Anda di halaman 1dari 4

Rasa yang Sempat Mati

. . . . . . . [begin] . . . . . . .

LDR, hubungan yang kata banyak orang adalah ikatan jarak jauh yang memiliki kunci
suatu komunikasi. Ya, awalnya sih aku percaya. Tapi, kondisiku kini ingin
memberontak dan berkata bahwa LDR adalah kebohongan yang manis. Hubungan 2
tahun yang kujalani sejak lulus dari SMP harus perlahan memudar tanpa adanya
kejelasan. Pastinya semua orang tidak akan menyangka hal ini, termasuk diriku
sendiri. Namun, aku tak pernah sekalipun menyesalinya.

Aku biasa dipanggil temanku Putra, murid kelas XI SMA swasta di Surakarta. Kini
aku bisa bangga. Aku bisa berkata kepada semuanya dan menanyakan siapa di sini
yang tak kenal diriku. Mantan siswa teladan dan tak pernah pulang lomba tanpa
membawa suatu prestasi dan kebanggaan. Hidup ini terkadang memang
menyenangkan. Tapi di balik itu semua, pasti ada saja orang yang membicarakanku
di belakang.

Semua kenangan masa laluku yang terkadang masih mengganggu seketika hilang
dan lenyap layaknya ditelan bumi dalam tempo yang singkat. Dea, adik kelas yang
kukenal dari teman dekatku sendiri menarik perhatianku. Aku memang pernah
melihatnya. Dia adalah orang yang senang di bidang seni tari. Awal pertemuanku
dengannya adalah ketika aku menyapanya secara formal sebagai seorang kakak
kelas.

“Dek asalmu dari mana?” sapaku untuk membuka pembicaraan.


“Dari Pekanbaru kak,” jawabnya dengan senyuman tipis yang melengkung indah.
Memang itu awal yang terdengar biasa saja. Tapi bagiku, ini terasa berbeda. Waktu
terasa berjalan melambat dan malamku terasa lebih panjang dengan mimpi yang
selalu terasa indah. Kini kita semakin akrab, tapi keakraban yang formal tersebut
mulai terasa berbeda.

Aku mulai menyukainya, aku mulai peduli padanya. Oh ya, sebelumnya, sekolahku
adalah salah satu SMA favorit, tak hanya di Jawa Tengah, tetapi juga di Indonesia.
Seluruh penjuru negeri ini bisa bergabung ke sini. Namun, larangan
mengoperasikan HP berlaku ketat di sini. Hanya saja, kita dipinjami laptop yang
lebih dari cukup untuk menunjang pembelajaran. Ya, aku mulai sadar bahwa
kehadirannya, Dea, membuatku semakin bersemangat menjalani hidup ini.

Namun, suatu pagi semangatku mulai terlihat goyah.


“Put, kamu deket sama Dea?” tanya Alya, kakak kelas Dea sewaktu SMP.
“Enggak sih, cuma aku tertarik doang, hehe, kenapa nih?” tanyaku balik.
“Tapi kamu tau gak kalo dia udah punya pacar?”
“Oh shit,” seruku dalam hati dan segera berlari meninggalkan Alya tanpa
meninggalkan sepatah kata pun. Aku pikir itu hari yang sangat mengesalkan bagiku.
Beruntung ada teman-temanku yang membuatku sedikit merasa tenang. Ya karena
mereka dengan senang hati ingin membantuku dekat dengan Dea.

Banyak orang yang menganggap ini tindakan seorang bajingan yang mendekati
seseorang yang sudah memiliki pacar. Kembali ke awal, aku telah menyimpulkan
bahwa LDR itu bullshit semata. 2 tahun yang terjalin dengan susah payah pun
dengan mudahnya lepas. Begitu juga hal yang dialami teman-temanku.

Basket adalah olahraga yang kutekuni selama bersekolah. Banyak pengalaman dan
penghargaan yang kudapat dari bidang ini. Hari ini, uji tanding pertamaku di
semester ini. Melawan tim raksasa dari Jogjakarta. Ini kesempatanku untuk
menunjukkan kebolehanku pastinya. Aku janji pada diriku sendiri, ketika Dea
datang untuk mendukung, akan kuberikan yang terbaik.

“Dee (sapaan pilihanku untuknya), nanti sore bisa nonton basket gak? Aku ada
pertandingan nanti” ucapku penuh harapan.
“Aku? Sendirian?” tanyanya.
“Jangan lah, ajak temenmu aja,” sindirku halus agar dia datang.
“Iya kak, tapi kalo aku nggak ketiduran ya, hehe” jawabnya dengan senyum yang
manis.
“Makasih ya dee,” ucapku seraya meningglkannya bersama teman-temannya karena
aku harus segera bersiap untuk pertandingan nanti.

Ketika suatu rasa yang tengah berada di ujung kepastian, ketika itu juga aku
merasa bahwa tekanan akan selalu ada dan menekan dari segala arah. Malamnya,
setelah pertandingan itu selesai aku mendengar kabar bahwa kini tak hanya aku,
lelaki yang berusaha mendekatinya. Ini memang kenyataan yang pahit. Aku memang
sedang dalam keadaan sangat senang sebelum aku mendengar kabar tersebut.
Tapi, kabar yang menjadi buah bibir tersebut terdengar menyakitkan karena aku
tahu bahwa salah satu yang mendekatinya adalah orang yang kuanggap sebagai
teman walau hanya sebatas kata kasihan karena dia tak ada teman lain.

Waktu terus berputar dan hari perlahan berganti. Ini terasa sangat berat
lantaran ketika kucoba untuk melepas Dea, perasaan ini semakin kuat. Tetapi
sebaliknya, ketika kucoba untuk terus berusaha, tekanan semakin besar. Aku tak
tahu ini salahku atau salah siapa, apa aku salah memilih orang untuk kudekati? Aku
pikir tidak. Pasalnya, banyak pihak yang mendukungku, tapi langkahku pun tak
terasa ringan.

“Dee, ada tugas?”


“Dee udah nulis jurnal?”
“Dee kok kamu sekarang berubah?”

Pertanyaan yang sempat kuberikan padanya, tapi selalu terjawab dengan bahasa
tubuh dan senyumannya yang tetap terlihat manis tapi cukup menyakitkan untuk
terus dipandang, karena senyum itu tak sepenuhnya membuatku bahagia. Memang
sering air mata ini menetes walau hanya satu atau dua tetes, tapi hati ini telah
tersayat dengan sayatan yang begitu halus. Ya, memang aku tahu rasa sakitnya.
Tapi aku tak pernah sekalipun berusaha untuk mengucap kata “sudah cukup, kini
aku menyerah”. Masih banyak sih orang di belakangku yang setia memberiku
support dan semangat. Terima kasih kawan, tanpamu kini aku hanya menjadi sebuah
daun kering di antara rerumputan. Terlihat jelas, namun menyedihkan.

Kini aku mulai berpikir bagaimana cara untuk lepas dari semua tekanan ini dan
doaku selama ini untuk dekat dengannya terwujud. Tapi, hingga kini hal tersebut
hanya menjadi mimpi semata. Kenyataannya hal ini terasa sangat sulit. Memang
belum seratus persen aku berusaha. Jadi, mungkin kini saatnya. Semua tidak hanya
sekedar mimpi lagi. Kata “teman” yang selama ini kudengar baik pun kadang akan
memiliki konotasi yang negatif. Oleh karena itu, aku harus lebih berhati-hati
karena seekor anjing yang lucu pun akan menggigit ketika ia mempunyai
kesempatan. Aku berkata sesuai fakta kan? Teman itu omong kosong kalau
dikaitkan dengan masalah cinta.

Ketika harapan yang mulai memudar, di saat itulah Daffa, ketua OSIS yang pernah
senasib denganku tetap menyemangatiku. Banyak hal yang dia lakukan dan aku rasa
itu sangat membantu. Di sisi lain, perasaan hati ini mulai agresif. Permainan emosi
mulai terasa menghantui. Mood seringkali menurun drastis. Aku tak tahu apa
sebabnya, tapi jujur ini membuatku merasa kesal.

“Kamu boleh menjauh, tapi bukan untuk menyerah,” tegas Daffa kepadaku.
“Ya aku tahu, tapi situasinya gak bisa kaya gitu Daf,” jawabku dengan nada tinggi.
“Tapi kalau kamu kasih jarak yang jauh sama dia, kamu bakal kehilangannya,”
jawabnya seakan memaksaku.
“Fuck, posisi ini sungguh membuatku kesal,” umpatku dengan nada lirih padanya.

Dea, perempuan yang kukenal dengan sesosok misterius yang penuh teka-teki dan
tanda tanya. Bahkan setiap langkah yang harus aku ambil pun harus aku pikirkan
baik-baik. Sebab, ketika aku salah dalam mengambil keputusan, aku tak hanya salah
jalan, tetapi juga berpotensi untuk kehilangannya.

Perkataan orang yang pedas, menyayat, dan melukai hati tak akan kuhiraukan
lantaran ini adalah jalan hidupku. Aku bebas untuk menentukannya sendiri dan
menjalaninya. Memang aku sadar bahwa orang lain bebas untuk berpendapat,
mereka pun punya hak untuk berkomentar. Tapi, perlu diingat bahwa mereka tak
memiliki hak sedikit pun untuk ikut campur urusan ini.

Mungkin jawaban atas teka-teki ini belum bisa terjawab sampai kini, tapi Tuhan
akan selalu punya cerita indah bagi hamba-Nya yang mau berusaha maksimal. Tuhan
telah menakdirkan manusia untuk berpasang-pasangan. Ya, memang itu hal yang
baik. Tetapi, manusia perlu mencari takdirnya. Takdir adalah hal untuk diraih,
tidak hanya sekedar dinanti. Penantian tak akan selamanya punya arti yang indah.

“Dee, mungkin kini kau tak tahu perasaanku padamu. Kau tak tahu sebesar apa aku
berusaha untuk bersanding denganmu. Apakah kau pernah berpikir akan mengenal
orang sepertiku? Atau bahkan lebih? Hhhhh, lagian juga siapa yang gak kenal aku.
Percayalah Dee, aku akan berusaha yang terbaik untukmu, aku akan
membahagiakanmu, suatu saat nanti....,” kata-kata yang selalu terngiang di benakku
dan sangat ingin ku ungkapkan padamu. Percayalah, akuuuu........ mencintaimu.......

. . . . . . . [end] . . . . . . .

Herdian Bagas Permana Putra


14 ; XI-B
SMA Pradita Dirgantara

Anda mungkin juga menyukai