Anda di halaman 1dari 23

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1.Meningoencephalitis
1.1.2 Definisi
 Meningitis bakterial
Meningitis adalah inflamasi pada selaput otak dan medula spinalis. Hal ini paling
sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau jamur) tetapi dapat juga terjadi
karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya. Membran
yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Duramater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang
laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.

Meningitis bakterial biasanya ditemukan tanda peningkatan jumlah sel


polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab
infeksi dalam cairan serebropinal.

 Ensefalitis
Ensefalitis bakterial adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi
bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies
(disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan
protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis,
juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya
kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan
menyebabkan kematian.

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme.


Pada encephalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput
pembungkus otak dan medula spinalis. Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai

1
system saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang
nonpurulen. Penyebab tersering dari ensefalitis adalah virus kemudian herpes
simpleks, arbovirus, dan jarang disebabkan oleh enterovarius, mumps, dan adenovirus.
Ensefalitis biasa juga terjadi pascainfeksi campak, influenza, varicella, dan
pascavaksinasi pertusis.

Ensefalitis, suatu peradangan parenkim otak, muncul sebagai disfungsi


neuropsikologi difus dan atau fokal. Meskipun terutama melibatkan otak, meninges
sering terlibat (meningoencephalitis).
Dari perspektif epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis,
meskipun pada evaluasi klinis keduanya bisa hadir, dengan tanda-tanda dan gejala
peradangan meningeal, seperti fotofobia, sakit kepala, atau leher kaku. Hal ini juga
berbeda dari cerebritis . Cerebritis menjelaskan pembentukan abses tahap sebelumnya
dan menunjukkan adanya infeksi bakteri yang sangat merusak jaringan otak,
sedangkan ensefalitis akut yang paling sering adalah infeksi virus dengan kerusakan
parenkim yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat.

1.1.2 Etiologi

Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang jarang
disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis yang
disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran yang sama
yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease, sifilis dan
tuberculosis); infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan venous sinus
empyema); pajanan zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin intravena); kelainan
autoimun dan penyakit lainnya. Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya
adalah virus golongan enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah
coxsackieviruses, echovirus dan pada pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus
yang menyebabkan meningitis adalah virus golongan enterovirus dan arbovirus (St.
Louis, LaCrosse, California vencephalitis viruses) adalah golongan virus yang paling
sering menyebabkan meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan
meningitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus
mumps adalah virus yang paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak

2
tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan yang jarang menyebabkan meningitis yaitu
Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M. tuberculosis,
Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides), dan parasit
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya
merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis,
penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari
inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis
sendiri dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan
encephalitis dengan satu dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada
parenkim otak atau (2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an
apparent immune-mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula
pada beberapa hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.

Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan Ensefalitis:


1. Bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab
Ensefalitis adalah Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T.
Pallidum. Encephalitis bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut.
2. Penyebab lain adalah keracunan arsenik dan reaksi toksin dari thypoid fever, campak
dan chicken pox/cacar air.
3. Penyebab encephalitis yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi
karena virus langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi sistemik atau
vaksinasi terdahulu.

1.1.3 Patogenesis
Patogenesis meningitis bakterialis dapat melalui beberapa jalur. Infeksi dapat mencapai
selaput otak melalui:
a. Hematogen
Infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, penumonia, atau
infeksi gigi dapat menyebabkan meningitis secara hematogen. Pada keadaan ini
sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah dan sesuai dengan kuman
yang ada di cairan serebrospinal.

3
b. Perkontinuitatum
Infeksi yang berasal dari infeksi sinus paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus
cavernosus
c. Implantasi langsung
Infeksi akibat dari trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, punksi lumbal atau
mielokel
d. Meningitis pada bayi terjadi oleh karena:
- Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
flora normal yang terdapat pada jalan lahir

- Infeksi bakterial secara transplacental terutama listeria

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulen.
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahapan
sebagai berikut:
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring terjadi kolonisasi

2. Bakteri menembus rintangan mukosa

3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah dan menimbulkan bakteriemia

4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal

5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal

6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak

Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melewati semua
tahapan. Meningitis bakterialis terjadi dipengaruhi oleh faktor host, agen dan lingkungan.
Menurut Suharso, et al faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis, yaitu:
1. Laki-laki lebih sering dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan
1.7:1

2. Bayi dengan berat lahir rendah dan prematur lebih mudah menderita
meningitis dibandingkan dengan bayi cukup bulan

4
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama
kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya
sepsis dan meningitis .

4. Defisiensi kongenital imunoglobulin.

5. Keganasan yang menyebabkan penurunan produksi imunoglobulin sehingga


mempermudah terjadinya infeksi

6. Malnutrisi

Selain faktor host, faktor agen atau mikroorganisme juag memegang peranan
dalam terjadinya meninigitis. Mikroorganisme yang menyebabkan meningitis tergantung
dari usia di mana pada neonatus, bakteri utama yang menyebabkan meningitis adalah
golongan anterobacter terutama Escherechia coli kemudian Streptococcus grup B,
Streptococcus penumonia, Staphylococcus sp dan Salmonella sp. Pada bayi usia 2 bulan
sampai anak usia 4 tahun, penyebab terbanyak adalah Hemophilus influenzae tipe B
kemudian disusul dengan Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitidis.
(Brouwer, 2010). Penyebab terbanyak pada anak di atas usia 4 tahun adalah
Streptococcus penumonia dan Neisseria meningitidis. Bakteri lain yang dapat
menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang Gram negatif berupa Proteus,
Areobacter, Enterobacter, Klebsiella sp, dan Serrata sp (Saharso, 1999). Pada penelitian
Namani dkk, didapatkan penyebab meningitis bakterial berdasarkan hasil kultur cairan
serebrospinal adalah Haemophilus influenzae, Neisseria meningitides, Staphylococcus
aureus, Streptococcus pneumonia, Serratia marcesens dan Streptococcus pyogenes
(Namani, 1971). (LoE2) Bakteri Haemophilus influenzae berhubungan dengan terjadinya
gejala kejang (Namani, 1971). Bakteri Gram negatif menyebabkan meningitis setelah
adanya trauma kepala atau tindakan bedah saraf.
Faktor lingkungan pun dapat mempengaruhi kejadian meningitis pada anak.
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial ekonomi
yang rendah memegang peranan dalam hal terjadinya infeksi (Saharso, 1999).
Pada kasus, faktor host yang mempengaruhi adalah malnutrisi kronis, kemudian
faktor agen yang didapatkan dari hasil kultur cairan serebrospinalis berupa

5
Staphylococcus saprophyticus yang berupakan bakteri Gram positif sedangkan faktor
lingkungan yang berperan dalam pasien ini adalah sosial ekonomi yang rendah.

1.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi meningitis merupakan suatu proses kompleks di mana melibatkan
komponen bakteri dan mediator inflamasi. Kedua komponen tersebut dapat menyebabkan
peradangan selaput otak, perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat menimbulkan gejala sisa.1 Anak
dengan meningitis bakterial akut akan mengalami gangguan aliran darah serebral,
metabolisme serebral dan tekanan intrakranial. Proses ini diawali dengan adanya
bakteremia atau embolus septik yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan
saraf pusat dengan cara menembus sawar darah otak. Pada daerah mikrovaskular otak
atau pleksus koroid merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena
mengandung glukosa yang tinggi. Setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal
maka bakteri akan memperbanyak diri dengan mudah dan cepat karena kurangnya
pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan serebrospinal, kemudian secara
pasif mengikuti aliran serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruhan ruang
araknoid.1
Bakteri pada waktu berkembangbiak akan melepaskan dinding sel atau komponen
membran sel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan di selaput otak. Bakteri Gram negatif akan melepaskan lipopolisakarida
(endotoksin) sedangkan Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam teikolat).
Produk aktif dari bakteri tersebut akan merangsang sel endotel dan makrofag di susunan
saraf pusat berupa sel astrosit dan mikroglia, yang akan memproduksi mediator inflamasi
seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis faktor (TNF). Mediator ini berperan dalam
proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan selanjutnya dapat menurunkan aliran darah otak. Pada meningitis
bakterial dapat juga terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormon (SIADH) yang
disebabkan oleh karena proses peradangan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan
kebocoran vasopresin endogen sistem. SIADH dapat menyebabkan hipovolemia,
oliguria, dan peningkatan osmolaritas urin sehingga timbul gejala-gejala water
intoxication seperti mengantuk, iritabel dan kejang. Peningkatan tekanan intrakranial

6
menyebabkan aliran darah ke otak menurun ditambah dengan penyumbatan pembuluh
darah otak oleh trombus dan karena adanya penurunan autoregulasi terutama pada pasien
yang mengalami kejang. Penurunan tekanan perfusi serebral dapat disebabkan juga oleh
karena penurunan tekanan darah sistemik sistole 60 mmHg. Dalam keadaan tersebut
maka otak akan mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan
vaskulopati. Kelainan-kelainan ini yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga
menimbulkan gejala sisa.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi dengan sel polimorfonuklear
yang memfagosit bakteri dan kemudian digantikan oleh sel monosit, limfosit dan histiosit
yang akan menjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu kedua akan didapatkan sel
fibroblast yang berperan dalam proses organisasi eksudat sehingga terbentuk jaringan
fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan-perlekatan. Apabila perlekatan
terjadi pada daerah sisterna basalis maka akan menyebabkan hidrosefalus komunikan
sedangkan apabila perlekatan di daerah aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan
Magendi maka yang terjadi adalah hidrosefalus non komunikan. Dalam waktu 48-72 jam
pertama arteri subaraknoid akan mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan
infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan adventisia sehingga timbul fokus nekrosis pada
dinding arteri yang kadang menyebabkan trombus arteri. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau partial pada lumen pembuluh darah sehingga perfusi
menurun dan menyebabkan infark. Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan
hemiplegia, dekortikasi atau deserebrasi, buta cortikal, kejang dan koma. Trombosis vena
kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik serebri. Kerusakan langsung selaput
otak dan vena di duramater atau araknoid yang berupa tromboplebitis, robekan-robekan
kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat
molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural
yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.
Dengan adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak akan meningkat sehingga
menyebabkan edema vasogenik. Sedangkan pleiositosis dan toksin akan menyebabkan
edema sitotoksik. Oleh karena adanya aliran cairan serebrospinal terganggu atau terjadi
hidrosefalus maka akan menyebabkan edema interstitial (Suharso, 1999).
Toksin kuman yang terabsorbsi dan terpenetrasi akan menyebabkan edema otak
dan vaskulitis. Kelainan saraf kranialis pada meningitis bakterial terjadi karena adanya

7
peradangan lokal pada perineurium dan penurunan ketersediaan vaskuler ke saraf
kranial. Infiltrasi kuman ke selaput otak di basal otak dapat menyebabkan ataksia ringan
dan paralisis saraf kranialis VI dan VII. Perluasan peradangan ke mastoid akan
menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelainan saraf II atau papilitis
dapat terjadi pada meningitis namun dapat terjadi buta cortikal akibat infark yang luas ke
korteks serebri. Manifestasi neurologis fokal timbul akibat trombosis vena dan arteri di
korteks serebri akibat edema dan peradangan yang menyebabkan infark serebri (Suharso,
1999).
Pada kasus, dari patogenesis yang terjadi pada meningitis bakterialis maka
pasien ini mengalami kejang.
1.1.5 Gejala Klinis
Gejala klinik meningitis pada anak, remanja, dewasa adalah demam tinggi, sakit kepala,
muntah, perubaan sensori, kejang, foto phobia, delirium, terdapat tanda-tanda meningeal
seperti kaku kuduk, kernig, atau brudzinki yang positif. Kejang terjadi pada 30% pada anak
yang meningitis bakteri. Tanda gejala meningitis biasanya kaku kuduk dapat disertai dengan
rigiditas spinal yang disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis. Kelainan saraf
yang disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium dan terganggungnya suplai vaskular
ke saraf sehingga saraf kranial yang sering terkena adalah N. VI, N.VII dan N.IV. Tanda
serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif serta yang
paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral dapat menyebabkan
serebritis dan abses. Trombosis vaskular dapat menyebabkan kejang dan hemiparesis
(Suharso, 1999).
Sedangkan pada infeksi encephalitis mirip flu terutama dengan penyebab virus, mulai
dengan sakit kepala, diikuti oleh perubahan keseadaran yang cepat dengan confusion,
kejang dan koma. Gejala-gejala yang muncul juga termasuk gejala-gejala peningkatan
tekanan intrakranial seperti sakit kepala berat, vertigo, nausea, konvulsi dan mental
confusion. Kemungkinan gejala lain yang bisa timbul termasuk photophobia, perubahan
sensorik dan kekakuan leher. Gejala epilepsi merupakan tanda gangguan neurologic dan
kognitif bisa juga terbentuk. Selain itu gejala lain dari ensefalitis adalah demam, sakit
kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, pusing,
cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan kesadaran, kurang berespons, kejang,
kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat ditemukan

8
Pada penelitian He dkk, didapatkan gejala berupa demam (89.3%), muntah (67.2%),
penurunan kesadaran (62.1%), ubun-ubun besar membonjol (54.2%), kejang (52.6%), dan
tanda meningeal (24.7%) (He Z., et al, 2016).

1.1.6 Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan
tanda saja.1 Kriteria diagnosis meningitis bakterial menurut World Health Organization
(WHO) adalah gejala klinis berupa demam atau tanda rangsang meningeal dan perubahan
pada cairan serebrospinal berupa pleositosis (>100/mm3) dan bakteri yang diketemukan
secara langsung dari hasil kultur atau secara tidak langsung berdasarkan pengecatan Gram
atau tes aglutinasi lateks (Namani, 1971). Trias klasik pada pemeriksaan cairan
serebrospinal didapatkan pleositosis, total protein yang meningkat dan kadar glukosa yang
rendah. Pada penelitian Paredes dkk, trias klasik tersebut terdapat pada 78% kasus anak
dengan meningitis bakterialis (Paredes, 2008). Diagnosis pasti meningitis hanya dapat
dibuat dengan pemeriksaan kultur cairan serebrospinalis melalui lumbal punksi, berikut
perbandingan karakter cairan serebrospinal, yaitu:

Normal Bakterial Viral TB Fungal


Makroskopik Jernih, keruh Jernih/opalescent Jernih/opalescent Jernih
tak
berwarna
Tekanan Normal meningkat Normal atau Meningkat Normal
meningkat atau
meningkat
Sel 0-5/mm3 100- 5-100/mm3 5-1000/mm3 20-
3
60.000/mm 100/mm3
Netrofil Tak ada >80% <50% <50% <50%
Glukosa 75% Rendah Normal Rendah (<50% Rendah
glukosa (<40% glukosa darah) (<80%
darah glukosa glukosa
darah) darah)
Protein <0,4 g/L 1-5 g/L >0,4-0,9 g/L 1-5 g/L 0,5-5 g/L
lainnya Gram positif PCR kultur Kultur positif Gram
<90%; positif <50% 50-80% negatif;
kultur positif kultur

9
<80%;kultur positif 25-
darah positif 50%
<60%
Tabel 1.1. perbandingan karakter CSS pada jenis meningitis yang berbeda

 Pungsi lumbal merupakan satu cara untuk mendiagnosis dengan pasti tetapi
tidak semua pasien dengan ensefalitis bisa di LP. Misalnya pada pasien ini,
karena dari CT scannya dicurigai adanya abses serebral,ditakuti jika dilakukan
LP akan terjadi herniasi. Kontraindikasi untuk dilakukan lumbal punksi antara
lain adalah:
o Trombositopenia (< 40,000)
o Protrombin time ( <50%)
o Adanya massa di posterior otak
o Peninggian tekanan intracranial karena SOL
o Infeksi local di tempat suntikan (dekubitus)
 Hitung jenis darah dan hapusan: leukositosis. Dapat menunjukkan limfosit yang
tidak khas pada infeksi Epstein-Barr viral, morulae pada Ehrlichia, trypanosomes
pada trypanosomiasis borreliae pada relapsing fever, atau gamete pada
Plasmodium falciparum malaria.
 Tes darah yang lain termasuk, kultur darah, fungsi ginjal dan elektrolit, fungsi
hati, glukosa, ESR dan CRP. Pengukuran C-reactive protein dalam cairan
serebrospinal mempunyai kepekaan, ketepatan dan produktif yang tinggi dalam
menentukan bakterial penyebab pada meningitis (Suharso, 1999). Pada
meningitis bakterialis didapatkan peningkatan kadar prokalsitonin lebih dari
0.5ng/ml dan kadar CRP lebih dari 20mg/liter. Kedua parameter ini dapat
digunakan untuk membedakan meningitis bakterialis dengan akbiat virus.
 CT scan: Dapat membantu menyingkirkan adanya space-occupying lesion,
stroke, fraktur basiler tengkorak, dan mendeteksi CSF kebocoran cairan
serebrospinal pada sisi fraktur. CT scan juga digunakan mengidentifikasi
peningkatan tekanan intracranial.

10
 MRI scan: Memberikan deteksi sensitive terjadinya demyelinisasi dan
memberikan kemungkinan perubahan edematous yang terjadi pada stadium dini
encephalitis.
 Electroencephalogram (EEG): Seringkali memberikan hasil abnormal (terjadi
perlambatan difuse dengan periodic discharges) pada infeksi herpes simpleks
akut dan kronik dan kadang-kadang dapat membantu menentukan lokasi stadium
dini. Lebih banyak memberikan hasil dibandingkan CT scan pada minggu
pertama.
Sedangkan menurut Kementrian Kesehatan RI secara umum penegakan diagnosis TB
pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
Pemeriksaan bakteriologis TB yang dilakukan yaitu:
a. Mikroskopis BTA: Pencarian BTA di LCS sangat penting untuk diagnosis
meningitis TB dan literatur menunjukkan bahwa BTA dapat dilihat pada hingga 80%
kasus dewasa tetapi hanya 15-20% anak-anak (Thwaites., et al, 2009).. BTA lebih
jarang ditemukan di LCS pasien dengan tuberkuloma serebral atau tuberkulosis spinal
dibandingkan dengan meningitis TB dan pemeriksaan jaringan biasanya diperlukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis (Thwaites., et al, 2009).
Kelainan yang ditemukan pada LCS pasien dengan meningitis TB cukup khas.
Biasanya, terdapat reaksi limfositik yang dominan (60-400 leukosit/ ml) dengan
peningkatan kadar protein (0,8-4 g/l). Pada tahap awal infeksi, peningkatan sejumlah
besar sel polimorfonuklear dapat diamati, tetapi selama beberapa hari hingga minggu
biasanya digantikan oleh limfosit. Terdapat penurunan bertahap konsentrasi gula pada
LCS, yang biasanya mencapai kurang dari 50% konsentrasi glukosa serum, nilainya
dapat berkisar antara 18-45 mg/dl (Sultan, 2017).
b. Tes cepat molekuler (TCM) M. tuberculosis: dapat mengidentifikasi M.
tuberculosis dalam <2 jam, antara lain pemeriksaan line probe assay seperti Hain Geno
Type dan nucleic acid amplification test (NAAT) seperti Xpert MTB/ RIF. Xpert MTB/
RIF direkomendasikan WHO dan digunakan secara luas untuk deteksi cepat kuman TB,
terutama pada komunitas dengan insidensi TB dan TB MDR tinggi (Nhu, 2014). Meta
analisis terbaru menunjukkan bahwa tes amplifikasi asam nukleat komersial (NAAT)

11
untuk diagnosis meningitis TB adalah 56% sensitif (95% IK 46-66%) dan 98% spesifik
(95% IK 97-99%) (Sultan, 2017).
c. Kultur M. tuberculosis: merupakan baku emas diagnosis TB, yaitu dengan
menemukan M. tuberculosis dari cairan serebrospinal atau biopsi jaringan. Kultur tidak
rutin dilakukan karena membutuhkan waktu lama, dianjurkan pada suspek TB-MDR,
diagnosis infeksi M. tuberculosis belum pasti, suspek infeksi M. non tuberculosis dan
komorbid HIV. (Level of evidence 3) Pada sebuah penelitian di Italia tahun 2015
didapatkan hasil kultur yang positif hanya 13 persen dari seluruh pasien yang
didiagnosa dengan meningitis TB (Elvina, 2017).
2. Gejala klinis khas TB
Selain gejala umum berupa keluhan kronik tidak khas, sepeti anoreksia, BB turun,
gagal tumbuh, demam lama tanpa penyebab jelas, batuk dan sesak napas; pada
kebanyakan anak-anak dengan meningitis TB, terdapat fase prodromal malaise dan
mialgia yang berlangsung selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala dan tanda-tanda
iritasi meningeal. Sakit kepala progresif dan terus menerus serta kaku kuduk muncul
pada sekitar 25% dari pasien. Riwayat infeksi TB sebelumnya terdapat pada 50% anak
dan 10% orang dewasa (Thwaites., et al, 2009).

Tabel 1.2. Gambaran klinis meningitis TB pada anak yg lebih besar dan dewasa2

12
3. Bukti infeksi TB
Bukti infeksi TB dapat berupa kontak erat dengan pasien TB BTA positif atau uji
tuberkulin positif. Uji tuberkulin membantu menegakkan diagnosis TB anak khususnya
jika riwayat kontak tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi dan
sakit TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukkan adanya infeksi, tapi belum tentu sakit
TB. Hasil negatif uji tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB, dapat terjadi
pada >40% TB diseminata. Hasil tuberkulin tergantung pada imunitas dan beratnya
penyakit. Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah
immunoglobulin release assay (IGRA). IGRA tidak dapat membedakan infeksi TB laten
dan aktif, sehingga penggunaannya di lapangan belum direkomendasikan (Kementrian
Kesehatan, 2916). Penggunaan uji tuberkulin untuk tuberkulosis SSP sangat bervariasi:
dalam beberapa penelitian hanya 10-20% pasien dengan tuberkulosis SSP menunjukkan
hasil tes positif; laporan lain sekitar 50%. Jumlah hasil positif untuk anak bervariasi
antara 30 dan 65%, meskipun anak-anak dari daerah prevalensi tuberkulosis tinggi lebih
mungkin untuk menunjukkan hasil positif dengan penyakit yang tidak terkait
(Thwaites., et al, 2009)..
4. Gambaran radiologis sugestif TB
Sekitar 60% anak dengan meningitis TB menunjukkan gambaran TB paru. Foto
toraks yang abnormal, umumnya menunjukkan gambaran limfadenopati dan infiltrat
namun dapat juga normal. Hasil CT scan kepala dan MRI khususnya pada daerah basal
otak, menunjukkan gambaran penyengatan pada basal meningeal dan hidrosefalus.
Infark paling sering dijumpai pada daerah ganglia basalis sementara tuberkuloma
dijumpai pada 74% kasus ditandai dengan gambaran space occupying lesion.
Pemeriksaan dengan MRI kepala lebih sensitif di bandingkan CT scan, khususnya untuk
melihat lesi-lesi yang melibatkan batang otak dan selaput otak (Elvina, 2017).

1.1.7 Penatalaksanaan
 Antibiotik

Tabel 1.3. Penatalaksanaan Empiris Meningitis Bakterial Menurut Usia Pasien


 Umur Pasien  Terapi Antimikroba

13
 0-4 minggu  Cefotaxime+Ampicilin

 4-12 minggu  Seftriakson+Ampicilin

 3 bulan – 18 tahun  Seftriakson/Ampicilin+Kloramfenikol

 18-50 tahun  Seftriakson+Ampicilin

 >50 tahun  Seftriakson+Ampicilin

 Immunocompromised  Vancomycin+Ampicilin+Ceftazidime
state
 Trauma Kepala  Vancomycin+Ceftazidime

 LCS Shunt  Vancomycin+Ceftazidime

Tabel 1.4. Penatalaksanaan Meningitis Bakterial Menurut Bakteri Penyebab8


Mikroorganisme Terapi

Haemophilus influenza Ampicilin, Seftriakson

Neisseria meningitides Penisilin

Streptococcus pneumoniae Penicilin, Sefalosporin

Enterobacteriaceae Seftriakson

Pseudomonas aeruginosa Ceftazidime

Listeria monocytogenes Ampicilin

Streptococcus agalactiae Ampicilin

Staphylococcus aureus Vancomycin

Staphylococcus epidermidis Vancomycin

 Terapi Tuberkulosis

14
Menurut consensus tatalaksana untuk infeksi TB di susunan saraf pusat adalah
sama walaupun mengenai lokasi yang berbeda seperti meningens, jaringan otak
atau bagian lain.
 Sediaan OAT
Rifampicin : 10 mg/kgBB/hari po
Isoniazid : 5 mg /kgBB/hari po
Pyrazinamid : 25 mg/kgBB/hari po
Ethambutol : 20 mg/kgBB/hari po
Streptomycin : 20 mg/kgBB/hari po
 Lama pemberian: 2R-H-Z-E / S+7-10 R-H-Z
 Stadium Meningitis TB
Grade I : GCS 15, tanpa defisit fokal
Grade II : GCS 11 – 14 / GCS 15 + defisit fokal
Grade III : GCS ≤ 10
 Skoring Meningitis TB
VARIABLE SCORE
Age (years)
≥ 36 +2
< 36 0
Blood white cell count
(103/mL)
≥ 15.000 +4
< 15.000 0
Duration of illness (days)
≥6 -5
<6 0
CSF total white cell count
(103/mL)
≥ 900 +3
< 900 0

15
CSF percentage neutrophils
≥ 75 +4
< 75 0

Total score ≤ 4 suggest tuberculous meningitis.


Total score > 4 is against tuberculous meningitis.

 Steroid pada Meningitis TB


Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4 minggu,
dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak memungkinkan dapat diberikan
deksametason dengan dosis 0.6 mg/kgBB/hari IV selama 2–3 minggu.
Dexamethasone hanya direkomendasikan untuk pasien HIV Negatif
 Meningitis TB Grade I
- Minggu I : 0,3 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu II : 0,2 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu III-IV : mulai 4 mg / hari po dan diturunkan 1mg/hari tiap minggu
 Meningitis TB Grade II / III
- Minggu I : 0,4 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu II : 0.3 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu III : 0,2 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu IV : 0,1 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu V-VIII : mulai 4 mg/hari po dan diturunkan 1 mg/hari tiap
Minggu
1.1.8 Komplikasi

Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan


kronis. Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome
of Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya
tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran
molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi
aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen
selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema
vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). Komplikasi intermediet terdiri
16
atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik
adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik.

2. 1 Kejang
2.1.1 Definisi Kejang
Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari
aktifitas neuronoral yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang
berlebihan. Aktivitas ini bersifat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks
serebri atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak (Nirwanatjeh, 2008).

Kejang (konvulsi) didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak tanpa disengaja


paroksimal yang dapat nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas
motorik, abnormal, dan kelainan perilaku (Wijayanti, 2008).

2.1.2. Etiologi

Tidak ada penyebab tunggal pada epilepsi. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-
sel saraf otak atau lintasan komunikasi antarsel otak yanga dapat menyebabkan epilepsi.
Hampir 60% penyebab epilepsi adalah idiopatik. Beberapa faktor penyebab terjadinya
epilepsi yaitu trauma kepala, intoksikasi obat, tumor otak, gangguan keseimbangan
elektrolit dan infeksi.
 Idiopatik
Penyebab yang tidak diketahui ini dapat terjadi pada semua usia tapi lebih sering
pada kelompok umur 5-20 tahun. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI, biasanya
tidak ditemukan kelainan. Penderita juga sering mempunyai riwayat keluarga yang
mengidap epilepsi.
 Kelainan metabolik
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan terjadi akibat komplikasi
dari diabetes mellitus, keseimbangan elektrolit, gagal ginjal, defisiensi nutrisi dan
intoksikasi alkohol atau obatan.
 Trauma kepala

17
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur terutama pada dewasa muda. Epilepsi
lebih sering terjadi pada kontusio serebri dan biasanya muncul bangkitkan 2 tahun
pascacedera.
 Tumor
Tumor adalah penyebab yang bisa terjadi pada semua umur terutama pada umur di
atas 30 tahun yang pada awalnya berupa bangkitan parsial dan kemudian
berkembang menjadi bangkitan umum tonik-klonik.
 Infeksi
Infeksi juga bisa menyebabkan epilepsi yang biasanya dalam bentuk ensefalitis,
meningitis atau abses.

2.1.3 Patofisiologi
Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini
adalah wajar. Manifestasi biologik merupakan gerak otot atau sesuatu modilitas sensorik
dan iyanya bergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. 1,3
Secara fisiologis, neuron memiliki potensial membran. Hal ini terjadi karena
adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran pada bagian
interneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan
dendrit. Suatu cetusan listrik melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat dan proses inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim disepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain. Sel glia mempunyai bagian terbesar dari sel-
sel di susunan saraf pusat dan mempunyai peranan dalam mempertahankan keseimbangan
ionisasi agar depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul dengan depolarisasi. Oleh
karena itu, sel glia berperan dalam inhibisi. 1,7,12
Pada keadaan patologik, kejang biasanya memerlukan tiga kondisi:
 Neuron yang mengalami eksitasi akibat faktor patologi

 Peningkatan aktivitas eksitasi glutamat

 Penurunan aktivitas inhibasi GABA

18
Pada keadaan yang bersifat toksik atau mekanik, keadaan ini dapat menurunkan potensial
membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Hal ini sama pada
tumor serebri atau iskemik serebri dimana neuron kortikal mengalami gangguan pada
potensial membrannya sehingga ia melepaskan muatan listriknya. Dalam keadaan
peningkatan aktivitas eksitasi glutamat, bangkitan epilepsi dapat terjadi apabila proses
eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibasi.1,7
Bangkitkan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron yang abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkaitan dengan cetusan potensial aksi
secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengaktifkan
neuron-neuron di sekitarnya untuk ikut serta melepaskan cetusan potensial aksi. Faktor-
faktor yang mendukung pengembangan kejang termasuk perubahan dalam konsentrasi
elektrolit (Na +, K +, Ca2 +), rangsang asam amino (asam glutamat), dan penghambatan
asam amino (GABA), koneksi interneuron yang tidak teratur, dan hubungan aferen yang
abnormal dari struktur subkortikal.

2.1.4 Jenis Kejang

Menurut Hidayat (2006) jenis kejang dibagi dalam dua kategori besar yakni:

I. Kejang Parsial (fokal atau lokal)


Kejang parsial terdiri atas dua yakni yang bersifat sederhana dan
kompleks. Kejang sederhana memiliki ciri sebagai berikut: kesadarannya
tidak terganggu, adanya tanda seperti kejutan pada wajah, tangan atau salah
satu bagian sisi tubuh, biasanya disertai dengan adanya muntah, berkeringat,
muka merah, serta adanya dilatasi pupil dan adanya tanda keseimbangan
terganggu seperti mau jatuh dan adanya rasa takut.
Sedangkan gejala dari kejang parsial yang kompleks memiliki ciri sebagai
berikut: adanya gangguan kesadaran meskipun pada awalnya sebagai gejala
yang sederhana, adanya gerakan otomatis seperti mengecap-ngecapkan bibir,
gerakan mengunyah atau adanya gerakan tangan.
II. Kejang umum (konvulsif dan nonkonfulsif)
Kejang umum terdiri dari:
A. Kejang mioklonik
19
Memiliki ciri kedutan pada daerah otot yang dapat terjadi secara
mendadak.
B. Kejang Tonik Klonik
Ditandai dengan hilangnya kesadaran, kaku pada otot ekstremitas,
battang tubuh dan wajah, yang dapat terjadi kurang dari satu menit,
adanya gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
C. Kejang Atonik
Dapat terjadi kehilangan tonus secara mendadak sehingga
menyebabkan kelopak mata menurun, kepala menunduk dan dapat
jatuh ke tanah yang terjadi secara singkat tanpa adanya peringatan.
D. Status epileptikus
Dapat didahului dengan kejang tonik-klonik umum secara berulang,
tidak sadar, dapat terjadi depresi pernafasan, hipotensi dan hipoksia.

2.1.3 Tatalaksana saat kejang

Pada umunya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti.Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena.Dan jika kejang masih berlanjut, dilanjutkan
dengan algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
terapi antikonvulsan profilaksis.
20
Gambar 1. Algoritma tata laksana kejang akut

Selain diazepam terdapat obat antikonvulsi yang lain, yakni:


Obat anti-epilepsi yang utama:
1. Fenobarbital
Obat ini tidak lagi dianjurkan dalam perkembangan dunia, tapi obat ini
merupakan antikonvulsan yang berguna, efektif dan murah. Tetapi jika tidak ada
perbaikan, atau bahkan kondisinya memburuk dosis tidak harus ditingkatkan di luar
120 mg setiap hari, dan pasien dirujuk ke klinik atau rumah sakit yang menyediakan
antikonvulsan selain fenobarbital. Efek samping utama dari fenobarbital adalah
mengantuk, terutama selama minggu pertama pengobatan, perlahan-lahan
menghilang, dan hanya berulang ketika dosis terlalu tinggi. Pada beberapa anak
mungkin ada pengurangan skolastik kinerja atau perubahan perilaku, seperti

21
hiperaktif dan kadang-kadang agresivitas. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang
panjang. Oleh karena itu, akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai
efek . Ini juga berarti bahwa hal itu dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya
setelah makan malam sebelum pasien tidur. Indikasi utama adalah epilepsi idiopatik
umum. Tetapi juga cukup efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial.

2. Fenitoin
Fenitoin juga merupakan antikonvulsan sangat efektif untuk kejang parsial,
GTCS dan kejang saat tidur. Masalah utama adalah margin kecil antara tingkat
terapeutikk dan tingkat di mana enzim metabolisme jenuh dan tingkat serum
meningkat secara bertahap untuk mencapai nilai-nilai beracun. Peningkatan dosis
tidak lebih besar dari 50 mg untuk mencegah efek samping. Efek samping adalah
rasa kantuk, permen hipertrofi dan hirsutisme, dan ketika dosis adalah ataksia terlalu
tinggi dan nystagmus. Selain tanda-tanda cerebellar reversibel pada dosis tinggi,
telah disarankan bahwa sindrom cerebellar permanen mungkin terjadi akibat dari
terapi kronis. Sebuah sub-klinis neuropati ringan sering terjadi setelah terapi fenitoin
berkepanjangan, tetapi dapat terjadi dengan obat lain juga. Jika toksisitas telah
muncul, dosis harus dihilangkan untuk satu hari dan kemudian dimulai kembali pada
tingkat yang lebih rendah. Jika memungkinkan, perubahan-over untuk antikonvulsan
lain dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut. Fenitoin juga memiliki
waktu paruh yang panjang tergantung dosis, waktu paruh lebih lama pada dosis yang
lebih tinggi, dan mungkin diperlukan waktu hingga dua minggu sebelum menjadi
efektif. Hal ini dapat diberikan dalam dosis sekali sehari. Karena sedikit mengiritasi
lambung, harus selalu diberikan setelah makan, dan ketika dosis tinggi, mungkin
lebih baik untuk membaginya menjadi dua dosis.

3. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan obat yang dipasarkan setelah 1960. Indikasi utama
adalah untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk sebagian lainnya
kejang dan untuk semua GTCS. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan
mioklonik kejang. Pada awal pengobatan mengantuk, pusing dan terjadi lagi ketika
dosis terlalu tinggi. Kemudian mungkin ada juga penglihatan ganda dan ataksia.

22
Tidak memiliki waktu paruh yang panjang dan karena itu tidak dapat diberikan sekali
sehari. Perlu diberikan dua kali sehari dan bila dikombinasikan dengan obat lain
harus diberikan tiga kali sehari.

4. Valproate
Valproate telah dipasarkan sejak tahun 1966. Indikasi utama adalah
ketidakhadiran umum, kejang mioklonik, dan serangan drop. Hal ini juga digunakan
untuk GTCS terjadi setelah kebangkitan. Dan jika perlu mungkin akan digunakan
untuk semua jenis kejang lainnya. Ketika fenobarbital tidak dapat digunakan sebagai
pencegahan kejang demam, valproate dapat digunakan sebagai pengganti. Ia
memiliki waktu paruh pendek. Meskipun tindakan farmakodinamik dalam sistem
saraf pusat melebihi kehadirannya dalam serum, harus diberikan tiga kali sehari
untuk menghindari konsentrasi tingkat tinggi. Efek samping yang spesifik adalah
peningkatan berat badan, kehilangan rambut, dan iritasi lambung. Efek pada janin
lebih serius, seperti spina bifida mungkin terjadi. Risiko spina bifida dikurangi
dengan menambah folat pada semua wanita berisiko hamil.

5. Klonazepam
Klonazepam jarang digunakan sendiri. Hal ini biasanya ditambahkan ketika tidak
ada kontrol yang cukup dari kejang, sering pada anak dengan serangan penurunan
dan kejang mioklonik.

23

Anda mungkin juga menyukai