Anda di halaman 1dari 9

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia.

Nama ini terdiri dari dua kata dari


Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan
dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung
dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pengertian ideologi Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil
perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok seperti ideologi-ideologi lain di dunia.
Pancasila diambil dari nilai-nilai luhur budaya dan nilai religius bangsa Indonesia. Pancasila
berkedudukan sebagai ideologi bangsa dan negara. Dengan demikian, pancasila sebagai
ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa dan
bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari negara lain. Pengertian Ideologi
Pancasila adalah kumpulan nilai/norma yang meliputi sila-sila Pancasila.

Ideologi Pancasila
Ideologi Pancasila adalah Ideologi terbuka. Artinya, ideologi Pancasila dapat mengikuti
perkembangan yang terjadi pada negara lain yang memiliki ideologi yang berbeda dengan
Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karen ideologi
Pancasila memiliki nilai-nilai yang meliputi; nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
Selain itu, Pancasila bukan merupakan ide baru atau perenungan suatu kelompok atau
golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa.
Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya berlaku untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur
bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, ciri khas Pancasila memiliki kesesuaian dengan
bangsa Indonesia.
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara, Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat,
nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat
Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan kata lain, unsur-unsur yang merupakan materi
Pancasila diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri. Sebagai contoh,
kebiasayaan gotong royong dan bermusyawarah adalah nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
terdapat dalam Pancasila. Pancasila sebagai Ideologi berarti Pancasila dijadikan sebagai
pandangan hidup bagi bangsa Indonesia.

Sekian uraian tentang Pengertian Ideologi Pancasila, semoga bermanfaat.

Referensi:

 Srijanti. 2008. Etika Berwarga Negara Edisi 2: Pendidikan Kewarganegaraan untuk


Perguruan Tinggi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Kebebasan berpendapat

Semenjak demokrasi bergulir pada sekitar 12 tahun yang lalu, satu hal fundamental yang
paling banyak mendapat apresiasi adalah perihal kebebasan berpendapat. Zaman orde bari
dinilai tidak lagi layak untuk memimpin Indonesia. Masyarakat membutuhkan sebuah
kebebasan dalam berpendapat, yang diikuti juga dengan kebebasan pers sehingga pers tidak
lagi menjadi kaki tangan pemerintah.

Kebebasan berpendapat sebagai hasil dari demokrasi ini membawa suatu dampak positif,
yakni apresiasi masyarakat yang lebih tertampung dan keterjaminan mereka dalam
mengungkapan pendapat. Namun di sisi lain, ada juga sisi negatif yang dimunculkan dari
kebebasan berpendapat ini, yakni munculnya wacana-wacana yang sebelumnya tidak pernah
dikenal karena hal tersebut dinilai sebagai perwujudan dari suatu kebebasan berpendapat.
Oleh karena itu, mereka yang menganut paham sekularisme ataupun berideologi dengan
agama tertentu merupakan perwujudan nyata bagaimana suatu kebebasan berpendapat dan
berpikir itu telah dijamin.

Bertentangan dengan Pancasila

Namun sayangnya, yang seringkali terjadi adalah ketidakadilan kita terhadap pemikiran-
pemikiran yang mereka anut. Di satu sisi kita mengecam sekularisme, namun di sisi lain kita
mendukung partai berideologi agama atau sebaliknya. Kita menganggap bahwa sebenarnya
dibalik semua itu ada yang lebih benar, entah itu menjadikan Indonesia sebagai negara
sekuler atau menjadikan Indonesia sebagai negara agama.

Sebenarnya, yang perlu digarisbawahi dalam permasalahan ini adalah bagaimana kita
menyikapi hal tersebut dari sudut pandang dasar negara yang sudah kita miliki, yakni
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Hanya dengan melihat dari kedua dasar itu saja maka
kita akan berpijak pada sesuatu yang objektif.

Pertama, penting bagi kita untuk melihat sila pertama dalam Pancasila, yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa. Paccasila sama sekali tidak menerapkan prnsip sekularisme, akibatnya
permasalahan mengenai agama dapat dengan mudah diperbincangkan di ruang publik. Hal
inilah yang kemudian sering menimbulkan gesekan-gesekan jika masing-masing umat tidak
bisa mengembangkan sikap toleransi.

Oleh karena itulah maka ada orang yang menganggap bahwa sekularisme itu lebih baik untuk
Indonesia. Mereka menilai bahwa perbincangan agama dalam ranah publik akan sangat
rentan menimbulkan perpecahan dan karena itu agama harus ditempatkan pada ruang privat
terutama untuk di Indonesia, dimana gesekan-gesekan antarumat beragama masih sering
terjadi.

Dalam hal ini, sebenarnya sekularisme bertentangan dengan Pancasila. Bukan masalah
mereka mengakui adanya Tuhan atau tidak, namun masalah pada penempatan agama. Jika
dalam Pancasila agama bisa berada pada ranah publik, maka pada sekularisme agama harus
berada pada ruang privat, bebas dari intervensi siapapun termasuk pemerintah sendiri.

Kedua, penting juga bagi kita untuk melihat Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar negara
Indonesia yang plural. Makna yang sangat mendalam pada dasar ini sudah sangat jelas, yakni
meskipun kita berbeda-beda, namun kita tetap satu. Artinya adalah Indonesia sangat
menghargai keragaman, menjunjung tinggi keberagaman dan tidak menjadikan satu hal lebih
tinggi dari yang lainnya.

Selanjutnya, jika kita melihat partai berideologi agama, sebenarnya mereka juga memiliki
kesalahan. Pertama, karena ideologi mereka didasarkan pada agama dan bukan Pancasila. Hal
ini menyebabkan adanya penyimpangan dari dasar-dasar negara yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Ditengah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi prinsip dasar yang
dijunjung tinggi, harus muncul wacana baru pembentukkan negara dengan sebuah ideologi
agama.

Kesalahan kedua yakni tidak menyamaratakan kedudukan keberagaman. Jika salah satu
agama dijadikan ideologi di Indonesia, maka agama itu pastinya memiliki kedudukan yang
lebih daripada agama-agama lainnya. Meskipun bisa dikatakan bahwa setiap agama
menjunjung pluralitas, namun dengan ditempatkannya satu agama dalam sistem
pemerintahan, hal itu berarti pendikriminasian terhadap agama-agama lainnya dan
mengancan keberagaman, yakni dalam hal ini kesetaraan dalam hal-hal yang membuat
Indonesia beragam tersebut.

Dari pemaparan di atas, nampak jelas bahwa sebenarnya sekularisme dan partai berideologi
agama itu memiliki pijakan yang berbeda dari dasar negara yang sudah ditetapkan. Lalu,
mengapa banyak dari kita yang mengecam sekularisme saja, apalagi sampai ada yang
mengaitkannya dengan atheis?

Menurut hemat penulis, jika kita ingin mengecam yang satu, kecamlah juga yang lain. Hal ini
disebabkan karena kedua pemikiran mereka bertentangan dengan dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini. Namun, di sisi lain, jika kita ingin menghargai yang satu, maka
hargailah juga yang lain sebagai bentuk penghargaan atas adanya kebebasan berpendapat.
Sebenarnya, akan menjadi tidak imbang jika kita hanya mengecam yang satu dan membela
yang lain, karena hal itu sama saja yakni menyangkal dasar negara kita sendiri, Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika
1.1 Latar Belakang

Dalam karya tulis ini kami mendapat tema tentang “IDEOLOGI AGAMA”.karna ideology
agama ini dapat memberikan pengetahuan tentang etika bagaimana berperilaku yang baik
dikehidupan sehari – hari.

Seiring dengan banyak terjadi konflik antar agama yaitu fakta yang terjadi diIndonesia demi
misi ideology kelompok masing – masing.

Lagi-lagi konsep tentang agama perlu dipertanyakan kembali karena dalam konstalasi zaman,
ideologi bertabrakan, dengan jahatnya ideologi terselubung lewat agama yang sulit
dikendalikan karena sangat akut, konflik tidak hanya terjadi dalam polemik/kontroversi
wacana yang terjadi dalam teks melainkan juga secara riil telah nampak diermukaan bumi
dan sangat telanjang. Karena masing-masing paham memiliki sudut pandang yang berbeda
dan juga relevansinya dengan ideologi masing-masing. Konsekuensi logisnya suatu
penyampaian terdistorsi, yang seharusnya berada di wilayah agama kini ditempatkan pada
wilayah teks, karena setiap tokoh paham mempunyai hak provieles dan sebagai masyarakat
yang awam tidak dapat memberikan negasi mutlak. Indikasinya masyarakat selalu terpatologi
bahkan menjadi panismen ideologi paham.

Pengertian Ideologi Agama

Agama Sebagai Ideologi pada tataran individu, etika berfungsi sebagai proses awal
pembentukan indentitas. Konstruksi identitas akan memberikan kesadaran untuk
mempercayai segala kebenaran yang disampaikan oleh suatu agama. Jika seorang penganut
agama sudah punya kesadaran tentang identitasnya dalam suatu agama, maka komitmennya
pada agama tidak akan diragukan lagi. Dapat dikatakan bahwa militansi seorang penganut
agama berawal dari pembentukan identitas pada dirinya. Adanya identifikasi spesifik di
antara anggota kelompok. Termasuk masalah komitmen di antara mereka dapat kita lihat
pada cerita kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan perlawanan antara yang baik
dan jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan tidak suka pada beberapa
perilaku yang dianggap salah dan juga memberikan restu pada perilaku yang dianggap benar.
Konsep ini juga memberikan pemahaman untuk memberikan reward pada pelaku agama,
yang benar diberikan pahala sedangkan yang salah diberikan dosa. Identitas kelompok
(agama) inilah yang menjadikan awal ideologisasi agama bagi pemeluknya. Ideologi sendiri
berfungsi untuk mempengaruhi kehidupan suatu kelompok agar sesuai dengan apa yang telah
digariskan sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada tingkat lebih lanjut identitas
agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju, karena membentuk moral
personal dan juga solidaritas bagi masing-masing pemeluk agama. Namun demikian,
sebagaimana ideologi, agama tidak akan serta-merta dipercaya oleh para penganutnya, dalam
keadaan ini konstruksi identitas memberikan pengamanan akan keraguan tersebut. Hingga
penerimaan akan sebuah kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan. Pada dataran inilah
kebanyakan pemerhati keagamaan memetakan asal-mula tindakan kekerasan atas nama
agama muncul. Menurut penulis sendiri agama sebagai Ideologi tidaklah menjadi pokok
persoalan, ketika ideologisasi ini mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi hidup
di dunia dan akhir nanti. Karena memang setiap agama menawarkan rasa aman kepada
pengikutnya. Tentunya perasaan seperti inilah yang dicari oleh setiap pengikut agama. Rasa
aman memberikan ketenangan kepada manusia akan kehidupan setelah mati, seperti apa yang
selalu di informasikan oleh setiap agama di dunia ini. Permasalahannya adalah pembenaran
tindak kekerasan terhadap kelompok lain.
Pengertian Ideologi Islam

Ideologi Islam (Arab: ‫اإلسالم‬ɪ (bantuan·info) al-‘islāmiyya) adalah sistim politik yang
berdasar akidah agama Islam. istilah dan definisi ideologi Islam mempunyai istilah dan
definisi yang berbeda-beda di antara para pemikir terkemuka Islam.

Agama sebagai Ideologi

Akhir-akhir ini kita selalu disuguhi fenomena yang hampir tidak terperikan. Kekerasan atas
nama agama marak terjadi di mana-mana. Mulai dari teror mental terhadap aliran lain dalam
sebuah komunitas, sampai pada tindak kekerasan fisik. Contoh nyata adalah pembakaran
masjid jama’ah Ahmadiyah yang terjadi di Lombok, beberapa minggu yang lalu. Hal ini aneh
dan sangat membebani tentunya dalam hati setiap orang yang merasa beragama. Sebagai
konsekuensinya tentunya kita wajib mempertanyakan sebenarnya apakah memang Agama
yang kita anut (Islam) mengajarkan dengan sendirinya tindak kekerasan? Ataukah sebenarnya
tindak kekerasan yang terjadi hanya sebatas atas nama agama belaka? Yang intinya karena
kepentingan golongan tertentu?
Pada dasarnya kalau kita kaji dari sudut pandang Agama sebagai sistem sosial. Maka agama
mempunyai aturan dan kriteria yang sama dengan semua organisasi sosial lainnya. Agama
mempunyai konsern terhadap aspirasi atau keinginan, harapan dan juga tujuan yang dicita-
citakan. Penganut agama punya rasa keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi nanti
(kejadian alam, kecelakaan, kematian dll.), mereka juga punya keinginan untuk
mengekspresikan hubungannya dengan Tuhan (ibadah dan kegiatan ritual keagamaan
lainnya), dan pada akhirnya mereka semua menginginkan reward atau tujuan yang akan
dicapai setelah melakukan semua aturan dan norma yang ada (surga ataupun neraka)
Proses pencapaian suatu tujuan akan berhasil ketika norma atau aturan yang telah disepakati
berhasil dilaksanakan dengan baik oleh anggotanya. Sebagaimana sebuah peradaban, di mana
akan terbentuk ketika masyarakat yang ada di dalamnya mempunya kesadaran dan bekerja
secara komunal, pun juga masyarakat, tidak akan bisa bekerja jika tidak di topang individu-
individu brilian yang bekerja demi tujuan bersama, ketika ini terealisasi maka sebuah
peradaban bisa terbentuk.
Begitu juga agama, aturan dan norma-norma yang ada (demi tujuan yang telah disepakati)
akan berhasil jika semua pengikut menjalankannya. Untuk itu, agama memerlukan satu etika
(ethos) yang kemudian bisa menumbuhkan kesadaran bagi pengikut agama guna menaati
semua aturan yang ada. Etika dalam agama juga berfungsi sebagai rasionalisasi suatu agama
kepada penganutnya. Pula, etika memberikan legitimasi bagi peraturan agama sehingga dapat
dijalankan oleh penganutnya. Weber berpendapat bahwa etika agama mempunyai pengaruh
yang sangat signifikan, penganut agama akan merasa berdosa jika tidak mengerjakan aturan
dalam suatu agama (konsep kewajiban).
Agama Sebagai Ideologi

Pada tataran individu, etika berfungsi sebagai proses awal pembentukan indentitas.
Konstruksi identitas akan memberikan kesadaran untuk mempercayai segala kebenaran yang
disampaikan oleh suatu agama. Jika seorang penganut agama sudah punya kesadaran tentang
identitasnya dalam suatu agama, maka komitmennya pada agama tidak akan diragukan lagi.
Dapat dikatakan bahwa militansi seorang penganut agama berawal dari pembentukan
identitas pada dirinya.
Adanya identifikasi spesifik di antara anggota kelompok. Termasuk masalah komitmen di
antara mereka dapat kita lihat pada cerita kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan
perlawanan antara yang baik dan jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan
tidak suka pada beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga memberikan restu pada
perilaku yang dianggap benar. Konsep ini juga memberikan pemahaman untuk memberikan
reward pada pelaku agama, yang benar diberikan pahala sedangkan yang salah diberikan
dosa.
Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal ideologisasi agama bagi
pemeluknya. Ideologi sendiri berfungsi untuk mempengaruhi kehidupan suatu kelompok agar
sesuai dengan apa yang telah digariskan sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada
tingkat lebih lanjut identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju,
karena membentuk moral personal dan juga solidaritas bagi masing-masing pemeluk agama.
Namun demikian, sebagaimana ideologi, agama tidak akan serta-merta dipercaya oleh para
penganutnya, dalam keadaan ini konstruksi identitas memberikan pengamanan akan keraguan
tersebut. Hingga penerimaan akan sebuah kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan. Pada
dataran inilah kebanyakan pemerhati keagamaan memetakan asal-mula tindakan kekerasan
atas nama agama muncul.
Menurut penulis sendiri agama sebagai Ideologi tidaklah menjadi pokok persoalan, ketika
ideologisasi ini mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi hidup di dunia dan
akhir nanti. Karena memang setiap agama menawarkan rasa aman kepada pengikutnya.
Tentunya perasaan seperti inilah yang dicari oleh setiap pengikut agama. Rasa aman
memberikan ketenangan kepada manusia akan kehidupan setelah mati, seperti apa yang
selalu di informasikan oleh setiap agama di dunia ini. Permasalahannya adalah pembenaran
tindak kekerasan terhadap kelompok lain. Apakah memang rasa aman mampu diperoleh
dengan tindak kekerasan dan menghilangkan rasa aman dan nyaman orang lain? Tindak
kekerasan bukanlah sebuah solusi!

Benarkan Islam hanya agama, bukan ideologi?

Harus diakui, istilah ideologi adalah istilah baru, setelah munculnya ideologi dunia, seperti
Kapitalisme dan Sosialisme. Bagi Islam dan kaum Muslim, istilah ideologi ini merupakan
istilah serapan, seperti istilah ‘aqîdah, dharîbah, dustûr (UUD) dan qânûn (UU) pada zaman
masing-masing ketika istilah tersebut muncul pertama kali, dan diadopsi oleh kaum Muslim.
Istilah ‘aqîdah, misalnya, sekalipun tidak digunakan dalam nas-nas al-Quran dan as-Sunnah,
pada akhirnya bisa diterima oleh kaum Muslim, setelah digunakan oleh para ulama
ushuluddin pada pertengahan abad ke-6 H.1 Istilah ini merupakan padanan dari kata îmân,
yang digunakan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Demikian halnya penggunakan
istilah dharîbah, digunakan oleh para fukaha kaum Muslim kira-kira pada abad ke-8 H.2 Hal
yang sama juga terjadi dalam kasus dustûr dan qânûn, yang digunakan pada abad ke-18 H,
setelah negara-negara Eropa mulai bangkit serta membuat UUD dan peraturan perundang-
undangan. Istilah UUD dan peraturan perundang-undangan ini kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Arab dengan istilah ad-dustûr wa al-qawânîn. Awalnya, istilah ini dipakai oleh
para ulama bahasa untuk menulis buku yang berisi aturan bahasa, seperti kitab Dustûr al-
Muntahâ atau Dustûr al-Mubtadi’.3

Dalam konteks penggunaan istilah ideologi, istilah ini kemudian digunakan dalam bahasa
Arab dengan sebutan yang sama, yaitu idiyuluji, atau dengan sebutan yang berbeda, yaitu
mabda’. Intinya adalah pemikiran paling mendasar, yang tidak dibangun dari pemikiran yang
lain.4 Pemikiran seperti ini, menurut Muhammad Muhammad Ismail, hanya ada pada
pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan; serta apa yang ada
sebelum dan setelahnya; juga hubungan antara alam, manusia dan kehidupan dengan apa
yang ada sebelum dan setelahnya.5 Bagi kaum Muslim, pemikiran seperti ini adalah akidah
Islam itu sendiri. Sebab, akidah Islam adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam,
manusia dan kehidupan; yaitu dari mana, untuk apa dan akan ke manakah alam, manusia dan
kehidupan ini? Maka dari itu, tentu alam, manusia dan kehidupan itu tak lain merupakan
ciptaan Allah, untuk mengabdi kepada-Nya, dan hanya kepada-Nyalah semuanya akan
kembali. Manusia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban setelah kematiannya
di dunia, sementara yang lain tidak. Karena itu, sebelum kehidupan ini, ada Allah, Zat Yang
Maha Pencipta, dan setelah kehidupan ini akan ada Hari Kiamat, dan hisâb. Agar semua
proses kehidupan manusia itu bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak, maka
Allah menurunkan syariah (aturan) untuk kehidupan manusia, yang kelak juga akan dijadikan
standar oleh Allah untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Inilah pemikiran mendasar,
yang juga disebut fikrah kulliyah Islam. Pemikiran mendasar inilah yang juga disebut mabda’
atau idiyuluji. Inilah substansi ideologi, yaitu apa dan bagaimana ideologi itu sendiri.

Pertanyaan berikutnya, apakah setiap akidah agama bisa menjadi ideologi? Jawabannya tidak,
bergantung: Pertama, apakah akidahnya adalah akidah yang rasional atau tidak? Kedua,
apakah akidah tersebut bisa memancarkan sistem (nizhâm) atau tidak? Jika dari kedua
pertanyaan tersebut jawabannya ya, atau dengan kata lain merupakan akidah rasional yang
bisa memancarkan sistem, maka akidah tersebut bisa menjadi ideologi. Sebaliknya, jika tidak
maka akidah tersebut pasti tidak akan bisa menjadi ideologi. Contohnya, akidah Yahudi
maupun Nasrani. Kedua akidah ini tidak bisa menjadi ideologi, karena bukan merupakan
akidah ‘aqliyyah, yang bisa memancarkan nizhâm. Ini berbeda dengan akidah Islam. Akidah
Islam adalah akidah rasional yang bisa memancarkan nizhâm, yang bukan hanya sistem
peribadatan saja, melainkan juga sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan
semua sistem kehidupan yang lainnya.

Bukti lain bahwa Islam bisa menjadi ideologi adalah dari aspek keutuhan ajaran Islam, yang
bukan hanya berisi gagasan, konsep atau pemikiran, yang disebut dengan fikrah (ide), tetapi
juga berisi tharîqah (metode) bagaimana fikrah tersebut diterapkan, dipertahankan dan
diemban ke seluruh dunia. Pada tataran konsep, misalnya, Islam bukan saja berisi akidah
tentang keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat serta Qadha’ dan
Qadar—yang baik dan buruknya berasal dari Allah; tetapi juga seluruh aturan yang
dibutuhkan oleh manusia, baik dalam konteks ubudiah, muamalah maupun untuk mengurus
dirinya sendiri (akhlak, makanan dan pakaian). Semua itu hanya bisa diwujudkan kalau ada
metode untuk mewujudkannya, yaitu adanya partai yang memperjuangkan terwujudnya
fikrah tersebut, dan adanya negara yang menerapkannya. Demikian halnya, semua itu bisa
dipertahankan jika ada sanksi hukum dan negara yang mempertahankannya, berikut peranan
partai politik dan umat yang mengontrolnya. Begitu juga, semua itu akan bisa diemban ke
seluruh dunia jika ada dakwah, jihad dan negara yang mengembannya.

Karena itu, Islam bukan hanya agama, melainkan juga ideologi. Penggunaan ideologi ini
untuk Islam tentu absah, dilihat dari substansinya; bukan dari aspek sumber, dari mana
ideologi tersebut dihasilkan; akal atau wahyu? Sebab, pada aspek ini, persoalannya adalah
persoalan sumber, bukan substansi. Artinya, dari aspek sumber ideologi, ideologi yang ada
saat ini bisa dikategorikan menjadi dua: yaitu ideologi yang bersumber dari akal manusia dan
ideologi yang bersumber dari wahyu. Islam adalah satu-satunya ideologi yang bersumber dari
wahyu. Selain Islam, baik Kapitalisme, Solialisme maupun Komunisme adalah ideologi yang
bersumber dari akal manusia. Hanya saja, sering ada kesengajaan untuk merancukan ideologi
dari substansinya ke sumbernya. Akibatnya, Islam ditolak sebagai ideologi, dengan alasan,
Islam adalah ajaran yang bukan bersumber dari akal manusia, melainkan dari wahyu Allah.
Padahal konteks permasalahannya bukan disitu. Ini sebenarnya merupakan upaya penyesatan
yang bertujuan untuk menolak Islam sebagai ideologi. Padahal dengan menolak Islam
sebagai ideologi, sama saja dengan menolak Islam sebagai sistem pemerintahan, ekonomi,
sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri. Tentu itu bertentangan dengan akidah Islam
dan kaum Muslim, apapun mazhabnya.

Kita tidak yakin ada orang Islam yang berani melakukan itu, apalagi sampai lancang
mengatakan, bahwa ideologi Islam adalah sumber konflik. Sebab, risikonya jelas: melawan
akidah yang diyakininya, bahkan menginjak-injak fikih yang dipelajari dan diajarkannya
sendiri; kecuali, jika dia menjadi kepanjangan tangan kaum imperialis penjajah untuk sengaja
melemahkan Islam dan kaum Muslim, demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia, yang
belum tentu didapatkannya.

Anda mungkin juga menyukai