Anda di halaman 1dari 18

Step 3

1. Jelaskan Anatomi, histologi dan fisiologi dari sinus paranasal


 Anatomi

 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal,

sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan
mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997).

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media,


ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa


rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah
ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee,
2008).
Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila


disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan
Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya
adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008)

Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang


perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi
taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam
sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.

b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter,
F.H., 2006) Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam,
1990).

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).

Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4


cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).

Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus


frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena
dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa
bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5
cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006;
Mangunkusomo, 2007).

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai


sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara
ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka
media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior
dari lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,


disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid


posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya
1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006).

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri


media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Ramalinggam,1990)
Kompleks Osteomeatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius,


ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal
(KOM) terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.

 Fisiologi

Sistem Mukosilier

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa


bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya
mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral
hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara
tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post
nasal drpi), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung

Fisiologi Sinus Paranasal

Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007)


sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus
paranasal antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan


mengatur

kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus


kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-
sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka,


akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap
tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi
pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah.

e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil


dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus
media, tempat yang paling strategis.

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur
untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang
sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang
bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan
resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.
Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi
belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).
 Histologi ??
2. Mengapa pilek tidak sembuh sejak 4 bulan yag lalu
Procesus ucinatus  dibelakang procesus ucinatus ada os. Maxila
Edem  mengakibatkan penyumbatan dari ostium sinus maxila akhirnya
mukus tidak bisa dikeluarkan  mukus yang tidak keluar (terkumpul)
merupakan media yang baik untuk multiplikasi bakteri sinusitis

3. Mengapa ingus kental, sulit keluar dan terasa keluar ditenggorok terutama
saat bangun tidur

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise,


dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan
pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak,
penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya
sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali
terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di
tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat
keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-
produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan


dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan.
Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu
sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya
kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe
dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis
tipe rinogen (Mansjoer,2001).

4. Apa hubungan riwayat gigi berlubang pada rahang atas dengan keluhan
pasien

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari
gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering
terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh
tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai
sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan


terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
(Saragih, 2007).

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi


dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan


sinus maksila (Ross, 1999).

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki,
2001).
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007).

5. Apa hubungan sering mengeluh sakit kepala disekitar pipi


Sesuai dengan anatomi  dapat menyerang sinus maxilaris
Sinus frontal didahi
Ethmoidal, dan sphenoid  diantara mata

6. Mengapa keluhan berkurang saat minum obat, dan kambuh saat obat habis
Obat hanya mengurangi gejala saja. Sedangkan seharusnya mengobati caries
pada gigi terlebih dahulu.

7. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjang yang diusulkan


 Pemeriksaan fisik
o Inspeksi : dilihat sinus ada pembengkakan atau tidak
o Palpasi: pada 3 sinus, karena 1 sinus letak didalam
sehingga tidak dapat dipalpasi
o Transiluminasi pada ruangan gelap
 Penunjang :
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut
membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena
(Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang
edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat
menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat
melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia
(Mansjoer, 2001).
 Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus
frontal dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada
sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999).
Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena
dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis
anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis
etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi
dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus
mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior
membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
 Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau
CT-scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah
perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis
maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-
scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
 Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang
keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga
menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk
dari hidung (Ross, 1999).
 Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus
dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskopi dapat dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

8. Sebutkan dan jelaskan DD dan diagnosis dari skenario

 SINUSITIS
Adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksisla, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus
maksila dan sinus etmoid yang berkembang., sedangkan sinus frontal dan sinus
sfenoid belum.
Sinus maksila disebut juga antrum highmore merupakan snus yang sering
terinfeksi oleh karena
a. Merupakan sinus paranasal yang terbesar
b. Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau
drenase dari sinus maksila hanya tergantung gerakan silia.
c. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris) sehingga
infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila.
d. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus
semilunares yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Patofisiologi
Edema Di kompleks ostimeatal  mucosa yangletaknya berhadapan
bertemu  silia tidak dapat bergerak  lendir tidak dialirkan terjadi
gangguan drenase dan ventilasi di sinus  silia kurang aktif  lendir yang
diproduksi mucosa lebih sinus kental  bakteri patogen berkembang baik
 sumbatan berlangsung terus  hipoksia dan retensi lendir  infeksi oleh
bakteri anaerob  jeringan jadi hipertropi, polipoid ( pembentukan polip
dan kista)

SINUSITIS AKUT

Etiologi
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut (2) infeksi faring, seperti
faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut (3) infeksi gigi rahang atas M,, M2, M3,
serta P, dan P2 (dentogen) (4) berenang dan menyelam (5) trauma, dapat
menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal (6) barotrauma dapat
menyebabkan nekrosis mukosa.
Gejala subyektif
Gejala subjektif dibagi dalam gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat ingus
kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri di daerah sinus yang
terkena, serta kadangkadang dirasakan juga di tempat lain karena
nyeri alih (referred pain). Pada sinusitis maksila nyeri di bawah kelopak
mata dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri
di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Rasa nyeri pada sinusitis etmoid di pangkal hidung dan kantus medius.
Kadang-kadang dirasakan nyeri di bola mata atau di belakangnya, dan
nyeri akan bertambah bila mata digerakkan. Nyeri alih dirasakan di
pelipis (parietal).
Pada sinusitis frontal rasa nyeri terlokalisasi di dahi atau dirasakan
nyeri di seluruh kepala.
Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di verteks, oksipital, di belakang bola mata
dan di daerah mastoid.
Gejala obyektif
Pada pemeriksaan sinusitis akut akan tampak pembengkakan di
daerah muka. Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata
atas, pada sinusitis etmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada
komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid
anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada
sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak ke luar dari
meatus superior.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
P.penunjang
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus
yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang
normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi Waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau Batas cairan-
udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
P. mkrobiologik
Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus
medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam
bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen,
seperti Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus dan Haemophilus
influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau jamur.
Terapi
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotika selama 10-14 hari,
meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotika yang diberikan ialah
golongan penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes
hidung, untuk memperlancar drenase sinus. Boleh diberikan analgetika
untuk menghilangkan rasa nyeri.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali
bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial; atau bila ada
nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

SINUSITIS SUBAKUT

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang


akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau
superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring.
Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit suram atau
gelap.
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu
dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas, atau
yang sesuai dengan tes resistensi kuman, selama 10-14 hari. Juga
diberikan obat-obat simtomatis berupa dekongestan lokal (obat tetes
hidung) untuk memperlancar drenase. Obat tetes hidung hanya boleh
diberikan untuk waktu yang terbatas (5 sampai 10 hari), karena kalau
terlalu lama dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Selain itu,
dapat diberikan analgetika, antihistamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (ultra
short wave diathermy), sebanyak 5 sampai 6 kali pada daerah yang sakit
untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka
dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksila dapat dilakukan tindakan pungsi irigasi. Pada
sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah,
dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (Proetz
displacement therapy).

SINUSITIS KRONIS
Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya
sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari
faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh
alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan
mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila
pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi akan
menyebabkan edema konka, sehingga drenase sekret akan terganggu.
Drenase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan seterusnya.
Gejala subyektif
Gejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari:
- gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip).
- gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
- gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena
tersumbatnya tuba Eustachius.
- adanya nyeri/sakit kepala.
- gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-
lakrimalis. gejala saluran napas berupa batuk dan kadang-kadang
terdapat komplikasi di paru, berupa bronkitis atau bronkiektasis atau
asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis.
- gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Gejala obyektif

Pada sinusitis kronis, temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis


akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi
anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau
meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.
Pemeriksaan mikrobiologik
Biasanya merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba,
seperti kuman aerob S.aureus, S.viridans, H.influenzae dan kuman anaerob
Peptostreptokokus dan Fusobakterium.
Diagnosis sinusitis kronis
Dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan rinoskopi
anterior dan posterior serta pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi
untuk sinus maksila dan sinus frontal, pemeriksaan radiologik, pungsi sinus
maksila, sinoskopi sinus maksila, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang
diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan
meatus superior dengan menggunakan naso-endoskopi dan pemeriksaan CT
Scan.
Terapi
Pada sinusitis kronis perlu diberikan terapi antibiotika untuk
mengatasi infeksinya dan obat-obatan simtomatis lainnya. Antibiotika di-
berikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu.

9. Jelaskan penatalaksanaan dari skenario

Prinsip terapi :

a. Atasi masalah gigi

b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi

c. Operatif

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada


sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik


pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan
Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua (Chambers
dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik,
analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium
klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris
atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus
endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus yang
menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus
dan klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF
ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase
dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat
juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila.
Tindakan ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi
sinus maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang,
2008).

10. Apa komplikasi dari skenario


 Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis
etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul
ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata
tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus
(Hilger, 1997).
 Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan
Schow, 2008)
 Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak
melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan
meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).

 Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis
dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan
paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan (Ballenger, 2009).

Anda mungkin juga menyukai