Anda di halaman 1dari 4

Nama : Haris Surya Manggala

NIM : 175030200111054

Kelas : Pendidikan Pancasila (A)

Fanatisme Dalam Beragama

Indonesia adalah negara dengan penduduk terbanyak ke 4 dunia. Dengan jumlah


penduduk yang begitu besar, ditambah dengan negara kepulauan yang daerahnya terpisahkan
oleh lautan, Indonesia dikaruniai dengan keberagaman yang begitu beragam. Menurut sensus
BPS tahun 2010, terdapat 300 kelompok etnis dan 1.340 suku dengan 742 bahasa daerah di
Indonesia.

Sejarah mengatakan, dengan keberagaman yang begitu luas, para founding father
berusaha untuk menyatukannya dalam sebuah bingkaian bangsa Indonesia. Pada tanggal 28
Oktober 1928, melalui sumpah pemuda, untuk pertama kalinya para pemuda di Indonesia
menyatakan sumpahnya yang menggambarkan suatu tanda bersatunya Indonesia dengan
keberagaman yang ada.

Tak hanya dengan sumpah pemuda, Indonesia juga menyatakan persaatuannya dari
slogan “Bhineka Tunggal Ika”, yang berarti “berbeda-beda tetap satu jua.” Slogan yang
dibangun oleh para bapak bangsa dengan harapan karunia akan keberagaman yang ada, tidak
menjadi suatu senjata pemecah, namun menjadi suatu stimulant pemersatu bangsa.

Berbicara keberagaman di masa sekarang, ada satu keberagaman yang begitu sensitive
dibicarakan saat ini, yakni soal Agama. Indonesia melalui Pancasila sila pertama, “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious, dimana
rakyat Indonesia mempercayai akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan serta memeluk agama
sesuai dengan kepercayaannya. Indonesia sendiri, mengakui lima agama dan satu kepercayaan
di Indonesia. Kelima agama tersebut ialah, Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan satu
kepercayaan Kong Hu Cu.
Agama di Indonesia menjadi begitu sensitive dikarenakan akhir-akhir ini banyak
oknum yang mengangkat isu agama sebagai senjata pemecah persatuan. Mulai dari politik
hingga kasus terorisme. Hal ini tentunya adalah suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia.
Fanatisme berlebihan terhadap agama yang dipercayainya menjadi salah satu penyebab
bagaimana agama dapat menjadi senjata pemecah bangsa. Perasaan tentang agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling benar, agama yang paling baik dengan memandang
pemeluk agama lain adalah orang yang lebih rendah dari dirinya telah merontokan nilai-nilai
toleransi masyarakat Indonesia.

FAKTOR AGAMA DALAM POLITIK

Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dibumbui dengan kasus pelecehan agama oleh
calon gubernur petahana Basuki Cahya Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutah
“Ahok.” Pada kasus itu Ahok menyinggung tentang satu ayat dalam Al-Qur’an yakni surat
Al-Maidah ayat 51 yang disitu menyinggung tentang larangan umat Islam memilih pemimpin
non-muslim. Atas singgungan Ahok itu, Indonesia dilanda perdebatan yang sengit tentang
seorang muslim dalam memilih seorang pemimpin non-muslim. Hal ini berujung pada
perpecahan dalam masyarakat, bahkan perpecahan ini tidak hanya antara kaum muslim
dengan non-muslim, tetapi didalam kaum muslim itu sendiri pun terjadi perpecahan
didalamnya. Kasus ini menimbulkan berbagai aksi besar-besaran dari kaum muslim, seperti
212 dan aksi lainnya. Ditambah gencarnya provokasi dan berita-berita hoax di dunia maya
menambah panas suhu perpecahan bangsa Indonesia.

Masyarakat Indonesia melalui pasal 29 UUD 1945 diberikan kebebasan memeluk


agama menerut kepercayaannya dan diberikan kebebasan untuk menjalankan peribadatan
agama yang ia peluk. Melihat hal ini, apabila ajaran islam melarang seorang muslim memilih
pemimpin non-muslim, tentu hal ini menjadi hak seorang muslim untuk mengikuti ajarannya,
namun demikian bukan berarti bahwa seorang muslim melakukan pemaksaan terhadap
sesama muslim untuk menaati ajaran agama untuk tidak memilih pemimpin non-muslim
tersebut. Karna dalam undang-undang sendiri dijelaskan bahwa, setiap orang dibebaskan
untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing, bahkan dalam ajaran islam tidak
diperkenankan untuk memaksa, umat islam hanya diperkenankan untuk melakukan ajakan-
ajakan. Disini pula, seorang non-muslim juga harus mampu menghormati ajaran umat islam
yang tidak diperkenankan memilih pemimpin dari golongannya. Sungguh tidak
diperkenankan apabila seorang non-muslim mengintimidasi atau bahkan menyalah-salahkan
ajaran agama islam yang tidak dapat memilih pemimpin non-muslim. Rakyat Indonesia dalam
pemilihan umum diberikan kebebasan dalam memilih calon sesuai hati nuraninya. Apabila
seseorang memilih pemimpin sesuai golongannya itu adalah haknya, apabila ia memilih
pemimpin diluar golongannya itu juga haknya.

Perpecahan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh faktor agama ini justru
dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk membangun suatu isu politik dengan tujuan
menjatuhkan citra lawan politiknya. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena dapat makin
memperkeruh perpecahan yang terjadi di dalam masyarakat. Oknum politik ini
memanfaatkan fanatisme agama untuk meraup dukungan. Akibat dari hal ini adalah kualitas
politik Indonesia yang menurun, dimana sebuah kinerja tidak lagi menjadi tonggak meraup
dukungan rakyat, melainkan hanya dari faktor agama.

Terorisme dan Fanatisme Agama

Masih hangat diperbincangkan tentang kasus terorisme yang terjadi di Surabaya


dengan meledaknya bom di 3 gereja berbeda. Menilik kebelakang, Indonesia begitu ramah
dengan yang namanya tindak kejahatan terorisme. Mulai dari kasus bom bali, bom kedutaan
besar Australia, hotel JW. Marriot, Bom Thamrin hingga kini bom 3 gereja di Surabaya.
Banyak actor terorisme yang sudah melegenda di Indonesia, ada Amrozi, Umar Patek,
Nurdin M Top, dr. Azahari, hingga sekarang terdapat Aman Abdurrahman.

Tidak bisa dipungkiri bahwa paham-paham terorisme di Indonesia sudah mengalir


cukup deras di Indonesia. Tindak pidana terorisme ini juga dikaitkan dengan suatu ajaran
agama, yakni agama islam tentang jihad dan mati syahid. Namun sesungguhnya, ajaran
terorisme ini adalah bentuk kekeliruan tentang penafsiran ajaran agama islam itu sendiri.
Secara sederhana pelaku terorisme ini menafsirkan dirinya akan mati secara syahid dengan
melakukan aksi terorisme terhadap seseorang atau kelompok yang mereka anggap sebagai
musuh ataupun sesuatu yang sesat. Apabila melihat pendapat ini, dan kita cocokkan dengan
para korban terorisme yang lebih banyak dari kalangan yang tidak bersalah atau bukan musuh
mereka tentunya ini menambah kekeliuran akan tindakan mereka ini. Terlebih ajaran islam
sendiri tidak memperkenankan umatnya membunuh sesama makhluk hidup terutama sesama
manusia. Bisa dikatakan bahwa tindak terorisme adalah suatu fanatisme agama yang keliru,
dan tindak terorisme bukan suatu kejahatan yang diajarkan oleh agama.
Ketika banyak orang memperdebatkan tentang hubungan agama dengan terorisme,
ada tujuan ataupun dampak terorisme diluar tentang agama. Sebagai contoh, menurut yang
diberitakan Vivanews.com, menurut riset yang ada bahwa dampak dari tindak terorisme pada
bom Bali 1 terus berkelanjutan terutama pada bidang ekonomi. Seperti peningkatan
pengangguran, penurunan pendapatan rumah tangga, penurunan upah riil dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai