Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
LATAR BELAKANG

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan
pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit.80 % di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera sedang
dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita.Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple
head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii
fracture.
2

Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera
kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.Pada penderita korban cedera kepala, yang harus
diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan
resusitasi,anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI KEPALA


a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:


 Skin atau kulit
 Connective tissue atau jaringan penyambung
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
 Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
 Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan
subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup
4

lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk


mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).

b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu
fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon,
1997).
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang
keras,terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
5

sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004).
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college
of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004)
d. Otak
6

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang


dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon
(otak tengah) dan rhombensefalon(otak belakang) terdiri dari pons,medula
oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American
college of surgeon,1997)
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (japardi,2004)
7

g. Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak
dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).

2.2. DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. (Brain Injury
Assosiation of America, 2015; Soertidewi dkk, 2006)

2.3. KLASIFIKASI
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasarkan mekanisme, tingkat
beratnya cedera kepala serta berdasarkan morfologi. (Soertidewi dkk, 2006)
a. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tumpul.
8

b. Tingkat beratnya cedera kepala


Berdasarkan Glasgow Coma Scale
1. Ringan (GCS 14-15)
GCS 14-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusia cerebral maupun hematoma.
2. Sedang (GCS 9-13)
GCS 9-13, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat (GCS 3-8)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral,
laserasi atau hematoma intracranial.

Tabel 1. Glasgow Coma Scale


Respon Membuka Mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon Verbal (V) Nilai


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata – kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
9

Respon Motorik (M) Nilai


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abdnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

c. Berdasarkan morfologi
1. Fraktura Tengkorak
- Kalvaria
- Dasar Tengkorak
2. Lesi Intrakranial
- Fokal
o Epidural
o Subdural
o Intraserebral
- Difusa
o Komosio ringan
o Komosio klasik
o Cedera aksonal difusa
10

2.4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.

Gambar 1. Whiplash – Traumatic closed head injury


Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
11

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari


benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. (Price dan Wilson,
2005)

2.5. PATOLOGI
a. Laserasi Kulit Kepala
Kulit kepala melekat erat pada galea aponeurotika. Di anatara galea
aponerurotika dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada cedera di daerah
kalvarium, dapat terjadi robeknya lapisan kulit kepala tersebut. karena daerah
ini kaya akan aliran darah dan jaringan ikatnya longgar, maka perlukaan yang
terjadi cukup masif.

Penanganan dilakukan untuk menghentikan perdarahan dengan


penekanan langsung, infiltrasi lidokain dan epinephrine lokal. Epinephrin
membantu mengurangi perdarahan sekaligus memperpanjang masa kerja
anestesi lokal. Jika hanya luka biasa, segera dilakukan penutupan luka dan
sebelum dilakukan penutupan luka, luka dibersihkan terlebih dahulu dari
debris dan kotoran. Jika luka cukup lebar dan kulit kepala terlihat koyak, luka
dibersihkan, dengan melakukan irigasi menggunakan cairan normal saline,
dilakukan debridement, dan selanjutnya dapat ditutup dengan cara dijahit.
Selain diberikan analgetik, diberikan pula antibiotik profilaksis dan anti
tetanus.
12

b. Subgaleal Hematom
Pada cedera yang tidak merobek lapisan kulit, namun menyebabkan
pembuluh darah pada lapisan jaringan ikat longgar di bawah kulit kepala
pecah akan menyebabkan terkumpulnya darah, yang disebut sebagai
subgaleal hematoma. Terkumpulnya darah di antara lapisan galeal dan tulang
tengkorak menyebabkan adanya penonjolan keluar pada kepala. Dalam
penanganan kasus subgaleal hematoma, dianjurkan untuk segera membrikan
kompresi dingin pada lokasi benjolan. Hal ini dilakukan dengan asumsi
tindakan tersebut dapat membantu terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah
yang pecah, sehingga perdarahan akan berhenti.

Gambar 2. Subgaleal hematoma dan edema serebri


c. Fraktur Kalvaria / Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah penggolongan fraktur berdasarkan
lokasinya di kepala, yaitu pada bagian kubah (konveksitas) dari tengkorak.
Tulang-tulang yang membentuk kubah disini termasuk adalah tulang
frontalis, temporalis, parietalis dan oksipitalis. Fraktur konveksitas dapat
berupa fraktur linier, depressed, kominutif atau diastase.
d. Fraktur Basis Kranii
13

Fraktur basis kranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar
kranium, yang dapat terjadi pada fossa anterior, fossa media, ataupun fossa
posterior. Fraktur jenis ini merupakan kondisi yang serius, dapat berakibat
fatal, dan memiliki resiko komplikasi yang tidak ringan. Secara klinis, fraktur
dapat dicurigai keberadaannya bila dijumpai gejala klinis berupa otorhea,
rhinorea, Fraktur basis kranii biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran cairan serebrospinal (rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis.
Hematoma periorbital adalah tanda berupa hematoma yang umumnya
terjadi 12-24 jam pasca trauma dan terbatas pada daerah orbital kedua mata
saja. Tanda ini dapat bersifat bilateral, tanda “raccoon eyes” atau “panda
bear eyes”. Tanda ini menandakan adanya perdarahan pada struktur
dibelakangnya, bukan karena cedera langsung pada daerah periorbital.

Gambar 3. Gambaran fraktur basis cranii dan racoon eyes.


14

e. Hematoma Epidural
Hematoma epidural adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah
di antara duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya
disebabkan karena trauma tumpul kepala. Lokasi yang paling sering adalah di
bagian temporal atau temporoparietal dan sisanya frontal, oksipital atau fossa
serebri posterior.
Sumber perdarahan adalah dari cabang arteria meningea media, akibat
fraktur yang terjadi di bagian temporal otak. Dapat juga dari arteri atau vena
lainnya. Kadang-kadang, hematoma epidural terjadi akibat robeknya sinus
vena, terutama di regio parietal-oksipital atau fossa posterior. Hematoma
yang sumber perdarahannya dari vena, umumnya tidak besar, sebab tekanan
yang ditimbulkan tidak besar. Berbeda dengan arteri yang bertekanan kuat
yang mampu mendesak perlekatan duramater pada tulang tengkorak.
Secara klinis, bisa terjadi beberapa macam perjalanan manifestasi
klinis. Pasien dapat saja tetap sadar; atau tetap tidak sadar; atau sadar lalu
menjadi tidak sadar; atau tidak sadar lalu menjadi sadar; atau tidak sadar lalu
sadar beberapa waktu (periode lucid interval) tetapi kemudian tidak sadar
lagi. Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya
bukan karena terjadinya hematoma epidural, melainkan karena teregangnya
serat-serat formasio retikularis di dalam batang otak.

Gambar 4. Epidural dan Subdural Hematom


15

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak


selalu homogen, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada
tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space
occupying lesion). Batas dengan korteks licin, densitas duramater biasanya
jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena
sehingga tampak lebih jelas

Gambar 5. Gambaran CT scan hematoma epidural

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari


keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsung lama.
f. Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi di antara lapisan
duramater dan araknoidea. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Perdarahan
yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein yang melintas dari
16

ruang subaraknoidea atau korteks serebri ke ruang subdural, dengan bermuara


dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula akibat robekan
pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid yang disertai robeknya
lapisan araknoidea.
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi dari hematoma
epidural, dan memiliki angka mortalitas yang tinggi untuk yang sifatnya akut.
Gejala akut menyerupai hematoma epidural, meliputi penurunan kesadaran,
pupil anisokor, dan defisit neurologis terutama gangguan motorik.

Gambar 6. Gambaran CT scan hematoma subdural


17

Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis:


1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti
bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya
hematom di daerah fissura interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural.
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh
karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas
ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens.
g. Hematoma Sub Araknoid
Hematoma subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada
ruang subaraknoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan
jaringan otak. Perdarahan terletak antara araknoid dan piamater, mengisi
ruang subaraknoid dan masuk ke dalam sistem cairan serebrospinalis.
Umumnya lesi disertai dengan kontusio atau laserasi serebri.
Darah yang masuk ke dalam ruang subaraknoid dan sistem cairan
serebrospinalis tersebut akan menyebabkan terjadinya iritasi meningeal.
Sebagai dampak dari adanya perdarahan ini, pasien akan mengeluhkan
gejala meningeal, baik yang ringan maupun berat. Gejala dapat berupa
nyeri kepala, demam, kaku tengkuk, iritabilitas, fotophobia, dan
sebagainya. Bila cedera yang terjadi berat, akan terjadi penurunan
kesadaran dan gangguan pernapasan menjadi prnapasan Cheyne Stokes.
18

Gambar 7. Gambaran CT scan hematoma subaraknoid.


h. Hematoma Intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah
yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Perdarahan dapat berlokasi di
bagian mana saja, hmisfer serebri, serebellum, diensefalon, atau korpus
kalosum. Lokasi yang paling terjadi adalah lobus frontalis dan temporalis.
Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi
dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

Gambar 7. Epidural, Subdural, dan Intracerebral Hematom.


19

i. Kerusakan Otak Menyeluruh (Diffuse Brain Injury)


Pada kerusakan otak yang menyeluruh, pasien mengalami koma
sejak peristiwa terjadi, tetapi tidak didapatkan gambaran lesi desak ruang
pada pemeriksaan CT scan. Namun secara patologis anatomis terjadi
kerusakan baik pada pembuluh darah maupun parenkim yang tersebar luas
(difus) dan juga disertai edema. Kebanyakan kasus disebabkan karena
cedera yang mekanismenya akselerasi dan deserebrasi, misalnya
kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi.
j. Konkusio dan Komosio Serebri
Konkusio diartikan sebagai keadaan penurunan kesadaran yang
terjadi tepat setelah cedera terjadi dan berlangsung secara temporer
(maksimal dalam beberapa jam). Sedangkan komosio serebri didefinisikan
sebagai keadaan pingsan tidak lebih dari 10 menit akibat cedera kepala,
tanpa adanya kelainan neurologis lain. Secara klinis keduanya termasuk
dalam kategori cedera kepala ringan, dengan GCS 13-15, hilang kesadaran
tidak lebih dari 10 menit, dan tidak ada kelainan neurologis.
Walaupun tidak cukup untuk menimbulkan kerusakan struktural
namun disini terjadi blokade reversibel pada sistem aktivasi retikular yang
memberi dampak terputusnya input afferen. Sebagai akibatnya, terjadi
penurunan kesadaran, yang akan segera pulih secara spontan bila blokade
sudah tidak ada lagi.
Setelah terjadi benturan, penderita biasanya mengalami gejala
berupa amnesia tetapi hanya sebentar saja, sakit kepala, vertigo, mual,
muntah, hilang ingatan, diplopia, pandangan kabur, gangguan konsentrasi,
labilitas emosi dan gangguan tidur. Pada kasus ringan dan tidak disertai
komplikasi, keluhan ini berangsur menghilang dalam waktu sekitar 48
jam.
k. Kontusio dan Laserasi Serebri
Istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau
gangguan pada jaringan otak yang lebih berat dari konkusi, dengan
20

memiliki karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan


titik-titik perdarahan kapiler, dan edema jaringan otak.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi di lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada
setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan terjadi (kontusio koup),
atau di tempat lain, yaitu berupa kontusio kontra koup atau kontusio
intermediate. Pada kontusio yang ringan, pasien dapat mengalami
gangguan kesadaran hanya beberapa detik atau menit, namun gangguan
fungsi mental terjadi sampai beberapa jam atau hari. Penderita juga dapat
mengalami amnesia pasca traumatic (amnesia anterograde), yaitu ia tidak
ingat sama sekali mengenai yang terjadi setelah ia mengalami cedera.
Gangguan ingatan ini juga dapat meluas dalam rentang waktu sebelum
cedera terjadi (amnesia retrograde).
Penderita yang telah kembali kesadarannya setelah benturan,
umumnya mengeluhkan merasa sakit kepala, mengalami konfusi, menjadi
iritable dan gelisah. Pada cedera yang lebih berat, gangguan kesadaran
yang terjadi berlangsung lebih lama dan disertai defisit neurologis.

2.6. GEJALA DAN TANDA


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera
otak (Sylvia, 2005).
a. Cedera kepala ringan
 Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
21

 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah


laku
 Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat cedera ringan.
b. Cedera kepala sedang
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau bahkan koma.
 Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
c. Cedera kepala berat
 Amnesia, tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
Menurut Reissner (2009), tanda klinis cedera kepala adalah seperti berikut:
a. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)
 Hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa cedera langsung)
 Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan;
 Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
22

 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.


 Mual dan atau muntah.
 Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
 Perubahan keperibadian diri.
 Letargik.
c. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat;
 Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di
otak menurun atau meningkat.
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan).
 Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstrimitas

2.7. PEMERIKSAAN PENTING PADA CEDERA KEPALA


Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ (Universitas Pelita Harapan, 2005).
Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks
(Universitas Pelita Harapan, 2005).
23

Tabel. Pemeriksaan GCS dan Skornya

Untuk memudahkan memonitor secara intensif perkembangan tingkat


kesadaran penderita maka observasi neurologik terus-menerus penderita koma
haruslah disertai dengan :
a. Monitor fungsi batang otak
 Besar dan reaksi pupil
 Okulosefalik respons (Doll’s eye phenomen)
 Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons
b. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi)
 Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon atas
 Central neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon
dengan pons
 Apneustic breathing : lesi di pons
 Ataxic breathing : lesi di medulla oblongata
c. Pemeriksaan fungsi motorik
 Kekuatan otot
 Refleks tendon
 Tonus otot
24

d. Pemeriksaan funduskopi
e. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau
perlu EEG Meskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang
dilakukan pada semua kasus trauma kapitis adalah normal tetapi demi
kepentingan medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin dilakukan
(Sjahrir, 2004).

2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA CEDERA KEPALA


a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari
dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila
dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur
dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada. Dengan X-Rays setidaknya dapat
diobservasi garis-garis fraktur pada os frontalis, os temporalis, os
parietal dan os occipital. X-rays juga dapat melihat adanya cairan di
dalam sinus maksila ( State of Colorado Department of Labor and
Employment, 2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting
dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Sastrodiningrat,,
2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas
yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila
dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan
abnormal.
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan
yang relative normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin
terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari
penderita (Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area
25

yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.


Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk
(Sastrodiningrat, 2007 ).
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan
adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu
anteroposterior dan lateral (Universitas Pelita Harapan, 2005). Idealnya
penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia,
atau sakit kepala hebat (IKABI, 2004).
Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :
(Universitas Pelita Harapan, 2005)
 Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera
kepala sedang dan berat.
 Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
 Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
 Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
 Sakit kepala yang hebat
 Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
 Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan
intraserebral.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan
bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi
batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Sastrodiningrat, 2007).
26

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)


menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan
metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD).
Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya
dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan
MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat
ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan
gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Sastrodiningrat,
2007).

2.9. PENATALAKSANAAN CIDERA KEPALA


A. Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan:
a. Kondisi kesadaran pasien

 Kesadaran menurun
 Kesadaran baik

b. Tindakan

 Terapi non-operatif
 Terapi operatif

c. Saat kejadian

 Manajemen prehospital
 Instalasi Gawat Darurat
 Perawatan di ruang rawat

B. Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:

 Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan


terjadinya tekanan tinggi intrakranial
 Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
27

 Minimalisasi kerusakan sekunder


 Mengobati simptom akibat trauma otak
 Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)

C. Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:

1. Cedera kranioserebral tertutup

 Fraktur impresi (depressed fracture)


 Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume
perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih
dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien
 Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan
garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis
 Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan
neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka

 Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur


multipel, dura yang robek disertai laserasi otak Liquorrhea yang tidak
berhenti lebih dari 14 hari
 Pneumoencephali
 Corpus alienum
 Luka tembak

D. Pasien dalam keadaan sadar


1. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh
pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila
28

dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk


dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami
cedera kranioserebral ringan (CKR).

E. Pasien dalam kesadaran menurun


1. Cedera kranioserebral ringan (SKG=13-15)
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah,
tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi
pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk
menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,
nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi
(pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma,
dilakukan CT scan.Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat
jika:
 orientasi (waktu dan tempat) baik
 tidak ada gejala fokal neurologic
 tidak ada muntah atau sakit kepala
 tidak ada fraktur tulang kepala
 tempat tinggal dalam kota
 ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
2. Cedera kranioserebral sedang (SKG=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
 Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing),
dan sirkulasi (Circulation)
 Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera
organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang
29

ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau
i ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
 Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
 CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intracranial
 Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya
3. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU.Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik.
Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.

F. Tindakan di unit gawat darurat dan ruang rawat


1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =
Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola
pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,
atau infeksi.
Tata laksana:
 Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
30

 Cari dan atasi faktor penyebab


 Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tata
laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonic
NaCl 0,9 %.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran,
tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya),
defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan
salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas
indikasi.CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara
klinis diduga ada hematoma intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
 Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai
sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio
(CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal,
sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun
secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15
adalah acuan klinis yang mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila
31

berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak,
dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang sederhana.
 Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk
kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR 39,82
untuk GDS >220 mg/dL.
 Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada
fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
 Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2
tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2
dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm Hg.
 Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
 Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL)
mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan
kadar albumin normal.
 Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko
late hematomas perlu diantisipasi. Diagnosis kelainan hematologis
ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar fibrinogen <40mg/mL, PT
>16 detik, dan aPTT >50 detik.
5. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal
adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada
pada satu bidang.
32

b. Terapi diuretik:
 Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan
dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan:
osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
 Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
 Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
 Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-
4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap
selama 3 hari
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,
minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10-30 mg/hari, cuprum 1-3
mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50
mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribol
avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien dengan
kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus.
Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk
melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah
baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.
33

7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila
GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan
konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.

2.10. KOMPLIKASI
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure,
dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada
kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di
daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-
10 hari.
Pengobatan:
 Kejang pertama : Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
 Status epilepsi : Diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah
400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian
Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang
tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan
amnesia post traumatik panjang
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini
34

masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik


dengan dosis meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan tindakan
menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau
tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin.
Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis
erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan
tukak stress ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena
berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera
kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers
(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah
tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin,
dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat
diberikan penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih
adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.
f. Proteksi serebral (neuroproteksi)
Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera otak primer dengan timbulnya
kerusakan sekunder memberikan kesempatan untuk pemberian neuroprotektor.
Manfaat obat-obat tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-obat tersebut
antara lain golongan antagonis kalsium (mis., nimodipine) yang terutama
diberikan pada perdarahan subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki
memori.Dari beberapa percobaan penting, terungkap bahwa agen neuroprotektor
yang diberikan setelah cedera otak dapat menekan kematian dan menambah
perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih diragukan
kegunaannya. Manajemen harus sudah mendeteksi sejak awal dan melakukan
35

pencegahan efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya


komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi intervensi
non-farmasi (terapi gizi). Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi
serebral adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang
dapat memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat
proteksi serebral berdasarkan patoi siologi mekanisme kerja yang spesifik
menjanjikan perbaikan luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral (Soertidewi
L. 2012)

2.11. PROGNOSIS
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators
(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan
terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Apabila
penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif,
terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang
berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari
cedera kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga
sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita (American college
of surgeon,1997)
36

BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An.EP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 9 tahun
Agama : Islam
Alamat : Desa Rukma Jaya Kabupaten Bengkayang
Masuk RS : 9 Juni 2016, pukul 10.00 WIB
Keluhan utama : Luka di daerah wajah pasca kecelakaan lalu lintas.
II. PRIMARY SURVEY
A. Airway :
 Look : agitasi (-), sianosis (-), retraksi (-)
 Listen : snoring (-), gurgling (-), crowing sound (-)
 Feel : deviasi trakea (-)
B. Breathing : frekuensi pernafasan 25x/menit, jenis pernafasan torakal-
abdominal, expansi thorax simetris (+), nyeri dada pada saat
bernafas (-), perkusi thorax sonor (+), suara paru vesikuler (+)
C. Circulation : nadi 90x/menit teratur, warna kulit pucat (-)
D. Disability : kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6, pupil
isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung (+), reflex cahaya tidak
langsung (+)
E. Environment : -

II. SECONDARY SURVEY


A. Keluhan Utama
Luka di daerah wajah setelah kecelakaan lalu lintas.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan luka di daerah wajah setelah ditabrak mobil
sekitar 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Riwayat pasien tidak sadar
disangkal, mual (-) dan muntah (-).
37

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat dengan keluhan yang sama disangkal, riwayat trauma (-), operasi (-).
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal, riwayat keluarga mengidap
kanker disangkal.
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Orang tua pasien pekerja swasta
F. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital :
 Keadaan Umum : Tampak kesakitan
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tekanan Darah : Tidak diukur
 Frekuensi Nadi : 96x/menit
 Frekuensi Napas : 24x/menit
 Suhu : 36,6oC
 BB/ TB : 21 kg/110 cm
 Gizi : Kesan normal (BMI 17,5)
B. Pemeriksaan head to toe
a) Kepala & maksilofasial
Inspeksi : Luka ekslorasi (+) temporal, laserasi (-), perdarahan (-), kontusio
(-), fraktur (-)
Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-)
b) Mata : Perdarahan (-), luka tembus (-), lensa kontak (-), kerusakan
nervus optikus (-), Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
c) THT : perdarahan (+), gigi patah (+).
d) Leher : Luka laserasi (+), hiperemis (+), deformitas (-),
pembengkakan (-), deviasi trakea (-)
e) Dada : simetris (-), deformitas (-), hiperemis (-), scar (-),
penggunaan otot bantuan nafas (-),
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
38

Palpasi : Iktus cordis teraba pada SIC 4 garis midclavikula sinistra,


Perkusi : Batas jantung atas SIC 2 Gr. Midklavikulas sinistra, batas
kanan jantung SIC 4 Gr. Parasternal sinistra, batas kiri jantung SIC 4 Gr.
Midclakula sinistra.
Auskultasi : Murmur (-), Gallop (-)
Paru
Inspeksi : expansi dada simetris (+), pola pernafasan torakal-
abdominal, scar (-),
hiperemis (-), penggunaan otot bantuan pernafasan (-),
Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : sonor (+)
Auskultasi : vesikuler (+/+) seluruh lapang paru bagian depan dan
belakang, rhonki (-), wheezing (-)
f) Abdomen :
Inspeksi : datar, scar (-), hiperemis (-), tumor (-)
Auskultasi : bising usung (+) 5x/menit, bruit (-).
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien teraba (-),
tumor (-).
Perkusi : timpani (+), pekak hepar (+).

g) Genital : tidak dilakukan


h) Anus : tidak dilakukan
i) Ekstremitas : edema (-), CRT < 2”, sianosis (-), luka eksklorasi pada
genu dextra.
j) Status lokalis :
Chepal e.r temporalis:
Vulnus ekskloratum, hiperemis, nyeri tekan (+)
Facialis:
Multiple vulnus ekskloratum, hiperemis, nyeri tekan (+)
Regio mandibularis:
Vulnus laceratum, hiperemis, nyeri tekan (+), perdarahan (+).
39

III. RESUME
Pasien datang dengan keluhan luka di daerah wajah setelah ditabrak mobil
sekitar 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Riwayat pasien tidak sadar
disangkal, mual (-) dan muntah (-).Chepal e.r temporalis: Vulnus
ekskloratum, hiperemis, nyeri tekan (+) Facialis: Multiple vulnus
ekskloratum, hiperemis, nyeri tekan (+) Regio mandibularis: Vulnus
laceratum, hiperemis, nyeri tekan (+), perdarahan (+).

IV. Differential Diagnosis


Cedera kepala ringan dengan multiple trauma.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
b. Foto Polos Kepala

Tampak lateral Tampak anterior

VI. DIAGNOSIS
Cedera kepala ringan dengan multiple vulnus ekskloratum (VE) regio facialis,
vulnus laceratum (VL) regio mandibula, VE regio genu dextra.
VII. PENATALAKSANAAN
1. IVFD RL 21 tpm (makro), 63 tpm (mikro)
40

2. Inj ketorolac ½ amp


3. Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
4. Wound toilet
5. Wound hecting
6. Elevasi kepala 15-30 derajat
7. Konsul bedah saraf dan dokter gigi
41

BAB IV
PEMBAHASAN
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan
kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya
mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Cedera kepala merupakan 80% dari kasus emergensi dan harus segera
ditangani dengan segera sebelum terjadi kerusakan otak yang lebih luas dan
permanen. Berdasarkan GCS cedera kepala/otak dapat terbagi menjadi 3:
1. Cedera kepala ringan,bila GCS 13-15
2. Cedera kepala sedang,bila GCS 9-12
3. Cedera kepala berat bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area
yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Pengelolaan pasien dengan cidera kepala secara tepat, cepat dan sistematis akan
membawakan hasil akhir yang baik
IVFD RL 28 tpm, Ringer Laktat adalah larutan steril dari kalium klorida, kalsium
klorida, natrium klorida, dan natrium laktat dalam air.
42

TPM= Volume cairan infus x faktor tetes normal


Lama pemberian x 60
Cefotaxime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang memiliki
aktivitas anti bakteri. Aktivitas bakterisidal didapat dengan cara menghambat
sisntesis dinding sel. In vitro cefotaxime memiliki aktivitas luas terhadap bakteri
gram positif dan gram negatif. Cefotaxime memiliki stabilitas yang sangat tinggi
terhadap β-laktamase, baik itu penisilinase dan sefalosporinase yang dihasilkan
bakteri gram-positif dan gram-negatif. Selain daripada itu Cefataxime merupakan
penghambat poten terhadap bakteri gram negatif tertentu yang menghasilkan β-
laktamase.
Cefotaxime diindikasikan untuk pengobatan dengan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri sensitif pada penyakit-penyakit berikut ini:
1. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah: termasuk pneumonia yang
disebabkan streptococcus pneumonia, S. pyogenes (Streptococcus group A) dan
Streptococci lain (tidak termasuk Enterococci, seperti S. faecalis), Staphylococcus
aureus (produksi penisilinase dan tidak produksi penisilinase), Escherichia coli.
2.Infeksi saluran kemih
3.Infeksi ginekologi
4.Bakteremia/septikemia
5.Infeksi kulit dan susunan kulit
6.Infeksi abdominal
Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi
penggunaan ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu
penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti
inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti
morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang.
Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat
enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese
prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine
memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada
43

pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan menghambat


migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.
Ketorolac tromethamine 99% diikat oleh protein. Sebagian besar ketorolac
tromethamine dimetabolisme di hati. Metabolismenya adalah hidroksilate, dan
yang tidak dimetabolisme (unchanged drug) diekresikan melalui urin.
Tujuan elevasi kepala untuk meningkatkan venous drainage dari kepala
dan elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik,
mungkin dapat dikompromioleh tekanan perfusi serebral.
Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan
hipotesis Monro-Kellie : merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan
otak, cairan otak yang bersifat tetap, karena berada dalam ruang tengkorak yang
bersifat kaku, tekanan tersebut menjalar ke setiap sisi ruangan di dalam tengkorak.

Grafik hubungan posisi lepala dengan tekanan intracranial


44

BAB V

KESIMPULAN

Jadi, kesimpulan dari laporan kasus yang disajikan dengan diagnosis Cedera
kepala ringan dengan multiple vulnus ekskloratum (VE) regio facialis, vulnus
laceratum (VL) regio mandibula, VE regio genu dextra., prognosis dubia et
bonam. Sehingga diperlukan tatalaksana segera.
45

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam :
Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisi trauma IKABI, 2004
American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States
of America: Firs Impression
Andrade, R. J et al. Assessment of drug-induced hepatotoxicity in clinical practice
: A challenge for gastroenterologist.World Jornal of Gastroenterol 21: 13
(3). 2007. p : 329-40.

bekerja-mempengaruhi.html, diakses tanggal 1 April 2011.

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.


Http://www.biausa.org
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta :
Deltacitra Grafindo, 2005.
Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004
Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
Price, SA dan Wilson, LM, 2005, Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, Volume 2. Jakarta : EGC
Pusat, http://dinna-windiasari.blogspot.com/2010/09/golongan-obat-yang

Soertidewi L, Misbach J, Sjahrir H, Hamid A, Jannis J, Bustami M, editor, 2006,


Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal, Jakarta.
Jakarta: Perdossi.
Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Jakarta :
Bagian ilmu penyakit saraf FKUI RSCM. VOL 39 No. 5. 2012

Sunardi. 2012. POSISI KEPALA DALAM STABILITASI TEKANAN


INTRAKRANIAL. Wordpress. Diakses pada 9 Juli 2016.
46

Windiasari, D., 2010, Golongan Obat Yang Bekerja Mempengaruhi Sistem Saraf

Anda mungkin juga menyukai