Bab Iii
Bab Iii
PEMBAHASAN KASUS
Pada pasien ini yang penyebab yang lebih mendekati adalah meningoensefalitis TB
karena di pemeriksaan rongen thorax didapatkan hasilnya TB, hal tersebut memungkinkan
kuman Mycobacterium tuberculosa menyebar hingga mencapai ke selaput otak dan otak.
Dikarenakan keluarga tidak pernah membawa pasien untuk mengobati batuknya menyebabkan
1
kuman berada dalam tubuh dan menyebar ke organ tubuh yang lain. Kaku kuduk pada pasien
ini positif dan sehingga kuman TB sudah masuk ke meningen. Riwayat sering demam yang
jarang sekali namun hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu menguatkan diagnosis bahwa pasien
sedang dalam proses infeksi yang kronis. Namun dari hasil pemeriksaan Leukosit darah tidak
meningkat. Tindakan lumbal pungsi untuk menilai LCS pada pasien ini tidak dapat dilakukan
karena tidak adanya fasilitas yang lengkap ada RSUD. Sedangkan pemeriksaan CT Scan Kepala
dalam batas normal, sedangkan rongen thorax diduga TB.
Hasil pemeriksaan fisik abnormal pada pasien yaitu terdapat kaku kuduk, pemeriksaan
patologis positif, dan tonus otot spastik. Pemeriksaan PCR TB darah pasien ini tidak dapat
dilakukan karena keterbatasan, tetapi tetap tidak menolak kemungkinan penyebab
meningoensefalitis adalah dari TB selagi tidak ditegakkan dengan lumbal pungsi. Pemeriksaan
PITC dilakukan untuk menolak diagnosis adanya infeksi dari HIV. Hasil laboratorium
menunjukkan anti-HIV bersifat non-reaktif.
Pengobatan pasien ini diketahui memiliki berat badan 15 kg, sehingga memperoleh
terapi berupa 3 tablet pada fase intensif selama 2 bulan dan 2 tablet pada fase lanjutan selama 7-
10 bulan. Pengobatan pasien yang diberikan bersifat adjuvant. Dengan pemberian OAT
diharapkan infeksi di selaput otak dapat disembuhkan. Setelah 2 minggu pengobatan,pasien
seharusnya dilakukan CT scan kepala sekali lagi untuk menilai perjalanan penyakitnya dan
apakah dengan pemberian OAT mempunyai reaksi yang baik sehingga gejala
meningoensefalitisnya membaik. Pasien diharapkan untuk terus mengkonsumsi OAT dengan
patuh pada jadwal pengobatan supaya penyebaran kuman di parenkim otak dapat disekat dan
dihilangkan sepenuhnya.
Selain pengobatan OAT pasien dengan meningoencephalitis pasien ini diberikan terapi
antibiotik. Menurut rekomendasi WHO baiknya diberikan pengobatan antibiotik empirik bisa
diganti dengan antibiotik yang lebih spesifi k jika hasil kultur sudah ada. Panduan pemberian
antiobiotik spesifik. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan
penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi
secara efektif dengan ceftriaxone sesuai dengan rekomendasi WHO (Van De, 2006).
Penggunaan Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi
limfosit T, monosit, makrofag, eosinofi l, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan
satusatunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinfl amasi normal. Kortikosteroid
juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinfl amasi TGF-s (Transforming Growth
2
Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul pengikat pada antigenprecenting
cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T matur dan monosit (Fernandes, 2014).
Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena kortikosteroid
dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses infl amasi. Gejala infeksi pada
pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat menunjukkan gejala yang tidak khas karena
adanya inhibisi pelepasan sitokin dan reduksi respons infl amasi. Untuk mencegah infeksi
oportunistik pada pengguna kortikosteroid jangka panjang, beberapa pakar menganjurkan
memulai terapi kortikosteroid dengan dosis dan potensi serendah mungkin tanpa mengabaikan
efi kasi.14 Sebelum memulai terapi kortikosteroid jangka panjang, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan
setiap 3 bulan (Liu, 2013).