Anda di halaman 1dari 3

Menurut WHO, Polifarmasi merupakan salah satu bentuk Penggunaan Obat Irasional, yakni

pemberian lebih dari lima macam obat untuk satu pasien dalam satu resep. Beberapa ciri
Penggunaan Obat Irasional antara lain, Peresepan Berlebih (Overprescribing), Peresepan Kurang
(Underprescribing), Peresepan Majemuk (Multiple Prescribing) dan Peresepan Salah (Incorrect
Prescribing).

Overprescribing

Jumlah obat lebih dari lima jenis dengan total jumlah zat aktif sepuluh (Tremenza mengandung
Pseudoephedrine & Triprolidine; sementara Alpara mengandung Paracetamol,
Phenylpropanolamine/PPA, Chlorpheniramine Maleat/CTM, dan Dextromethorphan).

Multiple Prescribing

Dalam resep tersebut mengandung tiga jenis obat dengan fungsi yang sama sebagai antihistamin
(anti-alergi) yaitu Triprolidine, CTM dan Dexamethason.

Dan setelah saya tanya-tanya sedikit, teman saya ini menderita batuk berdahak dan
kerongkongannya sakit saat menelan. Selain itu rupanya dia juga tidak pernah menggunakan
Ciprofloxacin. Antibiotik yang pernah dan biasa dia gunakan hanya Amoxicillin.

Itu berarti sebenarnya dia tidak membutuhkan Alpara karena fungsi PPA & Dextromethrophan disitu
adalah untuk menekan batuk, sementara ia memerlukan obat mukolitik untuk mengencerkan dahak
(Ambroxol). Selain itu menurut hemat saya, dia juga tidak perlu sampai menggunakan Ciprofloxacin
karena sudah tergolong 'cukup tinggi' untuk seseorang yang biasa menggunakan Amoxicillin.

Itupun kalau memang ada indikasi infeksi bakteri (bukannya virus). Penggunaan Antibiotik harus
selalu diperhatikan untuk mencegah resistensi antibiotik. Baca artikelnya di sini.

Oleh sebab itu, akhirnya saya memintanya untuk berkonsultasi dengan Apoteker di apotek sebelum
menebus obat, sehingga bisa dipilah mana yang perlu dan mana yang tidak perlu.
Polifarmasi dapat memberikan efek merugikan bagi pasien seperti, adanya resiko interaksi obat
karena ada beberapa obat yang tidak dapat dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat dapat
membahayakan kondisi pasien atau malah membuat obat lainnya menjadi tidak berefek. Selain itu
polifarmasi juga dapat menyebabkan peningkatan resiko efek samping, peningkatan cost, hingga
membuat pasien khawatir dan membuat citra Dokter/Rumah Sakit/Klinik menjadi buruk.

Penggunaan Obat Rasional dapat dicapai jika memenuhi prinsip Tepat Diagnosis, Tepat Pasien, Tepat
Obat, Tepat Dosis, Tepat Cara Pemberian, Tepat Interval dan Lama Pemberian, dan Tepat Informasi.

Resistensi antimikroba atau istilah populernya antimicrobial resistance, adalah suatu kondisi ketika
suatu mikroorganisme (bakteri/jamur/virus) mengalami perubahan (bermutasi) setelah terpapar
obat (antibiotik/antifungi/antivirus), sehingga obat tersebut tidak lagi memiliki efek terhadap
mikroba tersebut. Namun karena penggunaan antibiotik lebih sering digunakan sembarangan, maka
resistensi antibiotiklah yang lebih sering pula dibahas, meskipun prinsipnya sama dengan antifungi
dan antivirus.

Antibiotik, antifungi dan antivirus jelas berbeda. Oleh sebab itu penggunaannya pun berbeda.
Contoh sederhana, jika seseorang menderita influenza tapi diberikan Amoxicillin, jelas tidak berguna
karena influenza disebabkan virus sementara Amoxicillin adalah antibakteri/antibiotik. Pun
sebaliknya, jika seseorang menderita infeksi saluran kemih karena bakteri tapi diberikan Acyclovir,
tidak akan sembuh karena infeksinya disebabkan bakteri dan bukan virus. Oleh sebab itu dalam
menggunakan antibiotik/antivirus/antifungi harus jelas dulu penyebabnya, baru dokter akan
meresepkan obat yang benar.

Tapi saat ini, tren swamedikasi (pengobatan oleh diri sendiri) sudah banyak dilakukan masyarakat.
Mereka memilih tidak ke dokter melainkan langsung membeli obat di apotek/toko obat (banyak
faktor yang menyebabkan hal ini). Namun apa yang terjadi ketika mereka membeli antibiotik? Tidak
bisa dipungkiri, tidak semua pasien mendapat informasi yang lengkap tentang penggunaan antibiotik
dan tidak semua pasien juga yang mengerti meski sudah dijelaskan.

Penggunaan antibiotik sangat bervariasi. Ada yang diminum tiga kali sehari selama tiga sampai lima
hari, ada yang diminum sekali sehari selama lima hari, ada juga yang harus diminum hingga
seminggu bahkan hingga enam bulan berturut-turut (misalnya antituberculosis/TBC).

Lalu faktor apa saja yang menyebabkan resistensi antibiotik?


Dari sisi tenaga kesehatan (dokter/apoteker). Tidak semua dokter/apoteker melakukan
kewajibannya untuk memberikan penjelasan lengkap tentang penggunaan antibiotik. Diminum
kapan, berapa kali, berapa lama, dan sebagainya

Dari sisi kepatuhan pasien. Ada pasien yang bandel dengan tidak menuruti instruksi dokter/apoteker
dalam mengkonsumsi antibiotik. Misalnya seharusnya diminum hingga lima hari, tetapi karena
setelah tiga hari pasien sudah merasa sembuh, obat tidak dihabiskan. Padahal antibiotik harus
diminum sampai habis sesuai dengan yang diresepkan. Sudah begitu, ia memberikan pula sisa
antibiotik tersebut kepada anggota keluarganya yang sakitnya mirip seperti dia. Biasanya yang
menderita batuk, sering kali seperti ini. Selain kepatuhan, ekonomi juga berpengaruh. Karena tidak
punya cukup uang, pasien tidak menebus seluruh obatnya. Jadi obat yang diterima juga tidak
lengkap.

Lalu apa setelah itu pasien langsung mengalami resisten? Tentu tidak. Kejadian yang berulanglah
yang akan menyebabkan pasien resisten. Ketika pasien tidak menghabiskan antibiotiknya,
mikrorganisme yang bertahan akan mengubah dirinya sendiri menjadi lebih kuat. Jika seorang pasien
sudah mengalami resistensi antibiotik tertentu, maka akibatnya penyakit pasien tersebut akan lebih
lama sembuh, sehingga ia harus lebih sering kembali berobat ke dokter. Selain itu, ia juga harus
menggunakan antibiotik dari golongan yang lebih tinggi sehingga bisa jadi biayanya akan lebih
mahal. Itu pun jika antibiotiknya tersedia. Bagaimana jika antibiotik yang golongannya lebih tinggi itu
tidak tersedia dan masih dalam proses pengembangan.

Ilustrasi resistensi antibiotik (biology-igcse.weebly.com)

Ilustrasi resistensi antibiotik (biology-igcse.weebly.com)

Baru-baru ini, WHO merilis data terbaru terkait antibiotik yang resisten terhadap bakteri gonore,
sehingga keadaan ini dipandang sebagai salah satu krisis yang memerlukan obat baru untuk
melawan penyakit tersebut karena antibiotik yang sudah ada, mulai tidak berefek signifikan.

Lalu bagaimana cara mencegah resistensi antibiotik? Baik tenaga kesehatan maupun pasien harus
terlibat, antara lain:

Dokter/apoteker tidak boleh lupa dan diharuskan memberikan informasi lengkap bagi pasien yang
menggunakan antibiotik.

Jadilah pasien cerdas dan patuh. Jika diberi resep, tanya apakah ada antibiotik dan pastikan Anda
mengerti cara menggunakannya. Jika Anda terpaksa membeli sendiri di apotek/toko obat (meskipun
peraturannya mengharuskan untuk menyertai resep dokter), tanya pada apotekernya tentang cara
penggunaannya. Dan JANGAN SEKALI-KALI tidak menghabiskan obat sesuai petunjuk tenaga
kesehatan, apalagi sharing dengan orang lain. Perlu diketahui juga, janganlah menganggap antibiotik
seperti vitamin. Sakit sedikit, minum antibiotik.

Pendamping pasien harus rajin mengingatkan pasien untuk meminum obatnya secara teratur.

Anda mungkin juga menyukai