Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi
1. HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam
family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan DNA
penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang.
Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan
utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa
kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan
DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut
menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe
HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh
dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke
dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang
mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel
mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis
dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4
semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
(KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini
secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse
transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan
kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara
evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak
menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi
baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan
infeksi oportunistik (Zein, 2006).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain
(Yatim, 2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa
adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut
seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan
sebagainya (Laurentz, 2005).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan
berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel
sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi dan
penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan
mereka untuk mereplikasi lalu menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh
manusia tidak dapat lagi mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan
terhadap berbagai jenis penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila
sistem pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada
tahap lanjut (AVERT, 2011).

1.2Etiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini
termaksuk dalam etrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik
dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini
mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env.
Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam
patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus
lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu
keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi
khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

1.3 Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel
lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian
yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer
penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA.
DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat
mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel
T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan
limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi
limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
1.4 Pathway
TERLAMPIR
1.5 Manifestasi Klinis
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala
klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS. Gejala Minor

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan,
mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat
respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung
berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang
tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.
1.6 Komplikasi
Komplikasi primer :
· MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
· Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
· Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
· Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)
1.7 Pemeriksaan Penunjang
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat tetap sehat lebih
lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan mencegah
transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan sistem
kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya
tidak terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes
3 hingga 6 minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski,
2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk
menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV kronis,
tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin
negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu
jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil
tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah
diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh
acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi
dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan protein virus
terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel
secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya antibodi
HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick
adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil
tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan
tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala
polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat mendeteksi HIV
bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara
khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal
RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk
konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa
minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot
tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain
(Swierzewski, 2010).
1.8 Penatalaksanaan
1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS
tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang
kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis
direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah
200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih
ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat
aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral
RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan,
persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan,
kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi
kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan
HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan
terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan
dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis
tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan
pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba,
sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat
antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk
mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui
serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan
pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status
orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan
orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk
mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV.
Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan
dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine
sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah
terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya
selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang
memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak
efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong
perilaku seksual yang tidak aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk
mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian
vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan
untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi
virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat
bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara
sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di
lingkungan perawatan kritis
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian

1. Riwayat: tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum: pucat, kelaparan.
3. Gejala subyektif: demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4. Psikososial: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis.
5. Status mental: marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, with drawl, hilang
interest pada lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori, gangguan atensi
dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada
bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7. Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan, kaku
kuduk, kejang, paraplegia.
8. Muskuloskletal: focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9. Kardiovaskuler; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10. Pernapasan: dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan,
batuk produktif atau non produktif.
11. GI: intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12. GU: lesi atau eksudat pada genital,
13. Integument: kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kurang asupan cairanss
2. Pola napas tidak efektif b.d penurunan energi, kelelahan, nyeri, kecemasan
3. Hipertermia b.d proses penyakit, peningkatan metabolisme, dehidrasi
4. Nyeri b.d agen injury biologis
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan
dengan faktor biologis, psikologis
6. Kurang Pengetahuan b.d kurangnya paparan atau informasi
7. Deficit volume cairan b.d kegagalan mekanisme pengaturan
8. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik
9. Resiko infeksi dengan factor resiko prosedur Infasif, malnutrisi, imonusupresi ,
ketidakadekuatan imun buatan , tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon inflamasi), tidak adekuat pertahanan tubuh primer
10. Kelelahan b.d anemia, status penyakit
DAFTAR PUSTAKA

Agus P, dkk : Kedaruratan Medik : Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 2000
Doenges M.E. (2008) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed
). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim. 2007. Buku Ajar Ilmu
Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai