Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Menurut Permenkes no 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran


(untuk selanjutnya disebut sebagai Permenkes PTK), Pasal 1 ayat (1): yang
dimaksud dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilaklukan
terhadap pasien. Untuk memahami tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent), harus dipahami dahulu apa yang dimaksud dengan Tindakan
Kedokteran. (Baca:
https://www.kompasiana.com/tammysiarif/5b962e0fbde5756650307ad9/aspek-
hukum-tindakan-kedokteran)

Setelah memahami Tindakan Kedokteran, maka Persetujuan Tindakan Kedokteran


adalah persetujuan dari pasien/keluarga untuk dilakukan tindakan kedokteran yang
akan dilaksanakan oleh dokter terhadap pasien.

ADVERTISING

Bahasan tentang persetujuan tindakan kedokteran meliputi:

 Mengapa perlu ada persetujuan untuk tindakan kedokteran.


 Proses melakukan persetujuan tindakan kedokteran.
 Aspek hukum persetujuan tindakan kedokteran

Mengapa Perlu ada Persetujuan untuk Tindakan Kedekteran.

Indonesia memiliki konsep sebagai welfare state (negara kesejahteraan), dimana


pada konsep tersebut tidak ada satu sisi dalam kehidupan masyarakat yang tanpa
adanya campur tangan pemerintah (from the cradle to the grave). Untuk
mewujudkan kesejahteraan tersebut, maka pemerintah berkewajiban untuk
memenuhi hak dasar rakyatnya, melalui kewenangan pemerintah untuk mengatur
melalui perangkat hukum yang ada.

Persetujuan tindakan kedokteran adalah amanat dari Permenkes no 290 tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang merupakan pelaksanaan dari UU
no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45. Permenkes PTK Pasal 2
ayat (1) mengatakan bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Peraturan ini merupakan representasi
dari upaya negara untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dokter yang
memungkinkan timbulnya pelanggaran hak asasi pasien.
UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 2:

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada
dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kecerdasan serta keadilan.

Hak dasar manusia dalam bidang kesehatan yang berhubungan dengan


Persetujuan Tindakan Kedokteran: (menurut UU no 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia)

 Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan


taraf kehidupannya (Pasal 9)
 Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.(Pasal
14)
 Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal
30)

Proses Melakukan Persetujuan Tindakan Kedokteran

Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien


atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Dari pengertian tersebut maka persetujuan tindakan kedoktrean terdiri dari :

 Proses memberikan penjelasan


 Proses mengambil keputusan

a. Proses Memberikan Penjelasan

Proses memberikan penjelasan pada persetujuan tindakan kedokteran harus


diberikan

secara lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan


kedokteran yang akan dilakukan kepada pasien/keluarga oleh dokter yang akan
melakukan tindakan, agar pasien/ keluarga mengerti dan dapat memahami, dan
penjelasan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat
keputusan. Dengan demikian maka persetujuan tindakan kedokteran sebenarnya
suatu proses komunikasi antar dokter dan pasien/keluarga.
Pengertian Komunikasi

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: komunikasi merupakan pengiriman


dan penerimaan informasi, berita, atau pesan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih sehingga maksud atau pesan tersebut dapat dipahami.
 Komunikasi adalah interaksi yang saling mempengaruhi yang dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain, baik sengaja maupun tidak. Komunikasi tidak
terbatas pada bahasa verbal saja, namun juga pada ekspresi wajah dan
lainnya. (Shannon & Weaver)
 Komunikasi adalah sebuah proses yang dilakukan seseorang dengan tujuan
memberikan pengertian kepada orang lain (James A. F. Stoner)

Ada beberapa unsur pada proses komunikasi, yaitu:

 Komunikator (penyampai pesan), adalah mereka yang menyampaikan pesan.


Penyampai pesan dapat orang yang menyampaikan informasi secara
langsung atau dapat melalui media tertentu, seperti surat kabar, radio,
televisi, sms, w.a, dan sebagainya.
 Komunikan (penerima pesan), adalah seseorang atau kelompok yang
menerima pesan dari komunikator.
 Pesan adalah maksud yang disampai dari komunikator ke komunikan.
 Efek, komunikasi dikatakan berhasil bila memberikan efek
kepada komunikan.

Dalam hal Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka yang dimaksud dengan :

 Komunikator adalah dokter atau dokter gigi


 Komunikan adalah pasien atau keluarga pasien
 Pesan adalah sesuatu yang harus disampaikan yang sekurang-kurangnya
meliputi: (Permenkes PTK Pasal 7 ayat (3))
o Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran
o Tujuan tindakan kedoekteran yang dilakukan
o Alternative tindakan lain dan resikonya
o Resiko dan komplikasi yang mungkin tertjadi
o Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
o Perkiraan biaya
o Efek yang diharapkan adalah persetujuan/consent dari pasien/keluarga
pasien terhadap tindakan yang akan dilakukan.
o Agar pasien dapat memberikan persetujuan, maka pesan yang
diberikan selain lengkap

juga harus menggunakan bahasa yang jelas, dapat dipahami dan dimengerti oleh
pasien/keluarga (Ps 9 ayat (1)). Penjelasan tidak boleh mengesankan sesuatu
yang sifatnya menakut-nakuti, tetapi suatu kebenaran untuk membantu
pasien/keluarga agar dapat mengambil keputusan yang terbaik.
b. Proses Mengambil Keputusan.

Keputusan adalah suatu pengetahuan yang seutuhnya tentang benar atau salah,
keputusan menyatakan it is or it is not. Keputusan bisa benar, tetapi juga bisa salah,
tetapi dalam diri manusia ada keinginan untuk selalu mengambil keputusan untuk
hal-hal yang benar (Adelbert Snijders: Manusia dan Kebebasan-Pustaka
Filsafat, Penerbit Kanisius 2010).

Untuk bisa mengambil keputusan yang benar, diperlukan penjelasan yang benar
pula. Jadi keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan kedokteran
sangat ditentukan oleh penjelasan yang benar tentang tindakan yang akan
dilakukan. Keputusan tindakan kedokteran: bisa keputusan untuk menyetujui atau
menolak tindakan kedokteran yang akan dilakukan.

Aspek Hukum Persetujuan Tindakan KedokteranPersetujuan Tindakan


Kedokteran sebagai Proses Hukum:

 Bagi negara: persetujuan tindakan kedokteran merupakan upaya negara


untuk melindungi hak pasien dari tindakan kesewenang-wenang dokter
terhadap pasiennya.
 Bagi dokter: merupakan kepastian hukum akan adanya persetujuan dari
pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
 Bagi pasien: merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan negara akan
adanya hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan dirinya
dan hak untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri.

Aspek Hukum Pemberian Penjelasan Tindakan Kedokteran

Bagaimana hubungan hukum antara komunikator dan komunikan (sengaja tidak


dituliskan dokter dan pasien), apakah komunikator dan komunikan adalah orang
(subjek hukum) yang mempunyai hubungan hukum ?

Contoh: pasien A akan dilakukan operasi usus buntu oleh dokter X. apakah
penjelasan tentang mengapa operasi dilakukan dengan segala resikonya
disampaikan oleh dokter X atau oleh dokter lain (misal: dokter jaga) atau bahkan
oleh Perawat. Apakah penjelasan tersebut disampaikan kepada pasien A atau
kepada orang lain/keluarga? (Pasal 7 ayat 1)

Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran, hubungan hukum antara komunikator


dengan komunikan adalah: dokter penanggungjawab pelayanan dengan pasien
(pada keadaan tertentu, pasien bisa digantikan oleh keluarga terdekat). Jadi yang
berkewajiban untuk memberikan penjelasan adalah dokter yang akan melakukan
tindakan, apabila karena sesuatu sebab, maka tindakan yang sudah direncanakan
tersebut harus dialihkan kepada dokter pengganti, maka dokter pengganti harus
melakukan penjelasan kembali kepada pasien. Jadi komunikator adalah dokter
pelaksana tindakan dan tidak bisa dialihkan kepada komunikator lain. Karena
memberikan penjelasan pada tindakan kedokteran merupakan tanggung jawab yang
tidak boleh didelegasikan (non-delegable duty)

Berbeda dengan komunikan, seharusnya komunikan adalah pasien, tetapi dalam


keadaan tertentu, maka komunikan bisa dialihkan kepada orang lain, misalnya
keluarga terdekat atau pada keadaan yang sangat istimewa, dimana pasien dalam
keadaan tidak sadar, tidak ada keluarga, kemudian diantar oleh pengantar yang
tidak diketahui pasti hubungannya dengan pasien, maka penjelasan dapat diberikan
kepada pengantar tersebut.

Pemberian Penjelasan kepada Pengantar

Pada keadaan pasien tidak sadarkan diri, menurut Pasal 7 ayat (20, maka
penjelasan dapat diberikan kepada keluarga atau pengantar. Bagaimana hubungan
hukum dan akibat hukumnya apabila penjelasan diberikan kepada pengantar yang
bukan keluarga pasien?

Dalam undang-undang hukum perdata dikenal adanya perwakilan sukarela (Pasal


1354 KUH Perdata):

"Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili
urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-
diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut,
hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusannya."

Pengantar adalah perwakilan sukarela yang termasuk dalam perikatan yang lahir
karena undang-undang, yaitu suatu perbuatan di mana seseorang secara sukarela
menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan
perhitungan dan resiko ditanggung orang tersebut. Perwakilan sukarela dapat
terjadi, karena seseorang yang diwakili tidak dapat mengurus kepentingannya
sendiri (pasien dalam keadaan tidak sadar).

Terjadinya perwakilan sukarena, harus memenuhi persyaratan :

 Yang diurus adalah kepentingan orang lain.


 Seorang wakil sukarela harus mengurus kepentingan orang yang diwakilinya
secara
 sukarela, artinya perbuatan tersebut atas inisiatif sendiri dan bukan
berdasarkan kewajiban yang ditimbulkan oleh undang-undang atau
perjanjian.
 Seorang wakil sukarela harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus
kepentingan orang lain.
 Untuk membenarkan inisiatif bertindak sebagai wakil sukarela, maka harus
ada keadaan yang menyebabkannya (dalam hal ini pasien tidak sadar)
Yang menjadi masalah apakah pengantar mengetahui bahwa dia adalah wakil
sementara dengan segala akibat hukumnya, atau hanya sekedar mengantar saja
karena rasa belas kasih, tanpa mengerti akibat hukum yang akan terjadi setelah
pasien tersebut diantar.

Dari persyaratan terjadinya perwakilan sementara, maka seorang wakil sukarela


harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain, hal
ini belum tentu diketahui dan resikonya pun belum tentu akan diambil oleh
pengantar. Dengan demikian apakah pengantar dapat dianggap sebagai wakil
sementara yang bisa diberikan penjelasan oleh dokter ?

Dalam perwakilan sukarela perbuatan-perbuatan hukum dapat dilakukan atas nama


orang yang mewakili secara sukarela sendiri atau atas nama orang yang diwakili.

Jika dilakukan atas nama orang yang diwakili dan kepentingannya telah diurus
dengan baik, maka terjadi hubungan antara orang yang diwakili dengan pihak ketiga.

Dalam hal orang yang mewakili secara sukarela bertindak atas nama sendiri, maka
terjadi hubungan hukum antar orang yang mewakili dengan pihak ketiga.

Apabila pengantar adalah orang yang sebenarnya tidak ada hubungan apapun
dengan pasien, (pengantar menemukan pasien kecelakaan, tidak sadarkan diri
disuatu tempat, lalu dibawa kerumah sakit), maka hubungan hukumnya adalah
antara pasien dengan pihak dokter/rumah sakit. Tetapi apabila pengantar adalah
kebetulan orang yang kenal dengan pasien (teman, kerabat atau saudara jauh),
maka hubungan hukumnya antar pengantar dengan dokter/rumah sakit.

Aspek Hukum Pemberian Keputusan pada Persetujuan Tindakan Kedokteran

Siapa yang berhak mengambil keputusan menyetujui atau menolak tindakan


kedokteran? Yang paling berhak untuk menyetujui atau menolak tindakan
kedokteran adalah pasien sendiri. Pasien harus mempunyai kemampuan (capacity
or ability) untuk mengambil keputusan (Guwandi -- 2004); tetapi pada beberapa
keadaan, keputusan bisa dilakukan oleh orang lain yaitu keluarga terdekat.

Peraturan tidak menentukan siapa yang dimaksud dengan keluarga 'terdekat'.


Sebagai gambaran tentang siapa saja yang bisa dianggap sebagai keluarga
terdekat, maka hubungan keluarga menurut hukum Indonesia dapat terjadi karena:

 Adanya hubungan perkawinan:


o Disebut dengan hubungan semenda
o Misalnya : hubungan antara ipar,mertua,anak tiri,menantu
 Adanya hubungan darah.
o Hubungan yang terjadi karena pertalian darah.
o Garis lurus keatas/garis leluhur : hubungan dengan
bapak,ibu,nenek,kakek
o Garis lurus ke bawah/garis keturunan: hubungan dengan
anak,cucu,cicit.
o Garis ke samping: hubungan dengan saudara kandung dan anak-anak
saudara kandung

(Pokok-Pokok Hukum Perikatan - R. Setiawan, SH dan Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata)

Keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat apabila:

 Pasien masih dibawah umur


 Pasien dibawah pengampuan
 Pasien yang tidak sadar

Keputusan yang diberikan bisa menyetujui atau menolak tindakan, bahkan pada
saat dijelaskan pasien menyetujui untuk dilakukan tindakan, tetapi pada saat akan
dilakukan tindakan, pasien masih boleh untuk mencabut persetujuan tersebuit dan
menyatakan bahwa dia menolak untuk dilakukan tindakan. Penolakan tersebut,
harus dibuat secara tertulis.(Pasal 16). Dengan demikian, maka segala akibat dari
penolakan tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab pasien (Volenti non Fit
Inuria).

Volenti non Fit Inuria adalah doktrin 'tidak ada cedera bagi orang yang besedia
melakukannya' merupakan salah satu prinsip hukum, dimana seseorang yang
mengetahui dengan persis dan secara sukarela, tanpa paksaan memberikan
persetujuan dan berpartisipasi untuk mengambil resiko tidak bisa mengajukan
tuntutan atas cedera atau kerugian yang terjadi. Contoh: pasien pulang paksa yang
sudah dijelaskan segala resikonya oleh Dokter.

Persetujuan dapat diberikan secara tertulis, lisan atau Implied Consent yaitu
persetujuan yang diberikan tanpa pernyataan tegas, tetapi secara tersirat, yang
ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien, umumnya untuk tindakan yang
biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Sikap yang dapat diartikan sebagai
persetujuan, misal: anggukan kepala atau mengulurkan tangan saat akan diambil
darah.Untuk tindakan kedokteran yang mempunyai resiko tinggi harus dinyatakan
secara tertulis oleh yang paling berhak memberikan persetujuan.

Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Pasien Gawat Darurat.

Pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa, dan tidak ada keluarga terdekat,
maka tindakan kedokteran bisa dilakukan tanpa persetujuan tindakan kedokteran
(Permenkes PTK Pasal 4). Ini dilandasi oleh doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik walaupun tanpa persetujuan tindakan kedokteran
(Guwandi, 2004) dimanakan sebagai presumed consent (perkiraan persetujuan).
Presumed consent didasari oleh fiksi hukum, bahwa seseorang dalam keadaan tidak
sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang
berada dalam keadaan sadar pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Pada kasus
gawat darurat yang mengancam jiwa dikenal istilah Constructive Consent untuk
membedakan dengan Implied Consent pada kasus non gawat darurat (Guwandi
2004).

Bagaimana bila tidak ada keluarga terdekat, tetapi hanya pengantar yang bukan
keluarga pasien, apakah perlu dimintakan persetujuan kepada
pengantar? Peraturan menyebutkan bahwa pengantar hanya mendapatkan
penjelasan, dan kepada pengantar tidak dimintakan persetujuaan. Mengapa
pengantar tidak dimintakan persetujuan ?

Penerapan ketentuan perwakilan sementara dalam persetujuan tindakan


kedokteran, hanya diberlakukan sebagian saja dari ketentuan perwakilan sementara
seperti yang dimaksudkan Pasal 1354 KUHPerdata, sebatas penjelasan tentang
tindakan kedokteran yang akan dilakukan kepada pasien, dan tidak meminta
keputusan dari wakil sementara. Karena pada tindakan kedokteran pada pasien
tidak sadar yang tidak ada keluarga, hanya ada seorang pengantar, yang bukan
keluarganya, sementara peraturan menyatakankan: setiap tindakan kedokteran
harus dilakukan persetujuan setelah diberikan penjelasan (informed consent). Pada
situasi demikian seorang (dokter) mempunyai Self Defence (pembelaan pribadi)
terhadap kasus-kasus yang dapat mengancam dirinya, mengingat:

 Seseorang (dokter) berhak untuk membela dirinya sendiri, dan (dokter) juga
boleh mengambil langkah/tindakan yang perlu untuk melindungi dirinya.
 Tindakan tersebut harus beralasan dan terkait dengan kemungkinan
kejadian yang dapat terjadi dan apabila tidak dilakukan (penjelasan) maka
dokter akan mendapatkan masalah.

Persetujuan Tindakan Kedokteran dengan Hak Weiver

Hak Waiver atau Doktrin Waiver adalah hak pasien untuk melepaskan haknya
memperoleh informasi tentang penyakitnya, atau pasien memutuskan bahwa dia
tidak ingin diberi informasi tentang penyakit dan tindakan kedokteran yang akan
dilakukan atau keharusan pasien untuk membuat keputusan atas dirinya (to decide
not to make another decision).

Ada kalanya pasien merasa takut menghadapi kenyataan bahwa dia menderita
sesuatu penyakit (misal menderita keganasan), sehingga pasien menyerahkan
sepenuhnya kepada dokter untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tanpa perlu
memberitahukan dan meminta persetujuan untuk tindakan yang akan dilakukan.
Disisi lain dokter berkewajiban untuk menyampaikan informasi yang benar kepada
pasien dan meminta persetujuan pasien untuk setiap tindakan kedokteran yang akan
dilakukan, karena menerima penjelasan dan memberikan persetujuan adalah hak
pasien. Ada dua hal yang saling bertentangan, disatu pihak pasien mempunyai hak
untuk mendapatkan penjelasan dan mengambil keputusan atas dirinya, dipihak lain
pasien yang sama juga mempunyai hak untuk tidak mau menerima penjelasan, dan
tidak mau membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

Jika dihubungkan dengan Doktrin Persetujuan Tindakan Kedokteran, penggunaan


Doktrin Waiver oleh pasien bisa diartikan bahwa pasien telah melepaskan haknya
untuk mendapatkan informasi penyakitnya, penjelasan tentang tindakan
kedoketeran yang akan dilakukan dan melepaskan haknya untuk membuat
keputusan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian dokter tidak lagi berkewajiban
untuk memberikan informasi dan penjelasan serta meminta persetujuan tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Filosofi dari persetujuan tindakan kedokteran adalah upaya negara untuk


melindungi hak asasi pasien dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
dokter yang memungkinkan timbulnya pelanggaran terhadap hak pasien. Sebaliknya
negara juga mempunyai kewajiban untuk menghormati hak lain yang dimiliki pasien.
Untuk menghormati hak pasien(hakWeiver) sekaligus melindungi dokter, karena
dokter melakukan tindakan kedokteran tanpa penjelasan terlebih dahulu dan tanpa
persetujuan pasien, maka Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal pasien
menolak diberi penjelasan, dokter dapat memberikan penjelasan tersebut kepada
keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lainnya
sebagai saksi.

Sebenarnya kepada pasien penguna hak Waiver, dokter dapat memberikan


penjelasan kepada keluarga terdekat, tetapi hal tersebut juga masih ada celah untuk
menyalahkan dokter, dokter harus melakukan self defence dengan meminta agar
pasien membuat pernyataan tertulis bahwa pasien tidak mau menerima penjelasan
dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan penjelasan tersebut disampaikan
kepada keluarga terdekatnya atau kepada orang tertentu.

Yang menjadi permasalahan adalah apabila ternyata pasien juga tidak menghendaki
penjelasan disampaikan kepada keluarga atau orang lain. Dalam hal ini dokter harus
mendapatkan catatan dari Komite Medik, bahwa tindakan yang akan dilakukan
kepada pasien sudah sesuai dengan indikasi medik. Dan dokumen-dokumen
tersebut disimpan sebagai berkas rekam medis.

Orang Tua yang Tidak Menyetujui Tindakan Kedokteran pada Anak.

Goldtein, Freud dan Solnit dalam bukunya "Before the best Interestof the Child'
menyatakan bahwa bila orang tua tidak setuju, maka tindakan kedokteran pada
pasien anak-anak tetap dapat dilakukan dengan persyaratan:
 Tindakan tersebut harus berupa tindakan terapi (bukan percobaan)
 Tanpa tindakan tersebut anak akan mati
 Tindakan tersebut akan memberikan peluang atau harapan kepada anak
untuk bisa hidup normal,sehat dan mempunyai manfaat.

Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Perluasan Tindakan (Extended


Operation)

Perluasan tindakan kedokteran adalah tindakan operasi yang dilakukan diluar atau
melampaui yang sudah direncanakan, ada dua kemungkinan:

 Perluasan sudah terindikasi sejak sebelum tindakan.


o Dalam keadaan ini maka harus dijelaskan kemungkinan adanya
perluasan pada saat dilakukan tindakan,
o Tindakan perluasan tersebut sudah juga disetujui.
 Perluasan tindakan baru diketahui pada saat tindakan dilakukan.
o Yaitu pada saat dilakukan operasi ditemukan sesuatu yang tak terduga
sebelumnya
o Dapat membahayakan jiwa pasien, jika tidak segera dilakukan
perluasan tindakan

Pembatasa perluasan tindakan:

 Pada kondisi yang wajar tidak mungkin didiagnosa sebelumnya.


 Perluasan operasi masih berada pada lokasi sayatan yang sama.
 Tidak untuk membuang organ atau anggota tubuh
 Tidak mengakibatkan perubahan pada fungsi reproduksi/sexual
 Tidak memberikan resiko tambahan yang serius.
 Tidak ada indikasi bahwa pasien menginginkan hal tersebut

Perluasan tindakan harus dibatasi hanya sebagai tindakan penyelamatan jiwa (life
saving) dan tidak boleh diperluas dengan operasi lain yang tidak berhubungan
dengan penyelamatan jiwa. (Appelbaum, et al dalam Guwandi, 2006). Setelah
dilakukan perluasan tindakan, segera dijelaskan kepada pasien atau keluarganya
dan dimintakan persetujuan secara tertulis. (Pasal 11 dan 12)

Persetujuan pada Situasi Khusus

Yang dimaksudkan dengan situasi khusus dalam peraturan ini adalah situasi dimana
akan dilakukan tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup
(withdrawing/withholding life support) pada pasien. Menurut Permenkes no 37/2014
tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor yang dimaksudkan
dengan:
 Penundaan terapi bantuan hidup (Withholding life support) adalah menunda
pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa menghentikan terapi
bantuan hidup yang sedang berjalan,
 Penghentian terapi bantuan hidup (Withdrawing life support) adalah
menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah
diberikan pada pasien.6

Para dokter sudah dididk untuk selalu menolong jiwa pasien, namun pada keadaan
tertentu dimana kondisi pasien tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang
dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile), maka
dokter harus memutuskan apakah boleh 'merelakan pasien untuk meninggal'
(allowing the patient to die).

Peraturan memungkinkan pasien yang tidak sapat disembuhkan dan tindakan


kedokteran sudah sia-sia sesuai kriteria yang sudah ditetapkan, dapat dilakukan
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup. Keputusan penundaan terapi
bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup harus dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien, setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang
ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik. Jadi keputusan yang diambil semata-
mata karena keputusan medis dan bukan keputusan emosioal.

Rencana tindakan penghentian/penundaan terapi bantuan hidup, harus


diinformasikan dan dimintakan persetujuan tertulis dari keluarga /wakil keluarga
pasien. (Permenkes PTK Pasal 14).

Yuen et al 2010 dalam Breault 2011 membuat beberapa ukuran untuk menentukan
keputusan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan
hidup:

 Dokter penanggungjawab pelayanan harus menentukan penyakit/kondisi


pasien,
 Apa tujuan memutuskan penundaan terapi bantuan hidup atau penghentian
terapi bantuan hidup, prognosa, potensi manfaat dan kerugiannya, apakah
ada rekomendasi lain,
 Alasan pasien/keluarga dalam pengambilan keputusan,
 Didokumentasikan dalam berkas Rekam Medis.

Prosedur penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan


hidup, menurut Morrison et al (2010):

 Usulan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan


hidup disampaikan oleh dokter yang merawat dan diskusikan dengan tim
dokter.
 Didiskusikan kepada keluarga yang berhak mengambil keputusan,
 Pasien/keluarganya dapat menerima dan memahami informasi yang akurat
tentang penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi
bantuan hidup, prognosa, potensi manfaat dan kerugiannya, rekomendasi
lain,
 Pernyataan persetujuan tindakan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau
penghentian terapi bantuan hidup oleh keluarganya harus dibuat tertulis.

Apakah tindakan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup bisa dianggap
sebagai euthanasia ?

Menurut Prof Leenen: tindakan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup,
dinamakan Pseudo euthanasia, yaitu menghentikan tindakan perawatan medis yang
tidak berguna lagi. Menurutnya: seharusnya ada perbandingan yang masuk akal
antara tindakan medis dengan efek dari tindakan tersebut, jika tindakan medis yang
dilakukan sama sekali tidak ada gunanya lagi, maka dokter tidak lagi berkompeten
untuk melakukan perawatan medis, karena sangat berhubungan dengan batas ilmu
kedokteran. Bahkan apabila dokter tetap melakukan tindakan medis yang tidak ada
gunanya, secara juridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. (Fred Ameln, dikutip
dari Leenen: Recheten van mensen in de gezondheids zorg, 1978 hal 239).

Leenen berkesimpulan: dokter seharusnya tidak memulai sesuatu terapi atau


melanjutkan terapi, jika secara medis tidak dapat lagi diharapkan suatu hasil,
walaupun hal itu mengakibatkan meninggalnya pasien. Ini bukan tindakan
euthanasia (pasif), dan tidak ada perbuatan yang dapat dihukum dikarenakan dalam
perawatan medis, dokter tidak lagi berkompeten untuk melakukan perawatan medis.

Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Organ Reproduksi.

Baik wanita maupun laki-laki mempunyai organ reproduksi, yang berguna pada
proses reproduksi manusia untuk menghasilkan generasi penerus. Tanpa organ
reproduksi tidak mungkin terjadi penerusan generasi dalam keluarga. Oleh karena
itu keberadaan organ reproduksi baik pada wanita maupun laki-laki dalam ikatan
suami istri menjadi sangat penting. Sementara itu belum ada peraturan yang
mengatur secara jelas bagaimana persetujuan tindakan kedokteran pada organ
reproduksi, bagi pasien yang berada dalam ikatan perkawinan.

Menurut Undang-Undang no 1/1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan


lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke
Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1) dan perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.(Pasal 6 ayat (1)).

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka setiap tindakan kedokteran yang akan


berpengaruh terhadap pasangannya sebagai suatu kesatuan dan tidak bersifat
terapi, yang sifatnya irreversible, missal: pengangkatan organ reproduksi yang akan
berdampak pada proses regenerasi, dokter wajib memberikan penjelasan kepada
suami dan istri, dan setiap tindakan kedokteran tersebut harus mendapat
persetujuan tertulis dari suami dan istri.

Persetujuan pada Program Pemerintah.

Menurut Permenkes PTK Pasal 15: dalam hal tindakan kedokteran yang harus
dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah, dimana tindakan kedokteran
tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak maka persetujuan tindakan
kedokteran tidak diperlukan.

Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan program pemerintah tersebut. Salah
satu program pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat
banyak adalah pemberian imunisasi dasar pada anak-anak. Sehingga pemerintah
dapat melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional secara berkala.

Tanggungjawab Persetujuan Tindakan Kedokteran

Pelaksanaan tindakan kedokteran yang sudah mendapatkan persetujuan


sepenuhnya merupakan tanggungjawab dokter yang akan melakukan tindakan
tersebut, sementara fasilitas pelayanan kesehatan/rumah sakit, bertanggungjawab
terhadap penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran, melalui pembuatan
regulasi yang berhubungan dengan proses persetujuan tindakan kedokteran.
(Permenkes PTK Pasal 17)

Kekuatan Hukum bagi Dokter atas Persetujuan Tindakan Kedokteran

Selama ini yang dianggap sebagai tindakan kedokteran adalah tindakan yang
bersifat operatif, padahal tidak semua tindakan kedokteran adalah tindakan operatif,
karena ada tindakan kedokteran yang bersifat administratif. Tindakan kedokteran
operatif, misal: pembiusan, sayatan atau penusukan terhadap tuhuh, yang dilakukan
oleh dokter dapat dianggap sebagai penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Walaupun
tindakan tersebut dilakukan oleh dokter, tetap dianggap sebagai penganiayaan,
kecuali: (Fred Ameln: Kapita Selekta Hukum Kedokteran- 1991)

 Orang yang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan,


 Tindakan tersebut sesuai dengan indikasi medis dan untuk tujuan yang
konkrit
 Tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ilmu kedokteran.

Karena perbuatan yang menimbulkan rasa sakit/luka kepada orang lain yang
merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan, menurut
penafsiran tersebut tidak termasuk kedalam pengertian penganiayaan.
Kekuatan hukum persetujuan tindakan kedokteran terletak pada penyelenggaraan
persetujuan tindakan kedokteran itu sendiri, apakah sudah sesuai dengan ketentuan
hukum. Jika penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran sudah sesuai aturan
hukum, maka persetujuan tindakan kedokteran tersebut akan memberikan kepastian
hukum bagi dokter. Kalau demikian, apakah dokter yang melakukan tindakan
kedokteran dan sudah mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran yang sudah
sesuai dengan aturan yang ada, bisa dituntut secara hukum?

Harus dibedakan antara prasyarat untuk melakukan tindakan kedokteran dan


prosedur tindakan kedokteran. Persetujuan tindakan kedokteran adalah prasyarat
untuk melakukan tindakan kedokteran, selama prosedur persetujuan tindakan
kedokteran dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, maka pelaksanaan tindakan
tersebut tidak bisa dituntut, tetapi apabila dokter melakukan kelalaian pada saat
menjalankan prosedur tindakan kedokteran, dokter masih tetap bisa dituntut, tetapi
hanya untuk tindakan kedokterannya. (Lihat:Memahami Malpraktik
Medis: https://www.kompasiana.com/tammysiarif/5b6410145a676f2fb04404a
4/memahami-malpraktik-medis) Jadi walaupun dokter sudah memiliki persetujuan
tindakan kedokteran bukan jaminan bahwa dokter tidak dapat dituntut oleh
pasien/keluarganya.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan pada Formulir Persetujuan Tindakan


Kedokteran:

1. Pasien yang sudah menyetujui tindakan kedokteran, maka tidak perlu


dimintakan persetujuan lain yang akan menyertainya, karena sudah
dianggap implied consent misal:
o Suntikan premedikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi
o Mencukur rambut pada daerah jahitan operasi.
2. Persetujuan tindakan kedokteran bukan perjanjian, sehingga tanda tangan
dokter pada formulir persetujuan hanya sebatas bukti bahwa dokter telah
memberikan penjelasan sebagaimana seharusnya.
o Tandatangan saksi diperlukan sebagai bukti bahwa:
o Dokter telah memberikan penjelasan sebagaimana seharusnya
o Pasien telah memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan
kedokteran.
o Saksi harus dua orang karena menurut hukum satu saksi bukan saksi.
3. Formulir persetujuan tindakan kedokteran tidak perlu dibubuhi Materai,
karena materai sebagai tanda pelunasan pajak atas dokumen. Dalam UU no
No.13/1985 tentang Bea Meterei, disebutkan: surat perjanjian dan surat-surat
lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka
dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei. Ada atau tidak adanya
materai pada persetujuan tindakan kedokteran, perbuatan hukumnya tetap
sah, hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Bila suatu
saat formulir tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan
maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

Bandung, 5 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai