PENDAHULUAN
Pasien dengan penyakit hati sering kali harus menjalani operasi. Diperkirakan 1 di
antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani operasi elektif memiliki
gambaran fungsi hati yang abnormal. Sekitar 10% pasien penyakit hati akan menjalani
operasi pada dua tahun terakhir masa hidupnya. Penemuan dan pemberian obat anti viral
terhadap penyakit hepatitis B dan C terus meningkat dan berkembang sehingga kualitas hidup
penderita juga semakin membaik. Demikian halnya dengan penderita sirosis hati
kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena faktor penyulit seperti varises esofagus,
koagulopati, masalah gizi dan asites relatif sudah dapat ditangani lebih baik.
Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan fungsi hati layak atau
tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian preoperatif sehingga
dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya. Masalahnya adalah sampai saat ini
belum ada parameter sensitif yang dapat menggambarkan korelasi yang kuat antara hasil
pemeriksaan biokimiawi dengan derajat kerusakan hati. Penilaian preoperatif pada pasien
dengan penyakit hati sangat penting karena semakin luas tingkat kerusakan hati semakin besar
pula risiko kematian. Jenis tindakan operasi dan sifat operasi (emergensi atau tidak) juga
sangat berpengaruh pada risiko mortalitas.
Pasien dengan gangguan fungsi hati secara hemodinamik sangat rentan terhadap
penurunan pasokan darah ke hati (hepatic blood flow). Tindakan operasi dan anestesi yang
dapat menurunkan pasokan darah ke hati menimbulkan komplikasi pasca-operasi. Dengan
demikian manajemen perioperatif yang optimal pada pasien dengan penyakit hati yang akan
menjalani operasi sangat penting karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Penilaian preoperatif yang baik dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien dengan
akurasi 90% pada pasien sirosis yang menjalani operasi abdomen.
Referat ini bertujuan untuk memberikan gambaran (1) bagaimana pengaruh tindakan
operasi dan anestesi pada pasien dengan penyakit hati, (2) risiko tindakan operasi pada pasien
dengan penyakit hati (3) penilaian dan penanganan perioperatif pada pasien dengan penyakit
hati.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Lobus Quadratus Hepatis memiliki batas anterior pada margo anterior hepatis, batas
dorsal pada porta hepatis, batas dextra pada fossa vesicae fellea, dan batas sinistra pada venae
umbilicalis. Pada lobus quadratus hepatis ini, terdapat cekungan yang disebut impressio
duodeni lobi quadrati.
Lobus Caudatus Hepatis (Spigeli) memiliki batas ventro-caudal pada porta hepatis,
batas dextra pada fossa venae cavae, dan batas sinistra pada fossa ductus venosi. Pada lobus
caudatus hepatis ini terdapat tonjolan yaitu processus caudatus dan processus papillaris.
Lobus Hepatis Sinistra adalah lobus hepar yang berada di sebelah kiri ligamentum
falciforme hepatis. Lobus ini lebih kecil dan pipih jika dibandingkan dengan lobus hepatis
dextra. Letaknya adalah di regio epigastrium dan sedikit pada regio hyochondrium sinistra.
Pada lobus ini, terdapat impressio gastrica, tuber omentale, dan appendix fibrosa hepatis.
3
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
4
6. Fungsi hepar sebagai detoksikasi
Hepar adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan
seperti zat racun, obat over dosis.
8. Fungsi hemodinamik
Hepar menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hepar yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ±
25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hepar. Aliran darah ke
hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini
berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock. Hepar merupakan organ
penting untuk mempertahankan aliran darah.
2.3 Hepatitis
2.3.1 Hepatitis Akut
Hepatitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus, reaksi obat-obatan atau
masuknya hepatotoxin. Penyakit ini mewakili kerusakan hepatocelluler akut dengan jumlah
nekrosis sel yang bervariasi.Manifestasi klinis umumnya bergantung pada kerasnya reaksi
peradangan dan terlebih lagi pada jumlah nekrosis. Reaksi peradangan biasa dapat muncul
sebagai peningkatan asimptomatik dalam transaminase serum, sedang hepatitis nekrosis yang
banyak muncul sebagai kegagalan hepatic fulminant akut.
5
karena dapat ditransmisikan oleh salah satu rute dan memerlukan virus hepatitis B dalam host
untuk jadi tidak efektif. Virus lainnya, termasuk Epstein-Barr, herpes simpleks,
cytomegalovirus, dan coxackivirus, juga bias menyebabkan hepatitis.
Pasien dengan hepatitis virus biasanya mengalami gejala-gejala prodormal (kelelahan,
malaise, demam, mual, dan muntah) selama 1 sampai 2 minggu yang bisa disertai oleh
ikterus. Ikterus ini bias berlangsung selama 2-12 minggu, tapi penyembuhan sempurna seperti
yang dibuktikan oleh pemeriksaan serum transaminase, biasanya membutuhkan waktu 4
bulan.
Disebabkan oleh manifestasi klinis yang tumpang tindih, tes serologis dibutuhkan
untuk menentukan agen virus causative. Perkembangan klinis menjadi lebih rumit dan
diperpanjang dengan virus hepatitis B dan C. Kolestasis adalah manifestasi utama. Jarang
kegagalan hepatic fulminant (berlebihnya necrosis hepatic) dapat berkembang.3Berjangkitnya
hepatitis kronik aktif 3-10% menyertai infeksi oleh virus hepatitis B dan setidaknya 50%
mengikuti infeksi dengan virus hepatitis C. Sebagian kecil pasien (umumnya pasien yang
imunosupressed dan mereka yang hemodialisis jangka panjang) menjadi pengidap
asimptomatik yang mudah menular menyertai infeksi oleh virus hepatitis B. Berdasarkan
penelitian terhadap sekelompok pasien, dimana-mana antara 0,3% dan 30% pasien tetap
menjangkitkan penyakit dan memiliki ketahanan dari antigen B permukaan (HBsAg) dalam
darahnya. + 0,5-1% pasien dengan infeksi hepatitis C menjadi pembawa asimptomatik yang
mudah menular. Keterjangkitan berhubungan dengan RNA hepatitis C virus dalam darah
peripheral. Sebagian besar pasien dengan infeksi hepatitis Conis nampaknya memiliki
sirkulasi partikel virus yang sangat rendah, terputus-putus atau bahkan hilang. Dan karenanya
tidak terlalu infektif. Akan tetapi, pembawa penyakit yang menular membawa resiko bagi
kesehatan pekerja ruang operasi. Selain pencegahan umum untuk menghindari kontak dengan
darah dan sekresi (sarung tangan, masker, pelindung mata, dan jarum yang tidak digunakan
berulang), imunisasi sangatlah efektif melawan infeksi hepatitis B. Vaksin untuk hepatitis C
tidak tersedia, tidak seperti hepatitis B, infeksi hepatitis C nampaknya tidak memberikan
kekebalan pada kemungkinan penyakit lainnya. Post exposure prophylaksis dengan globulin
hiperimun efektif untuk hepatitis B tapi tidak untuk hepatitis C.
6
2.3.1.2 Hepatitis yang Disebabkan oleh Obat-obatan
7
berhubungan dengan jumlah nekrosis. Serum Alanin aminotransferase (ALT) umumnya lebih
tinggi dari serum aspartat aminotransferase (AST) kecuali dalam hepatitis alkoholik, dimana
kebalikannya yang muncul. Bilirubin dan alkali fosfatase umumnya hanya nai tidak cukup
tinggi, kecuali dengan cholestatic hepatic yang berlainan . PT adalah indicator terbaik untuk
fungsi hepatic syntetic (lihat bab 34). Perpanjangan yang lebih dari 3 detik (INR > 1,5)
mengikuti administrasi vitamin K menunjukkan disfungsi hepar yang berat. Hipoglikemia
bukan tidak biasa. Hipoalbuminemia biasanya tidak muncul kecuali dalam kasus protaksi,
dengan malnutrisi berat, atau ketika terdapat penyakit hepar kronik.
Jika pasien dengan hepatitis akut harus menjalani operasi emergensi, evaluasi
praanastesi harus difokuskan untuk menentukan jenis dan tingkat kerusakan hepar. Informasi
seharusnya diperoleh dengan memperhatikan penggunaan obat-obatan terbaru, termasuk
pemakaian alcohol, penggunaa obat intravena, transfuse, dan anestesi sebelumnya. Mual,
muntah harus diperhatikan, dehidrasi dan gangguan elektrolit harus diperbaiki. Perubahan
status mental biasanya menunjukkan kerusakan hepar yang parah. Tindakan yang tidak wajar
dan obtundasi pada pasien alkoholik bias menjadi tanda adanya keracunan, sedangkan tremor
dan cepat marah biasanya mencerminkan pengeluaran. Hipertensi dan takikardi seringkali
mudah terlihat. Vitamin K atau fresh frozen plasma (FFP) dapat dibutuhkan untuk
memperbaiki coagulopathy. Premedikasi umumnya tidak diberikan , dalam usaha untuk
mengurangi/meminimalkan penggunaan obat-obatan dan tidak menggabungkan
encephalopathy hepatic dan penyakit hepar. Namun benzodiazepine dan thiamin diberikan
pada pasien dengan alkoholik dengan pengeluaran akut.
8
biasanya lebih disukai untuk agent intravenous karena kebanyakan yang lain bergantung pada
hepar untuk metabolisme dan eliminasi. Dosis induksi standar terhadap agen induksi
intravenous umumnya dapat digunakan karena aksinya berakhir dengan redistribusi lebih baik
dibandingkan metabolisme atau ekskresi. Aksi yang berlarut-larut mungkin harus
menggunakan dosis agen intravena yang sangat besar secara berulang-ulang, khususnya
opioid.
Isofluran adalah anastesi inhalasi yang dipilih karena mempunyai efek yang paling
sedikit pada aliran darah hepar. Faktor-faktor yang diketahui dapat mengurangi aliran darah
hepar, misalnya hipotensi, aktivasi simpatik yang meningkat, dan peningkatan Mean airway
pressure selama ventilasi terkontrol, sebaiknya dihindari.
9
Manifestasi sirosis seringkali menonjol pada pasien dengan penyakit progresif. Hasil
pemeriksaan laboratorium hanya dapt menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu tinggi
pada aktivitas serum aminotransferase dan sering tidak berkaitan dengan keganasan penyakit.
Pasien yang tidak memiliki infeksi hepatitis B atau C kronis biasanya mempunyai respon
yang baik terhadap imunosupressan dan biasanya diterapi dengan kortikosteroid jangka
panjang dengan atau tanpa azathiopine.
2.4 Sirosis
Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan oleh kegagalan
hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah alcohol (Lachnac’s cirrhosis).
Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif (postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis,
hemochromatosis, penyakit Wilson, dan defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan
penyebabnya, necrosis hepatosit diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel
hepar normal dan susunan vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan
hipertensi portal, sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi metabolisme
berbeda lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara klinis, tanda dan symptom
tidak berhubungan dengan keganasan penyakit. Tanda-tanda nyata biasanya tidak terlihat
pada awalnya, tapi ikterus dan asites pada akhirnya akan berkembang pada kebanyakan
pasien. Tanda-tanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris, ginekomasti, dan
splenomegali.
Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat hipertensi
portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal, (3) encephalopathy
hepatic atau koma. + 10% pasien juga mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis
bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami carcinoma hepatoseluler pada akhirnya.
10
Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis hepatoseluler atau
regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi portal dan dihubungkan dengan
komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk
didalamnya schistosomiasis, fibrosis portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic
congenital. Obstruksi pembuluh darah hepar atau vena cava inferior (Budd-Chiari syndrome)
juga dapat menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena
(hypercoaguable state), tumor thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi pembuluh
darah hepar sublobular.
a. Manifestasi Gastrointestinal
Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portal-vena
sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat kolateral utama :
gastroesofageal, hemorrhoidal, periumbilical, dan retroperitoneal. Hipertensi portalsering
muncul sebelum operasi seperti dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding
abdominal (caput medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari kehilangan
banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada daerah intestinal)
dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic. Endoskopi merupakan alat diagnosis
dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap tempat perdarahan sangat penting, karena pasien
ini akan mengalami perdarahan dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi
berbeda.
Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang harus
digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk didalamnya vasopressin
(0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon tamponade (dengan tube Sengstaken
Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari
varises. Vasopressin, somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah.
11
Vasopressin dalam dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau
miokardial iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi
kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan . Endoskopik sclerosis atau
ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan perdarahan + 90% dari seluruh
perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS) dapat
menurunkan hipertensi portal dan perdarahan (tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan
encephalopathy). Pada saat perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat
harus dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan
tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium.
Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko rendah,
sedangkan pembedahan ablasi, transreseksi esophageal, dan devaskularisasi gaster
direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non selektif (portacaval dan proksimal
splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir
ini menekan varises tapi tidak merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil
kemungkinan untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.
b. Manifestasi Hematologi
Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan muncul.
Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya kehilangan darah,
meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum tulang, dan defisiensi nutrisi.
Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal) memiliki peran yang sangat besar dalam
trombositopenia dan leucopenia. Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar.
Fibrinolisis yang bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat
berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfuse darah sebelum
operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen. Protein yang tidak
bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyaka dapat mempercepat encephalopathy. Tapi
bagaimanapun, koagulopati harus disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor
pembekuan harus digantikan dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan
kriopresipitat. Transfusi platelet harus dipertimbangkan segera dan utama untuk pembedahan
dengan hitungan < 100.000/uL.
12
c. Manifestasi sirkulasi
Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik. Cardiac
output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan muncul. Shunting
arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan pulmonal. Shunting arteriovenous
bersama dengan penurunan dalam viskositas darah karena anemia setidaknya berpengaruh
50% untuk cardiac output. Pasien dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat
meningkatkan kegagalan jantung kongestif dengan mudah.
d. Manifestasi respiratory
Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul ventilasi
mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis respirasi. Umumnya
terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40% dari cardiac output). Shunting
disebabkan oleh komunikasiarteriovenous pulmonary (absolute) dan kesalahan
ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma dari asites yang menurunkan volume paru-paru,
khususnya kapasitas residu fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah
yang sangat besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang
meningkatkan kerja pernapasan.
Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna sebelum operasi
karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam gejala klinisnya.
Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites massif dan pertimbangan
pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perpindahan cairan yang
terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps sirkulasi.
13
4. Retensi natrium renal (dan seringkali air).
Kedua teori “underfilling” dan “overflow” telah diajukan untuk menjelaskan retensi
natrium. Teori “underfilling” menyatakan bahwa meskipun total cairan ekstraseluleryang
dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan asites meningkat, volume plasma
efektif malah menurun; retensi natrium kurang penting untuk hipovolemia relative dan
hiperaldosteronisme sekunder. Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma
efekstif dapat dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori
“overflow” beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium oleh ginjal
asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang semakin meluas.
Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi katekolamin, yang dianggap
disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan untuk peningkatan rennin dan
angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas pada sirkulasi atrial natriuretic peptide.
Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah
mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesarreabsorbsi natrium
di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air bebas. Hiponatremia dan
hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah pengenceran, sedangkan hipokalemi
disebabkan oleh kehilangan kalium melalui urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme
sekunder atau diuresis). Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat
terlihat dengan berkembangnya sindroma hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis yang biasanya
diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis atau pembedahan mayor.
Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan retensi natrium yang banyak, azotemia,
intractable ascites, dan mortality rate yang tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering
tidak berhasil kecuali jika dilakukan transplantasi hepar.
Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit hepar
tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak dapat terlalu
mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan harus dihindari, dan
deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn infuse koloid. Diuresis dari asites dan
cairan edema harus diselesaikan setelah beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan
setelah pemberian tindakan seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi
spironolakton dianggap tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk
mencegah pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita
14
asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis, sementara
mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih dari 0,5 kg/d.
Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan, sedangkan deficit kalium
harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk
mencegah kerusakan renal, tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti.
15
a. Respon Obat
Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis.
Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein, metabolisme
obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang menunjukkan peningkatan
kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara beberapa dengan sejarah alkoholik akan
terlihat menunjukkan toleransi. Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion
tinggi, misalnya neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan
oleh meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi,
membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis yang lebih
kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent bergantung pada eliminasi
di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium) juga diperlukan. Ini merupakan waktu
penanganan yang lama untuk succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level
pseudocholinesterase, tapi jarang bermanifestasi klinis.
b. Teknik Anestesi
Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat
bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan
pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek yang merugikan
fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bias dilakukan pada pasien tanpa trombositopenia
atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk menghindari
hipotensi. Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-
nitrous oxide adalah yang paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya.
Penggunaan halotan biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar
memburuk post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang
dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama.Cisatracurium bisa jadi agen yang
memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang unik. Mual
sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi abdomen yang diakibatkan
oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik.
Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering dengan tekanan cricoid sangat sering
dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan perdarahan aktif sangat
disarankan, intubasi sadar atau induksi yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan
ketamine (ethiomidate) dan succyniocholine.
16
c. Monitoring
Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting bagi
pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada pasien yang
diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard, vasokonstriksi koroner.
Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan pengukuran gas darah arteri untuk
mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang
besar tidak dapat mentoleransi penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan
positif akhir ekspirasi (PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan
hipoksemia yang mungkin akan terjadi.
Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap kebanyakan
pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai akibat dari perdarahan yang
sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental yang sering dan manipulasi
pembedahan. Status volume intravascular seringkali sulit ditentukan tanpa ada monitoring,
juga pada vena sentral atau tekanan arteri pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin
kritis untuk mencegah sindrom hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat,
mannitol atau dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh
urinary output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.
d. Pemberian cairan
Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun pada
intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output lebih
diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk menghindari
berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan onkotik (lihat bab 28).
Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan hebat dan perpindahan
cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur abdominal. Venous engorgement dari
hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang
menyebabkan perdarahan hebat selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur
pembedahan yang berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar.
Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi yang dalam dan
gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan asites. Karena sebagian besar
pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum operasi, transfusi merupakan hal yang
sering dilakukan. Transfusi penting, bisa memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat,
merupakan antikoagulan dalam persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme
17
dalam hepar dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena
mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium mengakibatkan
hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk menghilangkan efek negative
inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion darah.
18
pankreatikus akibat batu empedu, namun jarang. Diperkirakan 75% gejala kolesistitis akut
sembuh dalam 2-7 hari dengan terapi medis. Sisanya, sekitar 25%, tidak sembuh bahkan
mengalami komplikasi berupa empiema, perforasi, gangren, hydrops, fistel, atau ileus batu
empedu. Lima dari 10% pasien yang menderita serangan akut mengalami kolesistitis
akalkulus yang mungkin terjadi akibat trauma yang serius, luka bakar, persalinan yang
memanjang, operasi besar, atau sakit kritis. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan USG atau
CT scan abdomen.
19
penggunaan opiat secara teoritis dapat mengakibatkan hasil positif palsu pada pemeriksaan
kolangiogram intraoperatif sehingga eksplorasi duktus biliaris tidak dilakukan. Meskipun
sebelumnya hal ini sangat diyakini, namun beberapa dokter memilih tetap menggunakan opiat
setelah kolangiogram selesai. Jika diduga terjadi spasme akibat penggunaan opiat, maka dapat
diberikan nalokson atau glukagon.
Pada pasien dengan obstruksi saluran empedu, pemanjangan durasi obat-obat yang
tergantung pada ekskresi empedu harus diantisipasi. Plihlah obat-obat yang dieliminasi di
ginjal. Produksi urin harus terus dipantau dengan kateter. Diuresis intraoperatif mungkin
diperlukan.
Pasien yang menderita kolesistitis akalkulus atau kolangitis berat termasuk dalam
pasien kritis yang memiliki angka mortalitas perioperatif yang tinggi. Pemantauan
hemodinamik yang invasif dapat memperbaiki perawatan anestesi yang diberikan.
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Garrison RN, Cryer HM, Howard DA, Polk HC. Clarification of risk factors for
abdominal operations in patients with hepatic cirrhosis. Ann Surg 1984;199(6): 648-
54.
2. Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Loist
updated: 2006. Acsessect February 2007. Available from http://www.emedicine.com.
3. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Liver Disease,. Clinical
Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006.
4. Ziser A, Plevak DJ. Morbidity and mortality in cirrhotic patients undergoing
anesthesia and surgery. Current Opinion in Anaesthesiology 2001;14:707-11.
5. Pannen BHJ. Hepatic blood flow during anaesthesia and surgery. Europian Society of
Anaesthesiologist 2000. Available from http:/ www.euroanesthesia.org/rc-
vienna/04rcl.HTM.
6. Friedman L.S. The risk of surgery in patients with liver disease. Hepatology 1999;
29(6):1617-23.
7. Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad Med
1999;106(4):187-95.
8. Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:264-75.
9. Yeh CN, Chen MF, Jan YY. Laparoscopic cholecystectomy in 226 cirrhotic patients.
Experience of a single center in Taiwan. Surg Endosc 2002;16: 1583-7.
10. Suman A., Carey W. Assessing the risk of surgery in patients with liver disease.
Cleveland Clinic J of Medicine 2006;73(4):398404.
11. Zacks SI, Sandler RS, Brown RS. Liver disease markedly increases the risk of
perioperative death in cholecystectomy patients (abstract). Hepatology
1997;26(4):179A.
12. Dixon JM, Armstrong CP, Duffy SW, Davies GC. Factors affecting morbidity and
mortality after surgery for obstructive jaundice: a review of 373 patients. Gut 1983:
24:845-52.
13. Runyon BA. Surgical procedures are well tolerated by patients with asymptomatic
chronic hepatitis. J Clin Gastroenterol 1986;8:542-4.
22
14. Patel T. Surgery in he patient with liver disease. Mayo Clin Prac 1999;74:593-9.
15. Wiklund RA. Preoperative preparation of patients with advanced liver disease. Crit
Care Med 2004;32(4,Suppl):S106-S115.
16. Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:264-75.
17. O’Grady JG. Acute liver failure. Postgrad Med J 2005;8:148-54.
18. Northup PG, Wanamaker RC, Lee VD, Adams RB, Berg CL. Ann Surgery 2005;
242:244-51.
19. Lu W, Wai CT. Surgery in patients with advanced liver cirrhosis:a Pandora’s box.
Singapore Med J 2006;47(2):152-5.
20. Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad Med
1999;106 (4):187-95
21. Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease. Am
J Gastroeterol 2005;100:2116-27
22. Heidelbaugh JL, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part II.
Complication and treatment. Am Fam Physician 2006;74(5):767-76.
23. Rice HE, O’Keefe GE, Helton WS, Johansen K. Morbid prognostic features in
patients with chronic liver failure undergoing nonhepatic surgery. Arch Surg
1997;132(8):880-4.
24. Clarke P, Bellamy MC. Anaesthesia for patients with liver disease. Bulletin 4 The
Royal College of Anaesthetists 2000;15861.
23