Anda di halaman 1dari 12

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Upacara Adat

Upacara adalah sistem aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata oleh adat

atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai

macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan

(Koentjaraningrat, 1980:140).

Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara kelahiran, upacara

perkawinan, upacara penguburan dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara

pada umumnya memiliki nilai sacral oleh masyarakat pendukung kebudayaan

tersebut. Upacara adat adalah suatu upacara yang secara turun-temurun dilakukan

oleh pendukungnya di suatu daerah. Dengan demikian setiap daerah memiliki

upacara adat sendiri-sendiri seperti upacara adat perkawinan, kelahiran dan

kematian. Upacara adat yang dilakukan memiliki berbagai unsur: Menurut

Koentjaraningrat (1980) ada beberapa unsur yang terkait dalam pelaksanaan

upacara adat diantaranya adalah:

1. Tempat berlangsungnya upacara


Tempat yang di gunakan untuk melangsungkan suatu upacara biasanya
adalah tempat keramat atau bersifat sacral/suci, tidak setiap orang dapat
mengunjungi tempat tersebut. Tempat tersebut hanya dikunjungi oleh
orang-rang yang berkepentingan, dalam hal ini adalah orang yang terlibat
dalam dalam pelaksanaan upacara seperti pemimpin upacara.
2. Saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat
untuk melangsungkan upacara.
10

3. Benda-benda atau alat upacara


Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang
harus ada semacam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam sebuah
upacara adat.
4. Orang-orang yang terlibat didalamnya
Orang-orang yang telibat dalam upacara adat adalah mereka yang bertindak
sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham dalam
ritual upacara adat (Koentjaraningrat 1980:241).

Dalam masyarakat dikenal berbagai jenis upacara adat salah satunya upacara adat

perkawinan. Menurut Thomas Wiyasa yang dimaksud dengan upacara adat

perkawinan merupakan serangkaian kegiatan tradisional turun temurun yang

mempunyai maksud dan tujuan agar perkawinan akan selamat sejahtera serta

mendatangkan kebahagian di kemudian hari (Thomas Wiyasa, 1990: 1).

2. Konsep Perkawinan

“Perkawinan adalah suatu peralihan yang terpenting pada life-cycle dari semua

manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke

tingkat hidup berkeluarga” (Koentjaraningrat, 1982:90).

Koentjaraningrat (1982) menambahkan dipandang dari sudut kebudayaan

manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang

bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, menurut pengertian masyarakat,

perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks

dengan sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa tertentu

dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan sebagai istrinya.

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
11

Esa. Kebahagian dalam rumah tangga sebagai tujuan perkawinan tercermin dari

kesejahteraan lahir bathin yang dirasakan oleh segenap anggota keluarga, baik

suami, istri dan anak-anak mereka serta orang tua maupun mertua.

Menurut Keesing (dalam Imron 2005:2) bahwa perkawinan berfungsi untuk (a)

mengatur hubungan seksual, (b) menentukan kedudukan sosial individu-individu

dan keanggotaan mereka dalam kelompok, (c) menentukan hak-hak dan

kepentingan-kepentingan yang sah, (d) menghubungkan individu-individu dengan

kelompok-kelompok kekerabatan di luar kelompoknya sendiri, (e) menciptakan

unit-unit ekonomi rumah tangga, dan (f) merupakan instrumen hubungan politik

antar individu dan kelompok.

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara

seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan

keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga,

tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat

dari pihak istri dan dari pihak suami (Hadikusuma, 1995:70).

Menurut beberapa konsep di atas dapat di tarik suatu pengertian bahwa

perkawinan adalah tahapan yang dianggap sakral dalam hidup manusia yang

membenarkan hubungan antara pria dan wanita dalam ikatan yang sah yang diatur

oleh undang-undang dan hukum adat yang berlaku.

3. Konsep Masyarakat Sunda

Masyarakat dalam istilah Bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata

latin socius yang berarti kawan. Istilah masyarakat berasal dari kata Bahasa Arab
12

syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah

sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah berinteraksi.

Definisi lain masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi

menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat

oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan suatu kesatuan

masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu : a) interaksi antar warganya, b) adat

istiadat, c) kontinuitas waktu, d) rasa identitas kuat yang mengikat semua warga

(Koentjaraningrat, 2009: 115-118).

Masyarakat Sunda menurut Harsojo dalam Koentjaraningrat (2004) secara

antropologi budaya, yang disebut orang Sunda atau Suku Sunda adalah orang-

orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa dan dialek Sunda sebagai

bahasa ibu serta dialek dalam percakapan sehari-hari. Secara geografis Edi S.

Ekadjati (1995) mengatakan bahwa tanah Sunda merujuk pada bekas Kerajaan

Padjajaran, yang kemudian berdiri sendiri, yakni Sumedang Larang, Banten,

Cirebon, dan Galuh. Sumedang Larang dan Galuh kemudian menjadi satu wilayah

kesatuan dengan nama Priangan. Dalam perkembangan berikutnya, Priangan

sering dikatakan sebagai pusat tanah Sunda. Sunda secara etnisitas maka urang

Sunda secara sederhana dapat diartikan sebagai orang yang mengaku dirinya dan

diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda.

Sistem keluarga dalam Suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari

pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai

kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang

sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan Suku


13

Sunda. Dalam Suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah

untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Contohnya pertama, saudara yang

berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal.Yaitu anak, incu (cucu), buyut

(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau

gantungsiwur. Kedua,saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal

seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara

piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal

seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Tentunya

hal ini mempengaruhi hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan

menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya,

menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan

saling menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi atau

tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti

baru. Dalam suatu pernikahan tentunya terdapat banyak tahapan dan urutan yang

seharusnya dilakukan secara berurutan.

Dalam keluarga parental kaum kerabat pihak ayah dan ibu dianggap sama

pentingnya dan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap harta warisan

dan anak-anak, maka dalam perkawinan tidak ada larangan untuk kawin dengan

anggota kerabat sendiri, kecuali dengan saudara kandung atau kerabat dekat,

misalnya dengan “pararlel causin”, yaitu saudara sepupu yang kedua ayahnya

atau ibunya kakak beradik. Sedangkan perkawinan “cross causin”, yaitu

perkawinan dengan saudara sepupu yang ayahnya saudara kandung dengan ibu

suaminya/istrinya atau yang ibunya saudara kandung dengan ayah suami/istrinya,

dibolehkan bahkan diharapkan. Istilah sepupu dalam Bahasa Sunda di sebut kapi
14

adi atau kapi lanceuk. Perkawinan dengan anggota kerabat sendiri atau “cross

causin” dimaksudkan agar garis keturunan tetap terpilihara. Untuk terlaksananya

suatu hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat diciptakan norma-norma,

seperti: secara, kebiasaan, tatakelakuan dan adat istiadat. Di dalam prosesi

pernikahan adat Sunda, ada beberapa ritual yang perlu dipahami maknanya

bersama, karena dalam pernikahan atau perkawinan yang ada di Indonesia

khususnya adat sunda, memiliki arti yang sakral, baik penghormatan kepada

Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada orang tua.

4. Konsep Adat Perkawinan Sunda

“ Perkawinan adat adalah merupakan upacara perkawinan menurut tata cara

aturan adat tertentu”(Ariyono Suyono, 1985 : 315).

Menurut Thomas Wiyasa dalam bukunya yang berjudul Upacara Perkawinan

Adat Sunda menjelaskan tahap-tahap perkawinan adat Sunda adalah sebagai

berikut:

1. Persiapan sebelum upacara


Dalam tata cara perkawinan adat Sunda, sebelum diadakan upacara
perkawinan adat biasanya didahului dengan beberapa tahap upacara, yaitu
 Meminang/ngalamar
Melamar atau meminang yang dalam Bahasa Sunda di sebut dengan
nyeureuhan atau ngalamar adalah kunjungan resmi keluarga pria yang
ditemani kerabat terdekat, biasanya dalam kunjungan ini keluarga pria datang
dengan membawa bingkisan sirih lengkap yang di bungkus rapi dengan
disertai sejumlah uang. Keseluruahn upacara melamar atau meminang ini
adalah resmi, oleh karena itu perlu ditunjuk seorang pembawa acara.
 Saserahan
Sebelum ngeuyeuk seureuh, didahului dengan saserahan. Saserahan di
laksanakan satu atau dua hari sebelum akad nikah. Dalam upacara ini orang
tua calon pengantin pria menyerahkan putranya kepada orang tua calon
penganti wanita dengan membawa barang-barang keperluan calon pengantin
wanita, berupa pakaian, perhiasan, alat kecantikan dan perlengkapan untuk
ngeuyeuk seureuh dll.
15

 Ngeuyeuk Seureuh
Pelaksanaan ngeuyeuk seureuh dipimpin seorang wanita yang telah berumur
disebut dengan pengeuyeuk. Pengeuyeuk adalah orang yang paham betul
mengenai tata cara ngeuyeuk seureuh . Pengeuyeuk akan ditemani oleh
seorang laki-laki yang bertugas membakar kemenyan pada upacara serta
membaca doa setelah upacara selesai. Maksud dari upacara ngeuyeuk seureuh
adalah untuk memberi nasehat kepada calon pengantin dalam menjalankan
hidup berumah tangga yang baik. Setelah upacara Ngeuyeuk Seureuh, calon
pengantin wanita dimandikan dengan air kembang setaman yang akan
diuraikan secara tersendiri. Malam itu bagi kedua calon pengantin merupakan
peuting midadareni (malam bidadari), karena pada malam itu diperlakukan
seperti raja dan ratu, yaitu mendapat perhatian khusus dari sanak keluarga.
2. Upacara Perkawinan
 Akad Nikah
Pada hari perkawinan, calon pengantin pria diantar dengan iring-iringan dari
suatu tempat yang telah ditentukan menuju rumah calon pengantin wanita.
Bila pengantin pria berdekatan rumah dengan pengantin wanita maka
pengantin pria langsung menuju ke rumah calon pengantin wanita. Iring-
iringan rombongan calon pengantin pria ini nanti akan di jemput oleh pihak
calon pengantin wanita. Setelah semua persiapan akad lengkap dan tertib,
protokol atau pembawa acara menyerahkan akad nikah kepada petugas KUA.
Juru rias pengantin mengerudungi pengantin dengan sehelai kerudung putih.
Demikian akad nikah mulai berlangsung dengan dipimpin oleh petugas KUA.
 Upacara Panggih
Setelah upacara akad nikah selesai dilanjutkan dengan upacara panggih
(bertemu muka) yang terdiri dari : sungkem, sawer, nincak endog, Buka Pintu,
huap lingkup, sesaji pengantin, resepsi pesta perkawinan, upacara ngunduh
mantu (Bratawidjaya, 1990).

5. Konsep Faktor Perubahan Kebudayaan

Perubahan atau dalam arti khusus perubahan kebudayaan selalu terjadi dalam

kehidupan manusia dan masyarakatnya. Baik perubahan dari dalam maupun dari

luar. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki potensi dan kecenderungan

untuk berubah dalam kehidupannya.

“Perubahan kebudayaan adalah perubahan tertentu akibat proses pergeseran,


pengurangan, penambahan unsur-unsur di dalamnya karena saling adanya
interaksi dengan warga pendukung kebudayaan lain, sehingga dapat
menciptakan unsur-unsur kebudayaan baru dengan melalui segala penyesuaian
terhadap unsur-unsur kebudayaan” (Ariyono Soeyono 1985:321).
16

Menurut William A.Havilan perubahan merupakan karakteristik semua

kebudayaan, tetapi tingkat dan arah perubahannya berbeda-beda menurut

kebudayaan dan waktunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi cara terlaksananya

perubahan di dalam kebudayaan tertentu mencakup sampai berapa jauh sebuah

kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-

kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada suatu waktu tertentu dan yang terpenting

dari semuanya tingkat kecocokan (“fit”) diantara unsur-unsur yang baru dan

matriks kebudayaan yang ada (Wiliiam A.Havilan, 1993:253).

Menurut Manan (1989) adapun yang dimaksud dalam perubahan kebudayaan

adalah setiap perubahan, penambahan, atau pengurangan ide-ide, obyek-obyek

budaya atau tekhnik-tekhnik dan pelaksanaan-pelaksanaan yang berhubungan

dengan kegiatan ataupun aktivitas kebudayaan (any modification adaition or loss

of ideas, culture, objects, or techniques and practice that are accociated with

them).

Abdulsyani menyatakan bahwa setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa

mengalami suatu perubahan. Perubahan-perubahan pada kehidupan masyarakat

tersebut adalah suatu fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia

mempunyai kepentingan yang tak terbatas (Abdulsyani, 2002:162).

Titik Triwulan Tutik dan Trianto menambahkan bahwa:

“pada dasarnya tidak ada masyarakat yang tidak berubah, baik masyarakat
yang masih terbelakang maupun yang modern selalu mengalami perubahan-
perubahan, hanya saja perubahan-perubahan yang dialami masing-masing
masyarakat tidak sama, ada yang cepat dan mencolok dan ada pula yang
lambat tersendat-sendat. Dengan kata lain bahwa perubahan sosial budaya
pada hakikatnya merupakan fenomena yang manusiawi dan fenomena alami
(Titik Triwulan Tutik dan Trianto, 2008: 10).
17

Perubahan dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor. Abdulsyani 2002

dalam Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan menyatakan faktor-faktor

penyebab perubahan antara lain : (a) timbunan kebudayaan dan penemuan baru,

(b) perubahan jumlah penduduk, (c) pertentangan/conflict. More (dalam Pasaribu

2009) menyatakan bahwa penyebab perubahan adalah sebagai berikut : (a)

keinginan secara sadar dan keputusan pribadi, (b) sikap tindak pribadi yang di

pengaruhi oleh kondisi yang telah berubah, (c) perubahan struktural dan halangan

struktural, (d) pengaruh-pengaruh eksternal, (e) pribadi atau kelompok yang

menonjol, (f) unsur-unsur yang bergabung menjadi satu, (g) peristiwa-peristiwa

tertentu, (h) munculnya tujuan bersama. Koentjaraningrat (dalam Abdulsyani

2002) menambahkan faktor-faktor penyebab sesorang (individu) mencari

penemuan baru adalah sebagai berikut: (a) kesadaran diri orang perorangan akan

kekurangan dalam kebudayaannya, (b) kualitas dari ahli dalam suatu kebudayaan,

(c) perangsang bagi aktivitas-altivitas penciptaan dalam masyarakat.

Perubahan demi perubahan selalu ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu.

Namun dalam pembangunan dewasa ini masyarakat dibawa pada kecenderungan

untuk berubah lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Perubahan ini disebabkan

oleh adanya penilaian sesuatu yang dahulunya bernilai tinggi dan mutlak harus

ada, tetapi sekarang sudah hilang makna dan nilainya. Perubahan yang dimaksud

adalah penambahan atau pengurangan kearah perubahan. Penambahan atau

pengurangan dalam upacara perkawinan dapat dilihat lima unsur upacara

perkawinan yang meliputi: teknik pelaksanaan upacara, tempat upacara, waktu

upacara, peralatan dan perlengkapan upacara dan orang-orang yang melakukan

upacara. Perubahan yang sekarang terjadi di dalam masyarakat adalah suatu


18

fenomena yang wajar seiring perkembangan zaman pada masa kini. Perubahan

inilah yang terjadi di dalam masyarakat Sunda di Pekon Way Gelang.

B. Kerangka Pikir

Dahulu adat perkawinan Sunda masih sering digunakan tapi seiring dengan arus

modernisasi perkawinan adat semakin lama semakin ditinggalkan. Perubahan

kebudayaan dapat terjadi karena ada faktor-faktor yang mendorong terjadinya

perubahan tersebut. Perubahan adat perkawinan Sunda di Pekon Way Gelang

Kota Agung Barat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor dalam (intern) dan luar

(ekstern).

Semakin pesatnya perkembangan zaman yang serba modern, baik itu faktor

intern, seperti masyarakat, perekonomianya, dan sebagainya, dan faktor ekstern

seperti arus informasi, globalisasi, serta media massa baik cetak maupun

elektronik, dan juga pergaulan yang sudah begitu meluas dan membaur dengan

berbagai suku bangsa, dan sebagainya. Hal ini dapat di lihat pada masyarakat

Pekon Way Gelang pada zaman sekarang ini umumnya menggunakan upacara

perkawinan yang biasa dibilang lebih praktis dari perkawinan adat.


19

C.3 Paradigma

Upacara Adat Perkawinan


pada masyarakat Sunda di
pekon Way Gelang

Faktor dalam Faktor Luar

Perubahan Upacara Adat


Perkawinan pada
masyarakat Sunda di
Pekon Way Gelang

Keterangan :

: Garis Pengaruh

: Garis Akibat
20

REFERENSI

Koentjaraningrat. 1980.Sejarah Teori Antropologi. Jakarta.Universitas Indonesia


halaman 140
Ibid halaman 241
Thomas Wiyasa Bratawidjaya. 1990. Upacara Perkawinan Adat Sunda. Jakarta.
Sinar Harapan. Halaman 1
Koentjaraningrat. 1982.Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta.Dian Rakyat
halaman 5
Ali Imron.2005.Pola Perkawinan Saibatin.Universitas Lampung.Bandar Lampung
halaman 2
Hilman Hadikusuma. 1995. Hukum Perkawinan Adat.AdityaBakti. Bandung
halaman 70
Koentjaraningrat.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta. Rineka Cipta. Edisi
Revisi. Halaman 115-118
Koentraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan diIndonesia. Jakarta: Djambatan
Edi S. Ekadjati. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pndekatan Sejarah). Jakarta:
Pustaka Jaya, hal.7-8.
Ariyono Soeyono.1985.Kamus Antropologi.CV. Jakarta .Akademika Presindo.
Halaman 315
Thomas Wiyasa Bratawidjaya. 1990. Upacara Perkawinan Adat Sunda. Jakarta.
Sinar Harapan.
Ariyono Soeyono. Op Cit 321
William A Havilan (Alih Bahasa : RG. Soekadijo).1993.Antropologi.Edisi
Keempat. Erlangga Jakarta. Halaman 253
Imran ,Manan.1989.Perubahan Sosial Budaya, Modernisasi dan Pembangunan.
P2LPPK: Jakarta
Abdulsyani.2002.Sosiologi Skematika,Teori dan Terapan. Jakarta .PT Bumi
Aksara. Halaman 162
Titik Triwulan Tutik dan Trianto.2008.Dimensi Transendental dan Transformasi
Sosial Budaya.Lintas Pustaka Publisher. Jakarta. Halaman 10

Anda mungkin juga menyukai