Dosen pebimbing:
Teguh Setiabudi,M.H
Oleh:
Eko Suhartono (08650012)
M Fikri Muhtadi Hisyam (08650121)
Dian Ayu Kurniawati (09650002)
Ludvi Andini (09650184)
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang
lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu. Sedangkan istilah
para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah “titah (khitab) syari’ yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.
Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran-
ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan menjalani kehidupan
akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari
perbuatan-perbuatan baik didunia ini. Sementara ketentuan-ketentuan hukum yang diambil
dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala tersebut. Demikian, menaati
ketentuan-ketentuannya itu, disamping akan membawa ketentraman, kenyamanan serta
kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini, juga akan membawa pada kebahagiaan dalam
kehidupan akhirat kelak.
II. Rumusan Masalah
Makalah ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian, macam-macam, relevansi dan contoh dari Taklifi?
2. Bagaimana pengertian, macam-macam, relevansi dan contoh dari Wadh’i?
III. Tujuan
Mengetahui pembagian hukum islam atau hukum syar’i, mengetahui pengertian dan
macam2 dari taklifi dan wadh’i.
BAB II
PEMBAHASAN
Ketentuan syar’i terhadap para mukallaf itu ada tiga bentuk yaitu tuntutan, pilihan dan
wadh’i. Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam
bentuk pilihan disebut takhyiri, sedangkan yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum
wadh’i.
Ketentuan syar’i yang dikemukakan dalam bentuk tuntutan kemudian terbagi dua, yaitu
tuntutan untuk dikerjakan dan tuntutan untuk ditinggalkan. Masing-masing dari dua tuntutan ini
ada yang mengikat dan ada pula yang tidak mengikat. Tuntutan untuk dikerjakan dengan
mengikat menimbulakan hukum wajib, sedangkan yang tidak meningkat menimbulkan hukum
mandub. Adapun tuntutan untuk ditinggalakan dengan mengikat dengan menimbulkan hukum
haram, sedangkan yang tidak mengikat menimbulkan hukum makruh. Sementara ketentuan
syar’i yang dinyatakan dalam bentuk pilihan/takhyiri menimbulkan hukum mubah.
Hukum wajib, mandub, haram dan makruh tergolong hukum taklifi, sedangkan mubah
menurut sebagian ulama disebut hukum takhyiri. Walaupun umumnya para ulama ushul
menggolongkan mubah pada kelompok hukum taklifi, akan tetapi, karena pada mubah ini tidak
ada unsur tuntutan, maka dalam pembahasan ini akan dipakai istilah hurum takhsyiri. Sedangkan
hukum wadh’i adalah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan mukallaf yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan taklifinya yang lain, dan secara keseluruhan hukum wadh’i ada tiga yaitu
sebab, mani’ dan syarath.
Keempat macam hukum wajib, mandub, haram dan makruh disebut sebagai hukum
taklifi karena syar’i menuntut para mukallaf untuk mentaatinya. Sedangkan mubah disebut
hukum takhyiri karena syar’i member peluang peluang para mukallaf untuk melakukannya.
Sementara sebab, syarat, mani’ disebut hukum wadhi’ karena ketiganya menjadi tanda penentu
ada atau tidak adanya, serta sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan taklif.
Para ulama ushul membagi hukum syar’i/ hukum islam kepada dua bagian, yaitu:
A. Hukum Taklifi
Yang dimaksud huk taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung piilihan antara yang
dikerjakan dan ditinggalkan.
Hukum taklifi sebagaimana telah diuraikan bahwa terbagi menjadi emapat yaitu, :
1. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi
pahala jika mengerjakannya dan di beri siksa (‘iqab) apabila meninggalkannnya.
Misalnya, mengerjakan beberapa rukun islam yang kelima.
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
a. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat
dibagi dua:
Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannnya misalnya
membaca fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang member piihan
tiga laternatif, member makan 10 orang miskin atau member pakaian 10 orang
miskin atau memerdekakan budak.
b. Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu
dtentukan waktunya, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan dan adakalanya
tidak ditetukan waktunnya, seperti membayar kifarat sumpah bagi orang yang
melanggar sumpah.
Wajib yang ditentukan waktuny terbagi kepada dua :
Wajib mudhayyaa, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan kewajiban itu
sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan untuk itu. Misalnya, bulan
Ramadhan untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan
seluruh hari bulan Ramadhan.
Wajib muwassa’, waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan
untuk menjalankan kewajiban tersebut. Mislnya, shalat zhuhur. Waktu yang
tersedia untuk melaksankan shalat tersebut jauh lebih lapang dibandingkan
dengan waktu yang terpakai untuk menunaikan shalat itu. Hal ini memberikan
kemungkinan kepada mukalaf untuk leluasa menunaikan shalatnya disembarang
waktu dalam batas waktu yang ditentukan diawal waktu dan dipertengahan atau
juga dipenghujungnnya.
c. Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua
bagian:
Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya,
mengerjakan shalat lima waktu, pusa ramdhan, dan lain sebagainya. Wajib ini
disebut juga fardhu ‘ain.
Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota
masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakanny. Apabila kewajiban itu telah
ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang
lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua
anggota masyarakat tersebut. Misalnnya mendirikan tempat peribadatan,
mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan shalat jenasah dan lain
sebagainya.
d. Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua:
Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya.
Misalnya, umlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat shalat, dan lan-lain.
Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas
bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta dijalan Allah, berjihad, tolong
menolong dan lain sebagainya.
2. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang
melakukkannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang mennggalkannya diberi pahala.
Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan dan
lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
3. Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendpatkan pahala, tetapi
bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasannya, mandub ini
disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada:
a. Sunat’ain, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf
untuk dikerjakan, misalnya shalat sunnah rawatib.
b. Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnnya mengucapkan salam, mendo’akan
orang bersin, dan lain-lain.
4. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang
yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang tidak meninggalakannya tidak
mendapat dosa (‘iqab). Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau
yang tidak sedap dan lain sebagainnya.
Pada umumnya, ulama membag makruh pada dua bagian yaitu:
a. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada
mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut diatas.
b. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya
itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala dan memakan
daging ular(menurut mazhab hanafiyah dan malikiyah)
5. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena
perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalakannya. Secara umum, mubah ini
dinamakan juga halal atau jaiz.
Mubah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang wanita
dengan sindiran-sindiran yang baik (QS. Al-Baqarah:225).
b. Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada
perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perntah itu hanya dimaksudkan
berdasarkan qainah-menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan untuk wajib.
Misalnya, perntah berburu ketika telah selesai melaksanaka ibadah haji. (QS Al-
Maidah:2)
c. Perbuata yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syar’i tentang kebolehan atau
tidak kebolehannnya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyah (bebas
menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat menurut
asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk itu, ulama
ushul fiqih membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah mubah”.
B. Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga
sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut? Oleh karenanya,
ulama membagi hukum Wadh’i ini kepada: sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama
memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah.
1. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh
syar’i sebagai alas an bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidaka adanya
hukum.
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya
hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan
tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
hukum. Misalnya, wajib zakat perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah
berjalan satu tahun bila-syarat berlakunya satu tahun itu-belum terpenuhi, zakat itu
belum wajib. Namun, dengan adanya syarat-berjalan, satu tahun-itu saja belumlah
tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan
tersebut senisab.
3. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala seuatu yang dengan adanya dapat
meniadakan hukum atau dapat membatalakan sebab hukum. Dari definisi d ats dapat
diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
a. Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama natara pewaris dengan yang
akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun
sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis
yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat, yaitu suci dari
najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya-shalat. Hal ini disebut mani’
hukum.
b. Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab
wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang
jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat, ia tidak wajib membayar zakat.
Namun,keadaannya memiliki banyak hutang tersebut menjadikan penghalang
sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian mani’ dalam contoh ini
adalah mengahalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut man’ zakat.
b. Pengertian Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak
dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan
azimah. Dengan kata lain, rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok
(azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dian mendapat
kemurkaan dari Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”
Pembolehan meninggalkan yang wajib Karena uzur, dimana jika melaksankan
kewajiban itu akan menimbulkn kesulitan bagi si mukalaf. Misalnya orang
yang sakit atau sedang dalam berpergian dibolehkan tidak berpuasa di bula
ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah :184 yaitu
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebnyak hari yang
ditinggalakan itu pada hari-hari yang lain”
Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan
masyarakat dalam penghidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi
jual-beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah
dibayar terlebih dahulu. Pada prinsipnya, jual-beli seperti itu tidak memenuhi
prsyaratan umum untuk sahnya suatu transaksi jual-beli yaitu barang yang kan
diperjual-belikan itu ada disaat transaksi dilakukan, tetapi karena hal itu
berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka perikatan seperti itu
disahkan secara rukhshah. Ini sesuai dengan hadist nabi:
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari urain sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i dari dua
hal:
a. Dilihat dari sudut pengertiannya, Hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-
tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih
antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan
atau member pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah
dan batal.
b. Dilihat dari segi kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam
kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkanya. Sedangkan hukum
wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang
tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Koto,Alaiddin Prof. Dr. H., M.A. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqih (Sebuah
Pengantar). Jakarta: PT Raha Grafindo Persada.
Naim, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Sebuah Pengantar).
Yogyakarta: Penerbit TERAS.
Djatnika,Rachmat Prof. Dr. H.,dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia
Islam. Jakarta: DEPAG.
Rosyada, Dede Drs.,M.A.1993.Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Darasah
Islamiyah III).Jakarta : Rajawali Pers.
Muhammad Al-Khudhari Biek, Syaikh.2007.Ushul al-Fiqh.Jakarta: Pustaka
Amani.