Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
Luka bakar merupakan bentuk umum dari trauma. Sebagian luka bakar
terjadi akibat kecelakaan murni, tetapi sebagian besar disebabkan oleh kelalaian
atau kurangnya perhatian, kondisi medis yang sudah ada (kondisi yang
menyebabkan pasien kolaps), atau penderita penyalahgunaan alkohol dan
narkoba. Pada tabel 2.1 dan 2.2 berikut mencantumkan penyebab luka bakar pada
anak-anak dan dewasa yang dirawat di unit luka bakar di Australia dan Selandia
Baru pada tahun 2009-2010 (Australia and New Zealand Burn Association, 2016).
Tabel 2.1 Penyebab Luka Bakar pada Anak (%) (Australia and New Zealand
Burn Association, 2016)
Tabel 2.2 Penyebab Luka Bakar pada Dewasa (%) (Australia and New Zealand
Burn Association, 2016)
Api 44%
Air panas 28%
Kontak 13%
Kimia 5%
Gesekan 5%
Listrik 2%
Lainnya 3%
2.3 Klasifikasi
Trauma inhalasi (Cedera inhalasi) atau yang sebelumnya dikenal sebagai
luka bakar saluran napas, biasanya berhubungan dengan luka bakar pada daerah
kepala dan leher. Sebanyak 45% pasien dengan luka bakar daerah wajah
mengalami trauma inhalasi. Berdasarkan Australia and New Zealand Burn
Association (2016), trauma inhalasi dapat diklasifikasikan secara luas berdasarkan
lokasi cedera:
1. Cedera jalan napas di atas larynx (edema/obstruksi)
2. Cedera jalan napas di bawah larynx (cedera saluran napas dan
parenkim paru)
3. Keracunan sistemik (hipoksia sel).
Pasien mungkin memiliki satu tipe cedera atau kombiinasi dari tipe cedera
tersebut.
2.4 Patofisiologi
Faktor-faktor patofisiologis yang berkontribusi terhadap pertukaran udara
yang terganggu dalam trauma inhalasi adalah sebagai berikut (Jones et al., 2017).
Obstruksi, dikarenakan oleh:
o Bronkokonstriksi
o Produksi mucus
o Cast formation (pembentukan gumpalan/bekuan lendir di jalan
napas)
Disfungsi dan pirau (shunting) alveolar, dikarenakan:
o Destruksi alveolar emphysematous
o Atelektasis / kolaps alveolar
Cairan alveolar
o Edema paru non-kardiak / pneumonitis kimia
o Pneumonia bakterial sekunder.
Tingkat kerusakan tubuh akibat cedera inhalasi tergantung pada lingkungan dan
kondisi individu, meliputi sumber cedera, temperatur, lama paparan, konsentrasi
2
dan kelarutan gas beracun yang dihasilkan, dan respons terhadap cedera tersebut
oleh individu (Jones et al., 2017).
Cedera ini disebabkan oleh luka bakar panas karena inhalasi udara panas.
Saluran napas atas memiliki kemampuan yang cukup untuk mengkonduksi panas
menjauh dari saluran sehingga hanya paparan panas yang ekstrem yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada saluran napas bagian bawah. Karena itu, cedera
panas jalan atas kemungkinan terjadi pada korban yang terperangkap di ruang
tertutup dengan api yang memproduksi udara panas, dimana tidak ada alternatif
lain selain menghirup udara tersebut. Hal ini dapat juga terjadi di situasi yang mirip
dimana pasien terperangkap di ruangan yang dipenuhi uap panas (Australia and
New Zealand Burn Association, 2016).
Cedera panas pada jalan napas atas identikal dengan patofisiologi pada
cedera panas di kulit, dimana kerusakan berbanding lurus dengan paparan.
Mediator inflamasi dapat menyebabkan edema jaringan yang berujung pada
obstruksi awal, dan hilangnya fungsi proteksi mukosa di kemudian hari (Jones et
al., 2017).
Obstruksi jalan napas dapat terjadi akibat edema jaringan lunak pada jalan
napas dan/atau dari jaringan sekitar jalan napas di atas laring. Luka bakar pada
kulit leher dapat mengeksaserbasi obstruksi karena edema di luar jalan napas, dan
paling mungkin terjadi pada anak-anak yang relatif memiliki jalan napas yang
sempit dan leher pendek dengan jaringan lunak yang dapat terdistorsi oleh edema.
Risiko ini dapat tetap ada melebihi waktu maksimum edema luka (antara 12 dan
36 jam) (Herndon, 2018).
Selain itu, luka bakar yang melibatkan lebih dari 20% TBSA (total body
surface area) dapat menyebabkan respons inflamasi sistemik, meski tidak ada
cedera langsung pada jaringan jalan napas. Mukosa jalan napas dapat menjadi
edema, terutama bila cairan dalam jumlah besar diperlukan untuk resusitasi
(Australia and New Zealand Burn Association, 2016; Herndon, 2018).
3
2.4.2. Cedera Jalan Napas di Bawah Larynx (Cedera Jalan Napas dan
Parenkim Paru)
Asam dan alkali diproduksi saat senyawa-senyawa di atas larut dalam air
yang ada pada jalan napas dan alveoli, yang kemudian menyebabkan luka bakar
kimia pada jaringan saluran napas bawah (Australia and New Zealand Burn
Association, 2016). Sebagai tambahan, partikel jelaga dengan ukuran kurang dari
1 mikrometer ter-aerosolisasi dan berjalan hingga dalam ke paru-paru (Gambar
2.1) (Costa et al., 2016). Partikel ini memiliki kimia iritan yang serupa dan dapat
menyebabkan kerusakan pada alveolus. Pada saat kontak dengan mukosa jalan
napas distal dan parenkim paru, senyawa ini menginisiasi produksi mediator
inflamasi dan spesies oksigen reaktif, mengakibatkan edema, peluruhan mukosa
trakeo-bronkial. Gumpalan lendir yang mengeras (cast) dapat terbentuk dan
sebabkan obstruksi jalan napas distal (Herndon, 2018).
4
Gambar 2.1 Ilustrasi pengaruh ukuran partikel yang terinhalasi terhadap
deposisi pulmoner (Costa et al., 2016)
5
Selain ikatannya yang kuat dengan Hb, CO juga berikatan dengan afinitas
tinggi pada senyawa lain yang mengandung heme, yang terpenting pada sitokrom
intraselular. Disfungsi selular yang diakibatkannya merupakan komponen utama
toksisitas CO. Ensefalopati pasca-keracunan merupakan komplikasi keracunan
CO yang potensial terjadi. Mekanisme pastinya belum diketahui dan mungkin
disebabkan oleh perioksidasi lemak serebral. CO juga mungkin memiliki efek
toksik langsung (Australia and New Zealand Burn Association, 2016).
Pada keracunan CO, indikator hipoksia yang biasa terjadi adalah (Jones et
al., 2017):
Oleh sebab itu, pasien dengan penurunan kesadaran setelah cedera luka bakar
dianggap mempunyai keracunan CO sampai dibuktikan sebaliknya (Australia and
New Zealand Burn Association, 2016).
6
DAFTAR PUSTAKA
Australia and New Zealand Burn Association, 2016. Buku Manual Emergency
Managemen of Severe Burns (EMSB), 18th ed. Australia and New Zealand
Burn Association Limited, Queensland.
Costa, A., Pinheiro, M., Magalhães, J., Ribeiro, R., Seabra, V., Reis, S., Sarmento,
B., 2016. The formulation of nanomedicines for treating tuberculosis. Adv.
Drug Deliv. Rev. 102, 102–115. https://doi.org/10.1016/j.addr.2016.04.012
Herndon, D.N. (Ed.), 2018. Total burn care, Fifth edition. ed. Elsevier, Edinburgh.
Jones, S.W., Williams, F.N., Cairns, B.A., Cartotto, R., 2017. INHALATION
INJURY: Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment. Clin. Plast. Surg. 44,
505–511. https://doi.org/10.1016/j.cps.2017.02.009