Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Pasien dengan penyakit hati sering kali harus menjalani operasi. Diperkirakan 1 di
antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani operasi elektif memiliki
gambaran fungsi hati yang abnormal. Sekitar 10% pasien penyakit hati akan menjalani
operasi pada dua tahun terakhir masa hidupnya. Penemuan dan pemberian obat anti viral
terhadap penyakit hepatitis B dan C terus meningkat dan berkembang sehingga kualitas hidup
penderita juga semakin membaik. Demikian halnya dengan penderita sirosis hati
kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena faktor penyulit seperti varises esofagus,
koagulopati, masalah gizi dan asites relatif sudah dapat ditangani lebih baik.
Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan fungsi hati layak atau
tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian preoperatif sehingga
dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya. Masalahnya adalah sampai saat ini
belum ada parameter sensitif yang dapat menggambarkan korelasi yang kuat antara hasil
pemeriksaan biokimiawi dengan derajat kerusakan hati. Penilaian preoperatif pada pasien
dengan penyakit hati sangat penting karena semakin luas tingkat kerusakan hati semakin besar
pula risiko kematian. Jenis tindakan operasi dan sifat operasi (emergensi atau tidak) juga
sangat berpengaruh pada risiko mortalitas.
Pasien dengan gangguan fungsi hati secara hemodinamik sangat rentan terhadap
penurunan pasokan darah ke hati (hepatic blood flow). Tindakan operasi dan anestesi yang
dapat menurunkan pasokan darah ke hati menimbulkan komplikasi pasca-operasi. Dengan
demikian manajemen perioperatif yang optimal pada pasien dengan penyakit hati yang akan
menjalani operasi sangat penting karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Penilaian preoperatif yang baik dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien dengan
akurasi 90% pada pasien sirosis yang menjalani operasi abdomen.
Referat ini bertujuan untuk memberikan gambaran (1) bagaimana pengaruh tindakan
operasi dan anestesi pada pasien dengan penyakit hati, (2) risiko tindakan operasi pada pasien
dengan penyakit hati (3) penilaian dan penanganan perioperatif pada pasien dengan penyakit
hati.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hepar


Hepar merupakan kelenjar eksokrim terbesar yang memiliki fungsi untuk
menghasilkan empedu, serta juga memiliki fungsi endokrin. Secara garis besar, hepar dibagi
menjadi 2 lobus, dextra (kanan-besar) dan sinistra (kiri-kecil), hepar dilapisi oleh kapsula
fibrosa yang disebut Capsula Glisson. Secara holotopi, hepar terletak di regio hypochondrium
dextra, regio epigastrium, dan regio hypochondrium sinistra. Secara skeletopi, hepar terletak
setinggi costa V pada linea medioclavicularis dextra, setinggi spatium intercosta V di linea
medioclavicularis sinistra, di mana bagian caudal dextra (bawah kanan)-nya mengikuti arcus
costarum (costa IX - VIII) dan bagian caudal sinistra (bawah kiri)-nya mengikuti arcus
costarum (costa VIII - VII). Secara syntopi, hepar berbatasan dengan diaphragma (facies
diaphragmatica hepatis) dan berbatasan dengan organ-organ lain seperti gaster, pars superior
duodeni, glandula suprarenalis dexter, sebagian colon transversum, flexura coli dextra,
vesica fellea, oesophagus, dan vena cava inferior (facies visceralis hepatis).
Hepar terbagi menjadi 2 lobus yaitu lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra
oleh incisura umbilikalis, ligamentum falciforme hepatis, dan fossa sagittalis sinistra.
Pada lobus hepatis dextra, terdapat fossa sagittalis sinistra, fossa sagittalis dextra, dan
porta hepatis. Fossa sagittalis sinistra hepatis terdiri dari fossa ductus venosi dan fossa venae
umbilicalis. Fossa sagittalis dextra terdiri dari fossa vesicae fellea dan fossa venae cavae.
Porta hepatis membentuk lobus quadratus hepatis dan lobus caudatus hepatis.

2
Lobus Quadratus Hepatis memiliki batas anterior pada margo anterior hepatis, batas
dorsal pada porta hepatis, batas dextra pada fossa vesicae fellea, dan batas sinistra pada venae
umbilicalis. Pada lobus quadratus hepatis ini, terdapat cekungan yang disebut impressio
duodeni lobi quadrati.
Lobus Caudatus Hepatis (Spigeli) memiliki batas ventro-caudal pada porta hepatis,
batas dextra pada fossa venae cavae, dan batas sinistra pada fossa ductus venosi. Pada lobus
caudatus hepatis ini terdapat tonjolan yaitu processus caudatus dan processus papillaris.
Lobus Hepatis Sinistra adalah lobus hepar yang berada di sebelah kiri ligamentum
falciforme hepatis. Lobus ini lebih kecil dan pipih jika dibandingkan dengan lobus hepatis
dextra. Letaknya adalah di regio epigastrium dan sedikit pada regio hyochondrium sinistra.
Pada lobus ini, terdapat impressio gastrica, tuber omentale, dan appendix fibrosa hepatis.

2.2 Fisiologi Hepar


Hepar merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi
tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hepar
yaitu :

1. Fungsi hepar sebagai metabolisme karbohidrat


Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan satu sama lain.Hepar mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus
halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun
di dalam hepar kemudian hepar akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses
pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini,
hepar merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hepar mengubah
glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan
pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari
nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C)
yaitu pyruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).

2. Fungsi hepar sebagai metabolisme lemak


Hepar tidak hanya membentuk / mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

3
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid

Hepar merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi cholesterol.


Di mana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid

3. Fungsi hepar sebagai metabolisme protein


Hepar mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses
deaminasi, hepar juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan
proses transaminasi, hepar memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen.
Hepar merupakan satu-satunya organ yang membentuk plasma albumin dan ∂ -
globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product
metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di dalam hepar, juga dibentuk di
limpa dan sumsum tulang. β – globulin hanya dibentuk di dalam hepar. Albumin
mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000

4. Fungsi hepar sehubungan dengan pembekuan darah


Hepar merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII,
IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor
ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor
intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor
XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa
faktor koagulasi.

5. Fungsi hepar sebagai metabolisme vitamin


Semua vitamin disimpan di dalam hepar khususnya vitamin A, D, E, K

4
6. Fungsi hepar sebagai detoksikasi
Hepar adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan
seperti zat racun, obat over dosis.

7. Fungsi hepar sebagai fagositosis dan imunitas


Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin
sebagai immune livers mechanism.

8. Fungsi hemodinamik
Hepar menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hepar yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ±
25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hepar. Aliran darah ke
hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini
berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, shock. Hepar merupakan organ
penting untuk mempertahankan aliran darah.

2.3 Hepatitis
2.3.1 Hepatitis Akut
Hepatitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus, reaksi obat-obatan atau
masuknya hepatotoxin. Penyakit ini mewakili kerusakan hepatocelluler akut dengan jumlah
nekrosis sel yang bervariasi.Manifestasi klinis umumnya bergantung pada kerasnya reaksi
peradangan dan terlebih lagi pada jumlah nekrosis. Reaksi peradangan biasa dapat muncul
sebagai peningkatan asimptomatik dalam transaminase serum, sedang hepatitis nekrosis yang
banyak muncul sebagai kegagalan hepatic fulminant akut.

2.3.1.1 Hepatitis Virus

Hepatitis virus seringkali disebabkan oleh virus hepatitis A, B, atau C ( sebelumnya


dinamakan enteric non A, non B). Akhirnya telah ditemukan juga 2 virus hepatitis lainnya :
hepatitis D (delta virus) dan hepatitis E (enteric non A, non B). Hepatitis tipe A dan E
ditansmisikan melalui rute feco-oral, sedangkan tipe B dan C ditransmisikan utamanya
dengan cara perkutaneus dan melalui kontak dengan cairan tubuh. Hepatitis D sendiri unik

5
karena dapat ditransmisikan oleh salah satu rute dan memerlukan virus hepatitis B dalam host
untuk jadi tidak efektif. Virus lainnya, termasuk Epstein-Barr, herpes simpleks,
cytomegalovirus, dan coxackivirus, juga bias menyebabkan hepatitis.
Pasien dengan hepatitis virus biasanya mengalami gejala-gejala prodormal (kelelahan,
malaise, demam, mual, dan muntah) selama 1 sampai 2 minggu yang bisa disertai oleh
ikterus. Ikterus ini bias berlangsung selama 2-12 minggu, tapi penyembuhan sempurna seperti
yang dibuktikan oleh pemeriksaan serum transaminase, biasanya membutuhkan waktu 4
bulan.
Disebabkan oleh manifestasi klinis yang tumpang tindih, tes serologis dibutuhkan
untuk menentukan agen virus causative. Perkembangan klinis menjadi lebih rumit dan
diperpanjang dengan virus hepatitis B dan C. Kolestasis adalah manifestasi utama. Jarang
kegagalan hepatic fulminant (berlebihnya necrosis hepatic) dapat berkembang.3Berjangkitnya
hepatitis kronik aktif 3-10% menyertai infeksi oleh virus hepatitis B dan setidaknya 50%
mengikuti infeksi dengan virus hepatitis C. Sebagian kecil pasien (umumnya pasien yang
imunosupressed dan mereka yang hemodialisis jangka panjang) menjadi pengidap
asimptomatik yang mudah menular menyertai infeksi oleh virus hepatitis B. Berdasarkan
penelitian terhadap sekelompok pasien, dimana-mana antara 0,3% dan 30% pasien tetap
menjangkitkan penyakit dan memiliki ketahanan dari antigen B permukaan (HBsAg) dalam
darahnya. + 0,5-1% pasien dengan infeksi hepatitis C menjadi pembawa asimptomatik yang
mudah menular. Keterjangkitan berhubungan dengan RNA hepatitis C virus dalam darah
peripheral. Sebagian besar pasien dengan infeksi hepatitis Conis nampaknya memiliki
sirkulasi partikel virus yang sangat rendah, terputus-putus atau bahkan hilang. Dan karenanya
tidak terlalu infektif. Akan tetapi, pembawa penyakit yang menular membawa resiko bagi
kesehatan pekerja ruang operasi. Selain pencegahan umum untuk menghindari kontak dengan
darah dan sekresi (sarung tangan, masker, pelindung mata, dan jarum yang tidak digunakan
berulang), imunisasi sangatlah efektif melawan infeksi hepatitis B. Vaksin untuk hepatitis C
tidak tersedia, tidak seperti hepatitis B, infeksi hepatitis C nampaknya tidak memberikan
kekebalan pada kemungkinan penyakit lainnya. Post exposure prophylaksis dengan globulin
hiperimun efektif untuk hepatitis B tapi tidak untuk hepatitis C.

6
2.3.1.2 Hepatitis yang Disebabkan oleh Obat-obatan

Hepatitis katena obat-obatan dapat disebabkan oleh ketergantungan terhadap racun


obat-obatan secara langsung atau metabolit, atau oleh reaksi khusus obat-obatan , atau oleh
kombinasi dari keduanya. Perkembangan klinis seringkali menyerupai hepatitis virus yang
menyebabkan sulitnya diagnosis. Alkoholic hepatitis mungkin adalah type hepatitis akibat
obat-obatan yang paling sering dijumpai, tapi penyebabnya tidak teridentifikasi. Penggunaan
alkohol dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya hepatomegali dan infiltrasi
lemak pada hepar, yang menimbulkan : (1) Oksidasi asam lemak lemah, (2) meningkatkan
uptake dan esterifikasi asam lemak, (3) mengurangi sintesis dan sekresi lipoprotein.
Penggunaan asetaminofen 25 gr atau lebih menyebabkan hepatitis fulminan yang fatal.
Beberapa jenis obat seperti Chlorpromazine dan kontrasepsi oral menyebabkan reaksi type
cholestatic .Ingesti hepatoksin kuat, seperti carbon tetrachlorida dan jenis jamur tertentu
(amanita, galerina) seringkali berhubungan dengan kegagalan hepatic akut. Anestesi cair,
terutama halotan, berhubungan dengan reaksi khas hepatitis.

2.3.1.3 Pertimbangan Preoperatif


Operasi harus ditunda sampai hepatitis akutnya sembuh, yang diindikasikan dengan
normalnya tes fungsi hepar. Penelitian memperkirakan adanya peningkatan morbiditas (12%)
dengan mortalitas (hingga 10% dengan laparatomi) pada preoperative selama hepatitis viral
akut. Meskipun resiko dengan hepatitis alkoholik tidak sebesar itu, keracunan alcohol akut
sangat mempersulit penanganan anestesi. Lagipula, eliminasi alcohol selama pembedahan
bias dihubungkan dengan rata-rata mortalitas sebesar 50%. Hanya pembedahan yang betul-
betul darurat yang seharusnya dipertimbangkan dalam kasus ini. Pasien hepatitis mempunyai
resiko penurunan fungsi hepar dan berkembangnya komplikasi kegagalan hepar, seperti
encephalopathy, coagulopathy, atau hepatorenal syndrom.
Pemeriksaan laboratorium harus meliputi nitrogen urea darah, serum elektrolit,
kreatinin, glukosa, transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, dan albumin sebaik protrombin
time (PT) dan pletelet count. Serum juga seharusnya dicek untuk HBsAg kapanpun hal itu
mungkin. Level alcohol dalam darah akan berguna jika status mental cocok dengan
intoksikasi . Hipokalemia dan alkalosis metabolic bukannya tidak umum dan biasanya
disebabkan oleh muntah-muntah.Concomitant hypomagnesemia bias muncul pada alkoholik
kronik dan menjadikan mudah terkena aritmia. Elevasi serum transaminase belum tentu

7
berhubungan dengan jumlah nekrosis. Serum Alanin aminotransferase (ALT) umumnya lebih
tinggi dari serum aspartat aminotransferase (AST) kecuali dalam hepatitis alkoholik, dimana
kebalikannya yang muncul. Bilirubin dan alkali fosfatase umumnya hanya nai tidak cukup
tinggi, kecuali dengan cholestatic hepatic yang berlainan . PT adalah indicator terbaik untuk
fungsi hepatic syntetic (lihat bab 34). Perpanjangan yang lebih dari 3 detik (INR > 1,5)
mengikuti administrasi vitamin K menunjukkan disfungsi hepar yang berat. Hipoglikemia
bukan tidak biasa. Hipoalbuminemia biasanya tidak muncul kecuali dalam kasus protaksi,
dengan malnutrisi berat, atau ketika terdapat penyakit hepar kronik.
Jika pasien dengan hepatitis akut harus menjalani operasi emergensi, evaluasi
praanastesi harus difokuskan untuk menentukan jenis dan tingkat kerusakan hepar. Informasi
seharusnya diperoleh dengan memperhatikan penggunaan obat-obatan terbaru, termasuk
pemakaian alcohol, penggunaa obat intravena, transfuse, dan anestesi sebelumnya. Mual,
muntah harus diperhatikan, dehidrasi dan gangguan elektrolit harus diperbaiki. Perubahan
status mental biasanya menunjukkan kerusakan hepar yang parah. Tindakan yang tidak wajar
dan obtundasi pada pasien alkoholik bias menjadi tanda adanya keracunan, sedangkan tremor
dan cepat marah biasanya mencerminkan pengeluaran. Hipertensi dan takikardi seringkali
mudah terlihat. Vitamin K atau fresh frozen plasma (FFP) dapat dibutuhkan untuk
memperbaiki coagulopathy. Premedikasi umumnya tidak diberikan , dalam usaha untuk
mengurangi/meminimalkan penggunaan obat-obatan dan tidak menggabungkan
encephalopathy hepatic dan penyakit hepar. Namun benzodiazepine dan thiamin diberikan
pada pasien dengan alkoholik dengan pengeluaran akut.

2.3.1.4 Pertimbangan intraoperatif


Tujuan penanganan intraoperatif adalah untuk mengembalikan fungsi hepar dan
menghindari factor-faktor yang dapat merugikannya. Pemilihan obat dan dosisnya harus
diindividualkan. Beberapa pasien dengan hepatitis virus bisa memperlihatkan sensitifitas
system saraf pusat terhadap anestesi. Sedangkan pasien alkoholik akan sering memperlihatkan
toleransi silang baik pada intravena maupun anestesi inhalasi. Pasien alkoholik juga
membutuhkan monitoring yang teliti terhadap cardiovaskuler, sebab efek dari penurunan
cardiac dari alcohol aditif untuk mereka yang berada dalam pengaruh anestesi, selain itu
cardiomiopathy alcoholic berkembang pada banyak pasien alkoholik.
Secara defenisi, semua anestesi adalah untuk menurunkan system saraf pusat, dan
untuk alas an itulah sangat sedikit jenis yang seharusnya digunakan. Anestesi inhalasi

8
biasanya lebih disukai untuk agent intravenous karena kebanyakan yang lain bergantung pada
hepar untuk metabolisme dan eliminasi. Dosis induksi standar terhadap agen induksi
intravenous umumnya dapat digunakan karena aksinya berakhir dengan redistribusi lebih baik
dibandingkan metabolisme atau ekskresi. Aksi yang berlarut-larut mungkin harus
menggunakan dosis agen intravena yang sangat besar secara berulang-ulang, khususnya
opioid.
Isofluran adalah anastesi inhalasi yang dipilih karena mempunyai efek yang paling
sedikit pada aliran darah hepar. Faktor-faktor yang diketahui dapat mengurangi aliran darah
hepar, misalnya hipotensi, aktivasi simpatik yang meningkat, dan peningkatan Mean airway
pressure selama ventilasi terkontrol, sebaiknya dihindari.

2.3.2 Hepatitis Kronik


Hepatitis Kronik didefenisikan sebagai radang hepar yang terjadi lebih dari 6 bulan,
yang dibuktikan dengan meningkatnya serum aminotransferase. Pasien umumnya dapat
diklasifikasikan karena memiliki satu dari 3 gejala berdasarkan biopsy hepar, hepatitis kronik
persisten, hepatitis kronik lobular, atau hepatitis kronik aktif. Mereka dengan hepatitis kronik,
memanifestasikan radang yang kronik pada daerah portal dengan manifestasi sel normal pada
biopsy, type ini biasanya tidak akan berkembang menjadi sirosis. Secara klinis, pasien ini
dating dengan hepatitis akut (umumnya hepatitis B atau C) yang memiliki perkembangan
protraksi tapi umumnya bias diatasi. Yang terbaru menunjukkan jenis yang disebut hepatitis
kronik lobular, yang ditandai dengan eksaserbasi yang berulang-ulang, radang dan nekrosis
terdapat pada lobulus hepar. Seperti hepatitis kronik persisten, bagaimanapun hepatitis kronik
lobular juga tidak akan berkembang menjadi sirosis.
Pasien dengan hepatitis kronik aktif mengalami radang hepar kronik dengan kerusakan
sel pada biopsy. Tanda-tanda sirosis seringkali muncul pada awalnya (20-50% pasien) atau
berkembang pada akhirnya. Meskipun nampaknya hepatitis kronik aktif memiliki berbagai
penyebab, namun umumnya dia muncul sebagai lanjutan hepatitis B atau C. Penyebab lainnya
termasuk obat-obatan (methyldopa, oxyphenisasi, isoniazid, dan nitrofurantoin) dan
kerusakan autoimmune. Kedua factor kekebalan dan kemudahan terkena penyakit secara
genetika terlihat sebagai sebab dalam berbagai kasus. Pasien umumnya dating dengan riwayat
mual-mual dan ikterus yang berulang-ulang; manifestasi ekstrahepatik seperti arthritis dan
serositis, tidaklah biasa.

9
Manifestasi sirosis seringkali menonjol pada pasien dengan penyakit progresif. Hasil
pemeriksaan laboratorium hanya dapt menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu tinggi
pada aktivitas serum aminotransferase dan sering tidak berkaitan dengan keganasan penyakit.
Pasien yang tidak memiliki infeksi hepatitis B atau C kronis biasanya mempunyai respon
yang baik terhadap imunosupressan dan biasanya diterapi dengan kortikosteroid jangka
panjang dengan atau tanpa azathiopine.

2.3.2.1 Penanganan Anestesi


Pasien dengan hepatitis kronik persisten atau hepatitis kronik lobuler harus diobati
dengan cara yang sama terhadap pasien hepatitis akut. Sebaliknya mereka denagn hepatitis
kronik aktif dapat diperkirakan telah menderita sirosis dan diobati sesuai dengan penyakit
tersebut. Pasien dengan autoimmune hepatitis kronik aktif juga dapat memperlihatkan
masalah yang berhubungan denagn manifestasi autoimun lainnya (misalnya: diabetes atau
tiroiditis) selama terapi kortikosteroid jangka panjang.

2.4 Sirosis
Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan oleh kegagalan
hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah alcohol (Lachnac’s cirrhosis).
Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif (postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis,
hemochromatosis, penyakit Wilson, dan defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan
penyebabnya, necrosis hepatosit diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel
hepar normal dan susunan vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan
hipertensi portal, sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi metabolisme
berbeda lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara klinis, tanda dan symptom
tidak berhubungan dengan keganasan penyakit. Tanda-tanda nyata biasanya tidak terlihat
pada awalnya, tapi ikterus dan asites pada akhirnya akan berkembang pada kebanyakan
pasien. Tanda-tanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris, ginekomasti, dan
splenomegali.
Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat hipertensi
portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal, (3) encephalopathy
hepatic atau koma. + 10% pasien juga mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis
bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami carcinoma hepatoseluler pada akhirnya.

10
Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis hepatoseluler atau
regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi portal dan dihubungkan dengan
komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk
didalamnya schistosomiasis, fibrosis portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic
congenital. Obstruksi pembuluh darah hepar atau vena cava inferior (Budd-Chiari syndrome)
juga dapat menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena
(hypercoaguable state), tumor thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi pembuluh
darah hepar sublobular.

2.4.1 Pertimbangan preoperatif


Efek merugikan dari anestesi dan pembedahan terhadap aliran darah hepar sudah
didiskusikan pada bagian yang lain. Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami
penurunan fungsi hepar karena terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan
anestesi pada apsien tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan
mengontrol atau mencegah komplikasinya.

a. Manifestasi Gastrointestinal
Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portal-vena
sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat kolateral utama :
gastroesofageal, hemorrhoidal, periumbilical, dan retroperitoneal. Hipertensi portalsering
muncul sebelum operasi seperti dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding
abdominal (caput medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari kehilangan
banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada daerah intestinal)
dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic. Endoskopi merupakan alat diagnosis
dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap tempat perdarahan sangat penting, karena pasien
ini akan mengalami perdarahan dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi
berbeda.
Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang harus
digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk didalamnya vasopressin
(0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon tamponade (dengan tube Sengstaken
Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari
varises. Vasopressin, somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah.

11
Vasopressin dalam dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau
miokardial iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi
kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan . Endoskopik sclerosis atau
ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan perdarahan + 90% dari seluruh
perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS) dapat
menurunkan hipertensi portal dan perdarahan (tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan
encephalopathy). Pada saat perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat
harus dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan
tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium.
Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko rendah,
sedangkan pembedahan ablasi, transreseksi esophageal, dan devaskularisasi gaster
direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non selektif (portacaval dan proksimal
splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir
ini menekan varises tapi tidak merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil
kemungkinan untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.

b. Manifestasi Hematologi
Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan muncul.
Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya kehilangan darah,
meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum tulang, dan defisiensi nutrisi.
Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal) memiliki peran yang sangat besar dalam
trombositopenia dan leucopenia. Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar.
Fibrinolisis yang bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat
berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfuse darah sebelum
operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen. Protein yang tidak
bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyaka dapat mempercepat encephalopathy. Tapi
bagaimanapun, koagulopati harus disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor
pembekuan harus digantikan dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan
kriopresipitat. Transfusi platelet harus dipertimbangkan segera dan utama untuk pembedahan
dengan hitungan < 100.000/uL.

12
c. Manifestasi sirkulasi
Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik. Cardiac
output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan muncul. Shunting
arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan pulmonal. Shunting arteriovenous
bersama dengan penurunan dalam viskositas darah karena anemia setidaknya berpengaruh
50% untuk cardiac output. Pasien dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat
meningkatkan kegagalan jantung kongestif dengan mudah.

d. Manifestasi respiratory
Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul ventilasi
mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis respirasi. Umumnya
terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40% dari cardiac output). Shunting
disebabkan oleh komunikasiarteriovenous pulmonary (absolute) dan kesalahan
ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma dari asites yang menurunkan volume paru-paru,
khususnya kapasitas residu fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah
yang sangat besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang
meningkatkan kerja pernapasan.
Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna sebelum operasi
karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam gejala klinisnya.
Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites massif dan pertimbangan
pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perpindahan cairan yang
terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps sirkulasi.

e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan


Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai asites,
edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting yang berperan
serta dalam timbulnya asites, yaitu :

1. Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi cairan


melewati usus
2. Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan
3. Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar m,enjadi
distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar

13
4. Retensi natrium renal (dan seringkali air).

Kedua teori “underfilling” dan “overflow” telah diajukan untuk menjelaskan retensi
natrium. Teori “underfilling” menyatakan bahwa meskipun total cairan ekstraseluleryang
dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan asites meningkat, volume plasma
efektif malah menurun; retensi natrium kurang penting untuk hipovolemia relative dan
hiperaldosteronisme sekunder. Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma
efekstif dapat dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori
“overflow” beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium oleh ginjal
asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang semakin meluas.
Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi katekolamin, yang dianggap
disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan untuk peningkatan rennin dan
angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas pada sirkulasi atrial natriuretic peptide.
Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah
mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesarreabsorbsi natrium
di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air bebas. Hiponatremia dan
hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah pengenceran, sedangkan hipokalemi
disebabkan oleh kehilangan kalium melalui urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme
sekunder atau diuresis). Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat
terlihat dengan berkembangnya sindroma hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis yang biasanya
diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis atau pembedahan mayor.
Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan retensi natrium yang banyak, azotemia,
intractable ascites, dan mortality rate yang tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering
tidak berhasil kecuali jika dilakukan transplantasi hepar.
Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit hepar
tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak dapat terlalu
mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan harus dihindari, dan
deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn infuse koloid. Diuresis dari asites dan
cairan edema harus diselesaikan setelah beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan
setelah pemberian tindakan seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi
spironolakton dianggap tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk
mencegah pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita

14
asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis, sementara
mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih dari 0,5 kg/d.
Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan, sedangkan deficit kalium
harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk
mencegah kerusakan renal, tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti.

f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat


Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan tanda-
tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar yang abnormal)
dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggi-simetris, aktivitas gelombang
yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami peningkatan tekanan intracranial.
Encephalopaty metabolic berhubungan dengan jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul
maupun derajat shunting dari daerah portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi
sistemik. Akumulasi substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme
secara normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia,
methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol.
Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic, menurunnya
level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan oleh sawar darah otak,
dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid dalam otak. Faktor-faktor yang
diketahui mempercepat encephalopathy hepatic termasuk perdarahan gastrointestinal,
meningkatkan pemasukan diet protein, alkalosis hipokalemi (dari muntah-muntah atau
diuresis), infeksi dan memburuknya fungsi hepar.
Encephalopaty seharusnya ditangani secara agresif preoperative. Hal-hal yang bias
memicunya harus dikoreksi. Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500 mg 96h berguna
untuk menurunkan penyerapan ammonia intestinal. Laktulosa berperan sebagai osmotic
laxative dan seperti neomycin mungkin menghalangi produksi ammonia dan bakteri intestinal.
Pencegahan sedative pada pasien dengan encephalopathy dianjurkan.

2.4.2 Pertimbangan intraoperatif


Pasien dengan postnecrotic sirosis karena hepatitis B atau C yang menjadi pembawa
virus mungkin mudah berjangkit. Perhatian ekstra ditunjukkan dengan menghindarkan kontak
dengan darah dan cairan tubuh dari pasien.

15
a. Respon Obat
Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis.
Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein, metabolisme
obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang menunjukkan peningkatan
kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara beberapa dengan sejarah alkoholik akan
terlihat menunjukkan toleransi. Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion
tinggi, misalnya neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan
oleh meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi,
membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis yang lebih
kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent bergantung pada eliminasi
di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium) juga diperlukan. Ini merupakan waktu
penanganan yang lama untuk succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level
pseudocholinesterase, tapi jarang bermanifestasi klinis.

b. Teknik Anestesi
Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat
bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan
pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek yang merugikan
fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bias dilakukan pada pasien tanpa trombositopenia
atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk menghindari
hipotensi. Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-
nitrous oxide adalah yang paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya.
Penggunaan halotan biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar
memburuk post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang
dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama.Cisatracurium bisa jadi agen yang
memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang unik. Mual
sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi abdomen yang diakibatkan
oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik.
Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering dengan tekanan cricoid sangat sering
dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan perdarahan aktif sangat
disarankan, intubasi sadar atau induksi yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan
ketamine (ethiomidate) dan succyniocholine.

16
c. Monitoring
Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting bagi
pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada pasien yang
diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard, vasokonstriksi koroner.
Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan pengukuran gas darah arteri untuk
mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang
besar tidak dapat mentoleransi penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan
positif akhir ekspirasi (PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan
hipoksemia yang mungkin akan terjadi.
Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap kebanyakan
pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai akibat dari perdarahan yang
sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental yang sering dan manipulasi
pembedahan. Status volume intravascular seringkali sulit ditentukan tanpa ada monitoring,
juga pada vena sentral atau tekanan arteri pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin
kritis untuk mencegah sindrom hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat,
mannitol atau dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh
urinary output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.

d. Pemberian cairan
Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun pada
intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output lebih
diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk menghindari
berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan onkotik (lihat bab 28).
Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan hebat dan perpindahan
cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur abdominal. Venous engorgement dari
hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang
menyebabkan perdarahan hebat selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur
pembedahan yang berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar.
Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi yang dalam dan
gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan asites. Karena sebagian besar
pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum operasi, transfusi merupakan hal yang
sering dilakukan. Transfusi penting, bisa memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat,
merupakan antikoagulan dalam persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme

17
dalam hepar dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena
mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium mengakibatkan
hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk menghilangkan efek negative
inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion darah.

2.5 Penyakit Hepatobilier


Penyakit hepatobilier ditandai dengan kolestasis, terhambatnya bahkan terhentinya
aliran empedu. Penyebab utama terjadinya kolestasis adalah obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik (ikterus obstruktif). Obstruksi bilier ini bisa disebabkan oleh batu empedu,
striktur, atau tumor pada duktus hepatis kommunis. Pasien yang mengalami obstruksi total
atau hampir total akan mengalami gejala ikterus yang progresif, warna urin yang pekat,
kotoran berwarna dempul, dan pruritus.
Ikterus obstruktif harus dibedakan dari kolestasis intrahepatik. Kolestasis intrahepatik
disebabkan oleh obstruksi aliran empedu di tingkat sel hepar (hepatosit) dan kanalikulus,
dimana penyebab utamanya adalah infeksi virus hepatitis atau reaksi obat idiosinkratik (paling
sering disebabkan oleh konsumsi fenotiazin dan pil KB). Penanganan obstruksi ekstrahepatik
biasanya dengan pembedahan, sedangkan untuk obstruksi intrahepatik diterapi dengan
medikamentosa. Meskipun pruritus (akibat akumulasi garam-garam empedu) merupakan
gambaran klinis yang paling utama pada kolsestasis intrahepatik, diagnosis yang tepat
mungkin tidak bisa didasarkan hanya pada gambaran klinis dan hasil laboratorium. Pada
kedua tipe obstruksi di atas terjaddi hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berlebihan (> 50%)
dan peningkatan alkali fosfatase serum yang moderat (lihat bab 34). Pemeriksaan imaging
(ultrasound, kolangiogram, radioisotop atau CT-scan) diperlukan untuk mengkonfirmasi
adanya obstruksi saluran empedu ekstrahepatik.
Penyakit batu empedu (kolelitiasis) yang masih berada di kandung empedu biasanya
tidak bergejala dan biasanya diderita 10-20% dari populasi umum. Biasanya diagnosis
ditegakkan dari pemeriksaan USG abdomen. Gejala baru muncul apabila terjadi kolik saluran
empedu akibat obstruksi pada duktus sistikus. Trias kolesistitis adalah nyeri yang tiba-tiba
pada kuadran kanan atas, demam, dan lekositosis. Diagnosis dapat dipastikan dengan
pemeriksaan scan radioisotop, dimana pada pemeriksaan ini, kandung empedu tidak dapat
terlihat. Pasase batu empedu di duktus kommunis juga dapat menyebabkan ikterus yang
bersifat sementara. Menggigil yang disertai dengan demam tinggi bisa mengindikasikan
adanya infeksi bakteri ke sistem bililaris (kolangitis). Bisa juga terjadi obstruksi duktus

18
pankreatikus akibat batu empedu, namun jarang. Diperkirakan 75% gejala kolesistitis akut
sembuh dalam 2-7 hari dengan terapi medis. Sisanya, sekitar 25%, tidak sembuh bahkan
mengalami komplikasi berupa empiema, perforasi, gangren, hydrops, fistel, atau ileus batu
empedu. Lima dari 10% pasien yang menderita serangan akut mengalami kolesistitis
akalkulus yang mungkin terjadi akibat trauma yang serius, luka bakar, persalinan yang
memanjang, operasi besar, atau sakit kritis. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan USG atau
CT scan abdomen.

2.5.1 Pertimbangan Preoperatif


Biasanya indikasi pasien dioperasi adalah untuk menjalani kolesistektomi, untuk
membebaskan obstruksi saluran empedu ekstrahepatik, atau keduanya. Prosedur operasi yang
lazim dilakukan adalah kolesistektomi melalui pendekatan laparoskopi. Kebanyakan pasien
dengan kolesistitis akut harus distabilkan dulu sebelum menjalani kolesistektomi. Terapi
medis yang dapat diberikan adalah suction nasogastric, pemberian cairan infus, antibiotik, dan
analgetik opiat. Pelaksanaan operasi dapat ditunda pada pasien yang sembuh dari serangan
akut, namun pada mereka yang mengalami komplikasi, kolesistektomi darurat mungkin
dibutuhkan. Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada pasien dengan sakit kritis, dimana
mereka mempunyai risiko tinggi mengalami gangren dan perforasi; sehingga diindikasikan
untuk menjalani operasi darurat.
Pasien yang mengalami obstruksi saluran empedu ekstrahepatik apapun penyebabnya
biasanya menderita defisiensi vitamin K. Sebaiknya diberikan vitamin K parenteral yang
mungkin bekerja optimal setelah 24 jam. Bila sebelum operasi nilai PT belum optimal (tidak
dalam batas normal), maka mungkin harus diberikan FFP. Kadar bilirubin yang tinggi
mungkin menyebabkan peningkatan risiko gagal ginjal postoperatif; sehingga dianjurkan
untuk hidrasi preoperatif dalam jumlah yang banyak. Pada obstruksi hepatik yang sudah
berjalan lama (> 1 tahun), mungkin sudah terjadi sirosis hepar dan hipertensi portal.

2.5.2 Pertimbangan Intraoperatif


Kolesistektomi laparoskopi mempercepat masa penyembuhan pasien, namun insuflasi
CO2 ke abdomen selama operasi tersebut dapat mempersulit penanganan anestesi (lihat
diskusi kasus bab 23). Mengingat semua golongan opiat dapat menyebabkan spasme sfingter
Oddi dalam berbagai derajat, maka penggunaannya masih diperdebatkan bila akan dilakukan
pemeriksaan kolangiogram intraoperatif. Spasme sfingter Oddi yang disebabkan oleh

19
penggunaan opiat secara teoritis dapat mengakibatkan hasil positif palsu pada pemeriksaan
kolangiogram intraoperatif sehingga eksplorasi duktus biliaris tidak dilakukan. Meskipun
sebelumnya hal ini sangat diyakini, namun beberapa dokter memilih tetap menggunakan opiat
setelah kolangiogram selesai. Jika diduga terjadi spasme akibat penggunaan opiat, maka dapat
diberikan nalokson atau glukagon.
Pada pasien dengan obstruksi saluran empedu, pemanjangan durasi obat-obat yang
tergantung pada ekskresi empedu harus diantisipasi. Plihlah obat-obat yang dieliminasi di
ginjal. Produksi urin harus terus dipantau dengan kateter. Diuresis intraoperatif mungkin
diperlukan.
Pasien yang menderita kolesistitis akalkulus atau kolangitis berat termasuk dalam
pasien kritis yang memiliki angka mortalitas perioperatif yang tinggi. Pemantauan
hemodinamik yang invasif dapat memperbaiki perawatan anestesi yang diberikan.

2.6 Operasi Hepar


Prosedur operasi hepar yang lazim dilakukan adalah reparasi laserasi, drainase abses,
dan reseksi tumor (primer atau metastase). Pada kebanyakan pasien, hepar bisa diangkat
sampai 80-85%. Beberapa sentra bisa melakukan transplantasi hepar. Semua prosedur di atas
dapat menimbulkan masalah bagi anestesi sehubungan dengan kehilangan darah intraoperatif
dalam jumlah yang banyak. Sirosis dapat menimbulkan komplikasi yang besar pada
penanganan anestesi dan meningkatkan mortalitas perioperatif. Pemasangan jalur intravena
dengan kanul besar dalam jumlah yang banyak dan penghangat darah mungkin dibutuhkan;
semua peralatan yang dapat memudahkan pemberian transfusi darah masif harus disiapkan.
Dapat dianjurkan pemasangan jalur arteri dan CVP (central venous pressure).
Beberapa dokter menghindari hipotensi anestesia karena berpotensi menyebabkan efek yang
serius (membahayakan) jaringan hepar yang tersisa, sementara yang lainnya berpikir bahwa
hipotensi anestesia tersebut dapat membantu mencegah kehilangan banyak darah bila
dipantau dengan seksama. Pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam ε-aminokaproik,
atau asam traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperatif. Hipoglikemia
dapat terjadi setelah reseksi hepar yang luas. Drainase abses atau kista dapat menyebabkan
komplikasi berupa kontaminasi peritoneum. Pada kasus hydatid cyst (kista hidatid), spillage
dapat menyebabkan anafilaksis akibat antigen echinococcus.
Komplikasi postoperatif dapat berupa perdarahan, sepsis, dan disfungsi hepar.
Penggunaan ventilator mungkin diperlukan pada pasien yang menjalani reseksi hepar luas.

20
BAB III
KESIMPULAN

Pasien dengan penyakit hati, yang mengalami gangguan sintesis, metabolisme,


perubahan hemodinamik dan koagulopati memiliki risiko tinggi mengalami morbiditas dan
mortalitas akibat stres tindakan bedah dan anestesi. Tipe operasi dan luasnya disfungsi hati
menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien dengan gangguan fungsi hati. Pasien
dengan operasi abdomen terbuka dan bersifat emergensi memiliki risiko mortalitas yang
tinggi. Penilaian preoperatif dan persiapan yang optimal pada pasien penyakit hati dapat
menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi. Penanganan faktor penyulit
(malnutrisi, koagulopati, asites, ensefalopati, hipoalbuminemia, perdarahan varies) dan
pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko
komplikasi atau kematian pascaoperasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Garrison RN, Cryer HM, Howard DA, Polk HC. Clarification of risk factors for
abdominal operations in patients with hepatic cirrhosis. Ann Surg 1984;199(6): 648-
54.
2. Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Loist
updated: 2006. Acsessect February 2007. Available from http://www.emedicine.com.
3. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Liver Disease,. Clinical
Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006.
4. Ziser A, Plevak DJ. Morbidity and mortality in cirrhotic patients undergoing
anesthesia and surgery. Current Opinion in Anaesthesiology 2001;14:707-11.
5. Pannen BHJ. Hepatic blood flow during anaesthesia and surgery. Europian Society of
Anaesthesiologist 2000. Available from http:/ www.euroanesthesia.org/rc-
vienna/04rcl.HTM.
6. Friedman L.S. The risk of surgery in patients with liver disease. Hepatology 1999;
29(6):1617-23.
7. Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad Med
1999;106(4):187-95.
8. Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:264-75.
9. Yeh CN, Chen MF, Jan YY. Laparoscopic cholecystectomy in 226 cirrhotic patients.
Experience of a single center in Taiwan. Surg Endosc 2002;16: 1583-7.
10. Suman A., Carey W. Assessing the risk of surgery in patients with liver disease.
Cleveland Clinic J of Medicine 2006;73(4):398404.
11. Zacks SI, Sandler RS, Brown RS. Liver disease markedly increases the risk of
perioperative death in cholecystectomy patients (abstract). Hepatology
1997;26(4):179A.
12. Dixon JM, Armstrong CP, Duffy SW, Davies GC. Factors affecting morbidity and
mortality after surgery for obstructive jaundice: a review of 373 patients. Gut 1983:
24:845-52.
13. Runyon BA. Surgical procedures are well tolerated by patients with asymptomatic
chronic hepatitis. J Clin Gastroenterol 1986;8:542-4.

22
14. Patel T. Surgery in he patient with liver disease. Mayo Clin Prac 1999;74:593-9.
15. Wiklund RA. Preoperative preparation of patients with advanced liver disease. Crit
Care Med 2004;32(4,Suppl):S106-S115.
16. Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:264-75.
17. O’Grady JG. Acute liver failure. Postgrad Med J 2005;8:148-54.
18. Northup PG, Wanamaker RC, Lee VD, Adams RB, Berg CL. Ann Surgery 2005;
242:244-51.
19. Lu W, Wai CT. Surgery in patients with advanced liver cirrhosis:a Pandora’s box.
Singapore Med J 2006;47(2):152-5.
20. Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad Med
1999;106 (4):187-95
21. Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease. Am
J Gastroeterol 2005;100:2116-27
22. Heidelbaugh JL, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part II.
Complication and treatment. Am Fam Physician 2006;74(5):767-76.
23. Rice HE, O’Keefe GE, Helton WS, Johansen K. Morbid prognostic features in
patients with chronic liver failure undergoing nonhepatic surgery. Arch Surg
1997;132(8):880-4.
24. Clarke P, Bellamy MC. Anaesthesia for patients with liver disease. Bulletin 4 The
Royal College of Anaesthetists 2000;15861.

23

Anda mungkin juga menyukai