Anda di halaman 1dari 14
Bab V-14 Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang di Luar Daerah Pabean 1. Pendahuluan Prinsip Destinasi (destination principle) dalam pemungutan PPN mencer- minkan keselarasan atau harmonisasi sistem pemajakan suatu negara yang ditentukan oleh tiadanya hambatan memajaki impor dan mengkre- ditkan beban pajak sebelum ekspor terhadap pajak dengan tarif PPN 0% atas ekspor. Pengecualian sama artinya dengan pencemaran terhadap sifat netral pajak atau distorsi di pasar internasional yang memengaruhi harga komoditas dan faktor-faktor produksi. Sifat multi stages dari indirect substraction methed yang dianut dalam UU PPN yang berlaku, serta prin- sip destinasi ini pula yang menurunkan syarat-syarat penyerahan barang yang tidak dikenai pajak atas penyerahan barang yang dilakukan di luar Daerah Pabean, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4a UU PPN Th. 224 = MANAJEMEN PERPAJAKAN 1993/1994/2000. Namun Pasal ini memiliki loopholes yang memungkinkan pajak lolos dari pemajakan, sebabnya kepastian hukumnya lemah. Kemajuan teknologi dalam nuansa globalisasi ekonomi dewasa ini menuntut adanya perluasan jaringan bisnis dan komunikasi antara pelaku bisnis. Dari aspek komersial, persoalan saat dan tempat di mana transaksi bisnis terjadi bukanlah kendala utama karena pebisnis lebih mengede- pankan profitability dari bisnisriya. Namun kerap kali apa yang dipandang seorang pebisnis sebagai bisnis yang wajar, implikasi fiskalnya tidak sin- kron dengan pandangan fiskus. Perbedaan kaidah yang mendasari timbul- nya penerimaan pajak ini menyebabkan ketidaksetaraan dalam perlaku- an perpajakannya. Kaidah destinasi adalah kaidah pengatur pembagian yurisdiksi pemu- ngutan pajak antar negara yang implementasinya, di satu pihak, sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak yang dimaksudkan membebani pembe- lanjaan penghasilan, tapi di lain pihak menjamin terselenggaranya pe- mungutan pajak di pasar internasional oleh negara-negara tersebut, secara netral. Yang dimaksud dengan netralitas itu tidak hanya netralitas pajak terhadap produk dan konsumsi produk, tetapi juga netralitas pajak terhadap kedaulatan negara-negara dalam memajaki objek pajaknya. (Saroyo Atmosudarmo: 1999). John FE Due dalam bukunya Government Finance, An Economic Ana- lysis (Homewood, Illinois:Richard D. Irwin, Inc. 1959), mengemukakan bahwa pajak itu seyogyanya bersifat netral. Artinya tidak memengaruhi pilihan dunia swasta dalam melakukan kegiatan bisnis mereka. Pemu- ngutan suatu pajak dikatakan menimbulkan distorsi, apabila pemungut- annya tidak netral atau tidak memenuhi keadilan dalam pembebanan pajaknya. Netralitas perpajakan harus bisa menjamin netralitas perekonomian, yang intinya semua berkaitan dengan efisiensi perekonomian. Suparmoko, MA, Ph.D dalam bukunya “Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik” edisi 4 (1987) mengutip 5 (lima) keuntungan sistem Pajak Pertambahan Nilai. Dari lima keuntungan tersebut, tiga di antara- nya merupakan elemen-elemen pokok yang menyangkut netralitas, yakni: Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang... © 225 a. Netral dalam persaingan dalam negeri yang menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam sistem perdagangan dalam negeri, karena perusahaan kecil dan menengah dapat bersaing dalam kondisi yang sama dengan perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai sifat produksi terpadu secara vertikal. b. Netral dalam perdagangan internasional, yang menjamin bahwa da- lam hal ekspor diberikan pengembalian beban pajak yang melekat pada waktu perolehan harga barang yang diekspor; dan dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan jumlah pajak yang dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada tingkat harga yang sama, karena itu menciptakan persaingan yang sehat un- tuk keuntungan konsumen. (Dengan kata lain, terhadap barang ekspor dikenakan PPN dengan tarif 0%, sedangkan terhadap barang impor dikenakan PPN 10%. Ini adalah substansi atau makna dari destination principle). c. Netral bagi pola konsumsi, yang berarti bahwa PPN yang telah di- kenakan atas bahan baku dan barang modal yang dipakai dalam proses produksi bukan merupakan unsur harga pokok yang dijual, karena pada akhirnya dapat diterima kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dengan metode pengkreditan Pajak Masukan ter- hadap Pajak Keluaran. Perlakuan cakupan pengusaha yang menjadi Pengusaha Kena Pajak, baik ke hilir maupun ke hulu, sangat menentukan netralitas PPN terha- dap pasar bebas tempat pajak itu dipungut. Namun kebenaran atau norma yang mendasari perluasan cakupan tersebut sesungguhnya bukan dikarenakan adanya kebutuhan akan peningkatan penerimaan negara, melainkan lebih karena penerapan azas persamaan kewajiban memungut pajak bagi para pengusaha. Di satu sisi perluasan pengenaan PPN dapat meningkatkan netralitas Undang-Undang PPN terhadap kebebasan para pengusaha untuk me- milih cara memproduksi dan atau mendistribusikan barang dan jasa, sehingga membuka peluang untuk persaingan usaha yang lebih wajar, 226 = MANAJEMEN PERPAJAKAN dan efisien. Namun, bagaimanapun juga ketidaksetaraan perlakuan per- pajakan juga merupakan isu penting yang mencerminkan kekurang- netralan pajak, schingga kaidah netralitas pajak bisa menjadi terganggu (Saroyo Atmosudarmo: 1999) 2. Permasalahan dalam Perlakuan PPN Secara umum proses penjualan atau penyerahan barang dari pabrikan hingga barang tersebut diterima oleh konsumen akhir dilakukan melalui mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi (channel of distribution): Pabrikan > Agen > Distributor (Trader) > Retailer > Konsumen. Sesuai dengan konsepnya, maka pada setiap mata rantai distribusi tersebut di atas dikenakan PPN dengan tarif 10%. Sifat multi stages dari indirect substraction method yang dianut dalam UU PPN Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU. PPN Nomor 11 Tahun 1994 dan UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, ada- lah mempermudah pengawasan dalam sistem pemungutan PPN karena transaksi dari seorang Subjek Pajak yang mungkin lolos dari pemajakan, masih mungkin dipajaki melalui pemajakan atas transaksi dari Subjek Pajak lain pada mata rantai produksi atau distribusi berikutnya. Saat terjadi penyerahan (saat terutangnya pajak, bagi barang yang menurut ketentuan hukum pajak merupakan barang bergerak), adalah saat berpindahnya penguasaan fisik atas barang tersebut dari pihak yang menyerahkan kepada pihak yang menerima penyerahan barang, sesuai deren silat asyane bererakiterseruidan silts iiyaleesaaientatees ngan isi perjanjian antara pihak-pihak tersebut. Saat terjadinya penyerahan untuk barang bergerak dengan syarat penyerahan loco gudang pembeli, misalnya, tentu berbeda dengan saat terjadinya penyerahan untuk barang bergerak yang sama namun dengan syarat penyerahan prangko gudang penjual. Sedang, di lain pihak, secara hormatif isi perjanjian antara penjual dan pembeli barang dimanifestasi- kan dalam jumlah yang difakturkan oleh penjual atas penyerahan tersebut. Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang... © 227 Bila pabrik berada di luar Daerah Pabean Indonesia, maka penyerahan barang dilakukan sesuai dengan kontrak jual beli antara pabrikan dengan agen di Indonesia berdasarkan kondisi mcoterms yang disepakati, seperti syarat FOB, CIF, Door to Door, Loco gudang pembeli atau Prangko gu- dang penjual, dan sebagainya, yang kesemuanya ini akan menentukan saat dan tempat atau tanggung jawab penyerahan barang tersebut, terma- suk harga penyerahannya serta pengenaan impor duties (Bea Masuk, PPN dan PPn BM, PPh Pasal 22). Dalam posisinya sebagai agen, bisa saja dia juga merangkap sebagai importir yang memiliki atau mungkin tidak memiliki angka pengenal importir (API). Bedanya, kalau importir memiliki API, maka pengenaan PPh Pasal 22 sebesar 2,5%, sedangkan Non API sebesar 7,5%. Tergantung kepada kapasitas, kapabilitas, dan otorisasi yang dia miliki, maka ranking penunjukan Agen bisa berada dalam otorisasinya sebagai exclusive sole agent/general agent atau non exclusive agent. Eksklusifitas keagenan terse- but mengindikasikan hak-hak prioritas dan penguasaan dalam pendis- tribusian barang tersebut dalam suatu cakupan wilayah kepabeanan. Kompleksitas dalam proses penyerahan barang yang menyangkut saat dan tempat penyerahan ini, dalam praktiknya banyak terjadi, dan imple- mentasi terhadap regulasi perpajakan memerlukan perangkat hukum yang lebih pasti untuk menjamin netralitas dari sistem perpajakan yang dianut. Mari kita lihac bagaimana implementasinya dalam dunia bisnis yang nyata. Misalnya, PT User (Indonesia) selaku user yang berkedudukan di Kalimantan, membuat perjanjian pembelian barang “BKP” dengan mengeluarkan purchase order (PO) kepada supplier-nya (PT Trader) yang berkedudukan di Jakarta. Rupanya PT Trader tidak bekerja sendiri, ka- rena dia sendiri masih harus memesan barang tersebut dari PT Agen (berkedudukan di Jakarta) yang bertindak sebagai Exclusive Sole Agent dari principal-nya di luar negeri yang merupakan produsen barang “BKP”. PT User (Indonesia) mempunyai “Regional Logistic Base” yang terdaf- tar resmi untuk penerimaan barang di Singapura, dan PT User (Indo- 228 = MANAJEMEN PERPAJAKAN nesia) juga mempunyai kontrak kerja penunjukan PT W sebagai Inter- national Freight Forwarder yang mewakili secara resmi PT User (Indonesia) untuk menerima barang “BKP” di “Regional logistic base” Singapura, untuk secepatnya diterbangkan ke Kalimantan agar tidak terjadi keterlambatan (delayed) penerimaan barang. Dalam instruksi yang tercantum di PO disebutkan, bahwa barang “BKP” tersebut diserahterimakan oleh pabrikan Singapura kepada “Re- gional Logistic Base” Singapura dan selanjutnya International Freight For- warder (PT W) akan mengangkut barang “BKP” tersebut ke dalam Daerah Pabean Indonesia (misalnya di Kalimantan). Pengeluaran barang dari pelabuhan di Kalimantan untuk penyerahan barang ke user dilaku- kan setelah melunasi semua kewajiban impor duties (Bea Masuk, PPN Impor dan PPh Pasal 22) yang terutang. Bagaimana fiskus menyikapi transaksi penyerahan barang tersebut di atas? Pertama, Pasal 4A UU PPN Tahun 1983/1994/2000 menyebutkan bah- wa PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha, dan atas impor Barang Kena Pajak; dan dalam penjelasan Pasal 4A, tentang penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Barang jak, (2) Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Paj tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud, (3) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan (4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Kedua, dalam suatu ruling yang dikeluarkan oleh DJP dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor $-267/P].52/2004 yang ditujukan kepada suatu perusahaan, sebut saja “PT ABC”, menegaskan bahwa: a. Atas kontrak jual beli di dalam negeri yang penyerahannya dilakukan di luar Daerah Pabean, tidak terutang PPN karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang... * 229 Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN. b. PT ABC tidak diwajibkan untuk memungut PPN atau menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang terjadi di luar Daerah Pabean. Tapi, dalam hal penyerahan BKP dilakukan di dalam Daerah Pabean, maka atas periyerahan tersebut terutang Pajak Per- tambahan Nilai dan PT ABC wajib menerbitkan Faktur Pajak. c. PT ABC wajib melaporkan seluruh penyerahan yang dilakukan, baik penyerahan yang terutang maupun penyerahan yang tidak terutang PPN, dalam SPT Masa PPN. d, Pada saat barang yang diserahkan di luar Daerah Pabean tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean (diimpor), maka atas impor tersebut terutang PPN dan disetor dan dilaporkan oleh pihak yang melakukan impor tersebut. Selanjutnya, ketentuan formalnya diatur dalam Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN Formulir 1107 dan Formulir 1108 (Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER 29/PJ./2008 tanggal 23 Juni 2008), antara lain mencantumkan bahwa penyerahan yang tidak terutang PPN juga harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Dari uraian tersebut, sangat jelas bahwa tidak ada satu pasal pun da- lam kedua ruling tersebut di atas (mengatur ketentuan materilnya) yang memberikan kepastian hukum tentang kriteria perlakuan perpajakan dalam penyerahan Barang Kena Pajak di luar Daerah Pabean yang tidak dikenakan PPN. Padahal ada loopholes dari transaksi semacam ini yang memungkinkan Subjek Pajak lolos dari pengenaan pajak. Aspek penga- manan atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak di luar Daerah Pabean yang tidak dikenai PPN bagi fiskus dan Wajib Pajak belum cukup kuat kepastian hukumnya. Lalu, bagaimana rambu-rambu fiskus mengatur perlakuan perpajak- annya? Ruling yang ada sekarang ini hanya melihat lokasi penyerahan barang tersebut ada di luar Daerah Pabean, dan pembuktiannya harus dilengkapi dengan dokumen bukti pembayaran (transfer pengiriman 230 = MANAJEMEN PERPAJAKAN uang) lewat bank langsung kepada pabrikan di luar negeri tersebut (mi- salnya: Singapura). Bila “rambu-rambu” itu dipenuhi, maka PT Agen atau PT Trader bisa merasa “aman” karena atas penyerahan barang terse- but oleh PT Agen atau PT Trader (misalnya di Jakarta) terhadap PT User (misalnya di Kalimantan) tidak dikenakan PPN (atau PPN 0%). Mosalah pembuktian kebenaran transaksi melalui pembayaran PT Agen atau PT Trader via transfer bank langsung ke pabrikan di Luar negeri ini pun sepengetahuan penulis tidak ada ruling-nya, Kebenaran materiilnya secara fiskal diuji dari tiga faktor berikut ini: (1) Flow of document, yakni adanya PO dan delivery order (DO), dan (2) Flow of good, yakni adanya penyerahan barang di luar negeri, serta (3) Flow of money (payment), yakni adanya pembayaran dari PT Agen atau PT Trader ke pabrikan di luar negeri. Ketiga faktor yang disebutkan di atas juga merupakan judgement dan dasar yang kuat untuk mengukur (measurement) kebenaran transaksi keuangan secara materil dilihat dari perspektif akuntansi (SAK). Berikut ini kita lihat secara skematis beberapa variasi transaksi dalam jalur perda- gangan dan distribusi barang dari Luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean, dalam diagram berikut ini: Diagram - I (arus barang): Penyerahan barang dilakukan di Singapura Pabrikan (Luar negeri selaku principal) > PT Agen (Indonesia) > PT User (Indonesia) Menurut penulis, selama penyerahan barang dilakukan sesuai syarat pranko gudang penjual di Singapura atau loco gudang pembeli di Singa- pura, maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenai PPN oleh PT Agen (misal Jakarta) terhadap PT User (misal Kalimantan), dengan catatan: (1) PT Agen tersebut harus bisa membuktikan terdapat transaksi pembayaran langsung atau lewat transfer langsung oleh PT Agen (Indo- Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang... © 231 nesia) kepada pabrikan atau principal-nya di Singapura, (2) Kontrak perjanjian jual beli (seperti PO) mensyaratkan dibuat atau dilengkapinya bukti penyerahan barang atau delivery order (DO) dari Pabrikan luar negeri kepada user (PT User) untuk penyerahan barang di Singapura. Diagram II (arus barang): Penyerahan barang dilakukan di Singapura Pabrikan (Luar negeri selaku principal) > PT Agen (Indonesia) -> PT Trader (Indonesia) > PT User (Indonesia) Anus lalu lintas perdagangan semacam ini juga banyak ditemukan. dalam praktik dunia bisnis, di mana PT Trader (Indonesia) membeli barang dari pabrikan (luar negeri) melalui agennya di Indonesia yakni PT Agen (Indonesia), dan selanjutnya menjual barang tersebut ke PT User (Indonesia) sesuai harga yang disepakati seperti yang tercantum dalam PO. Dalam hal ini PT Trader (Indonesia) tidak memiliki akses langsung dengan pabrikan karena sebelumnya sudah ada perjanjian ke- agenan yang mengikat antara pabrikan dengan PT Agen. Menurut penulis, selama penyerahan barangnya dilakukan sesuai syarat prangko gudang penjual di Singapura atau loco gudang pembeli di Singapura, maka atas penyerahan barang térsebut tidak dikenakan PPN oleh PT Trader (Indonesia) terhadap PT User (Indonesia) (misal di Kalimantan), dengan catatan: (1) PT Trader harus bisa membuktikan adanya transaksi pembayaran transfer langsung oleh PT Trader kepada Pabrikannya di Singapura, (2) Kontrak perjanjian jual beli (seperti PO) mensyaratkan dibuat atau dilengkapinya bukti penyerahan barang atau delivery notes dari pabrikan luar negeri kepada user (PT User) untuk penyerahan barang di Singapura. Dalam hal ini PT Agen (Indonesia) hanya bekerja sebagai perpan- jangan tangan dari principal-nya di luar negeri dan hanya menerima 232 = MANAJEMEN PERPAJAKAN penghasilan berupa komisi keagenan atau agency fee yang diterimanya dari principal-nya tersebut sesuai dengan perjanjian keagenan yang me- reka sepakati. Dengan demikian, PT Agen (Indonesia) tidak perlu membuat invoice dan Faktur Pajak Standar kepada PT Trader (Indonesia) karena tidak ada keterlibatan langsung mereka dalam penyerahan barang tersebut. Analisis penulis berikut ini dibuat dalam konteks Diagram II, di mana PT Trader (Indonesia) tidak bisa membuktikan adanya transaksi pem- bayaran transfer langsung oleh PT Trader kepada Pabrikannya di Singa- pura jadi realisasi flow of money-nya dilakukan melalui pembayaran kepada PT Agen (Indonesia), sehingga berpotensi timbulnya sengketa pajak di Pengadilan Pajak. Pasalnya, pada saat pemeriksaan pajak dilakukan oleh fiskus (baik karena permintaan restitusi PPN atau sebab lain), dan media pembayaran dengan pola tersebut ditemukan oleh fiskus, maka pemeriksa pajak akan mempertanyakan bagaimana mungkin invoice PT Trader untuk penjual- an barang kepada PT User tidak dikenai PPN (karena penyerahan barang di luar negeri), sedangkan pelunasan atas harga pembelian barang ter- sebut (oleh PT Trader kepada PT Agen) dilakukan di dalam negeri? Bila kasus ini ditindaklanjuti oleh pemeriksa dan dilakukan koreksi atas PPN keluaran yang semula tidak dikenaikan PPN menjadi dikenakan dengan tarif normal 10%, dan PT Trader mengajukan keberatan atas koreksi tersebut, maka proses berikutnya, bila keberatan PT Agen (Indonesia) tidak disetujui oleh fiskus (KPP), maka sengketa pajak tersebut akan menggelindingkan kasus banding PPN ke Pengadilan Pajak. Di pengadilan pajak, hakim cenderung mengambil keputusan yang mengedepankan kebenaran materil berdasarkan ketiga faktor sebagaima- na diuraikan terdahulu, dengan hasil akhir yang tentu saja akan meme- nangkan pihak fiskus. Sebab bila hakim semata-mata berlandaskan pada Pasal 4A UU PPN Tahun 1983/1994/2000, tidak akan cukup dasar hu- kumnya, sehingga netralitas dalam pemungutan PPN menjadi terganggu. Aturan formil (prosedur) mengalahkan kebenaran materilnya (sub- tansinya), padahal harusnya kebenaran materil-lah yang harus mengalah- Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang... © 233 kan aturan formilnya. Alhasil, PT Agen harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT Trader. Dengan demikian, PT Trader juga harus mengenakan PPN 10% dalam invoice-nya kepada PT User. Risiko terjadinya penolakan pembayaran PPN ini oleh PT User di- akomodasi karena mengacu kepada ketentuan Pasal 4A, yang berakibat pada PPN itu harus dibayar sendiri oleh PT Trader ke kas negara dan menjadi tanggungan sendiri. Jumlahnya cukup signifikan, yakni 10% dari nilai proyek, dan ini menggerus profit perusahaan dari proyek yang dikerjakan. Bukankah ini kerugian material yang cukup besar bagi per- usahaan? 3. Kepastian Hukum dan Tax Management Kasus ini seharusnya tidak perlu terjadi jika perangkat hukum dengan hierarki legal yang kuat dibuat sejelas-jelasnya sehingga tidak menimbulkan misinterpretasi bagi wajib pajak dan antar fiskus yang bisa menimbulkan kerugian materi! bagi Wajib Pajak itu sendiri. Wajib pajak, dalam kedudukannya sebagai PT Trader (Indonesia) dalam contoh di atas, perlu secara dini membuat tax planning sedemikian tupa untuk menghindari beban pajak yang tidak perlu, baik karena PPN yang menjadi tanggungan sendiri maupun karena restitusi PPN-nya tidak diterima oleh fiskus, yang ujung-ujungnya akan menggerus profit perusahaan. © Kasus serupa pada Diagram II, pernah terjadi yaitu kasus banding Pajak Pertambahan Nilai dari PT “X” di Pengadilan Pajak (Putusan Banding Pengadilan Pajak No. 11061/PP/M.V/16/2007 tertanggal 28 Juni 2007), yang dimenangkan oleh wajib pajak yang dalam contoh adalah PT Trader (Indonesia). Kunci kemenangannya terletak pada adanya pembayaran lewat transfer bank (serta adanya tagihan/invoice dari principal) untuk pembelian barang dari luar negeri yang dilaku- kan langsung oleh PT Trader ke pabrikan, bukan kepada PT Agen di Indonesia. Perbedaan kasusnya hanya masalah Keagenan. Kalau 234 = MANAJEMEN PERPAJAKAN PT “X” (sebagai trader) bertransaksi langsung ke principal tanpa me- lalui agen principal di Jakarta, sedangkan PT Trader bertransaksi melalui PT Agen (Indonesia) sebayai Agen Principal di Jakarta. ¢ Tapi substansi sebenarnya adalah, bahwa transaksi penyerahan barang di luar daerah pabean tersebut tidak dikenakan PPN dapat dibuktikan secara materiil/tertulis dengan adanya: (1) Bukti penyerahan barang dari principal ke pembeli ayau user (delivery order) yang dilakukan di luar daerah pabean. (2) Adanya tagihan/invoice dari principal ke PT Trader (Indonesia), dan (3) Adanya bukti transfer bank untuk pemba- yaran langsung oleh PT Trader ke principal di luar negeri, Gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana tax planning yang harus dila- kukan PT Trader agar klop dengan kasus banding PT “X” di atas dapat dilihat pada Bagan-1 dibawah ini ¢ Jadi untuk memastikan agar fiskus dapat menerima perlakuan perpa- jakan, bahwa penjualan barang oleh PT Trader kepada PT User tanpa pengenaan PPN, maka harus dipenuhi ketiga syarat tersebut di atas. Potensi bagi subjek pajak untuk “bisa lolos” dari pengenaan PPN dimungkinkan bilamana barang yang diserahkan merupakan barang “hand carry” yang ukurannya kecil (tapi mungkin harganya mahal), yang bisa lolos dari pelacakan custom clearance di Bea Cukai, sehingga secara otomatis semua impor duties yang seharusnya dibayar PT User selaku user akan luput dari penerimaan negara. BAGAN - 1 Penjualan Barang dari PT Trader di Jakarta kepada PT User di Kaliman- tan tidak dikenai PPN, karena penyerahan barangnya dilakukan langsung dari pabrikan atau principal ke perwakilan (gudang regional logistic base PT User atau pembeli di Singapura), ada invoice dari pabrikan serta pembayarannya oleh PT Trader dilakukan langsung via transfer bank ke principal Singapura. Kajian Perpajakan dalam Penyerahan Barang... © 235 Gudang i Singapura Sebagal Regional menyerahkan barang(4A) Logistic Base PT User | <————_______ (indonesta) herr walsie) mengtrimkan Invoice(48) Indonesia ‘Singapura menyerahkan bbarang ke PT User di Kalimantan (6) menerbitkan PO (1) PT User (Indonesia)/Pembeli Mengirim Sales Invoice (7) Di Kalimantan ‘melunasi harga barang (8) Penjelasannya adalah sbb: () PT User (pembeli) menerbitkan purchase order (PO) ke PT ‘Trader (Indonesia) (2) Atas dasar PO dari pembeli tersebut, PT Trader menerbitkan PO ke PT Agent (Indonesia) di Jakarta. 236 (3) (4A) = MANAJEMEN PERPAJAKAN PT Agent selaku principal agent dari pabrikan di Singapura, me- neruskan PO tersebut ke principal atau pabrikan di Singapura. Oleh principal di Singapura, barang di serahkan ke regional logistic base PT User (Pembeli) di Singapura. (5)-(6) Selanjutnya barang tersebut diterima dan dibawa oleh interna- tional freight forwarder PT X dari Singapura ke PT User di Kali- mantan. (4B) Principal di Singapura mengirimkan tagihan/invoice ke PT Trader (4C) PT Trader melunasi harga barang dengan cara mentransfer lang- sung via Bank ke principal di Singapura. (7) PT Trader mengirimkan sales invoice ke PT User. (8) PT User melunasi invoice tersebut. Penutup Pengusaha harus sadar, sebelum membuat kebijakan bisnis, mereka harus senantiasa mengintegrasikan kebijakannya dengan peraturan perpajakan. Setiap keputusan bisnis biasanya akan menimbulkan transaksi, dan setiap transaksi melibarkan aliran dana yang sangat mungkin terekspos pajak. Karena itu pengusaha harus selalu waspada terhadap dampak PPN, PPh, maupun jenis pajak yang lain. Pemerintah dan DPR harus mengkaji dan memastikan perangkat hukum berkenaan dengan masalah penyerahan barang di luar pabean selalu dilakukan dengan menjaga netralitas pajak, serta memastikan bahwa loopholes yang memungkinkan subjek pajak lolos dari pemajakan bisa ditutupi dengan penguatan kepastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai