ADVERTISING
Persetujuan tindakan kedokteran adalah amanat dari Permenkes no 290 tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang merupakan pelaksanaan dari UU
no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45. Permenkes PTK Pasal 2
ayat (1) mengatakan bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Peraturan ini merupakan representasi
dari upaya negara untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dokter yang
memungkinkan timbulnya pelanggaran hak asasi pasien.
UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 2:
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada
dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kecerdasan serta keadilan.
juga harus menggunakan bahasa yang jelas, dapat dipahami dan dimengerti oleh
pasien/keluarga (Ps 9 ayat (1)). Penjelasan tidak boleh mengesankan sesuatu
yang sifatnya menakut-nakuti, tetapi suatu kebenaran untuk membantu
pasien/keluarga agar dapat mengambil keputusan yang terbaik.
b. Proses Mengambil Keputusan.
Keputusan adalah suatu pengetahuan yang seutuhnya tentang benar atau salah,
keputusan menyatakan it is or it is not. Keputusan bisa benar, tetapi juga bisa salah,
tetapi dalam diri manusia ada keinginan untuk selalu mengambil keputusan untuk
hal-hal yang benar (Adelbert Snijders: Manusia dan Kebebasan-Pustaka
Filsafat, Penerbit Kanisius 2010).
Untuk bisa mengambil keputusan yang benar, diperlukan penjelasan yang benar
pula. Jadi keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan kedokteran
sangat ditentukan oleh penjelasan yang benar tentang tindakan yang akan
dilakukan. Keputusan tindakan kedokteran: bisa keputusan untuk menyetujui atau
menolak tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Contoh: pasien A akan dilakukan operasi usus buntu oleh dokter X. apakah
penjelasan tentang mengapa operasi dilakukan dengan segala resikonya
disampaikan oleh dokter X atau oleh dokter lain (misal: dokter jaga) atau bahkan
oleh Perawat. Apakah penjelasan tersebut disampaikan kepada pasien A atau
kepada orang lain/keluarga? (Pasal 7 ayat 1)
Pada keadaan pasien tidak sadarkan diri, menurut Pasal 7 ayat (20, maka
penjelasan dapat diberikan kepada keluarga atau pengantar. Bagaimana hubungan
hukum dan akibat hukumnya apabila penjelasan diberikan kepada pengantar yang
bukan keluarga pasien?
"Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili
urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-
diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut,
hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusannya."
Pengantar adalah perwakilan sukarela yang termasuk dalam perikatan yang lahir
karena undang-undang, yaitu suatu perbuatan di mana seseorang secara sukarela
menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan
perhitungan dan resiko ditanggung orang tersebut. Perwakilan sukarela dapat
terjadi, karena seseorang yang diwakili tidak dapat mengurus kepentingannya
sendiri (pasien dalam keadaan tidak sadar).
Jika dilakukan atas nama orang yang diwakili dan kepentingannya telah diurus
dengan baik, maka terjadi hubungan antara orang yang diwakili dengan pihak ketiga.
Dalam hal orang yang mewakili secara sukarela bertindak atas nama sendiri, maka
terjadi hubungan hukum antar orang yang mewakili dengan pihak ketiga.
Apabila pengantar adalah orang yang sebenarnya tidak ada hubungan apapun
dengan pasien, (pengantar menemukan pasien kecelakaan, tidak sadarkan diri
disuatu tempat, lalu dibawa kerumah sakit), maka hubungan hukumnya adalah
antara pasien dengan pihak dokter/rumah sakit. Tetapi apabila pengantar adalah
kebetulan orang yang kenal dengan pasien (teman, kerabat atau saudara jauh),
maka hubungan hukumnya antar pengantar dengan dokter/rumah sakit.
Keputusan yang diberikan bisa menyetujui atau menolak tindakan, bahkan pada
saat dijelaskan pasien menyetujui untuk dilakukan tindakan, tetapi pada saat akan
dilakukan tindakan, pasien masih boleh untuk mencabut persetujuan tersebuit dan
menyatakan bahwa dia menolak untuk dilakukan tindakan. Penolakan tersebut,
harus dibuat secara tertulis.(Pasal 16). Dengan demikian, maka segala akibat dari
penolakan tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab pasien (Volenti non Fit
Inuria).
Volenti non Fit Inuria adalah doktrin 'tidak ada cedera bagi orang yang besedia
melakukannya' merupakan salah satu prinsip hukum, dimana seseorang yang
mengetahui dengan persis dan secara sukarela, tanpa paksaan memberikan
persetujuan dan berpartisipasi untuk mengambil resiko tidak bisa mengajukan
tuntutan atas cedera atau kerugian yang terjadi. Contoh: pasien pulang paksa yang
sudah dijelaskan segala resikonya oleh Dokter.
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis, lisan atau Implied Consent yaitu
persetujuan yang diberikan tanpa pernyataan tegas, tetapi secara tersirat, yang
ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien, umumnya untuk tindakan yang
biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Sikap yang dapat diartikan sebagai
persetujuan, misal: anggukan kepala atau mengulurkan tangan saat akan diambil
darah.Untuk tindakan kedokteran yang mempunyai resiko tinggi harus dinyatakan
secara tertulis oleh yang paling berhak memberikan persetujuan.
Pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa, dan tidak ada keluarga terdekat,
maka tindakan kedokteran bisa dilakukan tanpa persetujuan tindakan kedokteran
(Permenkes PTK Pasal 4). Ini dilandasi oleh doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik walaupun tanpa persetujuan tindakan kedokteran
(Guwandi, 2004) dimanakan sebagai presumed consent (perkiraan persetujuan).
Presumed consent didasari oleh fiksi hukum, bahwa seseorang dalam keadaan tidak
sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang
berada dalam keadaan sadar pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Pada kasus
gawat darurat yang mengancam jiwa dikenal istilah Constructive Consent untuk
membedakan dengan Implied Consent pada kasus non gawat darurat (Guwandi
2004).
Bagaimana bila tidak ada keluarga terdekat, tetapi hanya pengantar yang bukan
keluarga pasien, apakah perlu dimintakan persetujuan kepada
pengantar? Peraturan menyebutkan bahwa pengantar hanya mendapatkan
penjelasan, dan kepada pengantar tidak dimintakan persetujuaan. Mengapa
pengantar tidak dimintakan persetujuan ?
Seseorang (dokter) berhak untuk membela dirinya sendiri, dan (dokter) juga
boleh mengambil langkah/tindakan yang perlu untuk melindungi dirinya.
Tindakan tersebut harus beralasan dan terkait dengan kemungkinan
kejadian yang dapat terjadi dan apabila tidak dilakukan (penjelasan) maka
dokter akan mendapatkan masalah.
Hak Waiver atau Doktrin Waiver adalah hak pasien untuk melepaskan haknya
memperoleh informasi tentang penyakitnya, atau pasien memutuskan bahwa dia
tidak ingin diberi informasi tentang penyakit dan tindakan kedokteran yang akan
dilakukan atau keharusan pasien untuk membuat keputusan atas dirinya (to decide
not to make another decision).
Ada kalanya pasien merasa takut menghadapi kenyataan bahwa dia menderita
sesuatu penyakit (misal menderita keganasan), sehingga pasien menyerahkan
sepenuhnya kepada dokter untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tanpa perlu
memberitahukan dan meminta persetujuan untuk tindakan yang akan dilakukan.
Disisi lain dokter berkewajiban untuk menyampaikan informasi yang benar kepada
pasien dan meminta persetujuan pasien untuk setiap tindakan kedokteran yang akan
dilakukan, karena menerima penjelasan dan memberikan persetujuan adalah hak
pasien. Ada dua hal yang saling bertentangan, disatu pihak pasien mempunyai hak
untuk mendapatkan penjelasan dan mengambil keputusan atas dirinya, dipihak lain
pasien yang sama juga mempunyai hak untuk tidak mau menerima penjelasan, dan
tidak mau membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila ternyata pasien juga tidak menghendaki
penjelasan disampaikan kepada keluarga atau orang lain. Dalam hal ini dokter harus
mendapatkan catatan dari Komite Medik, bahwa tindakan yang akan dilakukan
kepada pasien sudah sesuai dengan indikasi medik. Dan dokumen-dokumen
tersebut disimpan sebagai berkas rekam medis.
Goldtein, Freud dan Solnit dalam bukunya "Before the best Interestof the Child'
menyatakan bahwa bila orang tua tidak setuju, maka tindakan kedokteran pada
pasien anak-anak tetap dapat dilakukan dengan persyaratan:
Tindakan tersebut harus berupa tindakan terapi (bukan percobaan)
Tanpa tindakan tersebut anak akan mati
Tindakan tersebut akan memberikan peluang atau harapan kepada anak
untuk bisa hidup normal,sehat dan mempunyai manfaat.
Perluasan tindakan kedokteran adalah tindakan operasi yang dilakukan diluar atau
melampaui yang sudah direncanakan, ada dua kemungkinan:
Perluasan tindakan harus dibatasi hanya sebagai tindakan penyelamatan jiwa (life
saving) dan tidak boleh diperluas dengan operasi lain yang tidak berhubungan
dengan penyelamatan jiwa. (Appelbaum, et al dalam Guwandi, 2006). Setelah
dilakukan perluasan tindakan, segera dijelaskan kepada pasien atau keluarganya
dan dimintakan persetujuan secara tertulis. (Pasal 11 dan 12)
Yang dimaksudkan dengan situasi khusus dalam peraturan ini adalah situasi dimana
akan dilakukan tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup
(withdrawing/withholding life support) pada pasien. Menurut Permenkes no 37/2014
tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor yang dimaksudkan
dengan:
Penundaan terapi bantuan hidup (Withholding life support) adalah menunda
pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa menghentikan terapi
bantuan hidup yang sedang berjalan,
Penghentian terapi bantuan hidup (Withdrawing life support) adalah
menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah
diberikan pada pasien.6
Para dokter sudah dididk untuk selalu menolong jiwa pasien, namun pada keadaan
tertentu dimana kondisi pasien tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang
dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile), maka
dokter harus memutuskan apakah boleh 'merelakan pasien untuk meninggal'
(allowing the patient to die).
Yuen et al 2010 dalam Breault 2011 membuat beberapa ukuran untuk menentukan
keputusan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan
hidup:
Apakah tindakan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup bisa dianggap
sebagai euthanasia ?
Menurut Prof Leenen: tindakan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup,
dinamakan Pseudo euthanasia, yaitu menghentikan tindakan perawatan medis yang
tidak berguna lagi. Menurutnya: seharusnya ada perbandingan yang masuk akal
antara tindakan medis dengan efek dari tindakan tersebut, jika tindakan medis yang
dilakukan sama sekali tidak ada gunanya lagi, maka dokter tidak lagi berkompeten
untuk melakukan perawatan medis, karena sangat berhubungan dengan batas ilmu
kedokteran. Bahkan apabila dokter tetap melakukan tindakan medis yang tidak ada
gunanya, secara juridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. (Fred Ameln, dikutip
dari Leenen: Recheten van mensen in de gezondheids zorg, 1978 hal 239).
Baik wanita maupun laki-laki mempunyai organ reproduksi, yang berguna pada
proses reproduksi manusia untuk menghasilkan generasi penerus. Tanpa organ
reproduksi tidak mungkin terjadi penerusan generasi dalam keluarga. Oleh karena
itu keberadaan organ reproduksi baik pada wanita maupun laki-laki dalam ikatan
suami istri menjadi sangat penting. Sementara itu belum ada peraturan yang
mengatur secara jelas bagaimana persetujuan tindakan kedokteran pada organ
reproduksi, bagi pasien yang berada dalam ikatan perkawinan.
Menurut Permenkes PTK Pasal 15: dalam hal tindakan kedokteran yang harus
dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah, dimana tindakan kedokteran
tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak maka persetujuan tindakan
kedokteran tidak diperlukan.
Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan program pemerintah tersebut. Salah
satu program pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat
banyak adalah pemberian imunisasi dasar pada anak-anak. Sehingga pemerintah
dapat melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional secara berkala.
Selama ini yang dianggap sebagai tindakan kedokteran adalah tindakan yang
bersifat operatif, padahal tidak semua tindakan kedokteran adalah tindakan operatif,
karena ada tindakan kedokteran yang bersifat administratif. Tindakan kedokteran
operatif, misal: pembiusan, sayatan atau penusukan terhadap tuhuh, yang dilakukan
oleh dokter dapat dianggap sebagai penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Walaupun
tindakan tersebut dilakukan oleh dokter, tetap dianggap sebagai penganiayaan,
kecuali: (Fred Ameln: Kapita Selekta Hukum Kedokteran- 1991)
Karena perbuatan yang menimbulkan rasa sakit/luka kepada orang lain yang
merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan, menurut
penafsiran tersebut tidak termasuk kedalam pengertian penganiayaan.
Kekuatan hukum persetujuan tindakan kedokteran terletak pada penyelenggaraan
persetujuan tindakan kedokteran itu sendiri, apakah sudah sesuai dengan ketentuan
hukum. Jika penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran sudah sesuai aturan
hukum, maka persetujuan tindakan kedokteran tersebut akan memberikan kepastian
hukum bagi dokter. Kalau demikian, apakah dokter yang melakukan tindakan
kedokteran dan sudah mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran yang sudah
sesuai dengan aturan yang ada, bisa dituntut secara hukum?