Fanatisme Dalam Beragama
Fanatisme Dalam Beragama
NIM : 175030200111054
Sejarah mengatakan, dengan keberagaman yang begitu luas, para founding father
berusaha untuk menyatukannya dalam sebuah bingkaian bangsa Indonesia. Pada tanggal 28
Oktober 1928, melalui sumpah pemuda, untuk pertama kalinya para pemuda di Indonesia
menyatakan sumpahnya yang menggambarkan suatu tanda bersatunya Indonesia dengan
keberagaman yang ada.
Tak hanya dengan sumpah pemuda, Indonesia juga menyatakan persaatuannya dari
slogan “Bhineka Tunggal Ika”, yang berarti “berbeda-beda tetap satu jua.” Slogan yang
dibangun oleh para bapak bangsa dengan harapan karunia akan keberagaman yang ada, tidak
menjadi suatu senjata pemecah, namun menjadi suatu stimulant pemersatu bangsa.
Berbicara keberagaman di masa sekarang, ada satu keberagaman yang begitu sensitive
dibicarakan saat ini, yakni soal Agama. Indonesia melalui Pancasila sila pertama, “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious, dimana
rakyat Indonesia mempercayai akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan serta memeluk agama
sesuai dengan kepercayaannya. Indonesia sendiri, mengakui lima agama dan satu kepercayaan
di Indonesia. Kelima agama tersebut ialah, Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan satu
kepercayaan Kong Hu Cu.
Agama di Indonesia menjadi begitu sensitive dikarenakan akhir-akhir ini banyak
oknum yang mengangkat isu agama sebagai senjata pemecah persatuan. Mulai dari politik
hingga kasus terorisme. Hal ini tentunya adalah suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia.
Fanatisme berlebihan terhadap agama yang dipercayainya menjadi salah satu penyebab
bagaimana agama dapat menjadi senjata pemecah bangsa. Perasaan tentang agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling benar, agama yang paling baik dengan memandang
pemeluk agama lain adalah orang yang lebih rendah dari dirinya telah merontokan nilai-nilai
toleransi masyarakat Indonesia.
Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dibumbui dengan kasus pelecehan agama oleh
calon gubernur petahana Basuki Cahya Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutah
“Ahok.” Pada kasus itu Ahok menyinggung tentang satu ayat dalam Al-Qur’an yakni surat
Al-Maidah ayat 51 yang disitu menyinggung tentang larangan umat Islam memilih pemimpin
non-muslim. Atas singgungan Ahok itu, Indonesia dilanda perdebatan yang sengit tentang
seorang muslim dalam memilih seorang pemimpin non-muslim. Hal ini berujung pada
perpecahan dalam masyarakat, bahkan perpecahan ini tidak hanya antara kaum muslim
dengan non-muslim, tetapi didalam kaum muslim itu sendiri pun terjadi perpecahan
didalamnya. Kasus ini menimbulkan berbagai aksi besar-besaran dari kaum muslim, seperti
212 dan aksi lainnya. Ditambah gencarnya provokasi dan berita-berita hoax di dunia maya
menambah panas suhu perpecahan bangsa Indonesia.
Perpecahan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh faktor agama ini justru
dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk membangun suatu isu politik dengan tujuan
menjatuhkan citra lawan politiknya. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena dapat makin
memperkeruh perpecahan yang terjadi di dalam masyarakat. Oknum politik ini
memanfaatkan fanatisme agama untuk meraup dukungan. Akibat dari hal ini adalah kualitas
politik Indonesia yang menurun, dimana sebuah kinerja tidak lagi menjadi tonggak meraup
dukungan rakyat, melainkan hanya dari faktor agama.