Anda di halaman 1dari 8

NAMA : BAYU FIRMAN SAPUTRA

NIM: 04610262

Sosro, Mengalir Sampai Jauh


Oleh : Teguh Sri Pambudi

Di tangan generasi ketiga, bisnis keluarga Sosrodjojo, terutama teh botolnya, kian kokoh. Seberapa besar
kehebatannya? Benarkah tak akan ada yang sanggup menggoyangnya?

Slawi. Hari masih pagi, tapi suasana di sekitar pabrik teh PT Gunung Slamat (GS) tampak mulai bergairah.
Pagi itu, selepas azan Shubuh, para pekerja sudah datang dari berbagai pelosok kampung. Mereka umumnya
mengendarai sepeda onthel, tapi tidak sedikit pula yang menumpang mobil angkutan umum. Denyut
kehidupan seakan tak pernah mati di lingkungan pabrik teh ini.

Saat ini, GS bisa dibilang satu-satunya pabrik teh di Slawi yang beroperasi selama 24 jam penuh. Ketika
pabrik sejenis hanya menerapkan kerja siang hari, bahkan ada yang sampai meliburkan karyawannya, pabrik
yang berdiri pada 1953 lewat tangan Sosrodjojo ini seperti tak kenal rehat barang sejenak. Kerja sekitar 400
karyawannya dibagi dengan sistem shift: pagi (06.00-14.00), sore (14.00-22.00) dan malam (22.00-06.00).

Selain itu, perusahaan ini juga masih menerapkan sistem lembur. Ini diperlakukan khusus pada hari Ahad
dan hari libur nasional. Karyawan yang masuk hari itu akan diganjar upah dua kali lipat dibanding hari biasa.
“Kalau yang masih bujang, senang Mas lembur di hari Minggu. Gajinya dobel,” kata Salman (bukan nama
sebenarnya), karyawan yang mengaku baru dua tahun bekerja di GS.

GS, bagi warga Slawi dan Tegal, bukanlah perusahaan yang asing. Masyarakat setempat mengenal betul
bahwa perusahaan ini merupakan pabrik teh tertua di Slawi yang menjadi pionir kelahiran Teh Botol Sosro
(TBS). Walau dari luar tidak terlihat simbol-simbol kebesarannya -- satu-satunya simbol hanya terlihat dari
mobil-mobil yang khusus mengangkut Teh Celup Sosro dan Teh Cap Poci dengan merek Sosro -- mereka
juga tahu bahwa GS menjadi rantai penting eksistensi TBS. Lebih dari itu, tempat menggantungkan hidup
masyarakat sekitar.

Pemikiran mereka mungkin terdengar sederhana: GS menjadi tempat mata pencarian. Namun, melangkah
ke tataran yang lebih luas, pemikiran itu tak sepenuhnya keliru. Pasalnya, sebagai pengolah teh kering, GS
menjadi salah satu rantai pasokan yang vital buat PT Sinar Sosro (SS) untuk memproduksi TBS berikut
produk-produknya yang lain seperti Fruit Tea dan S-Tee. Dan total gerai SS, baik di pasar becek maupun
modern, jumlahnya melebihi 600 ribu. Para peritel ini mengandalkan dan menjual produk-produk SS,
khususnya TBS, dengan margin 100%. Bayangkan apa yang terjadi di sektor informal ini kalau pasokan dari
GS macet! Pengangguran bisa bertambah.

Pentingnya GS pun diakui manajemen SS ketika mereka menerbitkan obligasi senilai Rp 100 miliar tahun
2001. Dalam Prospektusnya terang-terangan dinyatakan bahwa di luar fluktuasi harga dan pasokan gula
industri, salah satu risiko usaha perseroan adalah kelangsungan persediaan bahan baku dari pabrik di Slawi
itu. “Apabila PT Gunung Slamat lalai atau tak dapat memenuhi pasokan daun teh yang telah ditetapkan
Perseroan, maka hal tersebut dapat mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan.” Begitu bunyinya.

SS memang amat berkepentingan terhadap pasokan GS sehingga pabrik di Slawi ini dipaksa tak pernah
mengenal kata lelah. Maklum, sebagai pemain industri teh dalam kemasan, SS yang dihuni sekitar 7.500
karyawan tetap dan bermarkas besar di Cakung, Jakarta ini harus terus menancapkan eksistensinya. Bahkan
kalau perlu, terus tancap gas, meninggalkan pesaing yang sepertinya juga tak pernah rela melihat produk-
produknya melenggang di depan.
Ya, produk-produk SS memang terus melangkah mantap. Dari sisi penguasaan pasar, Bambang Bhakti,
pengamat pemasaran, menaksir SS menguasai 90% industri minuman teh dalam kemasan di lingkup
domestik -- di industri minuman dalam kemasan, teh sendiri mengambil porsi 30%, sementara sisanya
dikuasai air mineral (40%) dan carbonated softdrink (20%). TBS, terutama. Produk yang lahir tahun 1970 ini
bisa dikatakan menjadi rajanya teh dalam kemasan. Sekalipun para pemain asing tak henti menggempur,
mulai dari Hi-C, Te Kita, Lipton Tea sampai Frestea, posisi TBS terus ajek. Bahkan, suka atau tidak,
gempuran terhadap TBS justru membuat SS berakrobat dengan lincah: melahirkan produk-produk baru
seperti S-tee untuk menandingi Te Kita, dan Fruit Tea yang malah berbalik menggempur Frestea dan kian
berpotensi menjadi jagoan baru industri teh dalam kemasan.

Menengok ke belakang, tepatnya tahun 1970, kondisi ini bak langit dan bumi. Di tahun itu, TBS seperti
barang aneh karena nyaris tak ada teh yang dimasukkan ke dalam botol, yang dijajakan ke konsumen.
Hanya lewat keuletan putra-putra Sosrodjojo-lah, perlahan tapi pasti TBS diterima publik. Mereka memilih
pasar sasaran para sopir atau orang-orang yang lalu lalang di sekitar Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, dan
Pasar Senen, Jakarta Pusat. Namun, waktu itu situasinya tak seperti sekarang. “Jangankan membeli, dikasih
saja belum tentu mau,” ujar Sawali (bukan nama sebenarnya) yang mengikuti fase-fase awal generasi kedua
Sosrodjojo membesarkan SS. Tentang tonggak-tonggak perjalanan bisnis keluarga Sosrodjojo, lihat
“Berkembang Bersama Kuncup Daun Teh”.

Kini, kokohnya produk SS, terutama TBS, kerap menimbulkan pertanyaan: tak bisakah mereka digoyang?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka proses bisnis yang dijalani SS harus diurai. Sederhananya, ada empat
tahap yang menjadi rangkaian proses bisnisnya: perkebunan, pengolahan teh kering, botlling serta
distribusi. Sekarang, mari pereteli kekuatan perusahaan yang sekarang dipimpin Joseph Soewito Sosrodjojo
(generasi ketiga keluarga Sosrodjojo) ini. Joseph adalah anak kedua Soegiharto Sosrodjojo.

Di perkebunan, SS memiliki fasilitas produksi yang barangkali sulit ditandingi para pesaing yang mencoba
menggoyangnya. Perusahaan ini punya perkebunan teh afiliasi yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa
Barat dengan total luas lahan mencapai 1.587 hektare . Rinciannya; (1) Garut dengan luas 455 ha dengan
ketinggian 1.000-1.250 meter di atas permukaan laut; (2) Cianjur dengan luas 400 ha dengan ketinggian
1.000-1.250 meter di atas permukaan laut; (3) dan Tasikmalaya dengan luas 732 ha dengan ketinggian
800-950 meter di atas permukaan laut. Di Garut dan Cianjur, perkebunan ini dikelola lewat bendera PT
Agropangan Putra Mandiri. Sementara di Tasikmalaya, lewat bendera PT Sinar Inesco.

Selain pasokan bahan baku yang kuat, SS juga punya fasilitas produksi yang oke punya. Untuk pengolahan
teh kering, GS di Slawi menjadi andalannya. Kemudian, ada 7 pabrik yang tersebar di Pulau Jawa dan
Sumatera, yaitu Medan, Pandeglang, Cakung, Tambun, Ungaran, Gresik serta Gianyar. Total kapasitas
terpasang ke-7 pabrik yang berfasilitas modern tersebut (mesin-mesinnya didatangkan dari Jerman) adalah
62.919 liter/jam. Dan hebatnya, seperti GS, pabrik tersebut juga bekerja tak kenal lelah. Di Pandeglang,
umpamanya. Di pabrik berkapasitas 3.960 liter/jam ini, jam kerja dibagi tiga shif: 08.00-15.00, lalu 15.00-
23.00, dan 23.00 – 07.00.

Sampai di sini, bisa terlihat betapa kuatnya SS. Dan bila melangkah pada aspek selanjutnya, bottling,
kekuatan itu kian terasa. Sebagian pihak mungkin merasa aneh kalau bottling dipandang penting. Namun,
jangan keliru. SS bukan semata produsen teh dalam kemasan. Memang ada produk kemasan tetra pak yang
dalam lingkungan SS dikategorikan teh kemasan sekali pakai. Akan tetapi, sejatinya SS adalah bottling
company. Bottling adalah rantai bisnis yang tak bisa disepelekan. Tak percaya?
Tahun lalu, penjualan SS ditaksir mencapai 146 juta krat botol (satu krat terdiri dari 24 botol). Dalam industi
minuman dalam kemasan botol, untuk menaksir kekuatan pemain adalah tingkat penjualannya, setidaknya
dikalikan tiga. Mengapa? Penjelasannya sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, sang pemain harus
memiliki botol di pabrik untuk diisi, botol yang diantar ke distribusi, dan botol yang ditarik dari gerai sehabis
diminum pelanggan. Semua ini harus ada karena menjadi sebuah kelakar yang tak lucu bila produsen cuma
punya sejumlah botol untuk diminum pelanggan tapi tak punya persediaan di pabrik. Apa jadinya kalau tiba-
tiba permintaan meningkat? Adalah tak mungkin orang yang kehausan mesti menunggu botol yang sedang
dalam perjalanan menuju pabrik untuk diisi terlebih dulu. Alhasil, dengan hitungan kasar, SS bisa jadi
memiliki hingga 438 juta krat botol, hampir dua kali lipat jumlah penduduk Indonesia. Dan asal tahu saja,
bentuk botol TBS ini tak berubah sejak 1974.

Manajemen SS sendiri, sudah mengenal dengan baik hakikat perusahaan bottling sejak 1974, ketika
perusahaan baru resmi berdiri. “Tahun itu, dan tahun-tahun berikutnya, setiap uang yang didapatkan
mereka reinvest dalam bentuk botol. Mereka tahu, untuk meluaskan pasar, itu adalah mutlak sebagai salah
satu entry barrier. Bahkan, sampai sekarang reinvestasi mereka adalah botol,” ujar Sawali.

Pernyataan tersebut mendapat konfirmasi salah satu mitra SS untuk urusan botol, Iglas. “Bagi kami, Sosro
bukan customer baru. Pertama kali mendirikan pabrik, mereka langsung pesan botol ke kami,” ujar seorang
sumber di pabrik gelas ini. Bahkan, pada kurun 2000–04, pesanan SS terus meningkat signifikan. Untuk
botol TBS, pesanan tumbuh rata-rata 39,6% per tahun, sementara pesanan botol Fruit Tea dan S-tee, dalam
kurun 2003–04, tumbuh masing-masing 300% per tahun. Hanya di tahun 1998, karena krisis ekonomi,
pesanan nyaris tidak ada. Sayang, berapa persisnya jumlah pesanan botol, tidak dijelaskan. Namun yang
pasti, tahun lalu Iglas menjual 550 juta unit botol yang dipesan para pemain. “Pesanan TBS yang paling
besar,” katanya. Selain dari Iglas, SS sebenarnya juga memesan botol dari Mulia Glass. Produk terbarunya,
Tebs, teh berkarbonasi (230 ml) bahkan dipesan dari pabrik ini.
Selesai bottling, sekarang perhatikan aspek distribusinya. Seperti disinggung di atas, setidaknya ada 600
gerai yang memasarkan produk-produk SS. Jelas ini bukan angka yang kecil. Pasalnya, Bambang
menegaskan, Coca-Cola yang dikenal jagonya bottling company hanya 400 juta gerai. Memang, seperti
telusuran SWA, jaringan distribusi ini masih terlampau dominan di tanah Jawa. Akan tetapi, jumlah gerai
sebesar itu terang-terangan menunjukkan penetrasi yang luas. Dan distribusi yang kuat terbilang penting
karena di industri teh botol, Bambang menjelaskan, faktor preferensi belum sedominan di industri rokok.

“Yang paling penting memang availability. Orang kadang tidak akan peduli, kalau di warung ada Te Kita,
sementara Sosro belum disuplai, misalnya. So what? Yang ada saja,” ujar Andre Vincent Wenas, Direktur
Pengelola Strategic Management Services. “Berbeda dari rokok. Biasa Dji Sam Soe, tidak ada di warung,
konsumen akan cari di tempat lain. Dji Sam Soe sudah masuk tingkatan kedua dalam brand: preferensi,
minuman belum sampai tingkatan itu. Sosro belum terlalu jadi preferensi sehari-hari. Karakter produknya
tidak membuat orang terlalu terikat. Dji Sam Soe punya kharisma,” ujar Bambang.

Setuju atau tidak, yang pasti, kalau akhirnya semua elemen proses bisnis ini dikapitalisasi, aset SS (mulai
dari kebun, pabrik, sampai botol) ditaksir bisa mencapai lebih dari Rp 10 triliun. Pihak SS, dalam laporan
keuangan per 2003 (audited), menyebutkan, asetnya Rp 857 miliar. Mana yang benar, tak usah terlalu
dipusingkan. Sekarang, kembali pada pertanyaan awal. Asumsikan ada pemain yang sanggup menghasilkan
aset sebesar itu, lantas, akan goyahkah SS? Sanggupkah ia menyerang bisnis keluarga Sosro ini?

Mereka yang asset minded, mungkin menganggukkan kepala. Asumsinya, kekuatan aset yang lebih besar
bisa menang bila dihadapkan pada kekuatan sejenis. Namun, sejumlah kalangan meragukan pendekatan ini.
Pasalnya, proses bisnis tidak bisa selalu dikapitalisasi secara simplistis. Penambahan jumlah botol mungkin
bisa dilakukan hingga tingkat gila-gilaan. Begitu juga, membeli mesin-mesin pengolahan daun teh. Namun,
hal itu tidak bisa dilakukan terhadap elemen proses bisnis lainnya.

Di perkebunan, misalnya. Memang, bukit-bukit dengan ketinggian tertentu untuk menyemai daun teh bisa
dibeli. Akan tetapi, bagaimana dengan kompetensi dan pengalaman yang dibangun untuk memilah sekaligus
memilih daun teh berkualitas. “Teh itu kuncinya pada blend beberapa teh. Dalam pembuatan teh, tak ada
resep bakunya. Ramuannya harus dibuat setiap saat oleh sang ahli. Agar hasilnya sama tiap waktu dalam
rasa dan rupa, kekuatannya pada blend. Ini seni,” ujar Zakir, Direktur PT Sari Wangi AEA, perusahaan yang
pertama kali mengeuarkan merek teh Sari Wangi sebelum diambil alih Unilever.

Faktor rasa ini tak bisa dipandang remeh. Memang benar seperti kata Bambang bahwa TBS belum jadi
preferensi utama seperti di industri rokok. Namun, fakta di lapangan menunjukkan faktor rasa cukup
bermain. Contohnya, Te Kita. Pepsi sudah membuat produk ini berporsi lebih besar (330 ml) agar orang lebih
puas. Nyatanya, jasmine tea TBS tetap lebih bisa menggoyang lidah konsumen. SS sendiri akhirnya
meluncurkan S-tee sebagai fighting brand. Fakta di lapangan juga menunjukkan, TBS telah melahirkan
loyalis-loyalisnya sendiri. Mereka yang hanya mau minum TBS.

Selain kompetensi meramu teh, yang paling sulit dilawan adalah jalur distribusi yang sudah terjalin selama
puluhan tahun. “Banyak dari mereka (agen atau subdistributor) yang asalnya tak punya apa-apa menjadi
kaya. Mereka punya utang budi pada keluarga Sosrodjojo. Loyalitas semacam ini tak bisa dibeli, dan tak bisa
dibentuk dalam sekejap,” ungkap Sawali. “Ceritanya mungkin akan lain kalau para pemain itu, terutama
asing, masuk berbarengan di tahun 1974, atau awal 1980-an,” lanjutnya. Waktu itu, SS belumlah seperti
sekarang. Pabriknya hanya di Cakung dan Gresik dengan kapasitas terpasang 7.200 liter/jam.

Perkara distribusi memang menjadi pilar penting kesuksesan SS. Di sini, kehebatannya terletak pada rantai
distribusinya yang sebelum ke end user mencapai 600 ribu gerai. “Letaknya sangat rapat,” ujar Sugiyanto
Wibawa, pengamat ritel yang sekarang menduduki posisi VP BreadTalk. Selain kerapatan, SS juga piawai
dalam mengelola botol kembalian yang sudah kosong (returnable glass bottle) di jalur distribusi, dan juga
treatment terhadap mitra distribusinya yang di beberapa tempat sanggup melahirkan sikap kewirausahaan
para agen, subdistributor dan wholesaler. Mereka terbiasa bangun pagi untuk mengirim dan menarik botol
kosong dari jaringan sub-wholesaler-nya. Tak mudah buat mereka berpaling ke produk lain. Terlebih,
mereka mendapat selisih harga yang lumayan dari SS buat produk-produk yang notabene juga laris manis.
Tentang dinamika distribusi ini, lebih lengkap lihat “Cipratan Rezeki di Tiap Titik”.

Kedua elemen di atas, kompetensi di perkebunan dan distribusi, akan semakin terasa menyulitkan mereka
yang ingin menggusur SS, bila faktor intangible asset lain juga diperhitungkan, terutama yang lahir dari
produk. Merek, umpamanya. “Brand equity Sosro sudah sangat kuat, dan jadi generik,” ujar Asto Suno
Subroto, pengamat pemasaran dari MARS.

Ini hal yang wajar karena SS adalah pelopor industri teh dalam kemasan. Dan yang wajar buat SS, bisa
menjadi sesuatu yang sulit bagi para pesaingnya. Tak terkecuali buat para pemain asing. Mereka tampak
tercecer menghadapi ekuitas merek yang hebatnya telah dipadu dengan empat proses bisnis yang solid,
mulai dari perkebunan sampai distribusi yang terjalin rapi. Salah satu contoh kesolidan yang juga mesti
diperhatikan adalah tersebarnya pabrik di banyak tempat. Ini memungkinkan pasokan produk terus mengalir
ke seluruh gerai.

Contoh kesolidan lain yang simpel tapi berharga adalah birokrasi yang ramping dalam menjalankan proses
bisnisnya, sesuatu yang tipikal perusahaan keluarga (hal yang juga ditempuh Wings, ABC, atau Djarum),
yang jarang dimiliki perusahaan asing. Andre yang juga mantan Direktur Pengelola PT Pepsi-Cola
Indobeverages punya cerita sewaktu ia masih aktif di perusahaan kongsi Pepsi dan Salim itu. “Sosro selalu
cepat tanggap. Begitu kami mau bereaksi, mereka langsung aksi. Kadang kami bingung. Baru kami hubungi
satu dealer, langsung program dari Sosro numpuk, brek. Mereka tanggap sekali, karena tidak terlalu banyak
birokrasi. Sangat fleksibel. Kami kan mesti lapor dulu head office segala,” katanya.

Yang menarik, upaya menggoyang dominasi SS bukan cuma dilakukan pemain asing, tapi juga pemain lokal.
Ada yang bertindak secara legal, tapi ada juga yang kasar. Ada yang berkinerja lumayan, banyak juga yang
babak belur.

Di Bandung, terutama Bandung Selatan, misalnya, ada produk yang mirip TBS, baik dari segi rasa maupun
kemasan. Namanya, Teh Bintang, keluaran PT Bevera Makmur Cemerlang (BMC) yang beroperasi dari
daerah Holis-Cimahi. Dari sisi desain hampir mirip: di atas kanan tulisan Teh Bintang ada gambar bintang
berwarna merah yang memuat tulisan “SOBO”. Sementara di sebelah kirinya ada tulisan label “Halal”.
Adapun di bagian bawah tercantum tulisan “Tanpa Bahan Pewarna.” Kendati model botolnya tidak sama,
sekilas hampir mirip karena ukurannya sama.

Keberadaan dan penetrasi pasar Teh Bintang ini diakui salah seorang tim penjualan SS cukup merepotkan
dan menggerogoti pasarnya. Terutama di kawasan Bandung Selatan. “Mereka cukup merepotkan. Banyak
warung di daerah Soreang dan sekitarnya yang menjual Teh Bintang ini,” katanya. Sayangnya, ketika
dikonfirmasi ke BMC, perusahaan yang dikembangkan Rudy Sumawidjaja sejak 1994 ini keberatan
memaparkan kinerjanya. “Maaf, saya tidak bisa menyebutkannya. Itu rahasia perusahaan,” ujar seorang
karyawan BMC. Yang jelas, ia mengklaim pertumbuhan Teh Bintang cukup bagus, sanggup menghidupi 200
karyawan, dan mampu bersaing dengan pemain-pemain teh botol kecil yang jumlahnya cukup banyak di
Bandung, seperti Teh Putri Gunung dan Teh Gincu. “Di Bandung Selatan, kami cukup disegani,” lanjutnya.
Bagaimana dengan SS?

“Kami melihat Sosro sebagai raksasa untuk teh botol. Jadi sangat sulit, bahkan tidak mungkin
mengunggulinya,” ucapnya. Di luar Bandung, sekarang pemain lokal yang mulai tumbuh adalah Indo Teh,
yang berpusat di Semarang.

Baik BMC maupun Indo Teh masih terbilang sopan dan beruntung. Di Cirebon, sempat ada perusahaan teh
botol yang coba adu otot dengan SS. Caranya? Mereka menilep krat demi krat dan menyimpan di
gudangnya. Harapannya jelas: availability SS akan berkurang.

Sekian bulan, aksi ini berjalan mulus. Namun, serapat-rapatnya ikan busuk, toh tercium juga. Tim penjualan
SS mengetahui trik ini. Aksi balasan pun dibuat. Giliran krat pesaing yang dicuri. Minggu demi minggu pun
berlalu. Akhirnya, karena jelas-jelas kalah banyak dalam jumlah botol, sang pesaing mengibarkan bendera
putih dan memilih damai. Mereka tak sanggup terus menyuplai botol yang lenyap dengan mencetak botol-
botol baru.

Para pesaing SS memang ada yang melakukan cara-cara tidak etis dalam praktik bisnisnya. Akan tetapi, SS
sendiri bukan berarti lepas dari suara-suara miring. Perusahaan ini dituding beberapa pesaingnya juga kerap
mempraktikkan hal yang sama, sekalipun sebelumnya tidak dicurangi pesaing. Sayang, pihak manajemen SS
tidak bersedia mengklarifikasi segala tudingan miring ini pada SWA. Permohonan wawancara tak kunjung
mendapat respons. Bahkan, anggota keluarga besar Sosrodjojo yang selama ini relatif terbuka, seperti Indra
Sosrodjojo (putra sulung Soemarsono) pun memilih aksi bungkam dan tak mencoba membuka akses pada
sepupu-sepupunya yang mengendalikan SS.

Manajemen SS memang terkenal amat tertutup pada media. Jangankan untuk memperbincangkan hal
negatif, untuk hal yang positif pun mereka terbilang pelit bicara. Padahal, sadar atau tidak, SS sungguh
memiliki peran multiplier effect yang besar, terutama buat sektor informal. Namun yang pasti, dalam diam,
mereka sanggup membuat perusahaannya terus bersinar. Agus Pramono, analis PT Mandiri Sekuritas, berani
mengatakan bahwa SS adalah perusahaan yang memiliki struktur keuangan kuat. Tak mengherankan,
obligasi yang diterbitkannya pada 2001 senilai Rp 100 miliar termasuk yang disukai investor.

Dengan kupon bunga yang cukup tinggi -- 19,5% untuk yang fixed rate -- investor memang cenderung
menggenggam obligasi SS hingga jatuh tempo tahun depan (2006). Dibanding suku bunga deposito saat ini
yang tak sampai 10%, investor menilai kupon obligasi SS yang bunganya selalu dibayar tepat waktu itu
sangat menggiurkan. Tak mengherankan, obligasi ini memiliki peringkat A+ yang berarti selama ini tidak ada
masalah dalam hal pembayaran kuponnya. "Sejauh ini pembayaran kuponnya lancar. Bunganya juga masih
relatif tinggi. Karena itu, investor tak mau melepasnya," ungkap Agus.

Bicara kinerja, Bambang Bhakti menaksir penjualan SS tahun 2004 mencapai Rp 2 triliun. Kalau ini benar,
sungguh luar biasa karena mengacu pada laporan keuangan SS, penjualan tahun 2003 mencapai Rp 1 triliun
dengan laba bersih Rp 46,1 miliar. Relatif kecilnya laba ini sedikit bisa dimengerti karena selain beban usaha
yang besar (Rp 444 miliar), juga karena SS tak mengutip margin besar dalam bisnisnya. Dari jalur
distribusinya, pihak pengecerlah yang mengeruk keuntungan lebih besar (bisa 100%).

Apa pun, kalangan analis sendiri banyak yang tak yakin SS akan go-public, seperti pernah tersiar ketika
perusahaan ini menerbitkan obligasi pada 2001. Di tahun itu, seperti diutarakan Peter Soekianto Sosrodjojo
(saat itu menjabat CEO SS) kepada Firdanianty dari SWA, obligasi adalah langkahnya untuk mengetes pasar
sebelum go public. "Dengan kondisi keuangan yang sangat baik, ngapain (malah) Sosro go public?" Agus
balik bertanya. Ia yakin, SS adalah jagoan cash flow dari Slawi yang tak membutuhkan modal di luar
keluarga Sosrodjojo. Kalaupun kebutuhannya terlampau mendesak, selain lembaga pembiayaan atau
instrumen dana segar lainnya, tampaknya anggota keluargalah yang akan lebih dulu disambat.

Logika ini masuk di akal. Sebab, sepanjang usia SS (31 tahun), perusahaan ini tak pernah keluar dari
kepemilikan di lingkaran empat putra Sosrodjojo (Soemarsono, Soegiharto, Soetjipto dan Surjanto). Bahkan
sewaktu ahli waris Soemarsono dan keluarga Surjanto melepas saham masing-masing di SS di tahun 1989
dan 1992, mereka menyerahkannya pada Soegiharto (kini 74 tahun dan secara pribadi menguasai 11,7%
saham SS). Tak ada orang luar terlibat di sini.

Kemudian, logika ini juga masuk akal karena kekuatan finansial keluarga besar Sosrodjojo tidaklah bisa
dipandang enteng. Maklum, perlahan tapi pasti, seperti halnya air teh mereka yang luber dan mengalir ke
seluruh penjuru negeri, di samping tetap mempertahankan bisnis keluarga besar (Grup Sosro), mereka juga
melebar ke banyak sektor bisnis. Enam putra Soemarsono Sosrodjojo, umpamanya. Dengan bernaung di
bawah holding PT Putra Pusaka Esbe, kini mereka bermain di sektor jasa dan peranti lunak. Kemudian,
Surjanto Sosrodjojo beserta tiga anaknya, lewat holding PT Sinar Sosrodjojo Investa dan 10 anak usahanya,
mereka bermain di pelbagai sektor, mulai dari trading sampai properti dan hotel.

Hanya dua putra Sosrodjojo yang masih memiliki saham di SS, yakni Soegiharto bersama istri serta 5
putranya yang bernaung dalam holding PT Anggada Putra Rekso Mulia (APRM), dan Soetjipto bersama dua
putranya lewat holding PT Indosigma Investa Kencana (IIK). Lewat kedua holding inilah mereka membagi
saham di SS. Mengacu pada Prospektus Obligasi (2001), komposisi saham di perusahaan ini adalah; 75,7%
milik APRM, Soegiharto (10,5%), IIK (5,8%), Soetjipto (4,1%), dan sisanya dimiliki istri Soegiharto, yakni
Soegiharti Widjaja (3,7%). Pada laporan keuangan (2003), komposisi itu sedikit berubah, tapi tak berarti
banyak: IIK menjadi 5,4%, Soetjipto 4,6%, sementara Soegiharti 3,4%. Perihal anak-anak usaha keluarga
Sosrodjojo, lihat Tabel Pohon Bisnis Grup Sosro.

Tak ada data yang terlampau valid perihal besaran aset dari total bisnis empat putra Sosrodjojo yang kini
telah dijalankan generasi ketiga mereka. Begitu juga kinerja mereka satu per satu. Namun, tak bisa
dipungkiri, dari seluruh perusahaan yang ada, SS tetaplah bintangnya yang terus bersinar dan memancing
orang untuk menggusurnya dari orbit. Namun kembali, bisakah SS digeser, terutama TBS-nya?

Syahdan, ketika Hi-C muncul, disusul Lipton, kemudian Te Kita, dan Frestea, Peter Sosrodjojo hanya
tersenyum. Tak terlalu tampak kecemasan padanya. “Lihat, begitu mereka berusaha ekspansi, mereka akan
kesulitan karena harus investasi botol dalam jumlah besar,” katanya seperti ditirukan seorang sumber.

Pihak asing sendiri, dalam pengamatan Yadi Budhisetiawan, Direktur Pengelola konsultan distribusi
ForceOne, terbilang masih kurang mau habis-habisan di industri ready to drik tea ini. Baik Pepsi Co. maupun
Coca-Cola tetap lebih berkonsentrasi pada habitatnya sebagai minuman berkarbonasi. Langkah yang bisa
dipahami karena total menggempur SS butuh aset yang tak sedikit dengan tanpa jaminan sukses.

Hal yang sama juga terjadi pada pemain lokal. “Amat sangat sulit menyaingi Sosro,” ujar Sambas Winata,
GM Pemasaran PT Tang Mas, produsen 2Tang dan Frutang. Apalagi menyaingi, menyediakan infrastrukturnya
saja, menurutnya, sudah kewalahan. “Seperti saya katakan, ceritanya mungkin akan lain kalau para pemain
itu, terutama asing, masuk berbarengan di tahun 1974, atau awal 1980-an,” ujar Sawali, keukeuh.

Waktu jelas tak bisa dibeli. Dan selama 31 tahun, SS telah menimbun banyak aset (tangible maupun tidak)
dalam rangkaian proses bisnisnya. Mereka kini terus memburu pertumbuhan tiada henti karena pasar masih
terus dipertahankan dan dibuka, termasuk pasar ekspor. Denyut pabrik-pabriknya yang bekerja 24 jam
menunjukkan sinyal yang begitu kentara tentang ambisi ini. Terlebih, industri minuman teh sendiri tidaklah
seperti rokok yang terus dipelototi masyarakat sadar kesehatan (ini yang kabarnya membuat Putera
Sampoerna melepas sahamnya ke Philip Morris). Teh juga tidak seperti minuman karbonasi yang kian dikritik
di banyak tempat.

“Menurut saya, hanya perpecahan di tubuh keluarga yang akan menghancurkan Sosro,” Sawali berbisik.
Rupanya, ia sependapat dengan Ari Geuus (penulis The Living Companies) yang melihat kohesivitas sebagai
faktor penting langgengnya perusahaan “Namun, saya tak melihat itu. Saya yakin Peter bisa memainkan diri
sebagai perekat,” sambungnya.
Melihat posisi dan perannya dalam menimbulkan efek berantai pada roda ekonomi, terutama di sektor
informal, memang sayang bila SS gonjang-ganjing. Dan kalau kohesivitas itu tetap terjaga di lingkungan
keluarga besar Sosrodjojo, terutama putra-putri Soegiharto dan Soetjipto, bukan hal aneh jika air Sosro
akan terus mengalir ke seluruh penjuru negeri.

_________________

moon river, wider than a mile...


http://meiditami.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai