F6 Lapsus 1
F6 Lapsus 1
Oleh:
dr. Ariantie Ristya Amanda
Pendamping:
dr. Andri Suharyono, MKP
VARICELLA
Penyusun :
dr. Ariantie Ristya Amanda
4. Riwayat keluarga:
Tidak ada keluarga yang sedang sakit seperti ini.
Riwayat alergi keluarga disangkal
5. Lain-lain:
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Keadaan umum cukup
Kesadaran compos mentis
Nadi : 150 x/mnt,
Respirasi : 22x/mnt,
Suhu : 40.4 C (aksila),
Berat badan : 9.8 kg
Secondary survey
GCS 456
K/L: a-/i-/c-/d+
Tho: simetris, retraksi -/-, nafas cuping hidung -
Pulmo: ves/ves , rh -/-, wh -/-
Cor: S1S2 tunggal, murmur-, gallop-
Abd: flat , BU + N, meteorismus (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor
kulit dbn
Ext: akral HKM, CRT <2"
- Status Dermatologi:
Lokasi: regio fascialis
Efloresensi: tampak krusta kehitaman dengan dasar eritematosa
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis varicella
2. Etiologi varicella
3. Patogenesis varicella
4. Manifestasi klinis varicella
5. Diagnosis banding varicella
6. Penatalaksanaan varicella
1. Djuanda, Adhi; dkk. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FKUI. 2007
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. Depkes RI. 2005
3. Lichenstein R. Pediatrics, Chicken Pox or Varicella. Available at www.emedicine.com
Diakses pada 21 Oktober 2018
4. Nelson WE, ed. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab. Jakarta: EGC,
2000 : (1): 561-3.
5. Mansjoer, Arief. Kapita Selekta Kedokteran. Cetakan III. Medis Aesculapius. Jakarta.
2000
6. Martin K, Noberta D, Matheus T. Varisela Zoster Pada Anak. Universitas Pelita Harapan.
Jakarta. 2009. Vol. 3 No. 1.
7. Wolff K, et al.. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th edition. New York:
McGraw Hill: 2008
PENDAHULUAN
Identitas Pasien
Nama Pasien : An. A
Umur : 3 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dsn. Jenu Gelaran, Kec. Bareng
No RM : 000256
Tanggal berkunjung : 19 Oktober 2018
Keluhan Utama:
Muncul bintil-bintil berisi air
Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Nadi : 150x/menit
Tekanan Darah : tidak dievaluasi
Suhu : 40.40 C
Nafas : 22x/menit
Status Generalis
BB 9.8 kg
GCS 456
K/L: a-/i-/c-/d-
Tho: sim, ret -/-
P: ves/ves, rh-/-, wh-/-
C: S1S2 tunggal, murmur-, gallop-
Abd: flat, soepl, H/L ttb, nyeri tekan (-), BU (+) dbn
Eks: aie-, akral HKM
Status Dermatologis
Regio fascialis : tampak krusta kehitaman dengan dasar eritematosa
Regio ekstremitas : tampak vesikel dan krusta berwarna kehitaman dengan dasar
eritematosa
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Tanggal Hasil Nilai Normal
19-10-2018 Hb 10.7 12-16 g/ dl
Eritrosit 3.86 3.5-5.5 105 mm3
MCV 79.5 75-100 fl
MCH 27.8 25-35 pg
MCHC 35.0 31-38 g/dl
Leukosit 16.700 4-10 103 mm3
Limfosit 12.0 15.0-50.0 %
Granulosit 84.2 35.0-80.0%
Trombosit 140.000 150.000-450.000
Diagnosis
Varicella + Observasi Febris
DD
Impetigo bulosa
Penatalaksanaan
• Infus RL loading 150cc lanjut maintenance 12 tpm
• Inj Dipenhidramine 3 x 1/5 amp
• Inj Dexamethasone 3 x 1/5 amp
• Puyer 3x1:
Thiamphenicol 1/5 tab
Paracetamol 1/5 tab
CTM 1/5 tab
Antasida 1/5 tab
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella Zoster
yang menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainan kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di
bagian sentral tubuh. Sinonimnya adalah cacar air, chicken pox. Varicella merupakan
penyakit infeksi virus akut dan cepat menular. Penyakit ini merupakan hasil infeksi
primer pada penderita yang rentan.
Varicella merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella
Zoster. Virus Varicella Zoster merupakan virus DNA yang mirip dengan virus Herpes
Simpleks. Pada hakekatnya varicella memberikan gambaran penyakit yang berat dan
peradangan yang lebih jelas disbanding dengan penyakit herpes simpleks. Virus
tersebut dapat pula menyebabkan herpes zoster. Kedua penyakit ini mempunyai
manifestasi klinis yang berbeda. Varicella pada umumnya menyerang anak, sedangkan
herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivasi infeksi endogen pada periode
laten VZV umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang menderita defisiensi
imun.
Virus Varicella Zoster dapat menyebabkan 2 jenis, yaitu infeksi primer dan
sekunder. Varicella (chicken pox) merupakan suatu bentuk infeksi primer virus
Varicella Zoster yang pertama kali pada individu yang berkontak langsung dengan
virus tersebut sedangkan infeksi sekunder/rekuren (karena persistensi virus) disebut
Herpes Zoster/shingles.
Virus Varicella Zoster masuk kedalam tubuh dan menyebabkan terjadinya
infeksi primer, setelah ada kontak dengan virus tersebut akan terjadi varicella.
Kemudian setelah penderita varicella (infeksi primer) sembuh, mungkin virus itu tetap
ada dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) pada dasar akar ganglia dan
nervus spinalis. Virus tersebut dapat menjadi aktif kembali dalam tubuh individu dan
menyebabkan terjadinya Herpes Zoster.
EPIDEMIOLOGI
Varicella tersebar kosmopolit (di seluruh dunia), dapat mengenai semua
golongan umur, termasuk neonates (varicella kongenital). Tetapi tersering menyerang
terutama anak-anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Bila terjadi pada orang
dewasa, umumnya gejala konstitusi lebih berat. Transmisi penyakit ini berlangsung
secara aerogen. Varicella sangat mudah menular terutama melalui kontak langsung,
droplet atau aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun melalui saluran nafas, dan jarang
melalui kontak tidak langsung. Masa penularannya, pasien dapat menularkan penyakit
selama 24-48 jam sebelum lesi kulit timbul sampai semua lesi timbul krusta/keropeng,
biasanya kurang lebih 6-7 hari dihitung dari timbulnya gejala erupsi di kulit. Penyakit
ini cepat sekali menular pada orang-orang di lingkungan penderita. Seumur hidup
seseorang hanya satu kali menderita varicella. Serangan kedua mungkin berupa
penyebaran ke kulit pada herpes zoster.
Varicella dapat terjadi di sepanjang tahun. Di Negara Barat, prevalensi kejadian
varicella tergantung dari musim (musim dingin dan awal musim semi lebih banyak).
Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian, agaknya penyakit virus menyerang
pada musim peralihan. Angka kejadian di Negara kita belum pernah diteliti, tetapi di
Amerika dikatakan kira-kira 3,1-3,5 juta kasus dilaporkan tiap tahun.
ETIOLOGI
Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Penamaan virus ini
memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan penyakit varicella,
sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Varicella Zoster Virus (VZV)
termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran diameter kira-kira 140–200 nm.
Varicella-Zooster virus diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena
kesamaannya dengan prototipe kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Inti virus
disebut Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek
(S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul 100 juta
yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius. Genom virus mengkode lebih
dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan sasaran imunitas dan timidin kinase
virus, yang membuat virus sensitif terhadap hambatan oleh asiklovir dan dihubungkan
dengan agen antivirus.
VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini mempunyai
manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan
varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, kemudian setelah
penderita varicella tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada di akar ganglia dorsal
dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian VZV diaktivasi oleh
trauma sehingga menyebabkan Herpes Zoster.
VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita varicella
sehingga mudah dibiakan dalam media yang terdiri dari fibroblast paru embrio
manusia.
Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara simultan
(terus-menerus), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus berkembang. Suatu
prospective study menunjukkan rata-rata jumlah lesi pada anak yang sehat berkisar
antara 250-500. Pada kasus sekunder karena paparan di rumah gejala klinisnya lebih
berat daripada kasus primer karena paparan di sekolah, hal ini mungkin disebabkan
karena paparan di rumah lebih intens dan lebih lama sehingga inokulasi virus lebih
banyak.
Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya
demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi pada keadaan
yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5oC. Demam yang
berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder
bakterial atau komplikasi lainnya. Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang
biasanya timbul selama stadium vesikuler.
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan
kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang timbul beberapa hari menjelang kelahiran
dapat menyebabkan varicella kongenital pada neonatus.
Karena kemungkinan mendapat varicella pada masa kanak-kanak sangat besar,
maka varicella jarang ditemukan pada wanita hamil (0,7 tiap 1000 kehamilan).
Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat varicella ketika
hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit (cutaneous scars),
berat badan lahir rendah, hypoplasia tungkai, kelumpuhan dan atrofi tungkai, kejang,
retardasi mental, korioretinitis, atrofi kortikal, katarak atau kelainan mata lainnya.
Angka kematian tinggi. Bila seorang wanita hamil mendapat varicella dalam 21 hari
sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus yang dilahirkan akan memperlihatkan
gejala varicella kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur 5 hari. Biasanya
varicella yang timbul berlangsung ringan dan tidak mengakibatkan kematian.
Sedangkan bila seorang wanita hamil mendapat varicella dalam waktu 4-5 hari sebelum
melahirkan, maka neonatusnya akan memperlihatkan gejala varicella kongenital pada
umur 5-10 hari. Disini perjalanan penyakit varicella sering berat dan menyebabkan
kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan kurun waktu fetus
berkontak dengan varicella dan dialirkannya antibody itu melalui plasenta kepada
fetus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran histopatologi yaitu vesikula terdapat dalam epidermis, terbentuk
akibat ‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan pada herpes zoster dan
herpes simpleks.
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel epitel
yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara membuat
sediaan hapus yang diwarnai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari kerokan dari
dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas object glass, dan
difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-
eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon. Hasilnya akan didapati sel datia
berinti banyak.
Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction (PCR)
adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi dari kultur
jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan
vesikuler. VZV PCR adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-
time PCR metode tersedia secara luas dan merupakan metode yang paling sensitif dan
spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa jam. Jika real-time PCR
tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat digunakan, meskipun
kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan pengambilan spesimen yang lebih
teliti.
Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia secara
komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked
immunosorbent tes (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan ternyata tidak cukup
sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi terhadap vaksin, tetapi cukup kuat
untuk mendeteksi orang yang memiliki kerentanan terhadap VZV. ELISA sensitif dan
spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak tersedia secara komersial. Di
samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan cepat untuk dilakukan. LA
agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipun dapat menghasilkan hasil
yang positif palsu, dan dapat menyebabkan kegagalan untuk mengidentifikasi orang-
orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap varicella. Dimana salah satu dari
tes ini akan berguna untuk skrining kekebalan terhadap varicella.
DIAGNOSIS
Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu
penampilan dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila
ada riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya.
Varicella khas ditandai dengan erupsi papulovesikuler setelah fase prodromal
ringan atau bahkan tanpa fase prodromal, dengan disertai panas dan gejala
konstitusi ringan. Gambaran lesi bergelombang, polimorfi dengan penyebaran
sentrifugal. Sering ditemukan lesi pada membrane mukosa. Penularannya berlangsung
cepat.
Diagnosis laboratorik sama seperti pada herpes zoster yaitu dengan
pemeriksaan sediaan hapus secara Tzanck (deteksi sel raksasa dengan banyak
nucleus/inti), pemeriksaan mikroskop electron cairan vesikel (deteksi virus secara
langsung) dan material biopsi (kultur), dan tes serologik (meningkatnya titer).
DIAGNOSIS BANDING
Varicella dapat dibedakan dengan beberapa kelainan kulit, antara lain harus
dibedakan dengan variola. Pada variola, penyakit lebih berat, memberi gambaran lesi
monomorf, dan penyebarannya sentripetal dimulai dari bagian akral tubuh, yakni
telapak tangan dan telapaka kaki, baru ke badan.
Bedakan juga dengan herpes zoster. Pada herpes zoster lesi monomorf, nyeri,
biasanya unilateral. Pada herpes zoster juga sama-sama biasanya didahului oleh fase
prodromal, setelah fase prodromal sering disertai dengan rasa nyeri, perubahan pada
kulit terjadi pada setengah bagian badan (unilateral) dan berbentuk garis berkaitan
dengan daerah dermatom dengan lesi yang berupa gelembung-gelembung kecil yang
berkelompok di aatas dasar eritematosa. Dapat terjadi perkembangan yang berat yang
meliputi keterlibatan mata (Zoster trigeminus I), mukosa mulut (Zoster trigeminus II,
III), telinga bagian dalam (Zoster oticus). Herpes zoster pada penderita insufisiensi
imun atau tumor, terapi resisten dengan bahaya terjadi efek generalisasi pada kulit dan
manifestasi ekstrakutan.
Dermatitis herpetiform : biasanya simetris terdiri dari papula vesikuler yang
eritematosus, serta ada riwayat penyakit kronis, dan sembuh dengan meninggalkan
pigmentasi.
Impetigo : lesi impetigo yang pertama adalah vesikel yang cepat menjadi
pustula dan krusta. Distribusi lesi impetigo terletak dimana saja. Impetigo tidak
menyerang mukosa mulut.
Skabies : pada skabies terdapat papula yang sangat gatal. Lokasi biasanya
antara jari-jari kaki. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Sarcoptes Scabiei.
PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap varicella. Pengobatan bersifat simptomatik
dengan antipiretik dan analgesik. Untuk panasnya dapat diberikan asetosal atau
antipiretik lain seperti asetaminofen dan metampiron. Untuk menghilangkan rasa gatal
dapat diberikan antihistamin oral atau sedative. Topikal diberikan bedak yang ditambah
zat anti gatal (mentol, kamfora) seperti bedak salisilat 1-2% atau lotio kalamin untuk
mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul
infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula
diberikan obat-obat antivirus. VZIG (varicella zoster immunoglobuline) dapat
mencegah atau meringankan varicella, diberikan intramuscular dalam 4 hari setelah
terpajan. Yang penting pada penyakit virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring.
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin, dan
analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV.
Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin
kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular
kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu sintesis
DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali
lipat kurang sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV.
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam
darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.
Pengobatan topical dapat diberikan. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres
dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang mengandung
kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Kadang
diperlukan antipiretik, tetapi pemberian golongan salisilat sebaiknya dihindari karena
sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam dengan air
hangat dapat mencegah infeksi sekunder bakterial.
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varicella dengan pemberian
acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia 2-12
tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan
dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini
disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan
manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan
acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi masalah,
dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan (dalam 24 jam
setelah timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan sehingga
orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat antivirus dapat diberikan.
Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir
dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian
terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala
konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.
Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol pada orang
dewasa muda yang sehat dengan varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam
waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan acyclovir oral (5x800 mg selama 7 hari)
secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi
yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian, pengobatan
rutin dari varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun tidak diuji,
ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan dengan dosis 200 mg per oral
setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000 mg per oral setiap 8 jam mudah dan
tepat sebagai pengganti acyclovir pada remaja normal dan dewasa.
Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama kehamilan
karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui. Sementara dokter
lain merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk infeksi pada trisemester
ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada peningkatan
terjadinya resiko pneumonia varicella, dan ketika infeksi dapat menyebar ke bayi yang
baru lahir. Pemberian acyclovir intravena sering dipertimbangkan untuk wanita hamil
dengan varicella yang disertai dengan penyakit sistemik.
Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten
dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 36
jam dari rumah sakit) dengan acyclovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat
mengurangi demam dan takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi serius
lainnya dari varicella pada orang yang imunokompeten, seperti ensefalitis,
meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular, sebaiknya diobati dengan
acyclovir intravena.
Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan varicela
menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan insiden
komplikasi yang mengancam kehidupan visceral ketika pengobatan dimulai dalam
waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena menjadi standar
perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan imunodefisiensi
substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan famciclovir atau valacyclovir
mungkin cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi
tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti. Pada penyakit berat atau
wanita hamil dapat diberikan acyclovir IV 10mg/kgBB tiap 8 jam selama 7 hari.
Serum imuno globulin-gama tidak dianjurkan kecuali pada penderita leukemia,
penyakit keganasan lain dan bila terdapat defisiensi imunologis. Vidarabine atau
adenine arabinoside in vitro mempunyai sifat anti virus terhadap virus varicella.
Vidarabine dapat digunakan dengan hasil yang baik pada penderita pneumonie
varicella. Dosis yang dianjurkan ialah 15mg/kgBB/hari, tidak toksik terhadap sumsum
tulang dan tidak menekan immune response.
PENCEGAHAN
Pencegahan dengan melakukan vaksinasi. Vaksin dapat diberikan aktif ataupun
pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin varicella berasal dari galur yang
telah dilemahkan (live attenuated). Pasif dilakukan dengan memberikan zoster imuno
globulin (ZIG) dari zoster imun plasma (ZIP).
Vaksin pasif dengan memberikan ZIG. ZIG ialah suatu globulin-gama dengan
titer antibodi yang tinggi dan yang didapatkan dari penderita yang telah sembuh dari
infeksi herpes zoster. Pemberian ZIG sebanyak 5ml dalam 72 jam setelah kontak
dengan penderita varicella dapat mencegah penyakit ini pada anak sehat, tapi pada anak
dengan defisiensi imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya, pemberian
ZIG tidak menyebabkan pencegahan yang sempurna. Lagi pula diperlukan ZIG dengan
titer yang tinggi dan dalam jumlah yang lebih besar.
ZIP adalah plasma yang berasal dari penderita yang baru sembuh dari herpes
zoster dan diberikan secara intravena sebanyak 3-14,3 ml/kgBB. Pemberian ZIP dalam
1-7 hari setelah kontak dengan penderita varicella pada anak dengan defisiensi
imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya mengakibatkan menurunnya
insidens varicella dan merubah perjalanan penyakit varicella menjadi ringan dan dapat
mencegah varicella untuk kedua kalinya. Pemberian globulin-gama akan menyebabkan
perjalanan varicella jadi ringan tapi tidak mencegah timbulnya varicella. Dianjurkan
untuk memberikan globulin-gama kepada bayi yang dilahirkan dalam waktu 4 hari
setelah ibunya memperlihatkan tanda-tanda varicella. Ini dapat dilaksanakan pada jam-
jam pertama kehidupan bayi tersebut.
Vaksin aktif dianjurkan agar vaksin varicella ini hanya diberikan kepada
penderita leukemia, penderita penyakit keganasa lainnya dan penderita dengan
defisiensi imunologis untuk mencegah komplikasi dan kematian bila kemudian
terinfeksi oleh varicella. Pada anak sehat sebaiknya vaksinasi varicella ini jangan
diberikan karena bila anak tersebut terkena penyakit ini, perjalanan penyakitnya ringan,
lagi pula semua virus herpes dapat menyebabkan suatu penyakit laten dan akibatnya
baru nyata beberapa dasawarsa setelah vaksin itu diberikan. Angka serokonversi
mencapai 97-99%. Diberikan pada yang berumur 12 bulan atau lebih. Lama proteksi
belum diketahui pasti, meskipun demikian vaksinasi ulangan dapat diberikan setelah
4-6 tahun.
Pemberiannya secara subkutan 0,5 ml pada yang berusia 12 bulan sampai 12
tahun. Pada usia di atas 12 tahun juga diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu diulangi
dengan dosis yang sama. Bila terpajannya baru kurang dari 3 hari perlindungan vaksin
yang diberikan masih terjadi, karena masa inkubasinya antara 7-21 hari. Sedangkan
antibody yang cukup sudah timbul antara 3-6 hari setelah vaksinasi.
Karakteristik vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup
yang dilemahkan, yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin diisolasi oleh
Takahashi pada awal tahun 1970 dari cairan vesikular yang berasal dari anak sehat
dengan penyakit varicella. Vaksin varicella ini dilisensikan untuk penggunaan umum
di Jepang dan Korea pada tahun 1988. Vaksin ini diijinkan di Amerika Serikat pada
tahun 1995 untuk orang-orang usia 12 bulan dan yang lebih tua.
Keefektifan vaksin, setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella
antigen, 97% dari anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan titer
antibodi yang dapat terdeteksi. Sedangkan lebih dari 90% dari responden vaksin
mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6 tahun. Dalam studi di Jepang, 97% dari
anak-anak memiliki antibodi 7 sampai 10 tahun setelah vaksinasi. Efikasi vaksin
diperkirakan memiliki ketahanan 70% sampai 90% terhadap infeksi, dan 90% sampai
100% terhadap penyakit sedang atau berat.
Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan yang
lebih tua, rata-rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian satu dosis, dan
99% mengembangkan antibodi setelah pemberian dosis kedua yang diberikan 4 sampai
8 minggu kemudian. Antibodi bertahan selama minimal 1 tahun pada 97% dari
pemberian vaksin varicella setelah dosis kedua yang diberikan pada 4 sampai 8 minggu
setelah dosis pertama.
Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian besar
vaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara signifikan lebih ringan,
dengan lesi sedikit (biasanya kurang dari 50), banyak yang makulopapular daripada
vesikuler. Dimana kebanyakan orang yang pernah mendapat vaksinasi sebelumnya
tidak terjadi demam.
Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan sebaliknya,
penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak vaksinasi sebagai faktor risiko
untuk terobosan varicella. Beberapa, tetapi tidak semua, penyelidikan baru-baru telah
mengidentifikasi adanya asma, penggunaan steroid, dan vaksinasi di lebih muda dari
15 bulan usia sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella. Terobosan infeksi
varicella bisa menjadi hasil dari beberapa faktor, termasuk gangguan replikasi virus
vaksin oleh sirkulasi antibodi, vaksin impoten akibat kesalahan penyimpanan atau
penanganan, atau pencatatan tidak akurat. Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis
kedua vaksin varicella meningkatkan kekebalan dan mengurangi penyakit terobosan
pada anak-anak.
Jadwal vaksinasi dan penggunaan vaksin varicella dianjurkan untuk semua
anak tanpa kontraindikasi yang berusia 12 sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat diberikan
kepada semua anak pada usia ini terlepas dari riwayat varicella.
Dosis kedua vaksin varicella harus diberikan pada 4 sampai 6 tahun kemudian
. Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6 tahun jika setidaknya 3 bulan
telah berlalu setelah dosis pertama (yaitu, interval minimum antara dosis vaksin
varicella untuk anak-anak berusia di bawah 13 tahun adalah 3 bulan). Namun, jika dosis
kedua diberikan setidaknya 28 hari setelah dosis pertama, dosis kedua tidak perlu
diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga dianjurkan bagi orang yang lebih tua,
dimana vaksin varicella diberikan kepada orang-orang 13 tahun atau lebih pada 4
sampai 8 minggu kemudian.
Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin
varicella telah terbukti aman dan efektif pada anak-anak yang sehat bila diberikan pada
saat yang sama sebagai vaksin MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum suntik yang
terpisah. Jika vaksin varicella dan MMR tidak diberikan pada kunjungan yang sama,
maka pemberian harus dipisahkan setidaknya 28 hari. Vaksin varicella juga dapat
diberikan simultan (tapi di lokasi terpisah dengan jarum suntik yang terpisah) dengan
semua vaksin anak lainnya.
Data dari Amerika Serikat dan Jepang dalam berbagai penelitian menunjukkan
bahwa vaksin varicella ternyata efektif sekitar 70% sampai 100% dalam mencegah
penyakit atau terjadinya keparahan penyakit jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan
mungkin sampai 5 hari, setelah paparan. ACIP merekomendasikan vaksin untuk
digunakan pada orang yang tidak terbukti memiliki kekebalan terhadap varicella atau
pada orang yang terpapar varicella. Jika paparan terhadap varicella tidak menyebabkan
infeksi, vaksinasi pasca paparan harus diberikan untuk memberi perlindungan terhadap
paparan berikutnya.
Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan (misalnya,pada tempat
penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan sampai dengan 6 bulan. Tetapi vaksin
varicella diketahui telah berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah. ACIP
merekomendasikan pemberian dosis kedua vaksin varicella untuk pengendalian wabah.
Jadi selama wabah varicella, orang-orang yang telah menerima satu dosis vaksin
varicella harus menerima dosis kedua, yang diberikan sesuai dengan interval vaksinasi
yang telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan untuk orang yang berusia 12 bulan
sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu untuk orang yang berusia 13 tahun dan lebih
tua).
Kontraindikasi vaksinasi pada seseorang dengan reaksi alergi yang parah
(anafilaksis) dengan komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya, seharusnya tidak
menerima vaksin varicella. Orang dengan imunosupresi karena leukemia, limfoma,
keganasan umum, penyakit defisiensi imun, atau terapi imunosupresif tidak harus
divaksinasi dengan vaksin varicella. Namun, pengobatan dengan dosis rendah (kurang
dari 2 mg/kg/hari), topikal, penggantian, atau steroid aerosol bukan merupakan
kontraindikasi untuk vaksinasi. Orang yang imunosupresif yang diterapi dengan steroid
telah dihentikan selama 1 bulan (3 bulan untuk kemoterapi) dapat divaksinasi.
Orang dengan imunodefisiensi seluler sedang atau berat akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), termasuk orang-orang yang didiagnosis dengan
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) tidak boleh menerima vaksin varicella.
Anak yang terinfeksi HIV dengan persentase CD4 T-limfosit 15% atau lebih tinggi,
dan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan jumlah CD4 200 per mikroliter
atau lebih tinggi dapat dipertimbangkan untuk vaksinasi.
Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya tidak
menerima vaksin varicella. Sampai saat ini, tidak ada bukti yang merugikan kehamilan
atau janin yang dilaporkan di kalangan perempuan yang secara tidak sengaja menerima
vaksin varicella sesaat sebelum atau selama kehamilan. Tetapi ACIP
merekomendasikan kehamilan harus dihindari selama 1 bulan setelah menerima vaksin
varicella.
Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat sebaiknya
ditunda sampai kondisi telah membaik. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya komplikasi pada pasien , seperti demam. Pada penyakit yang
cenderung ringan, seperti otitis media dan infeksi saluran pernapasan atas, mendapat
terapi antibiotik, dan paparan atau pemulihan dari penyakit lain tidak kontraindikasi
terhadap vaksin varicella. Meskipun tidak ada bukti bahwa baik varicella atau vaksin
varicella memperburuk tuberkulosis, vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang-orang
yang dikenal memiliki TB aktif.
Pencegahan dapat dengan mencegah infeksi sekunder misalnya seperti kuku
digunting agar pendek, mengganti pakaian dan alas tempat tidur sesering mungkin.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi lebih sering
terjadi pada orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonephritis, karditis,
hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah (beberapa macam
purpura).
Pada anak sehat, varicella merupakan penyakit ringan dan jarang disertai
komplikasi. Angka mortalitas pada anak usia 1-14 tahun diperkirakan 2/100.000 kasus,
namun pada neonates dapat mencapai hingga 30%. Komplikasi tersering umumnya
disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang biasanya disebabkan
oleh Stafilokokus aureus atau Streptokokus beta hemolitikus grup A, sehingga terjadi
impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang terjadi gangren. Infeksi fokal
tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi jarang terjadi sepsis yang disertai
infeksi metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat menjadi bula bila terinfeksi
stafilokokus yang menghasilkan toksin eksfoliatif.
Pneumonia varicella hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya
disebabkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna. Pneumonia varicella
jarang didapatkan pada anak dengan system imunologis normal, sedangkan pada anak
dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak jarang ditemukan.
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan responsif
terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri umum
dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien dengan leukopenia.
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan
berlangsung lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi lebih sering terjadi.
Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi tersering pada orang dewasa. Pada
beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat berkembang
mengenai sistem pernafasan dimana gejalanya dapat lebih parah seperti batuk,
dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis, dan batuk darah yang
biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya ruam.
Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang menyebar
luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu, tetapi baik
kejadian maupun keparahan pneumonia varicella tampaknya meningkat secara
signifikan pada kehamilan. Janin dapat meninggal karena kelahiran prematur atau
kematian ibu karena varicella pneumonia berat, tetapi varicella selama kehamilan,
tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan kematian janin. Namun demikian,
pada varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat menyebabkan
infeksi intrauterin (kongenital), dan dapat menyebabkan abnormalitas kongenital.
Varicella perinatal (varicella yang terjadi dalam waktu 10 hari dari kelahiran) lebih
serius daripada varicella yang terjadi pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu
kemudian.
Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada pasien
dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-menerus dan
menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang berkepanjangan, dimana
mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu yang lebih lama dalam
pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis yang signifikan. Pada pasien
dengan defisiensi imun dan diterapi dengan kortikosteroid mungkin dapat berkembang
menjadi pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan komplikasi berupa perdarahan, dimana
derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan hingga parah dan seringkali
mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella malignansi.
Juga mungkin didapatkan komplikasi pada susunan saraf seperti ensefalitis,
ataksia, nistagmus, tremor, myelitis transversa akut, kelumpuhan saraf muka,
neuromielitis optika atau penyakit Devic dengan kebutaan sementara, sindroma
hipotalamus yang disertai dengan obesitas dan panas badan yang berulang-ulang.
Penderita varicella dengan komplikasi ensefalitis setelah sembuh dapat meninggalkan
gejala sisa seperti kejang, retardasi mental dan kelainan tingkah laku.
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1 diantara
1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati akut disertai
degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam.
Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye berhubungan dengan varicella,
khususnya pada penderita yang diterapi dengan aspirin saat demam, dengan mortalitas
setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan neurologi
yang lainnya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara 33.000 kasus,
tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan kelainan neurologi
yang menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas,
dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV
DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara
langsung pada sistem saraf pusat.
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis, gastritis
dan lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis Henoch-Schonlein,
neuritis, keratitis, dan iritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum diketahui, tetapi
infeksi VZV melalui parenkim secara langsung dan endovascular, atau vasculitis yang
disebabkan oleh VZV antigen-antibodi kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada
kebanyakan kasus.
Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi
tersebut di atas, sedangtkan anak dengan defisiensi imunologis, anak yang menderita
leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan anti metabolit atau steroid
(penderita sindrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering mendapat
komplikasi tersebut, kadang-kadang varicella pada penderita tersebut dapat
menyebabkan kematian.
PROGNOSIS
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis
yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit.
KESIMPULAN
Varicella merupakan infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang
menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran 10
sampai 21 hari. Biasanya diawali dengan gejala prodromal, yakni demam yang tidak
terlalu tinggi, malaise, dan nyeri kepala, kemudian disusul dengan timbulnya papula
eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel. Dimana vesikel akan
berkembang menjadi, pustul, dan kemudian menjadi krusta.
Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ektremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut,
dan saluran nafas bagian atas.
Pada anak-anak jarang memberi komplikasi, sementara pada orang dewasa
komplikasi yang tersering timbul adalah pneumonia. Dan pada pasien yang disertai
dengan defisiensi imun memberikan komplikasi yang lebih berat.
Untuk membantu diagnosa dapat dilakukan percobaan Tzanck yang diambil
dari kerokan dasar vesikel dan didapatkan sel datia yang berinti banyak.
Untuk pengobatan dapat diberikan antivirus, dimana dosis oral yang diberikan
pada anak yaitu 4x20mg/kgBB selama lima hari. Sementara dosis yang diberikan pada
orang dewasa 5x800 mg selama tujuh hari. Disamping itu dapat pula diberikan
antipiretik, dan analgesik, serta bedak yang ditambah zat anti gatal untuk mencegah
pecahnya vesikel secara dini, dan mengurangi rasa gatal.
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksin varicella yang berasal dari galur
yang dilemahkan. Diberikan pada anak umur 12 bulan atau lebih, dan diberikan vaksin
ulangan 4-6 tahun kemudian. Sementara pada anak yang berusia 12 tahun dosis ulangan
diberikan 4-8 minggu setelah dosis pertama. Pemberian vaksin ini dilakukan secara
subkutan dengan dosis 0,5 ml.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi; dkk. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FKUI. 2007
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. Depkes RI. 2005.
Lichenstein R. Pediatrics, Chicken Pox or Varicella. Available at www.emedicine.com
Diakses pada 21 Oktober 2018
Nelson WE, ed. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab. Jakarta:
EGC, 2000 : (1): 561-3.
Mansjoer, Arief. Kapita Selekta Kedokteran. Cetakan III. Medis Aesculapius. Jakarta.
2000
Martin K, Noberta D, Matheus T. Varisela Zoster Pada Anak. Universitas Pelita
Harapan. Jakarta. 2009. Vol. 3 No. 1.
Wolff K, et al.. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th edition. New