun.30

2.7 Tatalaksana

2.7.1 Indikasi Bedah

Koreksi kelainan calvaria dan pencegahan disfungsi psikososial, hipertensi


intrakranial, dan keterbelakangan mental adalah indikasi untuk intervensi bedah
pada craniosynostosis. Dulu intervensi bedah craniosynostosis sederhana dilakukan
terutama karena pertimbangan kosmetik dan psikososial. Belakangan ini, tindakan
bedah disarankan lebih karena tekanan intrakranial yang meningkat serta gangguan
perkembangan.31

2.7.2 Waktu Pembedahan

Waktu optimal untuk operasi rekonstruktif craniosynostosis masih kontroversial,


karena usia dioperasi memiliki efek yang berbeda pada hemodinamik intraoperatif,
pertumbuhan kranial pasca operasi, dan perkembangan mental selanjutnya.
Berkenaan dengan hemodinamik intraoperatif, Meyer menunjukkan bahwa usia
pasien yang lebih tua (>6 bulan) dikaitkan dengan penurunan kehilangan darah.
Selain mendapat keuntungan dari penurunan kehilangan darah, bayi yang lebih tua
dapat mentolerir kehilangan darah secara ekstensif lebih baik daripada bayi yang

21
lebih muda. Dari perspektif pertumbuhan tengkorak jangka panjang, data saling
bertentangan. Pada tahun 1987, Whitaker menunjukkan bahwa seiring
bertambahnya usia bedah, kemungkinan operasi sekunder juga meningkat. Di sisi
lain, Fearon menemukan bahwa usia pasien yang lebih tua (≥12 bulan) dikaitkan
dengan pertumbuhan tengkorak yang lebih baik setelah craniosynostosis sutural
tunggal. Tidak disarankan merekonstruksi anak-anak di atas usia 12 bulan, karena
dura tidak akan meregenerasi tulang dengan mudah. Dari sudut pandang
perkembangan mental, Arnaud melaporkan bahwa mental pasca operasi secara
signifikan lebih baik saat operasi dilakukan sebelum pasien mencapai usia 12 bulan.
Meskipun masih menjadi kontroversi, sebagian besar ahli bedah melakukan
tindakan bedah antara usia 3 dan 12 bulan. Jangka waktu spesifik tergantung pada
jenis pendekatan bedah yang digunakan. Secara umum, koreksi endoskopi
dilakukan pada usia yang lebih awal, yaitu pada usia 3 sampai 4 bulan.31

2.7.3 Jenis Pembedahan

a. Koreksi Endoskopik

Untuk sinostosis coronal metopik, anak diposisikan supinasi. Satu sayatan kecil
digunakan untuk mengakses sutura yang menyatu. Burr hole lalu endoskopi untuk
memisahkan dura dari tulang di atasnya. Sutura yang menyatu lalu digunting.
Irigasi dan Gelfoam digunakan untuk hemostasis, lalu sayatan ditutup.32

Gambar 2.17 Koreksi endoskopik pada sinostosis unicoronal dextra

22
Untuk sinostosis sagital, anak diposisikan pronasi. Dua sayatan kecil digunakan di
kedua sisi sutura yang menyatu. Burr hole melalui masing-masing sutura dan
endoskopi digunakan untuk memisahkan dura sinus sagital superior dari tulang di
atasnya. Tulang yang menyatu kemudian dipotong. Gelfoam ditempatkan di atas
sinus sagital superior, dan kedua sayatan ditutup. Pasca operasi, pasien
menggunakan helm orthotic selama 7 sampai 12 bulan untuk memudahkan
perubahan pembentukan kranial yang dinamis.32

Gambar 2.18 Helm orthotic

2.7.2 Spring-Assisted Cranioplasty

Teknik ini bergantung pada akses dengan sayatan terbuka, osteotomi pada sutura
yang menyatu, penempatan omega-shaped tension springs di seluruh area
osteotomi dan penempatan compressive springs di sepanjang area kompensasi
pertumbuhan (Gambar 2.19). Spring implan biasanya dilepas 4 sampai 7 bulan
pasca operasi.33

23
Gambar 2.20 Spring-assisted pada sinostosis sagital dengan menempatkan dua
omega-shaped tension springs 1

2.7.3 Distraction osteogenesis

Metode ini mencakup insisi terbuka, osteotomi tulang pasa sutura yang menyatu,
dan penempatan internal versus external distraction devices (Gambar 2.21). Setelah
masa laten 3 sampai 5 hari, perangkat akan diaktifkan selama beberapa minggu
sampai ekspansi yang diinginkan dan kemudian dilanjutkan dengan periode
konsolidasi 2 sampai 3 minggu.34

Gambar 2.21 CT scan 3D kepala menunjukkan internal distraction devices

24
2.8 Prognosis

Pasien dengan craniosynostosis primer harus dipantau setelah operasi. Sebagian


besar pasien dengan synostosis primer dan tunggal memiliki sedikit atau tidak ada
morbiditas setelah operasi. Anak-anak dengan sinostosis tunggal berisiko tinggi
mengalami kesulitan dalam domain kognitif, bahasa, dan motor selama masa
kanak-kanak (baik sebelum dan sesudah operasi). Pada craniosynostosis sekunder,
prognosis bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Pasien dengan syndromik
craniosynostosis dapat memiliki klinis yang jauh lebih kompleks karena komplikasi
(Hidrosefalus dan obstruksi jalan nafas). Kasus ini juga berisiko tinggi mengalami
cacat intelektual, dan masalah psikososial.35

25
BAB III

KESIMPULAN

Craniosynostosis adalah sebuah kondisi kompleks yang bersifat multifaktorial.


Bukan hanya sindromik craniosynostosis, non-sindromik craniosynostosis bisa saja
menyebabkan gangguan perkembangan otak yang bisa berujung pada gangguan
belajar dan gangguan kognitif. Keuntungan dari penanggulangan craniosynostosis
dengan cepat adalah insidensi dari gangguan kognitif yang bisa dihindari. Dengan
penanggulangan berupa operasi, tentunya perlu dipersiapkan dengan matang
terutama dari segi anestesi. Manajemen preoperasi, intraoperasi, dan pasca-operasi
harus dipersiapkan. Monitoring terhadap keadaan pasien intraoperatif menjadi
masalah yang paling berat mengingat terjadinya pendarahan yang masif dan
pemilihan transfusi yang memiliki banyak efek samping. Namun, dengan persiapan
preoperatif yang matang dan monitoring Volume intravaskuler saat operasi, hasil
yang baik bisa didapat.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbott MM, Rogers GF, Proctor MR, Busa K, Meara JG: Cost of treating
sagittal synostosis in the first year of life. J Craniofac Surg 23:88–93, 2012
2. Arts S, Delye H, van Lindert EJ: Intraoperative and postoperative
complications in the surgical treatment of craniosynostosis: minimally invasive
versus open surgical procedures. J Neurosurg Pediatr 21:112–118, 2018
3. Bir SC, Ambekar S, Notarianni C, Nanda A: Odilon Marc Lannelongue (1840–
1911) and strip craniectomy for craniosynostosis. Neurosurg Focus 36(4):E16,
2014
4. Bonfield CM, Sharma J, Cochrane DD, Singhal A, Steinbok P: Minimizing
blood transfusions in the surgical correction of craniosynostosis: a 10-year
single-center experience. Childs Nerv Syst 32:143–151, 2016
5. Chan JW, Stewart CL, Stalder MW, St Hilaire H, McBride L, Moses MH:
Endoscope-assisted versus open repair of craniosynostosis: a comparison of
perioperative cost and risk. J Craniofac Surg 24:170–174, 2013
6. Di Rocco F, Arnaud E, Renier D: Evolution in the frequency of nonsyndromic
craniosynostosis. J Neurosurg Pediatr 4:21–25, 2009
7. Dvoracek LA, Skolnick GB, Nguyen DC, Naidoo SD, Smyth MD, Woo AS, et
al: Comparison of traditional versus normative cephalic index in patients with
sagittal synostosis: measure of scaphocephaly and postoperative outcome.
Plast Reconstr Surg 136:541–548, 2015
8. Farber SJ, Nguyen DC, Skolnick GB, Naidoo SD, Smyth MD, Patel KB:
Anthropometric outcome measures in patients with metopic craniosynostosis.
J Craniofac Surg 28:713–716, 2017
9. Fearon JA, McLaughlin EB, Kolar JC: Sagittal craniosynostosis: surgical
outcomes and long-term growth. Plast Reconstr Surg 117:532–541, 2006
10. Garber ST, Karsy M, Kestle JRW, Siddiqi F, Spanos SP, Riva- Cambrin J:
comparing outcomes and cost of 3 surgical treatments for sagittal synostosis: a
retrospective study including procedure-related cost analysis. Neurosurgery
81:680–687, 2017
11. Ghenbot RG, Patel KB, Skolnick GB, Naidoo SD, Smyth MD, Woo AS:

27
Effects of open and endoscopic surgery on skull growth and calvarial vault
volumes in sagittal synostosis. J Craniofac Surg 26:161–164, 2015
12. Ghosh TD, Skolnick G, Nguyen DC, Sun H, Patel K, Smyth MD, et al:
Calvarial thickness and diploic space development in children with sagittal
synostosis as assessed by computes tomography. J Craniofac Surg 25:1050–
1055, 2014
13. Gociman B, Marengo J, Ying J, Kestle JR, Siddiqi F: Minimally invasive strip
craniectomy for sagittal synostosis. J Craniofac Surg 23:825–828, 2012
14. Goodnough LT: Risks of blood transfusion. Anesthesiol Clin North America
23:241–252, v, 2005 16. Han RH, Nguyen DC, Bruck BS, Skolnick GB,
Yarbrough CK, Naidoo SD, et al: Characterization of complications associated
with open and endoscopic craniosynostosis surgery at a single institution. J
Neurosurg Pediatr 17:361–370, 2016
15. Hashim PW, Patel A, Yang JF, Travieso R, Terner J, Losee JE, et al: The
effects of whole-vault cranioplasty versus strip craniectomy on long-term
neuropsychological outcomes in sagittal craniosynostosis. Plast Reconstr Surg
134:491–501, 2014
16. Kapp-Simon KA, Speltz ML, Cunningham ML, Patel PK, Tomita T:
Neurodevelopment of children with single suture craniosynostosis: a review.
Childs Nerv Syst 23:269–281, 2007
17. Keshavarzi S, Meltzer H, Cohen SR, Breithaupt A, Ben-Haim S, Newman CB,
et al: The risk of growing skull fractures in craniofacial patients. Pediatr
Neurosurg 46:193–198, 2010
18. Kolar JC: An epidemiological study of nonsyndromal craniosynostoses. J
Craniofac Surg 22:47–49, 2011
19. Lavoie J: Blood transfusion risks and alternative strategies in pediatric patients.
Paediatr Anaesth 21:14–24, 2011
20. Le MB, Patel K, Skolnick G, Naidoo S, Smyth M, Kane A, et al: Assessing
long-term outcomes of open and endoscopic sagittal synostosis reconstruction
using three-dimensional photography. J Craniofac Surg 25:573–576, 2014
21. Lee HQ, Hutson JM, Wray AC, Lo PA, Chong DK, Holmes AD, et al:
Changing epidemiology of nonsyndromic craniosynostosis and revisiting the

28
risk factors. J Craniofac Surg 23:1245–1251, 2012
22. Liberati A, Altman DG, Tetzlaff J, Mulrow C, Gøtzsche PC, Ioannidis JP, et
al: The PRISMA statement for reporting systematic reviews and meta-analyses
of studies that evaluate health care interventions: explanation and elaboration.
PLoS Med 6:e1000100, 2009
23. Likus W, Bajor G, Gruszczyńska K, Baron J, Markowski J, Machnikowska-
Sokołowska M, et al: Cephalic index in the first three years of life: study of
children with normal brain development based on computed tomography. Sci
World J 2014:502836, 2014
24. MacKinnon S, Proctor MR, Rogers GF, Meara JG, Whitecross S, Dagi LR:
Improving ophthalmic outcomes in children with unilateral coronal synostosis
by treatment with endoscopic strip craniectomy and helmet therapy rather than
fronto-orbital advancement. J AAPOS 17:259–265, 2013
25. Mehta VA, Bettegowda C, Jallo GI, Ahn ES: The evolution of surgical
management for craniosynostosis. Neurosurg Focus 29(6):E5, 2010
26. Murray DJ, Kelleher MO, McGillivary A, Allcutt D, Earley MJ: Sagittal
synostosis: a review of 53 cases of sagittal suturectomy in one unit. J Plast
Reconstr Aesthet Surg 60:991–997, 2007
27. Nguyen DC, Patel KB, Skolnick GB, Naidoo SD, Huang AH, Smyth MD, et
al: Are endoscopic and open treatments of metopic synostosis equivalent in
treating trigonocephaly and hypotelorism? J Craniofac Surg 26:129–134, 2015
28. Rogers GF, Wood BC, Amdur RL, Jeelani Y, Reddy S, Proctor MR, et al:
Treatment type is associated with population hand preferences in patients with
unilateral coronal synostosis: implications for functional cerebral
lateralization. Plast Reconstr Surg 136:782e–788e, 2015
29. Shah MN, Kane AA, Petersen JD, Woo AS, Naidoo SD, Smyth MD:
Endoscopically assisted versus open repair of sagittal craniosynostosis: the St.
Louis Children’s Hospital experience. J Neurosurg Pediatr 8:165–170, 2011
30. Shamseer L, Moher D, Clarke M, Ghersi D, Liberati A, Petticrew M, et al:
Preferred reporting items for systematic review and meta-analysis protocols
(PRISMA-P) 2015: elaboration and explanation. BMJ 350:g7647, 2015
31. Siu A, Rogers GF, Myseros JS, Khalsa SS, Keating RF, Magge SN: Unilateral

29
coronal craniosynostosis and Down syndrome. J Neurosurg Pediatr 13:568–
571, 2014
32. Tan SP, Proctor MR, Mulliken JB, Rogers GF: Early frontofacial symmetry
after correction of unilateral coronal synostosis: frontoorbital advancement vs
endoscopic strip craniectomy and helmet therapy. J Craniofac Surg 24:1190–
1194, 2013
33. Thompson DR, Zurakowski D, Haberkern CM, Stricker PA, Meier PM,
Bannister C, et al: Endoscopic versus open repair for craniosynostosis in
infants using propensity score matching to compare outcomes: a multicenter
study from the Pediatric Craniofacial Collaborative Group. Anesth Analg
126:968–975, 2018
34. Vogel TW, Woo AS, Kane AA, Patel KB, Naidoo SD, Smyth MD: A
comparison of costs associated with endoscope-assisted craniectomy versus
open cranial vault repair for infants with sagittal synostosis. J Neurosurg
Pediatr 13:324–331, 2014
35. Yarbrough CK, Smyth MD, Holekamp TF, Ranalli NJ, Huang AH, Patel KB,
et al: Delayed synostoses of uninvolved sutures after surgical treatment of
nonsyndromic craniosynostosis. J Craniofac Surg 25:119–123, 2014

30

Anda mungkin juga menyukai