Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Oleh
karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang
sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat terganggu asupan glukosa dari sirkulasi.
Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat
menimbulkan gangguan disfungsi system saraf pusat, gangguan kognisi dan koma.
Hipogilkemia pada pasien Dibetes Melitus merupakan faktor penghambat utama dalam
mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Faktor paling
utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes
adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan.

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar
glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi karena,
Kelebihan obat/dosis obat : terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral golongan
sulfoniurea, Kebutuhan tubuh akibat insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik,
pasca persalinan, Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak
tepat, Kegiatan jasmani berlebihan. Dalam keadaan puasa dan makan, istirahat dan
aktivitas jasmani, masuknya kadar glukosa ke sirkulasi serta ambilan dari sirkulasi sangat
bervariasi. Kadar glukosa plasma yang sangat tinggi mengganggu keseimbangan air di
jaringan, menimbulkan glikosuria jaringan,sebaliknya kadar yang terlalu rendah
menyebabkan disfungsi otak, koma dan kematian. Pada individu normal yang sehat,
hipoglikemia yang sampai menimbulkan kognitif yang bermakna tidak terjadi. Karena
mekanisme homeostatis glukosa endogen berfungsi dengan efektif.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EW
Agama : Kristen
Umur : 46 tahun
Alamat : Sindulang
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Minahasa
Tanggal masuk : 14 Mei 2018
No. RM : 11-94-72

II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Pasien tidak sadar ± 3 jam SMRS
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RSAD Robert Wolter Mongisidi Manado dengan
keluhan tidak sadar ± 3 jam SMRS. Sebelum tidak sadar, pasien banyak
berbicara tapi tidak jelas. Nafsu makan pasien menurun sejak ± 1 minggu
SMRS. Pasien juga sempat mengeluh pusing dan lemas sebelum tidak sadar.
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki sakit gula sejak lama dan
minum obat Glibenclamid 5 mg 1x1. BAB dan BAK biasa
c. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit hipertensi, jantung, ginjal, kolesterol disangkal.
d. Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit seperti ini dalam keluarga disangkal.
e. Riwayat kebiasaan :
Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran (GCS) : E2V2M4
 Tekanan darah : 110/80 mmHg
 Nadi :120 x/menit, reguler
 Respirasi : 24 x/menit, SpO2 99%
 Suhu : 38,00 C
 Berat badan : 42 kg

Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat isokor ᴓ 3mm/3mm, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Cor :
 Inspeksi : IC tidak tampak
 Palpasi : IC tidak kuat angkat
 Perkusi : Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri; ICS IV linea midclavikularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, murmur (-)
gallop (-)
Pulmo :
 Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
 Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
 Perkusi : Sonor kanan=kiri
 Auskultasi : Suara napas vesikuler (ka=ki), ronki(-/-), wheezing(-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak membesar
 Perkusi : Tympani

3
 Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
Ekstremitas :
 Akral hangat, CRT < 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (14/5/2018)
Hematologi Hasil Nilai rujukan Satuan
Leukosit 25,79 3.8-10.6 10^3/uL
Eritrosit 4,14 4.4-5.9 10^6/uL
Hemoglobin 11.7 13.2-17.3 g/dL
Hematokrit 33,2 40-52 %
MCV 80,2 80-100 fL
MCH 28,3 26-34 Pg
MCHC 35,2 32-36 g/dL
Trombosit 228 150-440 10^3/uL
Gula Darah Sewaktu 26 70-140 mg/dl

V. DIAGNOSIS KERJA
 Penurunan Kesadaran e.c. Hipoglikemia

VI. RESUME
Seorang pasien perempuan, 46 tahun datang ke IGD RSAD Robert Wolter
Mongisidi Manado dengan tidak sadar ± 3 jam SMRS. Sebelum tidak sadar,
pasien banyak berbicara tapi tidak jelas. Nafsu makan pasien menurun sejak ± 1
minggu SMRS. Pasien juga sempat mengeluh pusing dan lemas sebelum tidak
sadar. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki sakit gula sejak lama
dan minum obat Glibenclamid 5 mg 1x1. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 120 x/m,
respirasi 24x/m, suhu badan 38,0oC, SpO2 99%. Kesadaran didapatkan total
Glasgow coma scale (GCS) = 8, E=2 (Mata terbuka dengan rangsangan nyeri),

4
M=4 (Reaksi Menghindar), V=2 (Hanya Mengerang). Pemeriksaan Gula Darah
Sewaktu 26 mg/dl.
VII. TATALAKSANA
− O2 2-4 liter/menit
− Bolus D40% 2 flakon
− IVFD D10% 20gtt/menit
− Ceftriaxone injeksi 2x1gr (IV)
− Ranitidine injeksi 2x1 ampul (IV)
− Observasi GDS
− Konsul DPJP dr. Harlinda Haroen, SpPD-KHOM
Advice : MRS

5
VIII. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
15/5/2018 Kesadaran Compos TD :100/60 mmhg Post penurunan IVFD D10% 500 cc 20
(20.10) Mentis S : 36,0 C kesadaran ec gtt/mnt
Muntah (-) RR : 22 x/mnt Hipoglikemia Ceftriaxone 1x2gr (H2)
Nafsu makan N : 108 x/mnt Ranitidine 2x50mg IV
menurun (+) SpO2 97% Cek GD/jam, bila
GDS: 150 mg/dl GD>200 ganti dengan
D5% 500 cc 20 gtt/mnt
Na:126 mmol/L
K: 4,0 mmol/L
Cl: 94 mmol/L
16/5/2018 Kesadaran Compos TD:90/60mmhg Post penurunan IVFD D5% 500 cc 20
(06.00) Mentis S : 37,5C kesadaran ec gtt/mnt
Muntah (-) RR : 20 x/mnt Hipoglikemia Ceftriaxone 1x2gr (H3)
Nafsu makan N : 116x/mnt Ranitidine 2x50mg IV
menurun (+) SpO2 96% PCT 3x500 mg PO
GDS: GD/3 jam
06.00 96 mg/dl
09.00 116 mg/dl
12.00 171 mg/dl
15.00 202 mg/dl
18.00 185 mg/dl
21.00 207 mg/dl
00.00 168 mg/dl
17/5/2018 Kesadaran Compos TD:110/70mmhg Post penurunan Aff infus
(06.00) Mentis S : 37,2C kesadaran ec Pro pemasangan venflon
Muntah (-) RR : 20 x/mnt Hipoglikemia Terapi lanjutkan
Nafsu makan N : 120x/mnt Pantau GDS 6 porsi
menurun (+) SpO2 96%
GDS: 191 mg/dl

6
BAB III

PEMBAHASAN

Seorang pasien perempuan, 46 tahun datang ke IGD RSAD Robert Wolter


Mongisidi Manado dengan tidak sadar ± 3 jam SMRS. Sebelum tidak sadar, pasien
banyak berbicara tapi tidak jelas. Nafsu makan pasien menurun sejak ± 1 minggu SMRS.
Pasien juga sempat mengeluh pusing dan lemas sebelum tidak sadar. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien memiliki sakit gula sejak lama dan minum obat Glibenclamid
5 mg 1x1. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 120 x/m, respirasi 24x/m, suhu badan 38,0oC, SpO2
98%. Kesadaran didapatkan total Glasgow coma scale (GCS) = 8, E=2 (Mata terbuka
dengan rangsangan nyeri), M=4 (Reaksi Menghindar), V=2 (Hanya Mengerang).
Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu 26 mg/dl.

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar
glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut
dari DM tipe 2. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan
oleh penggunaan sulfonylurea dan insulin. Hipoglikemia yang disebabkan oleh
sulfoniurea dapat berlangsung lama,sehingga harus diawasi sampai seluruh obat dieksresi
dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang dibutuhkan waktu yang lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atu lebih) terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik
atau yang mendapatkan terapi OHO jangka panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari,mengingat damapkanya yang fatal atau akan
terjadinya kemunduran mental yang bermakna pada pasien. Perbaikan DM pada pasien
lanjut usia memerlukan waktu yang lebih lama dan pengawasan yang lebih lama.

Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:


− Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
− Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli
gizi

7
− Berolahraga terlalu berat
− Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
− Minum alcohol
− Stress
− Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila


penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
− Dosis insulin yang berlebihan
− Saat pemberian yang tidak tepat
− Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan
Sesuai dengan teori dimana keluhan dan gejala hipoglikemia didapatkan berdasarkan
ketergantungan saraf terhadap asupan glukosa. Gangguan asupan glukosa yang
berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat,dengan
gejala kognisi ,bingung dan koma.

Tabel 1. Keluhan dan Gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien
diabetes
Otonomik Neuroglikopenik Malaise
Berkeringat Bingung Mual
Jantung berdebar Mengantuk Muntah
Tremor Sulit berbicara
Lapar Inkordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi

8
Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan
sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap
hipoglikemia adalah peningkatan sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan
produksi glukosa di hepar dengan memacu glikogenolisis. Pertahanan fisiologis yang
ketiga terhadap hipoglikemia adalah peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar.
Sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak cukup untuk meningkatkan kadar gula
darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar meningkatkan kadar gula darah dengan cara
stimulasi hepar dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa
oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat
dan asam amino dari otot, dan gliserol dari jaringan lemak). Sekresi insulin dan glukagon
dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam pulau Langerhans di pankreas.
Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung
oleh sistem saraf pusat. Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya
hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal
yang lebih hebat yang menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia
menyadari keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi
karbohidrat.
Pada awalnya tubuh akan memberikan respon terhadap rendahnya kadar gul darah
dengan melepaskan epinefrin ( adrenalin ) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf.
Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan
gejala berkeringat, kegelisahan, gemetaran,pingsan, jantung berdebar-debar dan sering
merasa lapar. Hipoglikemia yang berat dapat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak
yang menyebabkan pusing, bingung,lelah, lemas, sakit kepala, gangguan penglihatan,
kejang dan koma. Hipoglikemia yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan
otak yang permanen. Gejala-gejala ini paling sering terjadi pada pasien yang memakai
insulin atau obat hipoglikemia.

9
Dari anamnesis terhadap keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki
sakit gula sejak lama dan minum obat Glibenclamid 5 mg. Sesuai dengan teori, diketahui
bahwa obat glimepirid yang dikonsumsi pasien merupakan obat yang hiperglikemik oral
golongan sulfonylurea yang mempunyai efek samping hipoglikemia.
Golongan Sulfonilurea merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu
ditemukan. Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat
hipoglikemik oral merupakan golongan sulfonilurea. Senyawa-senyawa sulfonylurea
sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat
kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu
hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pancreas masih dapat berproduksi. Penurunan
kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat perangsangan
ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau
kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini
masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan
sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada
penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar pancreas, pemberian obat-obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonylurea
menghambat degradasi insulin oleh hati. Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui
usus cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini tersebar
ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada protein plasma terutama
albumin (70-90%). Efek Samping (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000) Efek
samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan
saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.
Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan
anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila
dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau

10
ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat
hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO
dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan
biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang
memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat
hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga
kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan
bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang
sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri. hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian terapi obat hipoglikemia oral adalah :

1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi
obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.
Pada pasien diterapi dengan O2 2-4 liter/menit, bolus D40% 2 flakon,
maintenance D10% 20gtt/menit, Ranitidin injeksi 2x50mg IV, observasi GDS. Sesuai
dengan teori pada Stadium permulaan (sadar) terapi yang diberikan adalah :

- Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gule diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
- Hentikan obat hipoglikemik sementara
- Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
- Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
- Cari penyebab

11
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) :

1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer :
- Bila GDs <50 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40% :
- Bila GDs <50 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
- Bila GDs 100 – 200 mg/dL maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
- Bila GDs > 200 mg/dL maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dekstrosa 10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan
mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
6. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4
jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan
mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
7. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut turut, sliding scale setiap 6 jam :
GD RI
(mg/dl) (unit, subkutan)
<200 0
200-500 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

8. bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin,


seperti : adrenalin,kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila
penyebabnya insulin)

12
9. bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam dan
dimonitor 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab penurunan kesadaran
menurun.

Prognosis pada pasien tergantung dari penyebab utama suatu penyakit dibanding
dari dalamnya suatu koma (penurunan kesadaran). Koma pada pasien gangguan
metabolik dapat segera dipulihkan dengan menghilangkan gangguan tersebut. Untuk
pasien ini dapat dilaksanakan dengan pemberian glukosa cair kedalam tubuh untuk
meningkatkan kadar glukosa pasien, semakin cepat penanganan koma pada pasien ini
maka kemungkinan kerusakan otak dapat dihindari. Dengan penanganan kadar
gloksa darah dan tekanan darah yang baik,komplikasi diabetes dapat dicegah.

13
BAB IV
PENUTUP

Pencegahan hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 yaitu pemantauan kadar glukosa


darah yang ketat perlu dilakukan untuk menetukan penatalaksanaan yang efisien dan
efektif. Setelah kejadian hipoglikemia teratasi harus segera dicari tahu penyebabnya
serta dilakukan penyesuaian dosis OHO atau insulin,atau bila perlu ganti obat-obat
yang lebih aman dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Pasien dan keluarganya
diberikan edukasi cara-cara pengenalan dan penanggulangan hipoglikemia,
pengaturan makan dan dosis OHO atau insulin.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 2007.
2. PERKENI. Konsensus pengendalian dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe2
di Indonesia. Jakarta ;2011
3. American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes
Mellitus Clinical Practice Guidelines Task Force. AACE Medical guidelines
for clinical practice for the management of diabetes mellitus. Endo Pract.
2007;13(Supl 1).
4. American Diabetes Association. ADA position statement : standard of
medical care in diabetes-2006. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42.
5. American Association of Clinical Endocrinologists and American College of
Endocrinology. The American Association of Clinical Endocrinologists
medical guidelines for the management of Diabetes Mellitus: the AACE
system of intensive diabetes self-management-2002 Update. Endo Practice.
2002;8(suppl. 1):40-82.
6. Asia-Pasific Type 2 Diabetes Policy Group Type 2 Diabetes Practical
Target Treatments. Health Communication Australia. 2002.

15

Anda mungkin juga menyukai