Oleh :
Malla Nova Layuk / 0710120
Pembimbing :
dr. Rimonta F. Gunanegara, Sp.OG
TABEL HALAMAN
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan .....................................10
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis ..........................................12
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis .................................................................13
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi ...............................................................58
2.3.2 Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley
(1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan
tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam
melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria
dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada
kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium
yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi
meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan
secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri
epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.5
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan
fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan
janin yang nyata.5
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.5
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.5
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan
darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah
mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan
darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri
kepala berat yang persisten atau gangguan visual.5
2.4 Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit
hitam memiliki prevalensi yang lebih besar terhadap hipertensi kronis.
Diantara wanita yang berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis terdapat pada
22,3% wanita kulit hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2% pada wanita
Amerika Meksiko.4,5,7
Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18
tahun atau > 35 tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada
wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan
frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.4,5,7,10
Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat
menyebabkan berbagai hal yang merugikan, ironisnya merokok
telah dihubungkan secara konsisten dengan risiko hipertensi yang
menurun selama kehamilan. Placenta previa juga telah dilaporkan
dapat mengurangi risiko gangguan-gangguan hipertensi pada
kehamilan. 5
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena
sebagian besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang
cukup. Misalnya, pada edisi 13 Williams Obstetrics (1976) selama periode
25 tahun sebelumnya luas pengaruh dari eklamsi di Parkland Hospital
adalah 7 dalam 799 kelahiran. Selama periode 4 tahun dari tahun 1983
sampai 1986, telah menurun menjadi 1 dalam 1150 kelahiran, dan selama
periode 3 tahun yang berakhir pada tahun 1999, luasnya pengaruh eklamsi
menurun kira-kira menjadi 1 dalam 1750 kelahiran (Alexander dan kawan-
kawan, 2004). Dalam National Vital Statistics Report, Ventura dan kawan-
kawan (2000) memperkirakan bahwa terjadinya eklamsi di Amerika
Serikat pada tahun 1998 adalah sekitar 1 dalam 3250 kelahiran. Di Inggris
pada tahun 1992, Douglas dan Redman (1994) melaporkan bahwa
terjadinya eklamsi adalah 1 dalam 2000 kelahiran.5
2.6 Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi
preeklamsi harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang
disebabkan oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita
yang :
1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.
2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola
hidatidosa.
3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.
4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang
berkembang selama kehamilan.5
Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat
pada tahun 2200 Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999).
Dengan demikian tidaklah heran bahwa sejumlah mekanisme telah
dikemukakan untuk menerangkan penyebabnya. Menurut Sibai (2003),
sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah
sebagai berikut :
1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi
dari kehamilan normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.5
Faktor genetik,
Imunologi,
atau, Inflamasi
Penurunan
Perfusi
Uteroplasenta
Kebocoran Aktivasi
Vasospasme
kapiler koagulasi
Iskemia
Hipertensi oliguria Edema Proteinuria
hepar
Trombositopenia
Kejang Solusio Hemokonsentrasi
2.7 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti,
preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu
vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti
insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta
difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal
trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa
pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat
mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita
hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif
seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi
menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini
merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi
tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi
vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam
kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan
volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi
meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun,
menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh
darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal
yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi
terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas
menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi
susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi.
Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat
bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema
non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi.
Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya
akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini
menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-
reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan
janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,7
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah
sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada
usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke
III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi
vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,7
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek
penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah
dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun
yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya
sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau
vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral,
perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada
kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat
konvulsi.4,5,7,19
2. Infus Angiotensin II
Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus
Angiotensin. Tes ini dikerjakan pada kehamilan 28-32 minggu, dengan
memberikan Angiotensin II per infus >8 ng/kgbb/menit menghasilkan
respons tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan,
sedangkan yang mendapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan
tekanan diastolik 20 mmHg, 90% akan terjadi hipertensi dalam
kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit dan memakan waktu sehingga
tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan.19
2. Kadar Kalsium
Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan
fungsi ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut
terjadi beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini
terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan
bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan
mikroalbuminuria dan hipokalsiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan
tes radioimunologik.19
2.8.1.5 Ultrasonografi
Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai
alat penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan
perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang
kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah
besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada wanita penderita
hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang arteri
umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah, hilang
atau terbalik.19
Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil
mendapatkan 43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio
yang abnormal, dan mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri
uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai
prediktif positif pada penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain,
Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta
letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak
sentral. 19
Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG
real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri
uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih
rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak
sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang
lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang
merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya
hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.19
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan
wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan,
tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda. 19
2.9 Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan
terhadap terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi
terhadap strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara
klinis.5
2.9.1 Pencegahan preeklamsi
1. Manipulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia
adalah pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki,
pembatasan garam tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan
Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif
dalam mencegah preeklamsia pada 361 wanita.5
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis
menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal
menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah dan
insidensi preeklamsia.5,8
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka
memperbaiki gangguan keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi
eklamsia tidaklah efektif.5
Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan
tujuan untuk menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat
(Calcium-CLA) dalam menurunkan insidensi disfungsi endotel
vaskular pada wanita hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA menurunkan
kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi
endotel.5,8
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi
lipid yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang
dilakukan oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka
menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan
preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap
stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada
penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat
menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan
preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C
sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia
kehamilan 16 – 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi
preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian sebelum
menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara
klinis.13
4. Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan
antara asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi.
Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah
disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian
Cochrane, diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak
dibutuhkan pada nulipara. Walaupun demikian, mungkin
pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk
kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada
kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi
berat.6
5. N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti
radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan
dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang
diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian
obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah
mencoba menggunakan obat ini.6
2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan
persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat
terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang
atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik.15
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk
dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan
janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa
memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila
terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat
janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu.
Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi
kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan
keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka
pendek dan jangka panjang.5,15,20
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara
konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena
hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini
dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas
3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan
usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus
memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan
preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi.
Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi
berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang
menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan <
23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi
kehamilan.15
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi
berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti
ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium
sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah
dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan
diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan
mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang
lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg.
Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126
mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik
< 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial
pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah
hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila
perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut
hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu
mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual,
labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan
tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin,
beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi
preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan
hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan
efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada
hidralazin.20
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol
hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang
kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan.
Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian
hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post
partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama
masih diperlukan.5,7,15,20
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125
ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare,
diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan
hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan
pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga
pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan
secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan
ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan
intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak
dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga
meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.20
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal
dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan
utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade
simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena
blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi
plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa
dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme
dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat.
Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan
bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-
tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema
pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional
dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada
wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan
pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat
menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada
keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan
selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan,
tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.4,5,15,20
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan ≥ 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.9
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral maupun intra vena.15
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan
non selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut
pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan
labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol
menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal,
tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif.
Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum
turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10
menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan
sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan
darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20
menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara
intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter.
Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh
ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.15
4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-
2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa.
Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer
lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri,
sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang.
Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik
untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali
sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam
setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6
jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural.
Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia
hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.3,5,15
5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental
0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60
mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output
menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat
menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian
kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang
mempelajari klonidin seperti metil dopa.15
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat
melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada
wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam
30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada
efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker.15
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi
vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena
dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek
samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum
dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat
diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis
asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9,15
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor
poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini
juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan
menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini
seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13
OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 15
2.10.7 Efek Samping Obat
Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan
disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan
anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner,
pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada
tulang tengkorak.15
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan
dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang
tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena
beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena
ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari
patofisiologi ibu atau efek dari obat.15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal
seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi,
hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu
pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan
produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat
plasma yang rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.15
BAB III
KESIMPULAN