BAB I
LATAR BELAKANG
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan
pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit.80 % di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera sedang
dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita.Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple
head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii
fracture.
2
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera
kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.Pada penderita korban cedera kepala, yang harus
diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan
resusitasi,anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu
fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon,
1997).
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang
keras,terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
5
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004).
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater
oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college
of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004)
d. Otak
6
g. Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak
dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).
2.3. KLASIFIKASI
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasarkan mekanisme, tingkat
beratnya cedera kepala serta berdasarkan morfologi. (Soertidewi dkk, 2006)
a. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tumpul.
8
c. Berdasarkan morfologi
1. Fraktura Tengkorak
- Kalvaria
- Dasar Tengkorak
2. Lesi Intrakranial
- Fokal
o Epidural
o Subdural
o Intraserebral
- Difusa
o Komosio ringan
o Komosio klasik
o Cedera aksonal difusa
10
2.5. PATOLOGI
a. Laserasi Kulit Kepala
Kulit kepala melekat erat pada galea aponeurotika. Di anatara galea
aponerurotika dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada cedera di daerah
kalvarium, dapat terjadi robeknya lapisan kulit kepala tersebut. karena daerah
ini kaya akan aliran darah dan jaringan ikatnya longgar, maka perlukaan yang
terjadi cukup masif.
b. Subgaleal Hematom
Pada cedera yang tidak merobek lapisan kulit, namun menyebabkan
pembuluh darah pada lapisan jaringan ikat longgar di bawah kulit kepala
pecah akan menyebabkan terkumpulnya darah, yang disebut sebagai
subgaleal hematoma. Terkumpulnya darah di antara lapisan galeal dan tulang
tengkorak menyebabkan adanya penonjolan keluar pada kepala. Dalam
penanganan kasus subgaleal hematoma, dianjurkan untuk segera membrikan
kompresi dingin pada lokasi benjolan. Hal ini dilakukan dengan asumsi
tindakan tersebut dapat membantu terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah
yang pecah, sehingga perdarahan akan berhenti.
Fraktur basis kranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar
kranium, yang dapat terjadi pada fossa anterior, fossa media, ataupun fossa
posterior. Fraktur jenis ini merupakan kondisi yang serius, dapat berakibat
fatal, dan memiliki resiko komplikasi yang tidak ringan. Secara klinis, fraktur
dapat dicurigai keberadaannya bila dijumpai gejala klinis berupa otorhea,
rhinorea, Fraktur basis kranii biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran cairan serebrospinal (rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis.
Hematoma periorbital adalah tanda berupa hematoma yang umumnya
terjadi 12-24 jam pasca trauma dan terbatas pada daerah orbital kedua mata
saja. Tanda ini dapat bersifat bilateral, tanda “raccoon eyes” atau “panda
bear eyes”. Tanda ini menandakan adanya perdarahan pada struktur
dibelakangnya, bukan karena cedera langsung pada daerah periorbital.
e. Hematoma Epidural
Hematoma epidural adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah
di antara duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya
disebabkan karena trauma tumpul kepala. Lokasi yang paling sering adalah di
bagian temporal atau temporoparietal dan sisanya frontal, oksipital atau fossa
serebri posterior.
Sumber perdarahan adalah dari cabang arteria meningea media, akibat
fraktur yang terjadi di bagian temporal otak. Dapat juga dari arteri atau vena
lainnya. Kadang-kadang, hematoma epidural terjadi akibat robeknya sinus
vena, terutama di regio parietal-oksipital atau fossa posterior. Hematoma
yang sumber perdarahannya dari vena, umumnya tidak besar, sebab tekanan
yang ditimbulkan tidak besar. Berbeda dengan arteri yang bertekanan kuat
yang mampu mendesak perlekatan duramater pada tulang tengkorak.
Secara klinis, bisa terjadi beberapa macam perjalanan manifestasi
klinis. Pasien dapat saja tetap sadar; atau tetap tidak sadar; atau sadar lalu
menjadi tidak sadar; atau tidak sadar lalu menjadi sadar; atau tidak sadar lalu
sadar beberapa waktu (periode lucid interval) tetapi kemudian tidak sadar
lagi. Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya
bukan karena terjadinya hematoma epidural, melainkan karena teregangnya
serat-serat formasio retikularis di dalam batang otak.
d. Pemeriksaan funduskopi
e. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau
perlu EEG Meskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang
dilakukan pada semua kasus trauma kapitis adalah normal tetapi demi
kepentingan medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin dilakukan
(Sjahrir, 2004).
Kesadaran menurun
Kesadaran baik
b. Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif
c. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau
i ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intracranial
Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya
3. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU.Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik.
Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak,
dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang sederhana.
Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk
kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR 39,82
untuk GDS >220 mg/dL.
Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada
fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2
tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2
dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm Hg.
Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL)
mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan
kadar albumin normal.
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko
late hematomas perlu diantisipasi. Diagnosis kelainan hematologis
ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar fibrinogen <40mg/mL, PT
>16 detik, dan aPTT >50 detik.
5. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal
adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada
pada satu bidang.
32
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan
dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan:
osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-
4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap
selama 3 hari
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,
minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10-30 mg/hari, cuprum 1-3
mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50
mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribol
avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien dengan
kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus.
Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk
melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah
baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.
33
7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila
GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan
konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
2.10. KOMPLIKASI
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure,
dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada
kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di
daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-
10 hari.
Pengobatan:
Kejang pertama : Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsi : Diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah
400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian
Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang
tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan
amnesia post traumatik panjang
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini
34
2.11. PROGNOSIS
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators
(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan
terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Apabila
penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif,
terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang
berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari
cedera kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga
sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita (American college
of surgeon,1997)
36
BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An.EP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 9 tahun
Agama : Islam
Alamat : Desa Rukma Jaya Kabupaten Bengkayang
Masuk RS : 9 Juni 2016, pukul 10.00 WIB
Keluhan utama : Luka di daerah wajah pasca kecelakaan lalu lintas.
II. PRIMARY SURVEY
A. Airway :
Look : agitasi (-), sianosis (-), retraksi (-)
Listen : snoring (-), gurgling (-), crowing sound (-)
Feel : deviasi trakea (-)
B. Breathing : frekuensi pernafasan 25x/menit, jenis pernafasan torakal-
abdominal, expansi thorax simetris (+), nyeri dada pada saat
bernafas (-), perkusi thorax sonor (+), suara paru vesikuler (+)
C. Circulation : nadi 90x/menit teratur, warna kulit pucat (-)
D. Disability : kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6, pupil
isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung (+), reflex cahaya tidak
langsung (+)
E. Environment : -
III. RESUME
Pasien datang dengan keluhan luka di daerah wajah setelah ditabrak mobil
sekitar 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Riwayat pasien tidak sadar
disangkal, mual (-) dan muntah (-).Chepal e.r temporalis: Vulnus
ekskloratum, hiperemis, nyeri tekan (+) Facialis: Multiple vulnus
ekskloratum, hiperemis, nyeri tekan (+) Regio mandibularis: Vulnus
laceratum, hiperemis, nyeri tekan (+), perdarahan (+).
VI. DIAGNOSIS
Cedera kepala ringan dengan multiple vulnus ekskloratum (VE) regio facialis,
vulnus laceratum (VL) regio mandibula, VE regio genu dextra.
VII. PENATALAKSANAAN
1. IVFD RL 21 tpm (makro), 63 tpm (mikro)
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan
kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya
mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Cedera kepala merupakan 80% dari kasus emergensi dan harus segera
ditangani dengan segera sebelum terjadi kerusakan otak yang lebih luas dan
permanen. Berdasarkan GCS cedera kepala/otak dapat terbagi menjadi 3:
1. Cedera kepala ringan,bila GCS 13-15
2. Cedera kepala sedang,bila GCS 9-12
3. Cedera kepala berat bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area
yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Pengelolaan pasien dengan cidera kepala secara tepat, cepat dan sistematis akan
membawakan hasil akhir yang baik
IVFD RL 28 tpm, Ringer Laktat adalah larutan steril dari kalium klorida, kalsium
klorida, natrium klorida, dan natrium laktat dalam air.
42
BAB V
KESIMPULAN
Jadi, kesimpulan dari laporan kasus yang disajikan dengan diagnosis Cedera
kepala ringan dengan multiple vulnus ekskloratum (VE) regio facialis, vulnus
laceratum (VL) regio mandibula, VE regio genu dextra., prognosis dubia et
bonam. Sehingga diperlukan tatalaksana segera.
45
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam :
Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisi trauma IKABI, 2004
American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States
of America: Firs Impression
Andrade, R. J et al. Assessment of drug-induced hepatotoxicity in clinical practice
: A challenge for gastroenterologist.World Jornal of Gastroenterol 21: 13
(3). 2007. p : 329-40.
Windiasari, D., 2010, Golongan Obat Yang Bekerja Mempengaruhi Sistem Saraf