Anda di halaman 1dari 21

Konstipasi

Waktu

Pencapaian kompetensi
Sesi di dalam kelas : 2 X 50 menit (classroom session)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing : 3 X 50 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi: 4 minggu (facilitation and assessment)

Tujuan umum

Setelah mengikuti modul ini peserta didik dipersiapkan untuk mempunyai keterampilan di dalam
mengelola konstipasi melalui pembelajaran pengalaman klinis, dengan didahului serangkaian
kegiatan berupa pre-asessment, diskusi, role play, dan berbagai penelusuran sumber pengetahuan.

Tujuan khusus

Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
1. Mendiagnosis kosntipasi, diagnosis banding, dan komplikasinya
2. Menatalaksana pasien dengan konstipasi beserta komplikasinya
3. Memberikan penyuluhan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya

Strategi pembelajaran

Tujuan 1. Mendiagnosis konstipasi, diagnosis banding, dan komplikasinya

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Small group discussio ( journal reading, studi kasus, kasus sulit, kasus kematian, dll ).
Peer assisted learning (PAL)
Computer-assisted
Learning Bedside teaching.
Praktek mandiri dengan pasien rawat jalan dan rawat inap .

Must to know key points:


Etiologi, epidemiologi, patogenesis, diagnosis,
Diagnosis banding : diagnosis klinis konstipasi dan pemeriksaan penunjang.
Komplikasi : diagnosis klinis dan pemeriksaan penunjang.

Tujuan 2. Tata laksana pasien dengan konstipasi beserta komplikasinya

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Small group discussion ( journal reading, studi kasus, kasus sulit, kasus kematian,
dll ). Peer assisted learning (PAL)
Video dan computer-assisted
Learning Bedside teaching.
Praktek mandiri dengan pasien rawat jalan dan rawat inap .

Must to know key points :


Prosedur perawatan (tata laksana nutrisi )
Terapi medikamentosa ( laksansia )
Tata laksana kegawatan bedah : Hirschsprung
Tata laksana non bedah (toilet training)

Tujuan 3: Memberikan penyuluhan upaya pencegahan

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Video dan computer-assisted Learning
Studi Kasus.
Role play
Bedside teaching.
Praktek mandiri dengan pasien rawat jalan dan rawat inap .

Must to know key points:


Communication skill
Perjalanan alamiah terjadinya konstipasi

Persiapan Sesi

Materi presentasi dalam program power point:


Konstipasi
Slide
1 : Pendahuluan
2 : Epidemiologi
3 : Patogenesis
4 : Manifestasi klinis
5: Pemeriksaan penunjang
6 : Komplikasi
7 : Pengobatan
8 : Prognosis
9 : Pencegahan
10: Kesimpulan
Kasus : konstipasi
Sarana dan Alat Bantu Latih :
o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): poliklinik, ruang rawat, ruang tindakan, ruang
penunjang diagnostik.

Kompetensi

Mengenal dan melakukan tata laksana konstipasi dan komplikasinya.

I. Latar belakang
Pola defekasi normal adalah dianggap sebagai tanda kesehatan yang baik. Sayangnya,
tidak ada definisi yang seragam konstipasi anak diakui. Pada awalnya penyebab konstipasi
mungkin sederhana saja, misalnya kurangnya konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara
memadai, perjalanan kliniknya menjadi kronis, bisa membuat frustasi anak, orang tua, dan dokter
yang merawatnya. Beberapa kasus konstipasi akut memerlukan diagnosis etiologi segera karena
memerlukan penanganan yang adekuat atau pada kasus konstipasi kronis yang memerlukan
kesabaran dan penanganan yang cermat.1
Konstipasi terjadi sebagai akibat kegagalan kolon mengeluarkan isi lumen usus atau
adanya peningkatan tahanan luar oleh karena disfungsi pelvis dan anorektal yang menyebabkan
kesulitan defekasi. Manifestasi klinis yang tampak dapat bersifat minimal, seringkali bersifat
sementara tetapi dapat berulang. Keadaan ini dapat terjadi pada segala usia, dapat sembuh sendiri
tetapi dapat juga menetap sampai dewasa. Konstipasi biasanya jarang terjadi pada bulan-bulan
pertama kehidupan dan pada bayi yang minum air susu ibu. Tetapi bulan-bulan selanjutnya dan
pada usia mulai berjalan, gejala-gejala konstipasi mulai sering tampak. Diperkirakan 10-25% anak
yang dirujuk ke seorang ahli gastroenterologi disebabkan oleh karena gangguan defekasi, dan 1
dari 5 anak yang datang disebabkan karena konstipasi. Pada anak-anak, konstipasi yang tidak
teratasi dapat menyebabkan berbagai hal yang tidak diinginkan seperti enkopresis, enuresis, nyeri
perut berulang dan prolaps rektum.1-3

II. Definisi
Bagian Gastroenterologi dan Nutrisi Amerika Utara (2006) mendefinisikan konstipasi
sebagai "suatu keterlambatan atau kesulitan dalam buang air besar, selama 2 minggu atau lebih,
dan cukup untuk menyebabkan penderitaan yang signifikan untuk pasien." Konsensus Paris ?
pada konstipasi anak mendefinisikan konstipasi sebagai "selama 8 minggu dengan setidaknya 2
dari gejala berikut: frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali per minggu, frekuensi
inkontinensia fekal lebih dari sekali per minggu, tinja besar yang menyumbat toilet, teraba massa
tinja pada dubur, perubahan perilaku, atau buang air besar menyakitkan". Untuk tujuan klinis
praktis, konstipasi secara umum didefinisikan sebagai jarang buang air besar, buang air besar
menyakitkan, atau keduanya. 3
Agus Firmansyah (2010) berpendapat konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan
evakuasi tinja secara sempurna, dengan berkurangnya frekuensi defekasi daripada biasanya, tinja
yang lebih keras daripada sebelumnya, dan teraba massa skibala dengan atau tidak disertai
enkopresis.1

III. Epidemiologi
Konstipasi terjadi pada semua kelompok usia anak-anak dari bayi sampai dewasa
muda. Biasanya, konstipasi anak berkembang selama 3 tahap masa kanak-kanak: pada bayi selama
menyapih, di balita selama pelatihan toilet, dan pada anak usia sekolah. Kira-kira setengah dari
anak konstipasi terjadi selama tahun pertama kehidupan. Konstipasi pada anak-anak adalah
masalah yang sangat umum dengan melaporkan angka prevalensi antara 1-30%. Konstipasi
merupakan keluhan utama di 3-5% dari semua kunjungan ke klinik rawat jalan pediatrik dan
sebanyak 35% dari semua kunjungan ke bagian gastroenterologi pediatrik.3
IV. Etiologi
Etiologi sering sulit ditentukan, umumnya disebabkan diet tinggi lemak, rendah serat,
kurang minum, kurang gerak, masalah emosi atau berada di tempat yang tidak biasa. Juga distress
(sekolah atau rumah), anak terlalu sibuk, masalah fisik (kelainan saluran cerna/rektum/anus,
kelainan neurologi seperti palsi serebral, kelainan endokrin seperti hipotiroid, obat-obat seperti zat
besi, dan kodein). Masalah timbul karena feses yang keras mengiritasi dan menyebabkan fisura
anus sehingga anak nyeri dan konstipasi bertambah (merupakan lingkaran setan), sehingga
masalah ini harus segera diatasi dan dicari kausa untuk ditangani. 1,3 Subijanto dkk mengatakan
95% etiologi adalah konstipasi fungsional, sedangkan 5% organik (kelainan anatomi, metabolik,
neuropati, obat, dan penyebab lainnya). 4
Kausa tersering: fungsional, fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet, dan obat-obatan
Kecurigaan anak menderita kelainan fungsional jika:1
- Bayi defekasi pertama dalam waktu 48 jam setelah lahir
- Feses sangat keras dan besar
- Enkopresis (fecal soiling)
- Feses berdarah, fisura perianal
- Nyeri atau rasa tidak nyaman saat bab, menahan feses tidak keluar
- Nafsu makan menurun
- Diet rendah serat/cairan, takut ke toilet
- Ditemukan distensi perut ringan, teraba massa feses di LLQ abdomen
- Posisi anus normal, tonus sfingkter normal
- Rektum distensi, penuh dengan feses
- Terdapat refleks kremaster
Obat-obatan penyebab konstipasi1,2
- Anestesi, analgetik narkotik, opiat
- Antikolinergik dan simpatomimetik
- Antikonvulsan dan diet ketogenik
- Antimotilitas
- Antipsikotik, antidepresan
- Penghambat kanal kalsium, misalnya verapamil
- Mineral (Aluminium, Kalsium, Besi, Timbal, Merkuri, Arsen, Bismuth)
- Antiinflamasi nonsteroid
Tabel 1. Klasifikasi etiologi menurut usia1
Usia neonatus/bayi Usia Toddler Usia sekolah: Usia adolesen Segala usia
(2-4 tahun)

Hirschsprung disease Fissura ani/retensi Retensi tinja Irritable Bowel Syndrome Efek samping obat,
Meconeum plug tinja Fasilitas toilet Jejas medulla spinalis perubahan diet, pasca
syndrome Menolak buang air terbatas (trauma/kecelakaan) operasi
Alergi susu sapi besar Preokupasi Diet Riwayat operasi
Retensi tinja Hirschsprung dengan dengan kegiatan Anoreksia anorektum
Perubahan diet segmen pendek lain Kehamilan Retensi tinja dan
Kelainan endokrin, Alergi susu sapi Kemampuan Laxative abuse enkopresis akibat
hipotiroid Kelainan SSP mengenali retensi tinja kronis
Fibrosis kistik Kelainan medula rangsangan Perubahan aktivitas
Pseudo-obstruksi kronis spinalis fisiologis terbatas fisik, dehidrasi,
Penyakit metabolik (meningomielokel, hipotiroid
(Dabetes Insipidus, renal dsb)
tubular asidosis) Tethered cord
Malformasi anorektal
bawaan termasuk anus
imperforata, stenosis ani,
anal band
Chronic idiopathic
intestinal
Pada penelitian Dinesh S.Pashankar dan Vera Leoning-Baucke (2005) disimpulkan bahwa
prevalensi konstipasi pada anak meningkat pada obesitas, yang mungkin dipengaruhi oleh
faktor dietetik, tingkat aktivitas, pengaruh hormonal (masih perlu penelitian lebih lanjut).11
V. Patofisiologi
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut
menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons dengan kontraksi
sfuingkter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan sampai individu mencapai
toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan m.puborektalis mengadakan relaksasi
sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus
bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu meningkatnya tekanan
abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal,
epitel sensorik di derah anus-rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah padat,
cair, gas, atau kombinasi ketiganya.
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja yang diterimanya dari ileum. Makan
atau minum merupakan stimulus terjadnya kontraksi kolon (refleks gastrokolik) yang diperantarai
oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf visera. Kandungan nutrisi tinja cair
dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya
asupan serat sebagai kerangka tinja, kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan
merupakan faktor penyebab konstipasi, Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja
yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran carna lebih cepat bila
mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi usia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu
singgah meningkat dengan bertabahnya usia, dan pada usia dewasa berkisar antara 30-48 jam.
Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan predisposisi
konstipasi, misalnya pada keadaan sakit, pasca bedah, kecelakaan atau gaya hidup bermalas-
malasan. Stress dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi
seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan toilet dan masalah
psikososial dapat menyebabkan konstipasi.
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman
nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orang tua sering memberikathu
adanya riwayat darah dalam tinja, popok, atau toilet. Pengalaman nyeri defekasi ini dipercaya
menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinjayang
berulan akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja
berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsrbsi air dan elektrolit
membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan
besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa nyeri dan kemudian
retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung, tinja keras-nyeri waktu defekasi-
retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorbsi air tinja-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu
defekasi dan seterusnya.1
Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan kolon
desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja
merupakan masalah yang mendorong orangtua membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis
sebagai akibat retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap voume tinja,
yang sebetulnya merupakan panggilan atau rangsangan untuk defekasi. Temuan terbanyak pada
pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi
rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rektum dapat menjadi normal kembali.
Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap abnormal dan hal ini menjelaskan
mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh.
Kontraksi puborektalis paradokasal merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan
manometri anorektum pada anak dengan konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis paradoksal
didefinisikan sebagai kurangnya kontraksi sfingter ani eksteran adan muskulus puborektalis
selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan kontraksi abnormal
sfingter ani eksterna dan m.puborektalis selama latihan defekasi (toilet training) juga mengalami
kesulitan mengevakuasi balon berisi air (model tinja tiruan) dan lebih sering mengalami kegagalan
terapi.
Kebanyakan anak dengan konstipasi tidak memiliki kondisi medis yang mendasari. Anak
dengan konstipasi sering dicap sebagai konstipasi fungsional atau megakolon didapat. Dalam
kebanyakan kasus, konstipasi kanak-kanak terjadi ketika anak mulai merasa nyeri saat buang air
besar. Setelah itu anak mulai untuk menahan tinja dalam upaya untuk menghindari
ketidaknyamanan. Rektum secara bertahap mengakomodasinya, dan dorongan normal untuk
buang air besar secara bertahap menghilang. Pada tahap ini anak mengkaitkan nyeri dengan buang
air besar sehingga akan memperburuk retensi tinja dan akibatnya dinamika buang air besar yang
semakin abnormal karena adanya “kejang” sfingter anal. Distensi rektal kronis (hilangnya
sensitivitas dubur, dan kehilangan dorongan untuk buang air besar) pada akhirnya dapat
menyebabkan inkontinensia fekal (yaitu enkopresis). 1,3

Tabel 2. Frekuensi normal defekasi pada anak:4

Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari


0-3 bulan (ASI) 5-40 2,9
0-3 bulan (formula) 5-28 2,0
6-12 bulan 5-28 1,8
1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0
Sumber: Subijanto4
Konstipasi Fungsional
Terjadinya >95% disebabkan oleh sebab non-organik. Terjadi pada bayi dan anak sebelum usia
sekolah, biasanya berdurasi 2 minggu. Feses keras bentuk seperti batu pipih. Feses yang agak
lembek hanya <2 kali seminggu. Tidak terdapat gangguan struktural, endokrin maupun metabolik.
Kriteria diagnostik menurut Rome III untuk Konstipasi Fungsional adalah:4
1. Dua atau lebih gejala sebagai berikut
- Konstipasi terjadi minimal 25% proses defekasi
- Feses keras disusul lembek (lumpy) terjadi pada 25% proses defekasi
- Perasaan tidak tuntas buang air besar terjadi pada 25% proses defekasi
- Perasaan obstruksi anorektal pada 25% proses defekasi
- Manual manuver di fasilitas kesehatan (misalnya evakuasi digital, support of the pelvic
floor pada kurang lebih 25% proses defekasi
- Frekuensi defekasi < 3 kali/minggu
2. Pengeluaran feses tanpa pencahar
3. Tidak memenuhi kriteria Irritable Bowel Syndrome
Simptom dimulai 6 bulan sebelumnya, dan gejala-gejala komplet pada 3 bulan berikutnya.
Retensi Fekal Fungsional
Merupakan penyebab tersering konstipasi kronis, berhubungan dengan ketakutan dan
penolakan ke toilet. Prevalensi pada usia bayi sampai usia 16 tahun. Terjadi kurang lebih selama
12 minggu atau lebih lama. Keluarnya feses yang berdiameter besar <2 kali seminggu.
Konsekuensinya dari kondisi ini adalah rektum menjadi terdilatasi dan terisi dengan materi fekal.
Defekasi terjadi jika feses yang agak cair tiba di rektum, melawan feses yang terimpaksi dan mulai
menyusup disekitarnya. Feses cair dapat lewat tanpa membuat anak khawatir.
Hirschsprung Disease
Harus dicurigai pada :
a. Semua bayi yang tidak mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama kehidupannya
b. Obstruksi usus pada bayi baru lahir
c. Konstipasi atau distensi abdomen kronis pada tahun pertama kehidupan

Kapan problem ini mulai terjadi?


90% bayi cukup bulan yang normal akan mengeluarkan mekonium pertamanya dalam 24 jam
setelah dilahirkan. Keterlambatan keluarnya mekonium sering terjadi pada bayi yang preterm.
10% pasien dengan Hirschsprung mengeluarkan mekoniumnya dalam 24 jam pertama dan 40-60%
mengeluarkan mekonium pada 48 jam setelah kelahiran.
Diagnosis diambil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, area perianal, tulang belakang, reflex,
ektremitas distal, dan rektal tussae. Konstipasi di awal kehidupan adalah kelainan bawaan yang
cukup serius. Sedangkan konstipasi di satu tahun pertama kehidupan, 40% merupakan konstipasi
fungsional.3,4
Pemeriksaan diagnostik untuk Hirschsprung adalah perbandingan antara:4
a. Kontras enema: sensitivitas 76%, spesifisitas 97%
b. Anorektal manometri : sensitivitas 83%, spesifisitas 93%
c. Suction rektal biopsi : sensitivitas 93%, spesifisitas 100%
VI. Diagnosis
Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan
pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya menderita
konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi
tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok
dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya
memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu defekasi. Semua itu normal dan bukan petanda
adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan,
maka tida ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki
masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum
memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali mengidentifikasi kasus pesudokonstipasi
dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal ini.
Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah konstipasi
berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1-4
minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.
Bila diet anak berubah, mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut, misalalnya
pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah atau sayuran,
kemungkinan penyebabnya adalah faktor diet. Dalam hal ini modifikasi diet lebih ditamakan
daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula pada bayi atau dari formula ke susu full
cream pada anak usia 1 tahun dapat menimbulkan konstipasi pada beberapa bayi/anak.Pada
konstipasi kronis, keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis biasanya berlangsung
fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena berpotensi
menimbulkan komplikasi yang serius.
Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan timbul. Bila
pada anamnesis didapat bahwa gejala timbul sejak lahir, kemungkinan penyebab anatomis seperti
Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala timbul pada saat usia latihan defekasi lebih dari
2 tahun kemungkinan besar penyebabnya fungsional.
Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada
beberapa anak etiologinya mungkin multifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila
konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain harus
dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling tumpang
tindih, etiologi dapat dikelompokkan menurut kelompok umur (lihat etiologi). 1-4
A. Riwayat Penyakit
Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi
menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau minggu mungkin bukan indikator terpercaya untuk
konstipasi seorang anak. Biasanya, pola defekasi yang jarang terdapat pada awal proses, yang
mungkin tejadi beberapa bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter. Dengan terjadinya
retensi tinja, gejala dan tanda lain, konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan distensi
abdomen, yang sering hilang sesudah defeksasi. Penting dicapat adanya riwayat tinja yang keras
dan atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet. Kecepirit (enkopresis)
di antara tinja yang keras sering salah diagnosis sebagai diare. Seroang anak yang mengalami
konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan
mengalami perbaikan bila konstipasinya dibati. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki,
menarik kaki kanan dan krii bergantian ke depan dan belakang (seperti berdansa) merupakan
manuver menahan tinja dan kadangkala perilaku tersebut menyerupai kejang. Inkontinensia urin
dan ISK seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak. Kadang retensi urin, megakistik, dan
refluks vesikoureter ditemukan pada akan dengan konstipasi kronis.1
Riwayat penyakit dapat membantu membedakan konstipasi fungsional dari penyakit
Hirschsprung. Sebagian besar anak dengan penyakit Hirschsprung memiliki kesulitan defekasi
segera setelah lahir. Rata-rata mekoneum keluar pada 36 jam pertama, dan sering mengalami
konstipasi pada umur 4-6 bulan. Onset, durasi, gambaran usus, perdarahan, riwayat enkopresis,
diare kronis/berulang, nyeri/menangis saat buang air besar atau perubahan perilaku lain.1
Pada bayi muda, konstipasi fungsional sering berkembang pada saat transisi diet (misalnya,
dari ASI ke formula, penambahan makanan padat ke dalam makanan, dari susu formula). Pada
balita, konstipasi fungsional sering berkembang dekat waktu toilet training.
Pada balita dan anak-anak muda, komplikasi konstipasi dapat mengakibatkan dermatitis popok
atau dehidrasi parah. Pada anak yang lebih tua, konstipasi fungsional sering berkembang pada saat
masuk sekolah karena mereka menolak untuk buang air besar saat mereka di sekolah. 1
Selain itu juga perlu ditanyakan riwayat sering kembung dan penurunan nafsu makan. Bab
dengan feses keras menyebabkan nyeri defekasi sehingga anak menolak untuk defekasi. Jika tidak
ditangani segera maka akan menjadi problematik kronik penolakan defekasi ini. Penelitian masih
diperlukan untuk menentukan kapan waktu yang lebih dini dan terapi yang efektif untuk
menurunkan kejadian penolakan defekasi pada anak.6
B. Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan fisik secara umum dilakukan, keadaan umum, status gizi, tanda vital,
dismorfik, kelainan neurologi diperiksa. Pada abdomen dicari adanya distensi dan pemeriksaan
bising usus, apakah normal, meningkat atau berkurang, perabaan besarnya hati. Massa abdomen
teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat,
massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium. Inspeksi anus untuk memeriksa posisi,
adanya tinja di sekitar anus atau celana, eritema sekitar anus, skin tags, fissura ani. Fissura ani
serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada konstipasi. Colok dubur
untuk memeriksa kedutan anus, tonus anus, massa tinja, adanya tinja, konsistensi, adanya massa
lain, tinja menyemprot bila jari dicabut, darah pada tinja. Pada bayi muda, pemeriksaan rektal
harus berhati-hati dengan jari kelingking. Jika ada lubang/benjolan yang berhubungan dengan
kelainan sumsum tulang belakang harus lebih berhati-hati. Punggung dan spina dicari lesung,
berkas rambut. Pemeriksaan neurologi meliputi: tonus, kekuatan, refleks kremaster, refleks
tendon.1,3,7
Pada kebanyakan anak, anus adalah sekitar pertengahan antara fourchette (dasar skrotum)
dan ujung tulang ekor. Apakah anak-anak dengan perpindahan anterior anus akan meningkatkan
risiko untuk konstipasi tidak sepenuhnya jelas. Sampai saat ini, belum ada penelitian prospektif
besar telah dilakukan. Dalam beberapa kasus, jika anus cukup anterior, bagian posterior rektum
dapat berkembang, sehingga dinamika buang air besar abnormal.
Di antara anak-anak dengan konstipasi fungsional, rektum umumnya membesar, dan tinja
hadir tepat di luar ambang anal. 1,3
Temuan fisik yang mengarahkan adanya adanya konstipasi organik1
- Gagal tumbuh
- Distensi abdomen
- Hilangnya lengkung lumbosakral
- Pilonidal dimple covered by a tuft hair
- Agenesis sakrum
- Bokong datar
- Letak anus di depan
- Patulous anus
- Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen
- Tinja menyemprot bila jari dicabut pada pemeriksaan colok dubur
- Darah dalam tinja’
- Hilangnya kedutan anus
- Hilangnya refleks kremaster
- Tonus dan kekuatan otot ekstremutas bawah turun
- Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah
C. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai
penyebab organik. 1,5
1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon.
Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila
pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.

Gambar 1. Foto polos abdomen menunjukkan feses pada kolon3


2. Barium enema untuk mencari penyebab organik seperti morbus Hirscprung dan obstruksi
usus.Ahli radiologi akan mencari perubahan diameter kolon dari segmen aganglionik
sempit ke segmen yang melebar (ganglionik). Lihat gambar di bawah:
Gambar 2. Zona transisi pada penyakit Hirschsprung3
3. Biopsi isap rektum dan pemeriksaan patologi anatomi untuk melihat ada tidaknya ganglion
pada mukosa rektum secara histopatologis untuk memastikan ada tidaknya penyakit
Hirschsprung
4. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari kausa organik lain seperti hipotiroid (T3, T4,TSH),
USG abdomen, MRI, laboratorium: adanya darah dalam tinja, sweat test jika dicurigai
fibrosis kistik, kadar kalsium, dll.

VII. Diagnosis Banding

Adapun diferensial diagnosis pasien dengan konstipasi meliputi:


Tabel 3. Diagnosis banding
Diagnosis Gejala yang Berhubungan
Neurogenik
1. Penyakit Hirschsprung Tidak ada mekonium yang lewat setelah >48jam setelah dilahirkan; feses
yang berdiameter kecil; gagal tumbuh; enterokolitis; pada pemeriksaan, tidak
ada feses pada rektum
2. Sindrom Pseudo Nyeri perut, distensi, diare, ileus
Obstruksi
3. Abnormalitas tulang Perubahan ekstremitas bawah; tidak adanya anal wink
belakang (misalnya:
Mielomeningokel, tumor
spinal cord, tethered cord)
Endokrin
1. Hipotiroid Kelelahan, tidak tahan dingin, bradikardi
2. Diabetes Insipidus Poliuria, Polidipsi
Perkembangan/ Tingkah laku/
Social
1. Retardasi Mental Keterlambatan perkembangan secara keseluruhan
2. Autism Terlambatnya skill komunikasi, interaksi sosial yang terbatas atau atipik,
tingkah laku berulang atau atipik, hambatan dalam perubahan dari keseharian
3. Oppositional Defiant Negative, argumentative, rapuh (pada anak yang usianya lebih tua)
Disorder
4. Kekerasan pada anak Perhatian lebih ditujukan pada anamnesis atau pemerilsaan fisik
Farmakologi
Penggunaan atau terpapar pada: Kodein: Methylphenidate (RitalinR), fenotiazin, kemoterapi (vincristin):
mengarah ke intoksikasi.
Sumber: Subijanto4
Diagnosis banding lainnya adalah: hiperkalsemia, hipokalemia, anus imperforata, dan
neurofibromatosis.7
Sementara hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan: adalah: stenosis anal, perpindahan
anus anterior, penyakit Celiac, serebral palsi (ensefalopati statis), Trias Currarino's (stenosis rektal,
hemi-sacrum, massa presacral), intoleransi susu sapi, gangguan mitokondria, displasia saraf
intestinal, sindrom Prune-belly, dan atrofi otot spinal.

Tabel 4. Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschsprung3


Megakolon kongenital Konstipasi fungsional
(Hirschsprung disease) (Megakolon didapat)
Insiden 1:5000-10.000 1: 5-10
Predileksi jenis kelamin L:P 4:1 1:1
Umur saat onset Bayi, 50% diantaranya dengan Bervariasi
riwayat mekoneum terlambat keluar (penggantian ASI ke susu botol,
(>48 jam) penggantian susu botol formula ke
susu full cream, masuk sekolah,
pasca enteritis)
Inkontinensia fekal jarang sering
Pemeriksaan fisik Rektum kecil dan sempit Rektum besar, penuh feses
Fissura anal jarang Sering dijumpai
Retentive posturing Jarang ya
Sumber: Borowitz 3

VIII. KOMPLIKASI
Nyeri perut atau rektum dan enkopresis merupakan komplikasi primer konstipasi pada anak.
Komplikasinya antara lain:1
- Nyeri anus/abdomen, fissura ani
- Enkopresis
- Enuresis
- Infeksi saluran kemih atau obstruksi ureter
- Prolaps rektum
- Ulkus soliter
- Sindroma stasis (bakteri tumbuh lampau, fermentasi karbohidrat, maldigesti, dekonjugasi
asam empedu, steatore)
Enuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkopresis. Pada beberapa kasus,
enuresis menghilang jika massa tinja dievakuasi sehingga dimungkinkan kandung kemih
mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon distal, sehingga berperan
dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan obstruksi ureter kiri. Dilatasi kolon
distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan invaginasi, yang dapat bermanifestasi
sebagai prolaps rekti setelah defekasi.3
IX. TATALAKSANA
Tatalaksana meliputi edukasi orang tua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi perilaku, obat
dan konsultasi. 1,3,4,8
Tatalaksana konstipasi dilakukan bila:
- Konstipasi > 3 minggu
- Aktivitas anak terganggu
- Keluar cairan dan sedikit feses di celana
- Terdapat fisura
- Terjadi hemoroid
Langkah-langkah tatalaksana adalah sebagai berikut:

1. Evakuasi tinja (disimpaksi)


Fekal impaksi adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen
bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan
colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen.
Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Dapat dilakukan dengan obat
oral atau rektal. Evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi
tinja secara lengkap. Obat peroral bisa dengan mineral oil atau parafin cair (lubrikan)
dengan dosis 15-30 cc/tahun umur (maksimal 240 cc/hari), kecuali pada bayi. Larutan
Polietilen Glikol (PEG) 20 cc/kg/jam (maks 1000 cc/jam) diberikan dengan pipa NGT
selama 4 jam per hari. Laktulosa atau sorbitol dapat juga dipakai. Evakuasi tinja dengan
obat per-rektum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3 ml/kg) 2x/hari, maksimal
6 x enema, garam fisiologis 600-1000 cc atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan
suppositoria/enema gliserin 2-5 ml. Jangan dipakai suppositoria sabun karena bisa
mengiritasi anus. Evakuasi tinja tanpa nyeri merupakan tujuan terapi.1,3,7,17
2. Terapi rumatan
Segera setelah berhasil mengevakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah
kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian
laksatif untuk menjamin interval defeksi yang normal dengan evakuasi tinja yang
sempurna.
Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi banyak karbohidrat dan
serat. Buah pepaya, semangka, bengkuang, dan melon banyak mengandung serat dan air
sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terdapat pada
buah prune, pir, dan apel sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan
frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa atau sorbitol
(larutan 70%) dapat diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgbb/hari dalam 2x pemberian. Untuk
anak di bawah 1 tahun tidak diberikan parafin liquidum (mineral oil) dengan dosis 1-3
ml/kg. Larutan Mg(OH)2 400 mg/5 ml diberikan 1-3 ml/kgbb/hari, tetapi tidak diberikan
pada bayi dan anak dengan gangguan ginjal. Bila respon terapi belum memadai mungkin
perlu ditambahkan cisaprid dengan dosis 0,2 mg/kg/kali untuk 3-4 kali per hari selama 4-5
minggu. Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah
normal terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih
perlu diperlukan karena angka kekambuhan tinggi dan pada pengamatan jangka panjang
banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.1,3,7,10,17

3. Modifikasi Perilaku
Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet
training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar.
Tidak perlu terlalu terburu-buru yang membuat anak makin tertekan tetapi berilah waktu
10-20 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan
mengembangkan refleks gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang
mencatat kejadian defeksi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan
bila anak mampu defeksi (sistem reward). Bila cara di atas tidak berhasil mungkin perlu
dikonsultasikan ke psikiatri anak.
Edukasi dan modifikasi gaya hidup sangat penting dalam penatalaksanaan
obstipasi. Penderita disarankan untuk tidak mengabaikan keinginan defekasi oleh karena
keadaan ini akan mengakibatkan megakolon dan inersia rektum. Pada penderita yang
sehat, disarankan untuk meningkatkan asupan diet serat (kurang lebih 14g/hari) dan minum
yang cukup, kurang lebih 2 liter/hari. Karbohidrat yang banyak mengandung serat antara
lain sayur-sayuran yang berasal dari akar-akaran, gandum, tumbuhan polong. Sedangkan
buah-buahan yang banyak mengandung serat adalah apel, apricot, jeruk dan pisang dengan
kandungan serat >2g/100g. Beberapa tindakan lain yang bisa dilakukan adalah
memberikan jus lemon yang dicampur dengan madu dan pepaya 3 kali sehari, biasakan
saat makan tidak minum air agar proses pencernaan dalam lambung berlangsung optimal.
Kalau pun perlu minum air sedikit saja atau seperempat gelas. Minum banyak air baru
dapat dilakukan 1,5 hingga 2 jam sesudah makan.13
Perubahan diet seperti meningkatkan asupan cairan dan karbohidrat ini dianjurkan
sebagai bagian terapi.3,7
- Karbohidrat kompleks dan gula yang tak diserap (misalnya sorbitol) pada jus buah
(misalnya semangka, pir, apel) akan meningkatkan frekuensi defekasi sebagai akibat
peningkatan kadar air feses. Meskipun penelitian RCT belum dilakukan untuk hal ini, diet
seimbang anak dianjurkan yang mencakup biji-bijian, buah-buahan, sayuran, dan banyak
cairan. Serat bermanfaat sebagai ajuvan terapi laksatif pada anak dengan gangguan
defekasi dengan atau tanpa enkopresis. 3,15
- Tidak diperlukan diet rendah zat besi, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa
suplementasi zat besi pada susu formula tidak meningkatkan insiden konstipasi.
- Masih sedikit bukti bahwa probiotik seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus efektif
mengobati sembelit, walaupun sudah dipakai untuk meningkatkan frekuensi tinja dan
penurunan konsistensi tinja.
Tindakan menyuruh anak secara teratur ke toilet 2x/hari sesudah makan bisa membentuk
kebiasaan buang air besar teratur. Pada keadaan-keadaan seperti megakolon, atau
megarektum/atonia kolorektal, konstipasi yang disebabkan oleh karena obat analgetika opiat dan
adanya obstruksi, meningkatkan diet yang mengandung serat merupakan kontra indikasi. Pada
keadaan ini pilihan jatuh pada penggunaan obat-obat laksatif.
Terapi tingkah laku dengan menggunakan laksatif tak memiliki keuntungan daripada terapi
konvensional. Terapi ini efektif pada anak dengan problem tingkah laku. Rujukan ditujukan ke
psikolog/psikiater.
Prinsip dasar dari latihan toilet antara lain, kebanyakan anak-anak siap untuk dilatih toilet
antara usia 18 bulan dan 3 tahun. Kesiapan dapat ditentukan oleh pengetahuan anak-anak tentang
anggota badan. Kemampuan untuk merespon terhadap permintaan sederhana, dan kesadaran
terhadap sensasi buang air besar dan buang air kecil.
Teknik-teknik yang digunakan dalam latihan toilet antara lain, dimulai dengan latihan
siang hari sebelum malam hari, dan melatih baik untuk buang air kecil atau besar. Sediakan pot
kecil seukuran anak-anak yang mudah diambil, dan beritahu anak untuk duduk di atasnya pada
interval waktu tertentu, tiga atau empat kali sehari (waktu ini dapat berdekatan dengan waktu
makan atau berhubungan dengan waktu main atau tingkah laku tertentu, misalnya anak mendadak
diam, mengejan, atau flatus). Waktu duduk seharusnya maksimum 4-5 menit dan pujilah tiap anak
untuk duduk dan hasil apapun yang didapatnya. Jangan menghukum untuk kecelakaan-kecelakaan
kecil, popok dapat digunakan namun celana latihan lebih baik. Pantau terus perkembangan anak
dari babysitters atau pengasuhnya, anak-anak seharusnya dapat mulai latihan cebok sejak usia 3,5
tahun.4,9

X. SIMPULAN
Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronik. Sebagian besar
(95%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus,
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak dengan
konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa pemeriksaan
perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja
bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi
perilaku, edukasi pada orang tua, dan konsultasi. Anak-anak dengan konstipasi intractable kronis
yang tidak membaik dengan terapi medis standar mungkin memerlukan evaluasi sfinkter anal dan
fungsi kolon. Terapi memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang
baik dengan orang tua. Prognosis umumnya baik sepanjang orang tua dan anak dapat mengikuti
program terapi dengan baik.1,3,7,14

DAFTAR PUSTAKA

1. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam buku ajar gastroenterologi-hepatologi


jilid 1. UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI 2010. 201-214.

2. Rubiana, Suryaatmaja S. Konstipasi. Dalam buku: Kapita selekta gastroenterologi


anak. Suryaatmaja S, Penyunting. Sagung Seto Jakarta. 2005. 170-188.
3. Borowitz S. Constipation. Diunduh dari: http:// emedicine. medscape. com/
article /928185.

4. Subijanto MS, Ranuh R, Fardah A, Darma A. Defecation Problem. Workshop


Management of abdominal pain in pediatric gastrohepatology. Continuing
Education XXXIX. Surabaya. 2010
5. NN. Diunduh dari: http://naturaterapi.com/index.php/mengatasi-konstipasi-sulit-
buang-air-besar/

6. Blum NJ, Taubman B, Nemeth Nicole. During toilet training, constipation occurs
before stool toileting refusal. Pediatrics 2004; 113; e520-e522. Diunduh dari:
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/113/6/e520.
7. Basson MD. Constipation. Diunduh dari: http:// emedicine. medscape.com /article /
184704

8. Wila RH. Konstipasi pada anak. Diunduh dari: http:// www. scribd. com/
doc/33393203/KONSTIPASI-PADA-ANAK

9. NN. Gangguan Buang air besar (Konstipasi pada anak, karena pengaruh alergi atau
hipersentitif makanan. Diunduh dari: http:// childrenallergyclinic. wordpress.com /
2010/08/12/gangguan-buang-air-besar-konstipasi-pada-anak-karena-pengaruh-
alergi-atau-hipersensitif-makanan/

10. Pijpers MAM, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional Constipation
in Children: a systematic review on prognosis and predictive factors. JPGN.
2010:50: 256-268

11. Pashankar DS. Leoning-Baucke L. Increased prevalence of obesity in children with


funcional constipation evaluated in an Academic Medical Center. Pediatrics 2005:
116; e377-e380. Diunduh dari: http://www. pediatrics. org/cgi/ content/
full/116/3/e377.

12. Maronn ML, Esterly NB. Constipation as a feature of anogenital lichen sclerosis in
children. Pediatrics 2005; 115; e230-e232;. Diunduh dari: http:
//www.pediatrcs.org/cgi/content/full/115/2/e230.

13. Van Dick M, Bongers MEJ, Vires GJ, Grootenhuis MA. Behavioral Therapy for
childhood constipation: a randomized, controlled trial. Pediatrics 2008; 121; e1334-
e1341. Diunduh dari http://www. pediatrics.org /cgi/content/ full/ 121/5 /e1334.

14. Bongers MEJ, van Wijk MP, Reitsma JB, Benninga MA. Long-term prognosis for
childhood constipation: clinical outcomes in adulthood. Pediatrics 2010; 126; e156-
e162. Diunduh dari http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/126/1/e156.

15. Baucke VL, Erasmo, Miele, Staiano A. Fiber (glucomannan) is beneficial in the
treatment of childhood constipation. Pediatrics 2004; 113; e259-e264. Diunduh
dari: http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/113/3/e259.

16. Borowitz SM, Cox DJ, Kovatchev B, Ritterband LM, Sheen J, Stephen J.
Treatment of childhood constipation by primary care physicians: efficacy and
predictors of outcome. Pediatrics 2005; 115: 873-877. Diunduh dari
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/115/4/873

17. NN. Evaluation and Treatment of Constipation in Children : Summary of Updated


Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition. JPGN 2006; 43: 405-407

Contoh kasus
STUDI KASUS: KONSTIPASI

Arahan
Baca dan lakukan analisa terhadap studi kasus secara perorangan. Bila yang lain dalam kelompok
sudah selesai membaca, jawab pertanyaan dari studi kasus. Gunakan langkah dalam pengambilan
keputusan klinik pada saat memberikan jawaban. Kelompok yang lain dalam ruangan bekerja
dengan kasus yang sama atau serupa. Setelah semua kelompok selesai, dilakukan diskusi tentang
studi kasus dan jawaban yang dikerjakan oleh masing-masing kelompok.

Studi kasus
Seorang anak laki-laki (A) umur 4 tahun 5 bulan, datang dengan konstipasi sejak 1 tahun yang
lalu. Menurut orang tuanya A selalu terlihat kesakitan setiap mau BAB (Buang air besar), dan
keluarnya sedikit sekali, kadang-kadang 4 hari sekali, demikian beulang-ulang. Sampai sejak 2
minggu yang lalu si anak selalu menahan kalau mau BAB, dan selalu berdiri setipa terasa mulas
dan tidak mau ke toilet. Sering terlihat adanya bercakan feses di celananya.

Penilaian
1. Apa yang anda harus segera lakukan untuk menilai keadaan anak tersebut ?

Diagnosis ( identifikasi masalah dan kebutuhan )


Anamnesis : penting untuk diagnosis, riwayat bab (frekuensi, ukuran, konsistensi feses,
kesulitan saat bab, bab berdarah, nyeri saat bab), riwayat makanan, masalah psikologi, dan
gejala lain seperti nyeri abdomen.
Pemeriksaan fisik : dapat teraba massa feses pada abdomen kiri, pada pemeriksaan anorektal
ditentukan lokasi anus, adanya prolaps, peradangan perianal, fissura, dan tonus dari saluran
anus
Pemeriksaan penunjang : radiografi sederhana dari abdomen, barium enema, manometri
anorektal, waktu transit usus, dan biopsi rektum

2. Berdasarkan pada temuan yang ada, apakah diagnosis anak tersebut?


Jawaban: konstipasi

Pelayanan (perencanaan dan intervensi)


3. Berdasarkan diagnosis tersebut apakah tata laksana pada pasien ini ?
Jawaban:
Pemeriksaan
feses Colok dubur
Lakukan pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema (colon in loop) dan/atau USG
abdomen :
a. bila ditemukan dugaan hirscsprung : konsul bedah segera
b. persiapan pra bedah
.
4. Berdasarkan diagnosis, lakukan tata laksana yang sesuai.
Jawaban:
- Konsultasi dan penyuluhan
- Diary (anamnesis diet harian)
- Toilet training
- Diet : serat
- Medikal treatment : Oral/ rectal laxative :
- lactulosa 1-3 ml/kgbb/hari, max 50 ml/hr
- sorbitol 1-3 ml/kgbb/hari
- picosulphate (laxoberon 1gt/2 a 4 kg; max 1 gt/kg)
- bisacodyl (dulcolax), microlax, PEG (5-10 ml/kg/hari, 2 dosis)
- psikologis

Penilaian ulang
5. Apakah yang harus dipantau untuk penatalaksanaan lebih lanjut?
Jawaban:
- BAB frekuensinya > 3x / minggu
- Encoporesis frekuensinya < 2x / minggu
- Tidak menggunakan lagi laksansia

Tujuan pembelajaran

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan keterampilan yang
diperlukan dalam mengenali dan menatalaksana konstipasi yang telah disebutkan di atas yaitu :
1.Mengetahui mekanisme defekasi
2.Menegakkan diagnosis konstipasi dan komplikas yang terjadi
3.Memberikan tatalaksana konstipasi dan komplikasinya
4.Memberikan penyuluhan upaya antisipasi dampak komplikasi

Evaluasi

Pada awal pertemuan dilaksanakan penilaian awal kompetensi kognitif dengan kuesioner 2
pilihan yang bertujuan untuk menilai sejauh mana peserta didik telah mengenali materi atau
topik yang akan diajarkan.
Materi esensial diberikan melalui kuliah interaktif dan small group discussion dimana pengajar
akan melakukan evaluasi kognitif dari setiap peserta selama proses pembelajaran berlangsung.

Membahas instrumen pembelajaran keterampilan (kompetensi psikomotor) dan mengenalkan


penuntun belajar. Dilakukan demonstrasi tentang berbagai prosedur dan perasat untuk
menatalaksana konstipasi. Peserta akan mempelajari prosedur klinik bersama kelompoknya
(Peer-assisted Learning) sekaligus saling menilai tahapan akuisisi dan kompetensi prosedur
tersebut pada model anatomi.
Peserta didik belajar mandiri, bersama kelompok dan bimbingan pengajar/instruktur, baik
dalam aspek kognitif, psikomotor maupun afektif. Setelah tahap akuisisi keterampilan maka
peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun
belajar dalam bentuk “role play” diikuti dengan penilaian mandiri atau oleh sesama peserta
didik (menggunakan penuntun belajar)
Setelah mencapai tingkatan kompeten pada model maka peserta didik akan diminta untuk
melaksanakan penatalaksanaan konstipasi melalui 3 tahapan:
1. Observasi prosedur yang dilakukan oleh instruktur
2. Menjadi asisten instruktur
3. Melaksanakan mandiri di bawah pengawasan langsung dari instruktur
Peserta didik dinyatakan kompeten untuk melaksanakan prosedur tatalaksana konstipasi
apabila instruktur telah melakukan penilaian kinerja dengan menggunakan Daftar Tilik
Penilaian Kinerja dan dinilai memuaskan
Penilaian kompetensi pada akhir proses pembelajaran :
o Ujian OSCE (K,P,A) dilakukan pada tahapan akhir pembelajaran oleh kolegium
o Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja di sentra pendidikan

Instrumen penilaian

Kuesioner awal
Instruksi: Pilih B bila pernyataan Benar dan S bila pernyataan Salah

1.Pada anak usia balita dengan sulit buang air besar lebih 1 tahun harus dipikirkan konstipasi
B/S. Jawaban...Tujuan 1
2.Pengobatan konstipasi hanya berdasarkan asupan makanan yang baik ( banyak serat) dan
toilet training. B/S. Jawaban.... Tujuan 3

Kuesioner tengah
MCQ
PENUNTUN BELAJAR (Learning Guide)

Lakukan penilaian kinerja pada setiap langkah / tugas dengan menggunakan skala penilaian di
bawah ini:
1 Perlu Langkah atau tugas tidak dikerjakan secara benar, atau dalam urutan yang
perbaikan salah (bila diperlukan) atau diabaikan
2 Cukup Langkah atau tugas dikerjakan secara benar, dalam urutan yang benar (bila
diperlukan), tetapi belum dikerjakan secara lancar
3 Baik Langkah atau tugas dikerjakan secara efisien dan dikerjakan dalam urutan
yang benar (bila diperlukan)

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

PENUNTUN BELAJAR
KONSTIPASI
No. Kegiatan / langkah klinik Kesempatan ke
1 2 3 4 5
I. ANAMNESIS
1. Sapa pasien dan keluarganya, perkenalkan diri, jelaskan maksud
Anda.
2. Tanyakan keluhan utama( biasanya sulit buang air besar)
Sudah berapa lama menderita sulit BAB?
Apakah sulit BAB dialami setiap hari?
Bila sulit BAB terjadi setiap hari dan lebih 3 bulan
Apakah sering terjadi soiling atau encoporesis ?
3. Apakah sulit BAB disertai dengan sakit satiap saat mengedan atau
mau BAB
4. Apakah kadang-kadang disertai dengan dengan adanya darah pada
saat BAB ? Bangaimana bentuk dan warna tinja ?
5. Apakah disertai sakit perut atau sering kembung ?
6. Apakah disertai dengan nafsu makan menurun?
7. Bagaimana kebiasaan makannya dan jenis susu yang diminum ?
II. PEMERIKSAAN JASMANI
1. Terangkan bahwa anda akan melakukan pemeriksaan jasmani
2. Tentukan keadaan sakit: ringan/sedang/berat
3. Lakukan pengukuran tanda vital:
Kesadaran, tekanan darah, laju nadi, laju pernafasan, dan suhu
tubuh
4. Periksa abdomen: distensi? sakit daerah abdomen yang difus?
Benjolan didaerah abdomen kiri bawah
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM / RADIOLOGI
1. Periksa darah lengkap
3. Periksa tinja
IV. DIAGNOSIS
1. Berdasarkan hasil anamnesis: sebutkan.
2. Berdasarkan yang ditemukan pada pemeriksaan jasmani: sebutkan.
3. Laboratorium apa yang ditemukan
V. TATALAKSANA
1. Umum: diet yang tinggi serat
2. Khusus:
4. Sampaikan penjelasan mengenai rencana pengobatan kepada
keluarga pasien.
5. Pemantauan pasien, evaluasi hasil pengobatan, adakah efek
samping obat, makanan habis atau tidak, apakah ada komplikasi
atau membaik.
VI. PENCEGAHAN
1. Jelaskan penyebab terjadinya konstipasi
2. Jelaskan mengenai faktor-faktor yang mempermudah terjadinya
konstipasi
3. Terangkan mengenai penvcegahan dan cara mengatsi konstipasi
DAFTAR TILIK


Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,

dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
 Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
 Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur memuaskan standar
atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
diamati penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
KONSTIPASI
Hasil penilaian
No. Langkah / kegiatan yang dinilai Tidak Tidak
Memuaskan
memuaskan diamati
I. ANAMNESIS
II. PEMERIKSAAN JASMANI
III. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM

IV. DIAGNOSIS

V. TATALAKSANA PENGELOLAAN
VI. PENCEGAHAN
1.

Peserta dinyatakan: Tanda tangan pembimbing



Layak

Tidak layak melakukan prosedur

( Nama jelas )
PRESENTASI: Tanda tangan peserta didik
Power points
Lampiran ( skor, dll)

( Nama jelas )

Kotak komentar

Anda mungkin juga menyukai