Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia yang memegang peranan penting dalam
setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah “Pancasila sebagai
suatu sistem etika”. Di dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu
negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah, sopan santun, dll.

Pancasila adalah suatu kesatuan yang majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat berdiri
sendiri terlepas dari sila lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan.
Inti dan isi Pancasila adalah manusia monopluralis yang memiliki unsur-unsur susunan
kodrat (jasmani rohani), sifat kodrat (individu-makhluk sosial), kedudukan kodrat sebagai
pribadi berdiri sendiri, yaitu makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila merupakan
penjelmaan hakekat manusia monopluralis sebagai kesatuan Pancasila memegang
peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia
dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab didunia .Kecenderungan
menganggap acuh dan sepele akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan dan
di tinggalkan, karena pancasila wajib diamalkan oleh warga Negara Indonesia. Alasan lain
karena bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang
susah dan gampang untuk dilakukan, karena etika berasal dari tingkah laku, perkataan,
perbuatan, serta hati nurani kita masing-masing.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa maksud dari Pancasila sebagai Sistem Etika?
b. Bagaimana pemahaman konsep dan teori dari etika?
c. Apa yang dimaksud dengan Nilai, Norma, dan Moral yang terdapat dalam etika?
d. Apa yang dimaksud dengan Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praktis?
e. Bagaimana hubungan Nilai, Norma, dan Moral?
f. Bagaimana dinamika dan tantangan pancasila sebagai sistem etika?

1
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila yang diberikan oleh Dosen Pembimbing.
b. Untuk mengetahui lebih dalam maksud dari Pancasila sebagai Sistem Etika.
c. Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai Pancasila sebagi Sistem Etika

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika

Pengertian Etika adalah suatu norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam
berperilaku di masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk.

Ada juga yang menyebutkan pengertian etika adalah suatu ilmu tentang kesusilaan dan perilaku
manusia di dalam pergaulannya dengan sesama yang menyangkut prinsip dan aturan tentang
tingkah laku yang benar. Dengan kata lain, etika adalah kewaijban dan tanggungjawab moral
setiap orang dalam berperilaku di masyarakat.

Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “Ethikos” yang artinya
timbul dari suatu kebiasaan. Dalam hal ini etika memiliki sudut pandang normatif dimana
objeknya adalah manusia dan perbuatannya.

Pengertian Etika Menurut Para Ahli

Agar kita lebih memahami apa arti etika, maka kita dapat merujuk pada pendapat para ahli.
Berikut ini adalah pengertian etika menurut para ahli:

1. Soergarda Poerbakawatja

Menurut Soergarda Poerbakawatja, pengertian etika adalah suatu ilmu yang memberikan
arahan, acuan, serta pijakan kepada suatu tindakan manusia.

2. H. A. Mustafa

Menurut H. A. Mustafa, pengertian etika adalah ilmu yang menyelidiki terhadap suatu perilaku
yang baik dan yang buruk dengan memerhatikan perbuatan manusia sejauh apa yang diketahui
oleh akan serta pikiran manusia.

3. K. Bertens

Menurut K. Bertens, definisi etika adalah nilai dan norma moral yang menjadi suatu acuan bagi
umat manusia secara baik secara individual atau kelompok dalam mengatur semua tingkah
lakunya.

3
4. DR. James J. Spillane SJ

Menurut DR. James, etika adalah memperhatikan suatu tingkah laku manusia di dalam
mengambil keputusan yang berhubungan dengan moral. Etika lebih mengarah ke penggunaan
akal budi dengan objektivitas guna menentukan benar atau salahnya serta tingkah laku
seseorang terhadap lainnya.

5. Drs. H. Burhanudin Salam

Menurut Drs. H. Burhanudin Salam, etika adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang
membicarakan perihal suatu nilai-nilai serta norma yang dapat menentukan suatu perilaku
manusia ke dalam kehidupannya.

6. W. J. S. Poerwadarminto

Menurut Poerwadarminto, arti etika adalah ilmu pengetahuan tentang suatu perilaku atau
perbuatan manusia yang dilihat dari sisi baik dan buruknya yang sejauh mana dapat ditentukan
oleh akal manusia.

2.2 Kelompok Etika

Kelompok etika dibedakan menjadi dua, yaitu kelompok etika umum dan kelompok etika
khusus.

1. Etika Umum

Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk
bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.

2. Etika Khusus

Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya
olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi
(wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya). Kemudian etika khusus ini dibagi lagi
menjadi etika individual dan etika sosial.

4
a. Etika Individu

Etika individual ini adalah etika yang berkaitan dengan kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri, misalnya:

1) Memelihara kesehatan dan kesucian lahiriah dan batiniah.

2) Memelihara kerapian diri, kamar, tempat tingggal, dan lainnya.

3) Berlaku tenang

4) Meningkatkan ilmu pengetahuan.

5) Membina kedisiplinan , dan lainnya.

b. Etika sosial

Etika social adalah etika yang membahas tentang kewajiban, sikap, dan pola perilaku
manusia sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini menyangkut hubungan
manusia dengan manusia, baik secara individu maupun dalam kelembagaan (organisasi,
profesi, keluarga, negara, dan lainnya).Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi
tertentu disebut kode etika atau kode etik.

2.3 Pengertian Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Karakter Bangsa

Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai
keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentanan dengan nilai-
nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila, meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup
dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun
sebenarnya juga nilai-nilai yang bersifat universal dapat diterima oleh siapa pun dan kapan
pun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia.

Pertama, Nilai Ketuhanan: Secara hierarkis, nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi
karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini
(nilai ketuhanan). Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai,
kaidah, dan hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap

5
perbuatan yang melanggar nilai, kaidah, dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan
hubungan kasih sayang antarsesama, akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Dari nilai
ketuhanan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. (Ngadino Surip, dkk, 2015:
180)

Kedua, Nilai Kemanusiaan: Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban.
Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan
sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan.
Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain seperti
hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu, suatu perbuatan dikatakan baik apabila
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Dari nilai kemanusiaan menghasilkan nilai kesusilaan contohnya seperti tolong menolong,
penghargaan, penghormatan, kerja sama, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 180)

Ketiga, Nilai Persatuan: Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan
dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan yang tidak baik, demikian
pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan
mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut
dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan
merupakan perbuatan baik. Dari nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air,
pengorbanan, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 180)

Keempat, Nilai Kerakyatan: Dalam kaitan dengan kerakyatan ini, terkandung nilai lain yang
sangat penting, yaitu nilai hikmat atau kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat atau
kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas
nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibandingkan dengan
pandangan mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya pada peristiwa penghapusan tujuh
kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata
tersebut, namun memerhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara
argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas
pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui atau
bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang

6
didasarkan pada konsep hikmah atau kebijaksanaan. Dari nilai kerakyatan menghasilkan nilai
menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)

Kelima, Nilai Keadilan: Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut
dilihat dalam konteks manusia peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam
Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memerhatikan
kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa
diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan mayoritas. Dengan
demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui atau bermanfaat untuk orang banyak,
namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah
atau kebijaksanaan. Dari nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan,
kesetaraan, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)

Kelima, Nilai Keadilan: Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut
dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih
diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbutan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip
keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan
utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner
yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain. Dari nilai ini dikembangkanlah perbuatan
yang luhur mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu
dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
serta menghormati hak-hak orang lain. Dari nilai keadilan juga menghasilkan nilai kepedulian,
kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem
etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis
dan aplikatif. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita
bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai Pancasila
apabila benar-benar dipahami, dihayati dan diamalkan, tentu mampu menurunkan angka kasus
korupsi.

Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila bangsa Indonesia
menyadari jati dirinya sebagai makhluk Allah, tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat
dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi. Kebahagiaan material dianggap segala-

7
galanya dibandingkan dengan kebahagiaan spritual yang lebih agung, mendalam dan jangka
panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-
nilai agama dikesampingkan. Buah dari penanaman dan penghayatan nilai ketuhanan ini adalah
kerelaan untuk diatur Allah, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan larangan-Nya.
(Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 182)

Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks Pancasila,
karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan
nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan dijadikan landasan moril dan diejawantahkan dalam seluruh
lehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan
media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung
oleh pendidikan formal di sekolah dan nonformal di masyarakat. Media harus memiliki visi
dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju, namun tetap
berkepribadian Indonesia. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 183)

Aktualisasi Pancasila Sebagai Etika dalam Kehidupan Bernegara :Etika berkaitan dengan
norma moral, yaitu norma yang mengukur betul-salahnya tindakan manusia sebagai manusia.

Pertama, Etika Sosial dan Budaya ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan
menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling
mencintai, dan saling menolong di antara manusi dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, perlu
menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang
bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu
ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus di wujudkan dalam perilaku
para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat. Etika ini
dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali kehidupan berbangsa yang
berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai, dan mengembangkan budaya nasional yang
bersumber dari budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain,
dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015:
201)

8
Kedua, Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bericirikn
keterbukaan, rasa tanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur
dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar; serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk
bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara
moral kebijakkannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini
diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak
berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik,
tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. (Ibid, Ngadino Surip dkk,
2015: 202)

Ketiga, Etika Ekonomi dan Bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis,
baik oleh perorangan, institusi, maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat
melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yan bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan,
mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing,
dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat
kecil melalui kebijakan secara berkesinambugan. (Ibid, Ngadino Surip dkk, 2015: 203)

Keempat, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan


kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat
diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada
keadilan. (Ibid, Ngadino Surip dkk, 2015: 204)

Kelima, Etika Keilmuan dimaksudkan untuk menjujukan tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya,
berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai
nilai agama dan budaya. Etika Keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan
menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menapati janji
dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik, mendorong tumbuhnya kemampuan
menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah
tantangan menjadi peluang, mampu menumbuhkan kreativitas untuk penciptaan kesempatan
baru, dan tahan uji serta pantang menyerah. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 204)

9
Keenam, Etika Lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan
lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. (Ibid,
Ngadino Surip, dkk, 2015: 205)

2.4 Pengertian Nilai, Norma Dan Moral

Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya
dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi
sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu
nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaran lainnya. Di samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang
bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif.

Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang
memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan nyata
dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian
menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :

1. Norma Moral

Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk,
sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila.

2. Norma Hukum

Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu
tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung
bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang
merupakan sumber norma.

1. Pengertian Nilai

Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.

10
Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya.
Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-
kenyataan lainnya.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu
nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak
baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai
subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin
danmenyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai
suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh
karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan
nilai religi.

2. Hierarkhi Nilai

Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat
terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah
nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan
luhurnya. Menurutnya nilainilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :

1) nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa

senang, menderita atau tidak enak,

2) nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum,

3) nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan
pengetahuan murni,

4) nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :

1) nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,

11
2) nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu
aktivitas atau kegiatan,

3) nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan
dalam empat tingkatan sebagai berikut :

a) nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.

b) nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia

c) nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia

d) nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak

Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena
itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.

Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan
kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.

3. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan.
Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma
yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.

Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik
terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang
mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

4. Pengertian Norma

Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan
terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu
tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya)
Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi.
Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk
dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma

12
filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk
dipatuhi karena adanya sanksi.

5. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis

a. Nilai Dasar

Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi
dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan
manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi,
intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena
menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu.

Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan
dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima
(penyebab pertama).

Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan
dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang
dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia).

Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda ((kuantitas, aksi, ruang dan
waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam
kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan
dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi
sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

b. Nilai Instrumental

Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai dasar
belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau
ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral.

Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai

13
dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi
dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental
dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran
Pancasila.

c. Nilai Praksis

Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang
lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai
dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut
diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai
praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai
kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.

6. Hubungan Nilai, Norma dan Moral

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi
yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh
integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali
disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang
berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

Pancasila sebagai nilai fundamental bagi bangsa dan negaraRepublik indonesia

1. Dasar Filosofis

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sila-sila Pancasila
merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian itu maka
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat sehingga kelima silanya memiliki esensi makna yang
utuh. Dasar pemikiran filosofisnya adalah sebagai berikut : Pancasila sebagai filsafat bangsa

14
dan negara Republik Indonesia mempunyai makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan
kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Titik tolaknya pandangan itu adalah
negara adalah suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia.

Nilai-nilai obyektif Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya, hakikatnya, maknanya


yangterdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum, universal dan abstrak, karena
merupakan suatu nilai.

2) Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan
maupun dalam kehidupan keagamaan.

3) Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum
memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental sehingga merupakan suatu
sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, dalam hierarkhi tata tertib hukum
Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum tertinggi dan tidak dapat diubah secara hukum
sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara.

Sebaliknya nilai-nilai subyektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaannya bergantung


dan atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan sebagai berikut:

1) Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai
kausa materialis. Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran, penilaian kritik serta hasil refleksi
filosofis bangsa Indonesia.

2) Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga


merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan,
keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3) Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian yaitu nilai


nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan religius yang manifestasinya
sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa. Nilai-
nilai Pancasila tersebut bagi bangsa menjadi landasan, dasar serta motivasi atas segala
perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan.

15
Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen atau cita-cita tentang
kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.

2. Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Negara

Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas humanisme. Oleh karena
itu, Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Meskipun Pancasila mempunyai
nilai universal tetapi tidak begitu saja dengan mudah diterima oleh semua bangsa.
Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai Pancasila secara sadar dirangkai dan
disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap moral
bangsa. Dengan kata lain, bahwa Pancasila milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi
identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki
kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945
yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung empat pokok pikiran yang
merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pokok pikiran pertama
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan
maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila ketiga.

Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkn suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan
umum bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokokpikiran ini adalah
penjabaran dari sila kelima.

Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas
kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan bahwa negara
Indonesia demokrasi, yaitu kedaulatan ditangan rakyat. Hal ini sesuai dengan sila keempat.

Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran
dari sila pertama dan kedua. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai pokok-pokok kaidah negara yang
fundamental, karena di dalamnya terkandung pula konsep-konsep sebagai berikut.

16
a) Dasar-dasar pembentukan negara, yaitu tujuan negara, asas politik negara (negara
Indonesia republik dan berkedaulatan rakyat) dan asas kerohanian negara (Pancasila).

b) Ketentuan diadakannya Undang – Undang Dasar 1945, yaitu, ”.....maka disusunlah


kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.”
Hal ini menunjukkan adanya sumber hukum. Nilai dasar yang fundamental dalam hukum
mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap kuat dan tidak berubah, dalam arti dengan jalan
hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk diubah. Berhubung Pembukaan UUD 1945 memuat
nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat
Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi perubahan berarti pembubaran
Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Dalam pengertian seperti itulah maka dapat disimpulkan bahwa ancasila merupakan dasar
yang fundamental bagi negara Indonesia terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara. Di samping itu, nilai-nilai ancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam
kehidupan kenegaraan. Hal itu ditegaskan dalam pokok pikiran keempat yang menyatakan
bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil
dan beradab. Konsekuensinya dalam penyelenggaraan kenegaraan antara lain operasional
pemerintahan negara, pembangunan negara, pertahanan-keamanan negara, politik negara serta
pelaksanaan demokrasi negara harus senantiasa berdasarkan pada moral ketuhanan dan
kemanusiaan.

3. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan nilaiyang
tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan apabila
dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa
lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini
kita uraikan :

1) Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya.
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah pengejawantahan tujuan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.

17
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya
dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara memiliki
kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu,
di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau mengingkari adanya
Tuhan (atheisme).

2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya dengan memiliki potensi
pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada tingkatan martabat
yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti
hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan
dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun,
berbudi luhur, dan susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa
berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengandemikian, sila
ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap
diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.

Hakikat pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama :”bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”.
Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.

3) Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang
mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai
kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.

Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan
bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan

18
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian
dunia yang abadi.

Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham
kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme
Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang
Tubuh UUD 1945.

4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam Permusyawaratan/

Perwakilan

Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam
satuwilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem
Demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Hikmat
kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan
dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan
hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk
merumuskan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai
keputusan yang bulat dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara
mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui
lembaga perwakilan.

Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusankeputusan. Sila ini merupakan sendi asas
kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia
sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi
:”...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”

5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

19
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan,
baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap orang yang
menjadi rakyat Indonesia.

Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan sosial
pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi dan
manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi :

a) Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam arti
pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam
bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan
atas hak dan kewajiaban.

b) Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam
masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara

c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan lainnya
secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara
keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakikat sila ini dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

2.5 Hubungan Nilai Norma dan Moral

Masyarakat kadang-kadang tampak kacau, seperti ketika kerusuhan massa, atau ketika ada
histeris terburu-buru dari krisis yang akan datang: tetapi segera ketertiban dipulihkan dan
masyarakat mulai bergerak. Memang urutan daripada kekacauan adalah aturan dunia. Tatanan
sosial seperti yang disebut diperoleh melalui pengaturan perilaku manusia sesuai dengan
standar tertentu. Semua masyarakat menyediakan standar ini untuk menetapkan perilaku yang
pantas dan tidak pantas. Standar yang mengatur perilaku telah disebut norma sosial. Konsep
norma adalah yang sentral dalam sosiologi seperti contoh norma hukum.

Arti Nilai Sosial


Dalam sosiologi, perhatian kita adalah pada nilai-nilai sosial. Nilai sosial adalah standar budaya
yang menunjukkan kebaikan umum yang dianggap diinginkan untuk kehidupan sosial yang
terorganisir. Ini adalah asumsi apa yang benar dan penting bagi masyarakat. Mereka
memberikan makna dan legitimasi tertinggi untuk pengaturan sosial dan perilaku sosial.

20
Mereka adalah sentimen abstrak atau cita-cita. Contoh nilai sosial yang penting adalah,
“persamaan kesempatan”. Ini secara luas dianggap sebagai tujuan yang diinginkan dalam
dirinya sendiri.

Pentingnya nilai seperti itu dalam kehidupan sosial hampir tidak bisa dibesar-besarkan. Nilai
sosial berbeda dari nilai individual. Nilai individu dinikmati atau dicari oleh individu yang
dicari oleh seseorang untuk dirinya sendiri. Meskipun nilai-nilai ini biasanya dibagikan,
mereka tidak menjadi nilai sosial. Sebagai berbeda dari nilai-nilai individu, nilai sosial
mengandung kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Nilai-nilai sosial diatur dalam
kepribadian individu. Mereka mengatur pemikiran dan perilakunya.

Proses sosialisasi bertujuan untuk memasukkan nilai-nilai ini dalam kepribadiannya, etos atau
karakteristik mendasar dari budaya apa pun merupakan cerminan dari nilai-nilai dasarnya. Jadi
jika budaya Amerika didominasi oleh keyakinan dalam kemajuan materi, budaya India ditandai
oleh spiritualisme, melupakan diri sendiri, meninggalkan keinginan pribadi dan penghapusan
ambisi.

Moral : Dasar harmoni dalam komunitas


Moral adalah prinsip intrinsik yang mengatur kehidupan masyarakat.

 Moral terutama dalam hal ‘mendapatkan kekayaan’, ‘kepantasan pernikahan’ dan


‘kecenderungan terhadap kebaikan atau kekejaman dalam perilaku kerja’. Jika seseorang
menghasilkan kekayaan melalui upaya tulus kita sendiri tanpa menyontek atau mencuri maka
kekayaan dianggap benar yang dianggap sebagai nilai moral yang tinggi.
 Kedua, jika seseorang mempertahankan kepatutan pernikahan dengan tulus, setia dan
berkomitmen, maka dianggap sebagai pasangan yang saleh, nilai moral yang tinggi.
 Ketiga, jika seseorang dalam interaksi sehari-harinya menunjukkan kecenderungan terhadap
kebaikan ataupengasuhan dalam perilaku kerja bukannya kekejamanatau eksploitasi, maka itu
dianggap nilai moral yang tinggi. Hidup tidak bermoral adalah dosa dan mengarah pada
kejahatan.

Perbedaan nilai-nilai sosial menghasilkan struktur sosial yang berbeda dan pola perilaku yang
diharapkan.

Hubungan Norma dan Moral

21
Norma adalah standar perilaku kelompok:

 Karakteristik penting dari kehidupan kelompok adalah bahwa ia memiliki serangkaian nilai
yang mengatur perilaku anggota individu. Seperti yang telah kita lihat, kelompok-kelompok
tidak putus dengan hubungan yang stabil antar anggota. Kelompok adalah produk interaksi
antar individu.
 Ketika sejumlah individu berinteraksi, serangkaian standar berkembang yang mengatur
hubungan dan cara perilaku mereka. Standar perilaku kelompok ini disebut norma sosial. B
 ahwa saudara laki-laki dan perempuan tidak boleh memiliki hubungan seksual, seorang anak
harus tunduk kepada orang tuanya dan seorang paman tidak boleh bercanda dengan keponakan-
keponakannya adalah ilustrasi norma-norma yang mengatur hubungan di antara sanak
saudaranya.

Norma menggabungkan penilaian nilai moral:

 Secord dan Buckman mengatakan “Norma adalah standar harapan perilaku yang dimiliki oleh
anggota kelompok yang menjadi tempat validitas persepsi dinilai dan kelayakan perasaan dan
perilaku dievaluasi.” Anggota kelompok menunjukkan keteraturan tertentu dalam perilaku
mereka.
 Perilaku ini dianggap diinginkan oleh kelompok. Keteraturan dalam perilaku semacam itu telah
dijelaskan dalam norma-norma sosial. Norma, dalam penggunaan populer, berarti standar.
Dalam sosiologi, perhatian kita adalah pada norma-norma sosial, yaitu norma yang diterima
dalam suatu kelompok. Mereka mewakili “generalisasi standar” tentang mode perilaku yang
diharapkan.
 Sebagai generalisasi standar mereka adalah konsep yang telah dievaluasi oleh kelompok dan
memasukkan penilaian nilai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma-norma
didasarkan pada nilai-nilai sosial yang dibenarkan oleh standar moral atau penilaian estetika.
 Norma adalah batasan pengaturan pola pada perilaku individu. Sebagaimana didefinisikan oleh
Broom dan Selznick, ‘Norma adalah cetak biru untuk menetapkan batas perilaku di mana
individu dapat mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan mereka.’ Norma tidak mengacu
pada kecenderungan rata-rata atau pusat manusia.

Mereka menunjukkan perilaku yang diharapkan, atau bahkan perilaku ideal. Nilai moral
melekat pada mereka. Mereka adalah praktik model. Mereka menetapkan urutan normatif
kelompok seperti contoh pelanggaran norma kesusilaan

22
Norma terkait dengan dunia faktual
Mungkin tidak dianggap bahwa norma-norma bersifat abstrak mewakili konstruksi khayalan.
Sosiolog tertarik terutama pada norma-norma “operatif”, yaitu norma-norma yang dijatuhi
sanksi sedemikian rupa sehingga pelanggar mendapatkan penalti dalam kelompok. Norma agar
efektif harus mewakili dengan benar hubungan antara kejadian nyata. Mereka harus
mempertimbangkan situasi faktual. Aturan yang mewajibkan semua pria untuk memiliki dua
istri akan tidak bernilai jika rasio jenis kelamin tidak diizinkan. Oleh karena itu, sistem
normatif, karena dimaksudkan untuk mencapai hasil di dunia faktual, harus terkait dengan
peristiwa di dunia nyata.

Hubungan Pentingnya Norma


1. Masyarakat tanpa norma adalah mustahil
Norma sangat penting bagi masyarakat. Tidak mungkin membayangkan masyarakat tanpa
norma, karena tanpa norma perilaku tidak dapat diprediksi. Standar perilaku yang terkandung
dalam norma memberi perintah agar interaksi relasi sosial berjalan lancar jika individu
mengikuti norma kelompok. Urutan normatif membuat urutan faktual masyarakat manusia
mungkin.

Jika tidak ada tatanan normatif tidak mungkin ada masyarakat manusia. Manusia
membutuhkan tatanan normatif untuk hidup di masyarakat karena organisme manusia tidak
cukup komprehensif atau terintegrasi untuk memberikan tanggapan otomatis yang secara
fungsional memadai untuk masyarakat.

Manusia tidak mampu hidup sendiri. Ketergantungannya pada masyarakat tidak berasal dari
tanggapan bawaan yang tetap terhadap rangsangan sosial mekanis melainkan dari tanggapan
yang dipelajari untuk rangsangan yang berarti. Oleh karena itu ketergantungannya pada
masyarakat pada akhirnya adalah ketergantungan pada suatu tatanan normatif.

2. Norma memberikan kohesi kepada masyarakat


Kita hampir tidak bisa memikirkan kelompok manusia yang terpisah dari norma-norma. Suatu
kelompok tanpa norma akan menggunakan kata-kata Hobbes, “Menyendiri, miskin, jahat,
kasar dan pendek.” Organisme manusia untuk mempertahankan dirinya harus hidup dalam
sistem sosial yang diatur secara normatif. Sistem normatif memberikan kepada masyarakat
suatu kohesi tanpa mana kehidupan sosial tidak mungkin. Kelompok-kelompok yang tidak

23
dapat mengembangkan tatanan normatif dan mempertahankan kontrol normatif atas anggota
mereka gagal bertahan karena kurangnya kerjasama internal.

3. Norma mempengaruhi sikap individu


Norma mempengaruhi sikap individu dan motifnya. Mereka langsung memengaruhi konsep
diri seseorang. Mereka adalah tuntutan khusus untuk bertindak yang dibuat oleh kelompoknya.
Mereka jauh lebih stabil. Mereka memiliki kekuatan untuk membungkam setiap sentimen
abstrak yang diterima sebelumnya yang mungkin mereka lawan. Mereka lebih diutamakan
daripada sentimen abstrak. Menjadi anggota kelompok menyiratkan pembentukan sikap dalam
kaitannya dengan norma-norma kelompok. Individu menjadi anggota yang baik sejauh ia
mematuhi norma-norma.

Norma-norma menentukan dan membimbing penilaian intuitifnya terhadap orang lain dan
penilaian intuitifnya tentang dirinya sendiri. Mereka menuntun lo fenomena hati nurani,
perasaan membimbing, kegembiraan dan depresi. Mereka lebih dalam dari kesadaran. Menjadi
anggota kesalahan terdiri dari internalisasi norma-norma kelompok. Melalui internalisasi
mereka menjadi bagian dari dirinya secara otomatis diekspresikan dalam perilakunya.

Kesesuaian Norma dan Moral


Norma tidak dibentuk oleh semua kelompok dalam kaitannya dengan setiap jenis perilaku dan
setiap situasi yang memungkinkan. Mereka terbentuk dalam hal-hal konsekuensi terhadap
kelompok tertentu. Yang penting adalah konsekuensi bagi suatu kelompok tergantung pada
tujuan utama dan tujuan kelompok, hubungan kelompok itu dengan kelompok lain, dan kondisi
lain di mana ia beroperasi seperti norma-norma hukum. Demikian juga, ruang lingkup perilaku
yang diatur oleh norma-norma sangat bervariasi dalam kelompok-kelompok yang berbeda.
Sebagai contoh, norma-norma beberapa kelompok mungkin berhubungan terutama dengan
masalah etika, sementara norma-norma kelompok lain dapat mencakup bidang kehidupan yang
lebih luas termasuk pakaian, bentuk hiburan, pendidikan, dan sebagainya.

 Lebih lanjut, norma sosial yang beroperasi dalam satu sistem sosial mungkin tidak beroperasi
di sistem sosial lainnya. Norma yang sama tidak berlaku sama untuk semua anggota
masyarakat atau untuk semua situasi. Mereka disesuaikan dengan posisi yang dipegang orang
di masyarakat dan pekerjaan yang mereka latih.
 Jadi apa yang pantas untuk seorang wanita tidak selalu tepat untuk seorang pria, atau apa yang
pantas untuk seorang dokter mungkin tidak tepat untuk seorang guru. Jadi kesesuaian dengan

24
norma selalu memenuhi syarat dalam pandangan situasi yang ditentukan secara sosial di mana
mereka berlaku.
 Norma menurut definisi menyiratkan rasa kewajiban. Ini menetapkan standar perilaku yang
harus diikuti. Banyak masalah kepribadian dan masyarakat kebanyakan adalah masalah
ketidaksesuaian norma. Kesesuaian dengan norma adalah normal.
 Individu setelah menginternalisasi norma-norma, merasakan sesuatu seperti kebutuhan untuk
menyesuaikan diri. Hati nuraninya akan mengganggunya jika dia tidak melakukannya. Orang
lebih lanjut akan menolak tindakannya jika dia melanggar norma.
 Dengan demikian, baik kebutuhan yang diinternalisasi maupun sanksi eksternal memainkan
peran yang efektif dalam mewujudkan kesesuaian terhadap norma-norma.

Pelanggar norma menderita sanksi berikut ini:

 Pelanggar norma menderita kehilangan hak


 Pelanggar dikenakan ejekan, denda, hukuman penjara.

Sebaliknya, mereka yang sesuai dengan norma menikmati kerjasama yang diharapkan dari
orang lain, mempertahankan prestise yang baik dalam kelompok dan menerima penghargaan
positif seperti pujian, bonus dan promosi.

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun bathin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan
landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun
tidak.
Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris,
sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikiri, dimengerti, dan dihayati
oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita cita, keinginan dari segala sesuatu
pertimbangan internal (bathiniah) manusia). Nilai dengan demikian tidak bersifat konkrit yaitu
tidak dapat ditangkap dengan indera manusia, dan nilai bersifat subyektif maupun objektif.
Bersifat objektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia
sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jika nilai tersebut melekat pada sesuatu
terlepas dari penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntut sikap dan tingkah laku manusia,
maka perlu dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga

25
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Maka wujud
yg lebih konkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu Norma. Terdapat berbagai macam
norma, dan dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling
kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya
penguasa atau penegak hukum.

Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral
mengandung integritas dan martabat peribadi manusia. Derajat keperibadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam keperibadian
sesorang itu tercirmin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita
memasuki wilayah norma sebagai penunut sikap dan tingkah laku manusia.

2.6 Pengertian Etika sebagai Salah Satu Cabang Filsafat Praktis

Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada

tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu
ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.

Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi
tingkah laku manusia.

Dalam arti etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak hanya
sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya, menyebutkan, ilmu-ilmu
seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan kita bahwa pada semua bangsa dan
dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan.

Akan tetapi, lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua
zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok
sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya, membunuh binatang
tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama
tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering
dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua

26
bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan, dan
diskriminasi terhadap wanita.

Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman tentang baik dan buruk, tapi tidak selalu ada
pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk.

Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian
dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin memang
menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk
memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti ungkapan Poedjawijatna (1990:7),
“etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai
terdapat

kebenaran.”

Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut benar dan
apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
(etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang
utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya
terangkum dalammetafisika; dan, kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi

sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).

Berkaitan dengan sifat yang “ada” maka cabang filsafat yang pertama adalah filsafat yang

menjadikan yang “ada” secara umum sebagai objek penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36).

Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat yang menyelidiki yang “ada” secara khusus, dalam

arti kekhususan sesuatu secara umum.

Begitulah seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang “ada” melahirkan berbag
cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang filsafat dapat dipahami dari kekhususan
objeknya yang tersusun secara hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-
sifat khusus dari sesuatu yang “ada” tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga membentuk
yang “ada” itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang “ada” secara fungsional karena
kekhususan sesuatu dapat dilihat dari sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang “ada” tersebut.
Secara keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang disebut
“ada”tersebut.

27
Berdasarkan pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang
filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran filsafat yang
timbul tidak mengurangi arti yang “ada” sebagai yang “ada” sebagaimana dirinya sendiri. Atas
dasar kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat dikemukakan
berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah dipahami bahwa cabang-cabang
serta aliran filsafat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan
akal atau pikir manusia itu sendiri.

Misalnya, dalam buku Filsafat Ilmu Abas Hamami (1996:155-156) membagi filsafat ke dalam
dua kelompok bahasan, yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama
mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana
manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan
berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas
sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang
transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun mempunyai maksud dan
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicarinya untuk
menggerakkan kehidupan.

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah nilai karena
etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak susila”,
“baik” dan “buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan
kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan
orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip
dasar kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.

Sementara itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok
permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik, sebagaimana

disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini kemudian berkembang
lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di
antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:

(1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);

28
(2) Etika (Filsafat Moral);

(3) Estetika (Filsafat Seni);

(4) Metafisika;

(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);

(6) Filsafat Agama;

(7) Filsafat Ilmu;

(8) Filsafat Pendidikan;

(9) Filsafat Hukum;

(10) Filsafat Sejarah;

(11) Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).

Dari cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia,
melainkan bagaimana ia harus bertindak. Etika adalah filsafat tentang praksis manusia. Etika
adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang “yang ada”, sedangkan etika
membahas “yang harus dilakukan”. Itu sebabnya etika tidak jarang disebut juga “filsafat
praktis” (Bertens, 1993:27). “Praktis”, karena menurut Bertens, cabang ini langsung
berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.

Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap
berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan
ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika
mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang
tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya (Zubair,
1990:9-10).

Pemikiran kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap
kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu. Penelitian filsafat
adalah penelitian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta proses mengetahui atau
memperoleh ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
ilmu ini dikenal dengan epistemologi atau filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan
metodologi (Mulkhan, 1993:43).

29
Ilmu itu sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar
gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini
akan memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan demikian

memungkinkan kita untuk mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah
kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan keilmuan meliputi
segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.

Dalam kaitan ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi
bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan sumber
informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun
akan senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa filsafat
merupakan pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan karya manusia, atau pemberi arah,
serta pemberi kritik dan kontrol.

Karena itu, apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah “induk” segala ilmu
pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika filsafat mempunyai arti fungsional bagi
setiap upaya pengembangan ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang
bersifat terapan, termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin
filsafat. Atau sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis filsafat.

Bahwa sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu untuk filsafat dan
etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat, karena refleksi tentang apa yang
dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai hakikat manusia sangat penting untuk
menjawab pertanyaan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia.

Perkembangan itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M.
van Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi mengundang kita untuk
mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai dengan apa yang
dinyatakan sebagai hakikat manusia

2.7 Pemahaman dan Konsep Teori Etika

Etika merupakan cabang ilmu yang berisi sistem dan pedoman nilai-nilai yang berkaitan
dengan konsepsi benar dan salah yang berlaku dan dihayati oleh kelompok di suatu komunitas.
Banyak orang awam yang salah menafsirkan secara mudah bahwa etika sama dengan

30
kesopanan dan tata Krama. Maka secara tidak langsung orang yang tidak beretika akan di cap
sebagai orang yang tidak sopan atau tidak memiliki tata krama.

Istilah etika sendiri bermula jauh sejak awal masa Yunani kuno yang menyebutnya dengan
ethos , dan dalam bahasa Yunani ethos ditafsirkan dalam banyak hal, seperti padang rumput,
kandang, habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berfikir, makna-
makna tersebut dikategorikan sebagai makna tunggal. Sedangkan makna jamak dari ethos
adalah adat kebiasaan. Maka secara sempit kita dapat memaknai istilah etika pada konteks ini
adalah ilmu yang mempelajari tentang adat kebiasaan.

Istilah ethos dimaknai sebagai watak kesusilaan atau adat kebiasaan yang biasanya berkaitan
dengan moral. Moral sendiri berasal dari kata latin “mos” (jamaknya mores) yang berarti juga
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan)
dan menghindari tindakan-tindakan yang buruk (Ruslan,2011:31). Dengan demikian maka
etika dan moral memiliki kesamaan makna, namun pada dasarnya keduanya nimemiliki
perbedaan pada implementasinya. Moral digunakan untuk menilai perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika digunakan sebagai sistem nilai yang berlaku. Artinya, etika adalah ilmu untuk
menjelaskan kaidah-kaidah moral. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditegaskan
mengenai etika sebagai ilmu, yaitu sebagai berikut:

a. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan

kewajiban moral (akhlak);

b. Etika adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

c. Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Menurut Ki Hajar Dewantara didefinisikan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala
soal kebaikan dan keburukan didalam hidup manusia semuanya, teristimewa mengenai gerak-
gerik pikiran dan rasa yang dapat ku inimerupakan pertimbangan dan perasaan, sampai
mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.

31
Teori Etika

a. Egoisme

Rachles(2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu


egoisme psikologi dan egoisme etis. Egoisme psikologi adalah suatu teori yang menjelaskan
bahwa semua tindakan yang dilakukan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri tanpa
memperhatikan kepentingan orang banyak. Egoisme etis adalah segala tindakan yang dilandasi
oleh kepentingan diri sendiri. Ada hal yang membedakan diantara dua konsep ini, tindakan
berkutat diri atau egoisme psikologi ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan
kepentingan orang lain, sedangkan egoisme etis tidak selalu merugikan kepentingan orang lain.

b. Utilitarianisme

Utilitarianisme berasal dari kata latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang berarti
bermanfaat (Bertens,2000). Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan baik jika
membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota dalam masyarakat.

Perbedaan paham utilitarianisme dan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh
manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham
utilitarianisme melihat pada kepentingan bersama.

c. Deontologi

Istilah Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Paham deontologi
mengatakan bahwa etis atau tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan
tujuan dan konsekuensi atas tindakan tersebut. Hasil yang baik tidak dapat dijadikan alasan
untuk membenarkan suatu tindakan.

d. Teori Hak

Teori ini dinilai paling cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Sebetulnya teori Hak
merupakan suatu aspek dari teori deontologi karena hak berkaitan dengan kewajiban. Teori
Hak sekarang begitu populer dibandingkan dulu pada etika yang lebih memberikan tekanan
pada kewajiban, karena teori hal dinilai cocok dengan penghargaan terhadap individu yang
memiliki harkat tersendiri. Dengan demikian individual siapapun tidak dapat dijadikan korban
demi tercapainya suatu tujuan lain.

32
e. Teori Keutamaan

Teori tipe terakhir ini adalah teori Keutamaan yang memandang sikap atau akhlak seseorang.
Dalam etika dewasa ini terdapat keterkaitan khusus pada teori Keutamaan sebagai reaksi atas
teori-teori yang muncul sebelumnya yang dianggap berat sebelah dalam mengukur perbuatan
dengan prinsip atau norma.

Maksud dari teori ini adalah lebih mengutamakan sikap mana atau apa yang harus dilakukan
terlebih dahulu di setiap situasi yang berbeda-beda.

Teori Etika dalam Paradigma Hakikat Manusia

Sampai sekarang sudah banyak sekali muncul beragam teori tentang etika, dimana masing-

masing mempunyai pendukung dan penentang yang cukup berpengaruh. Keberagaman teori

ini ada karena adanya perbedaan paradigma, pola pikir, dann pemahaman tentang hakikat

hidup sebagai manusia.

Teori-teori yang nampak bertentangan itu sebenarnya tidaklah bertentangan. Teori-teori yang

terpisah tersebut dapat dipadukan menjadi satu teori tunggal berdasarkan paradigma hakikat

manusia secara utuh, yaitu keseimbangan pada kepentingan pribadi, kepentingan masyarakat,

dan kepentingan tuhan.

Fungsi Etika

a. Sarana memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan moralitas yang begitu sulit

untuk dipahami.

b. Etika untuk mengemukakan argumentasi yang rasional dan kritis.

c. Orientasi etis pada etika sangat diperlukan dalam pengambilan sikap.

Sanksi Pelanggaran Etika

33
a. Sanksi sosial

Sanksi ini diberikan oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pihak berwenang

dan biasanya pelanggaran yang diperbuat adalah pelanggaran kecil.

b. Sanksi Hukum

Sanksi ini diberikan oleh pihak berwenang dalam hal ini adalah polisi dan hakim.

Biasanya pelanggaran yang dilakukan tergolong pelanggaran berat, dan harus diganjar

hukuman pidana ataupun perdata dengan berpedoman KUHP.

2.8 Pengaplikasian Nilai, Norma dan Moral

Pada hakikatnya, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat adalah semua kaidah atau
peraturan yang mengatur pergaulan hidup manusia ditengah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dengan peraturan itu kehidupan manusia menjadi tertib, teratur,
rukun dan damai serta menghargai hak-hak asasi manusia. Dalam suasana tertib, rukun dan
damai manusia dapat menunaikan tugas dan kewajibannya secara baik sehingga hasilnya dapat
maksimal dan pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Ada 4 macam norma yang berlaku di masyarakat yaitu:

a. Norma Agama

b. Norma Kesusilaan

c. Norma Kesopanan

d. Norma Hukum

Pada prinsipnya, orang yang sudah melaksanakan norma agama berarti ia telah melaksanakan
norma-norma yang lainnya, yakni melaksanakan norma kesopanan, kesusilaan dan norma
hukum. Hal ini dapat dipahami dan dimengerti lewat sikap, tingkah laku dan perbuatan anggota
masyarakat sehari-hari yang senantiasa berbuat kebaikan, menghargai orang lain dan
menghormati hak-hak orang lain. Orang yang melakukan kebaikan berarti orang tersebut
menjalankan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, bila orang itu
malakukan kejahatan berarti ia telah melakukan pelanggaran terhadapa norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat.

34
Contoh, korupsi berarti mangambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Seseorang yang
melakukan korupsi berarti dia telah melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat dan Negara termasuk didalamnya yaitu norma agama, kesusilaan,
kesopanan dan norma hukum.

Sanksi Norma Agama bagi si Koruptor adalah siksaan neraka yang diterima di akhirat nanti.

Sanksi Norma Kesusilaan bagi si Koruptor adalah perasaan kurang nyaman pada dirinya karena
merasa bersalah, menyesal, takut, malu, dan sebagainya.

Sanksi Norma Kesopanan bagi si Koruptor adalah kebencian, cemoohan, dan hinaan dari
masyarakat yang pada akhirnya membuatnya merasa dikucilkan dan terasingkan.

Sanksi Norma Hukum bagi si Koruptor adalah jatuhan hukuman sesuai dengan proses dan
aturan hukum yang berlaku.

2.9 Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Etika

Beberapa argumen tentang dinamika pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, pada zaman Orde Lama,
pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi
dimenangkan empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin
Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem etika
pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada zaman Orde
Lama dianggap terlalu liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi
terpimpin, yang cenderung otoriter.

Kedua, pada zaman Orde Baru sistem etika pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P4.
Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan
manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Manusia
Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani
sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai
makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri,
pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia

35
sebagai makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan
tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial
harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).

Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atas susunan kodrat:
jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat:
makhluk sosial dan makhluk individual. Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi
satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat
persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya pancasila. (Notonagoro dalam Asdi, 2003:
17- 18). Ketiga, sistem etika pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem
etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme
(menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah
Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai
berikut.“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam arus
konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa Indonesia tidak
mengembangkan Etika merupakan hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena dengan memiliki etika maka kita mampu menjalankan
kehidupan bernegara dengan baik sebagai masyarakat yang mempunyai perilaku yang baik,
kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral.

Nilai-nilai Pancasila, meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realita
sosial,keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya juga nilai-
nilai yang bersifat universal dapat diterima oleh siapa pun dan kapan pun. Etika Pancasila
berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.

Etika juga merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil
sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).

Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika

36
khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan
manusia (Suseno, 1987).

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu
dasar filsafat maka sila-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan
sistematis. Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi
manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. di dalam etika Pancasila
terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima
nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.
Pentingnya pancasia sebagai sistem etika bagi bangsa Indonesia ialah menjadi rambu normatif
untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
Dengan demikian, pelanggaran dalam kehidupan bernegara, seperti korupsi (penyalahgunaan
kekuasaan) dapat diminimalkan.

37
BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

Nilai adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai
berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai
sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan
karya.

Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan
kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya.

Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia.

Dilihat dari uraian diatas bahwa pada dasarnya nilai, norma dan moral saling berhubungan.
Dimana seorang manusia dalam bersosialisasi didalam kehidupan masyarakat bertindak atau
berperilaku sesuai dengan nilai, norma yang ada dan yang berlaku di masyarakat maka
perilaku manusia tersebut sudah di anggap bermoral.

38
DAFTAR PUSTAKA

https://ranisakura.wordpress.com/2010/06/01/etika-terbagi-atas-dua/

https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-etika.html

https://blog.danadidik.id/pengertian-nilai/

https://guruppkn.com/hubungan-nilai-norma-dan-moral

http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html

http://dyazayuu98.blogspot.com/

https://intansyefira05.wordpress.com/2014/11/03/pengertian-etika-sebagai-salah-satu-

cabang-filsafat-praktis-dan-pancasila-sebagai-sistem-etika/

39

Anda mungkin juga menyukai