Anda di halaman 1dari 19

REFLEKSI KASUS

“PTERIGIUM”

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Pada Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Milda Rosevita Anggraheni (42170187)

Rio Gyver Anthonio (42170188)

Fouren Atria Larasati (42170189)

Pembimbing:
dr. Edi Wibowo, Sp. M, MPH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. DU
Tanggal Lahir : 19 Agustus 1974
Usia : 46 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Jl. Sidomukti 701 A, Babatan, Gedongkuning
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal Periksa : 24 Mei 2019
No. RM : 0119xxxx

II. ANAMNESIS
Tanggal : 24 Mei 2019
A. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sudah 2 bulan ini saat menyetir di malam hari, pandangan
menjadi pecah saat melihat cahaya lampu, dimana saat melihat cahaya lampu
menjadi menyebar kemana-mana.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Di mata kanan pasien terdapat daging tumbuh. Pasien tidak merasakan mata
berair, nyeri, merah, maupun gatal. Pasien mengenakan kacamata minus, akan
tetapi pasien tidak mengetahui langsung visusnya. Tidak ada keluhan lain seperti :
pusing, mual, maupun muntah. Pasien tidak memiliki penyakit katarak.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Alergi : (-)
 Maag : (-)
 DM : (-)
 Hipertensi : (-)
 Keluhan Serupa : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa : (-)
 DM, hipertensi, alergi, asma : (-)

E. Riwayat Pengobatan
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Mondok : (-)
 Riwayat konsumsi obat : pasien belum pernah mengkonsumsi obat
sebelumnya.

F. Life style
 Kegiatan pasien sehari-harinya adalah ibu rumah tangga. Pasien mengatakan
sering berkontak dengan debu, asap, dan sinar matahari karena pasien sering
berkendara keluar rumah. Pasien tidak menggunakan kosmetik di bagian mata
maupun lensa kontak. Pada saat membaca buku, penglihatan pasien masih
baik dengan menggunakan kacamata minus. Pola makan pasien baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 76x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu : 36,5ºC

STATUS GENERALIS
A. Kepala
 Ukuran Kepala : Normochepali
 Mata : Sesuai status lokalis
 Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir kering (-), Stomatitis (-), mukosa mulut
basah, sianosis (-)
 Leher : Limfonodi tidak teraba, nyeri tekan (-),
pembesaran tyroid (-)

B. Thorax
 Inspeksi : Dada simetris, kelainan bentuk dada (-),
ketinggalan gerak (-)
 Palpasi : Fremitus kanan-kiri normal, ictus cordis teraba
di SIC 5 linea midclavicularis sinistra
 Perkusi : Sonor +/+, batas jantung normal
 Auskultasi : Suara paru vesikuler(+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-), suara jantung S1 dan S2 reguler tunggal,
bising (-)

C. Abdomen:
 Inspeksi : Supel (+), distensi (-), jejas (-), benjolan/
massa (-)
 Auskultasi : Peristaltik usus normal
 Perkusi : Timpani di sembilan regio, nyeri ketuk (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)

D. Ekstremitas
 Atas : Akral teraba hangat, edema (-) , CRT< 2 detik
 Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik
STATUS LOKALIS MATA

OD Pemeriksaan OS

6/24 Visus 6/24

Tenang Palpebra Superior Tenang

Tenang Palpebra Inferior Tenang

Konjungtiva Tarsalis
Tenang Tenang
Superior

Konjungtiva bulbi tampak


adanya selaput putih
berbentuk segitiga +/- 1 cm Konjungtiva Bulbi Tenang
di bagian nasal dan
hiperemis.

Konjungtiva Tarsalis
Tenang Tenang
Inferior

Limbus tampak selaput putih


pada tepi limbus di bagian Limbus Tenang
nasal.

Kornea tampak selaput putih


+/- 1 mm di bagian nasal dari Kornea Tenang
limbus.

Tenang COA Tenang

Tenang, akan tetapi


pandangan pasien saat
terkena cahaya, pandangan Iris/Pupil Tenang
pasien menjadi pecah seakan
cahaya tersebut menjadi
menyebar.

Tenang Lensa Tenang


Tenang Fundus Media Tenang

Dbn Makula Dbn

Papil bulat, batas tegas,


Papil bulat, batas tegas, Rasio Retina Rasio AV 2:3, CD rasio 0,3
AV 2:3, CD rasio 0,3 mm
mm

Dbn TIO Dbn

Dbn MBO Dbn

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjnag
V. DIAGNOSIS
Pterigium

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Pinguecula
 Pseudopterigium
 Ocular Surface Squamous Neoplasm

VII. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
 Cendo cyfresh plus tetes mata 0,5 ml

b. Non Farmakologi
 Pembedahan (eksisi pterigium), diindikasikan pada pterigium yang mendekati
aksis, pterigium dengan pertumbuhan yang cepat (menyebabkan iritasi dan
menganggu kosmetik).

VIII. EDUKASI
 Menggunakan obat tetes mata sesuai anjuran untuk mengurangi peradangan dan
control apabila ada keluhan lebih lanjut.
 Menggunakan kacamata hitam terutama jika bepergian di daerah terbuka yang
terpapar sinar matahari
 Jangan mengucek mata

IX. PLANNING
 Dirujuk ke dokter spesialis mata

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam


Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
1. Definisi
Pterigium adalah suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada kelopak bagian nasal atau
temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan
berwarna merah dapat mengenai kedua mata.
Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke
kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan
bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik

Gambar 1. Gambaran Pterigium


Bagian-bagian pterigium :
 Kaput
 Apeks
 Kolum
 Korpus

2. Faktor Risiko
 Peningkatan paparan terhadap sinar ultraviolet, termasuk yang tinggal iklim
subtropis dan tropis.
 Paparan alergen, iritasi berulang, seperti akibat debu dan kekeringan.
 Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan, seperti
pada lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu, dan berpasir.
 Riwayat genetik terhadap adanya pterigium yang terjadi ada di dalam keluarga
tertentu.

3. Anatomi dan Fisiologi


Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak bagian belakang.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet yang
berfungsi untuk membasahi bola mata terutama kornea. Bermacam-macam obat mata
dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :
 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
 Konjungtiva fornix atau fornix konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan fornix berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva


Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata
yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lapis :
1. Epitel
- Tebalnya 550 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel polygonal di
depannya melalui desmosome dan macula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
- SeL basal akan menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadnya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
- Menyusun 90% ketebalan kornea.
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40 µm.
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20 – 40 µm.
Endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zona
okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh lapisan epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunyai daya regenerasi. Kornea merupakan bagian mata yang tembus
cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh
kornea, dimana 40 dioptri dan 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea.
Gambar 3. Gambar kornea pada mata manusia

Gambar 4. Lapisan-lapisan kornea

4. Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui secara jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi. Beberapa teori mengatakan pterigium disebabkan
oleh paparan sinar matahari (ultraviolet) dan iritasi kronik dari lingkungan seperti : debu,
angin, dan udara.
5. Patogenesis
Ultraviolet adalah mutagen untuk tumor supresor gene p53 pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah
berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan
membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah epitel yang selanjutnya
menembus dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, yang sering disertai dengan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena
itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari
defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.

6. Patofisiologi
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan daerah basofilia bila
dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa di cat menggunakan cat untuk
jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena jaringan ini
tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Gambar 2. Histologi kornea pada pterigium


Pterigium memperlihatkan gambaran yang sama seperti pingecula. Perbedaannya,
pada pterigium lapisan Bowman dirusak. Destruksi lapisan Bowman (panah 1) oleh
jaringan fibrovaskular menghasilkan sebuah luka di kornea. Terdapat juga formasi
pannus (panah 2) dan inflamasi kronik (panah 3).

7. Manifestasi Klinis
Mata merah dengan tajam penglihatan normal disertai jaringan fibrovaskular
konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk seperti sayap (wing shaped).
Gangguan penglihatan dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis visual atau terdapat
astigmatisme.
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif,
merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan keluhan gangguan
penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan
kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung
pterigium.
Berikut megenai klasifikasi pterigium :
a. Berdasarkan luas perkembangannya :
- Stadium I : pterigium belum mencapai limbus
- Stadium II : sudah mencapai limbus tapi belum mencapai daerah pupil
- Stadium III : sudah mencapai daerah pupil
b. Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :
- Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi)
- Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat
c. Berdasarkan tipenya :
- Membran / fibrosa : tipis & pucat, pembuluh darah drh < 5
- Vaskuler : hiperemi , pembuluh darah > 5

8. Diagnosis
Anamnesis
Pasien dengan pterigium menunjukkan berbagai macam keluhan mulai dari tidak
ada gejala sampai kemerahan, pembengkakan, gatal, iritasi, penglihatan menjadi kabur
berhubungan dengan peninggian lesi pada konjungtiva dan kornea yang berdekatan pada
satu atau kedua mata.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular berbentuk
segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai kornea dan
badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari jaringan pterigium
ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang merupakan tempat deposisi besi
yang disebut garis Stocker. Pada umumnya jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik
dan biasanya terletak di nasal.

Pembagian pterigium yaitu :


d. Tipe I
Meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala Pterigium.Lesi sering asimptomatis meskipun sering
mengalami inflamasi ringan.Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
e. Tipe II
Menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh
dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
f. Tipe III
Mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama
yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.

Pterigium dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :

a. Derajat 1 : jika Pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.


b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea.
c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
d. Derajat 4 : Pertumbuhan Pterigium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Pemeriksaan Penunjang

Topografi kornea dapat sangat berguna dalam menentukan derajat astigmatisme


ireguler yang disebabkan oleh pterigium.

9. Diagnosis Banding
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium adalah lipatan
konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari
konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka
bakar akibat zat kimia pada mata.
a. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak
seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang
kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat
diberikan steroid topikal.
Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang berbeda
dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.

b. Pseudopterigium
Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang
merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan
dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat
ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva
tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan
hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium
juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea
sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula
didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.
Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal konjunctiva bulbar yang
diikuti luka bakar asam lokal
c. Ocular Surface Squamous Neoplasm
OSSN yang searah dengan limbal.

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia, pre-invasif


dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spektrum konjunctiva dan kornea.
OSSN biasanya tampak seperti lesi konjunctiva yang meninggi yang terlihat dekat
limbus, berwarna putih keabuan dengan karakteristik berkas dari pembuluh dara pada
fissure intrapalpebral. Biasanya pasien datang diikuti dengan gejala mata merah,
irigasi dan sensasi benda asing.

10. Tatalaksana
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme
ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberi steroid. Pemberian vasokontriktor
perlu kontrol dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan, jika sudah ada perbaikan.
Tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan eksisi adalah suatu tindakan
bedah plastik yang dilakukan bila pterigium telah mengganggu penglihatan dan
mengurangi resiko kekambuhan.

Konsevatif
Pada keadaan dini pterigium tidak memerlukan terapi dan hanya konservatif saja.
Lindungi mata dari sinar matahari, udara kering, debu dengan kacamata. Pengobatan
konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops atau air mata buatan
(misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali penggunaan jangka pendek tetes
mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih
intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan
radiasi ultraviolet lebih lanjut.

Farmakologis

Pada keadaan meradang, kemerahan dan rasa perih dari pterigium dapat diatasi
dengan:
a. Air mata buatan (GenTeal)
Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan kornea yang
ireguler akibat tumbuhnya pterigium.
b. Prednisolone acetate
Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasi pada mata
dengan inflamasi yang signifikan.

Bedah

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan
untuk, menurut Ziegler :
 Mengganggu visus
 Mengganggu pergerakan bola mata
 Berkembang progresif
 Mendahului suatu operasi intraokuler
 Kosmetik

Pembedahan dilakukan jika sudah ada keluhan penglihatan dan gangguan kosmetik.
Terdapat beberapa teknik dalam pembedahan.

 Teknik Bare Sclera


Teknik ini melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara memungkinkan
sklera untuk epitelisasi.Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 % dan 89 %, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
 Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 % dan setinggi 40 % pada
beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya
dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi
pterigium tersebut.
 Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion
berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai..Sebuah keuntungan dari teknik ini dengan autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva.Membran Amnion biasanya ditempatkan diatas sklera,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.
Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
11. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan
sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta
keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan
berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah
eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia.
Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan
parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari
diplopia.
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera dan
atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan
tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani. Komplikasi
yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana
memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang
menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau
transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi
ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.

12. Prognosis
Kekambuhan tinggi pada negara yang beriklim tropis. Penglihatan dan kosmetik
pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48
jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Ed Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2014.

Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-2010.pdf. 2013

Departemen Ilmu Kesehatan Mata. 2011. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta: FKUI

Fisher, Jerome P., 2015. Pterygium. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall.

Tri Lestari, Dwi jayanti, dkk. 2017. Pterigium Derajat IV pada Pasien Geriatri. Lampung:
Universitas Lampung Majority Volume 7 Nomor 1. Diunduh dari
http://repository.lppm.unila.ac.id/7886/1/1739-2446-1-PB.pdf

Liang QF, dkk.2012. Epidemiology of Pterygium in Aged Rural Population of Beijing,


China. Cina: Chinese Medical Journal

Anda mungkin juga menyukai