FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
i
PRAKATA
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atas tuntunan dan anugrahnya-Nya, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan dapat
diselesaikan sesuai harapan. Pada akhirnya Buku Ajar ini dapat dihadirkan dengan
lebih lengkap setelah menggabungkan bahan ajar Tahun 2008 dan block book
Tahun 2012. Perubahan dalam buku ajar ini juga mencakup format, substansi,
penugasan yang disesuaikan dengan perbaruan kurikulum.Hal ini bertujuan agar
Buku Ajar mata kuliah Hukum Adat Lanjutan menjadi panduan pembelajaran yang
sistematis dan sangat praktis sehingga proses perkuliahan dan tutorial dapat
berjalan dengan baik.
Edisi revisi ini memuat substansi yang lebih terstruktur mencakup identitas
mata kuliah, capaian pembelajaran, hingga tugas dan evaluasi yang diatur tiap
pertemuan secara rinci. Harapannya Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan edisi revisi
dapat memberi pemahaman dan meningkatkan kompetensi dalam mendalami
hukum adat.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati kami ucapakan terima kasih
kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Wakil Dekan yang telah
senantiasa memberi dukungan atas proses pembelajaran sehingga bukuajar ini
dapat diselesaikan
2. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaianrevisi buku ajar
ini
Sangat disadari bahwa buku ajar yang kami hasilkan ini sangat jauh dari
sempurna sehingga memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikannya di waktu mendatang. Namun demikian, semoga buku ajar ini memberi
arti dan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
PRAKATA ....................................................................................................... ii
iii
PERTEMUAN III : PERKULIAHAN 2 HUKUM TANAH ADAT .......................... 20
1. Tanah Adat Sebagai Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat .... 20
2. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat ......................................... 20
3. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan .......... 24
Bahan Bacaan ................................................................................................. 27
v
PERTEMUAN VII : UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
LAMPIRAN :
1. SILABUS .............................................................................................. 93
2. RENCANA PROSES PEMBELAJARAN (RPP) .................................... 97
3. KONTRAK PERKULIAHAN ................................................................... 102
vi
BUKU AJAR
Prasyarat : -
Semester : IV
1
III. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Pembelajaran Mata kuliah Hukum Adat Lanjutan ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiwa tentang berbagai
memahami hukum adat secara dengan topik pembahasan yang mendalam yang
kemudian mampu menganalisis kasus kasus berkaitan dengan materi dalam
lingkaran hukum adat yang meliputi tatanan masayarakat adat yang meliputi:
pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum adat tentang keluarga, hukum
adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan hukum adat tentang
pelanggaran. Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat
perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).
3
Untuk pelaksanaan perkuliahan dari mata kuliah hukum adat lanjutan ini
direncanakan berlangsung 6 (enam) kali pertemuan untuk kuliah yaitu pertemuan ke
: 1,3,5,8,10,12 Sedangkan untuk pertemuan tutorial dan diskusi juga 6 (enam) kali
yaitu pada pertemuan ke : 2,4,6,9,11,13 Sementara itu evaluasi berlangsung pada
pertemuan ke 7 dan 14. Dalam perkuliahan hukum adat lanjutan ini akan dibahas
pokok-pokok materi bahasan yang akan disajikan dengan menggunakan alat bantu
seperti : papan tulis, power point serta menyiapkan bahan-bahan bacaan tertentu
dan apabila dipandang sulit untuk menemukan bahan-bahan bacaan tersebut maka
perlu disiapkan seperti : Buku Ajar dan Block Book dari materi mata kuliah yang
bersangkutan. Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa wajib mempersiapkan diri
(self study) dengan cara mencari bahan (materi) serta memahami materi dari
masing-masing pokok bahasan yang akan dikuliahkan ataupun yang akan
didiskusikan sesuai dengan apa yang telah diarahkan (guidance) dalam buku
ajar.Teknik Perkuliahan yang digunakan yaitu dalam bentuk : pemaparan materi,
tanya jawab dan diskusi (model proses pembelajaran dua arah). Pelaksanaan
tutorial dilakukan melalui strategi sebagai berikut :
VIII. TUGAS-TUGAS
Rangkaian tugas sebagai instrument penilaian diatur dengan mewajibkan
mahasiswa untuk mengerjakan tugas sesuai buku ajar ataupun variasi bahan saat
perkuliahan yang kemudian dibahas saat tutorial.Tugas individu ataupun tugas
kelompok menjadi bahan penilaian, bisa melalui paper test, dapat pula mahasiswa
yang presentasi.
4
IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN
Ujian akan dilaksanakan 2(dua) kali dalam satu semester dalam bentuk
tertulis baik pada Ujian Tengah Semester (UTS) maupun pada Ujian Akhir Semester
(UAS).
Penilaian akhir (Nilai Akhir = NA) akan disesuaikan dengan rumus yang telah
tercantum dalam Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana.
NA =
Nilai Range
A 80 – 100
B+ 70 – 79
B 65 – 69
C+ 60 – 64
C 55 – 59
D+ 50 – 59
D 40 – 49
X. BAHAN PUSTAKA
5
2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari
Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti, Bandung.
3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi
Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam
Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.
7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.
8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan Adat , Alumni, Bandung.
9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.
10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan Adat , Alumni, Bandung.
11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.
12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta.
13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini,
Airlangga Universitas Press, Surabaya.
14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil, PT. Media Sarana Press, Jakarta.
15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,
CV Rajawali, Jakarta.
17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat,
Alumni, Bandung.
18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian
Hukum dan Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.
19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.
22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6
24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang
Perlindungan anak.
27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45
Tahun 1990.
28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pndahuluan
2 II Tugas Tutorial 1
Penutup
Pendahluan
4 IV Tugas Tutorial 2
Penutup
7
Hukum Adat Kekeluargaan
Pendahluan
6 VI Tugas Tutorial 3
Penutup
Pendahuluan
9 IX Tugas Tutorial 4
Penutup
8
b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam
Hukum Adat Waris
c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat
Waris
d. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan
Dalam Hukum Adat Waris
Pendahukuan
Tugas : Kasus
11 XI Tutorial 5
Kasus Dalam hukum waris adat
Penutup
Hukum adat Pelanggaran
a. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran
Adat
12 XII b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat Kuliah 6
c. Reaksi Dan Koreksi Adat
d. Pelanggaran Adat Dalam Praktek
Peradilan
9
PERTEMUAN I : PERKULIAHAN 1
Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginseelen en stelsel van het adatrecht
Tahun 1939, yang dikutip oleh Soepomo : bahwa di seluruh kepulauan Indonesia
pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan
1
Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.49.
10
yang bertingkah laku sebaga kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bhatin.
Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-
orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan
sebagi hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari
mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu.
Golongan manusia tersebut mempunyai pengurus sendiri, dan mempunyai harta
benda milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat
persekutuan hukum.2
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum itu sebagai
kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang
sifatnya materiil maupun immatriil, berada dalam suatu pergaulan hidup yang sama
dengan kontinuitas hubungan dengan pola berulang tetap.
2
Ibid, hal.50.
11
itu adalah faktor teritorial dan faktor genealogis. Sehubungan dengan hal ini
Soekanto dalam bukunya, Meninjau Hukum Adat di Indonesia menyebutkan bahwa
desa di Bali adalah persekutuan teritorial, dimana warganya bersama-sama
mempunyai kewajiban dan kemampuan untuk membersihkan wilayah desa bagi
keperluan-keperluan yang berhubungan dengan agama. Ini berarti bahwa desa-desa
di Bali disamping memiliki unsur-unsur pembentuk (constituent element), juga
memiliki unsur yang bersifat magis religius. Unsur pembentuk itu tampak pada
adanya wilayah kekuasaan, warga, pemerintahan yang berwibawa dan harta
kekayaan baik materiil maupun immateriil. Sedang unsur yang bersifat religio magis
tampak dari keberadaan desa yang menjadi tempat persembahyangan bersama
bagi warga desa secara keseluruhan dan pelaksanaan ritual-ritual lain berkenaan
dengan kesejahteraan warganya.3
Agar suatu kriteria jelas dapat menunjukkan unsur-unsur dari suatu asyarakat
hukum dapat membedakannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain yang
bukan merupakan masyarakat hukum adat, perlu dicarikan kretiria lain sebagai
identifikasi diluar unsur-unsur yang telah disebutkan diatas yang akan mewujudkan
kelompok tersebut sebagai persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat.
Sebagai kriteria tambahan yang akan dapat membedakannya dengan kelompok
sosial yang lain yaitu berupa faktor-faktor pembentuknya yaitu :
1. Faktor Teritorial.
2. Faktor Genealogis.
Ad.1. Faktor Teritorial, apabila dilihat dari dasar teritorial semata sebagai
dasar pembentukan suatu masyarakat hukum adat, yaitu adanya kesamaan wilayah
3
Soerjono Soekanto, dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali,
Jakarta, hal.73.
12
atau tempat tinggal maka kelompok tersebut telah dapat diartikan sebagai suatu
masyarakat hukum. Karena contoh dan jumlah masyarakat seperti itu banyak ada di
indonesia antara lain di jawa dan bali (desa adat seperti yang dikemukakan oleh
Soekanto, seperti tersebut diatas).
Dari uraian diatas nampak bahwa masyarakat hukum adat terbentuk lebih
banyak didasarkan atas faktor teritorial. Hal ini karena ada kaitannya dengan sifat
hubungan hukum yang tampak dalam kelompok-kelompok tersebut, seperti sifat
“Patembayan” lebih menonjol dalam masyarakat hukum adat yang didasari oleh
faktor teritorial sedangkan sifat “paguyuban” lebih mendasari masyarakat hukum
yang bersifat genealogis.6
4
Ter Haar, 1976, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat (diterjemahkan oleh Soebakti
Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, hal.29.
5
Soepomo R. Op.Cit, hal.49.
6
Djojodigoeno, 1964, Azas-azas Hukum Adat, Yayasan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta,
hal.5.
13
a. Garis keturunan menurut garis bapak (Patrilinial) seperti orang-orang
Batak, Nias, Sumba dan Bali.
b. Pertalian darah menurut garis ibu (Matrilinial) seperti : famili di
Minangkabau
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (tata susunan parentil)
seperti orang-orang Jawa, Sunda, Aceh dan Kalimantan.
Arti dari penjelasan diatas bahwa pendatang akan mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda dengan penduduk yang sejak awal nenek moyangnya
sudah bertempat tinggal di dalam daerah persekutuan tersebut, oleh karenanyalah
mereka pada umumnya mempunyai kedudukan lebih penting daripada penduduk
pendatang.
Bahan diskusi :
7
Soepomo R, Op.Cit, hal.51-52.
14
3. STRUKTUR PEMERINTAHAN DALAM KESATUAN MASYARAKAT HUKUM
ADAT
a) Persekutuan desa yaitu segolongan orang yang terikat pada suatu tempat
kediaman yang sama meliputi perkampungan-perkampungan yang jauh
dari pusat pemerintahan dimana pejabat-pejabat desa bertempat tinggal.
Contohnya : Banjar di Bali.
b) Persekutuan daerah yaitu kesatuan dari beberapa tempat kediaman yang
masing-masing tempat kediaman itu mempunyai pimpinannya sendiri-
sendiri, sejenis dan sederajat. Tetapi tempat kediaman tadi merupakan
bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yang mempunyai hak ulayat
atas tanah-tanah yang ada dalam persekutuan hukum tersebut.
Contohnya : desa pakraman di Bali.
c) Perserikatan dari beberapa desa yaitu gabungan dari beberapa
persekutuan desa yang letaknya saling berdekatan satu sama lain,
mengadakan permufakatan untuk saling bekerja sama memelihara
kepentingan-kepentingan yang sama atau tujuan yang sama. Contohnya
di Bali : kerja sama dibidang pengairan subak, atau kegiatan lain disebut
dengan sekaa-sekaa antara lain sekaa manyi (menunai padi), sekaa gong,
sekaa semal (tupai kelapa).
15
Indonesia yang merupakan negara kepulauan sejak 17 Agustus 1945 adalah
negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai negara kesatuan yang bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat ditarik kesimpulan
akan pengakuan secara konstitusionil adanya hukum yang tidak tertulis. Dengan
demikian dari kesimpulan tersebut dapat diketahui hak hidup dan terpeliharanya
aturan-aturan hukum adat di Indonesia baik secara kenyataan maupun secara
yuridisnya mendapat tempat yang wajar.
8
Koesnoe Moch.1971, Hukum Adat Tata Negara, Puslit UNAIR, Surabaya, hal.24-25.
16
b) Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah pelanggaran
hukum, supaya hukum berjalan sebagaimana mestinya.
c) Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu
dilanggar.9
Bahan Bacaan :
9
Soepomo R, Op.Cit, hal.66.
17
PERTEMUAN II : TUTORIAL 1
I. PENDAHULUAN
II. TUGAS : PROBLEM TASK
Suatu saat desa pakraman mengalami suatu masalah yaitu ada seorang
krama desa melanggar norma kebiasaan dan adat di desa pakraman setempat, baik
dalam konteks pelanggaran di bidang parhyangan, pawongan dan palemahan, dilain
pihak desa pakraman tidak memiliki aturan hukum adat secara tertulis, sehingga
sulit bagi desa pakraman untuk menjatuhkan sanksi adat untuk para pelanggar
norma kebiasaan setempat.
Pertanyaan :
III. PENUTUP :
Bahan Bacaan :
18
3. Soerojo Wignyodipuro, 1968, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung.
4. Hilman Hadikusuma, 1981, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung.
5. Sagung Ngurah,dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum Dan
Masyarakat, Fak.Hukum Universitas Udayana Denpasar.
6. UUD RI 1945.
19
PERTEMUAN III : PERKULIAHAN 2
1. Karena sifatnya :
2. Karena fakta :
10
Soerojo Wignyodipuro, 1979, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat, Alumni, Bandung,
hal.247.
20
Bagi masyarakat hukum adat pada umumnya bahwa tanah mempunyai fungsi
yang sangat penting. Karena tanah merupakan tempat mereka hidup, tempat
mereka tinggal, dan tanah merupakan tempat yang memberikan penghidupan
kepada mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iman Sudiyat, bahwa sebagai salah
satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara tersebut, lebih-lebih corak
agrarisnya menominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan
demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat merupakan suatu “conditio sine qua non”.
Hak persekutuan atas tanah seperti yang dijelaskan diatas disebut dengan
“Hak Ulayat” antara hak ulayat dengan hak perseorangan atas tanah terdapat asas
yang disebut dengan “asas mulur mungkret atau mengembang mengempis”, artinya
dimana hak perseorangan kuat maka berarti hak ulayat atas tanah di daerah
tersebut menjadi melamah atau berkurang. Demikian sebaliknya dimana hak
perseorangan melemah maka berarti hak ulayat di daerah tersebut menjadi kuat.
HAK ULAYAT
21
masyarakat hukum itu. Hak atas tanah tersebut disebut dengan “ hak ulayat atau
hak pertuanan”. Hak ulayat ini oleh Van Vollenhoven diistilahkan dengan nama
“beschikkingsrecht”. Istilah beschikkingsrecht ini dipakai oleh Van Vollenhoven
sebagai pengganti istilah yang dipakai sebelumnya adalah “hak egiendom
(eigendomsrecht)” dan atau hak yasan komunal.11
Jadi hak ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah,
melahirkan suatu hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di
dalam batas-batas lingkungannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah meliputi:
tanah (daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta perairannya),
tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu
pertukangan, kayu bakar) dan binatang yang hidup liar.
Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti
tersebut diatas, maka masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat dilakukan
dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun tumbuh-
tumbuhan. Disamping itu, masyarakat hukum berdasarkan wewenangnya
membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil tersebut.
11
Ter Haar, Op.Cit, hal.71.
22
beralih kepada negara. Dengan demikian hak-hak atas tanah yang dapat diperoleh
oleh Warganegara Republik Indonesia diatur sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam UUPA tersebut. Seperti diatur dalam Pasal 16 UUPA, pada intinya
menyebutkan pada penjelasannya bahwa UUPA adalah berlandaskan pada hukum
adat. Seperti juga tertuang dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa UUPA
berlandaskan hukum adat.
Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat ditemukan dalam Pasal3,
yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
Bahan Diskusi :
23
Seperti telah diuraikan diatas bahwa tanah bagi masyarakat hukum adat pada
umumnya merupakan hal yang sangat penting, oleh karena tanah merupakan
tempat tinggal, tempat hidup dan kehidupannya, tempat “roh” para leluhurnya yang
dikebumikan dan disemayamkan oleh anggota masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara tanah dengan
masyarakat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat sekali.
Hubungan yang demikian itu pula akan melahirkan suatu hak dari masyarakat
hukum adat terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas lingkungan wilayahnya,
yang oleh Van Dijk dikatakan bahwa hak ulayat ataupun disebut dengan “hak
prabumian” di Bali adalah berakibat kedalam dan keluar.12
Yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku kedalam adalah anggota
masyarakat hukum adat diperbolehkan untuk menikmati tanah dengan segala isinya
yang menimbulkan adanya hubungan antara hak ulayat dengan hak perseorangan
atas tanah yang lama kelamaan menjadi kuat, dan akhirnya melahirkan hak milik
atas tanah dari anggota masyarakat hukum adat.
12
selanjutnya baca : I Wayan Beni, Cs, 1983, Hukum Adat Dua (BagianII), Fak.Hukum Unud,
hal.4 dan Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fak. Hukum Unud, hal.127-128.
24
Seperti yang diungkapkan oleh Suasthawa D, bahwa sebelum berlakunya
UUPA, di Indonesia berlaku dua macam hukum tanah yaitu : hukum tanah adat dan
hukum tanah barat, sehingga dengan demikian menyebabkan ada dua macam
tanah yaitu “ tanah adat atau disebut pula tanah Indonesia yang sepenuhnya tunduk
pada hukum adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak
tertentu. Dan dilain pihak ada “tanah barat” atau disebut pula dengan tanah eropah,
yang dapat dikatakan bahwa tanah-tanah ini tunduk pada hukum agraria barat yang
kesemuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah menurut
“overschrijvingsordonantie” atau ordonansi balik nama (stb.1834 No.27). jadi tanah-
tanah yang tunduk pada hukum (agraria) adat adalah termasuk tanah adat yang ada
di Bali.13
13
Made Suasthawa.D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA,
CV.Kayumas Agung, Denpasar, hal.21-22.
25
memungut hasil dan hak yang tidak termasuk dalam hak tersebut yang ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.14
Dalam konteks macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam pasal
16 uupa, hak ulayat tidak dimasukkan dalam pengertian hak atas tanah. Pengertian
hak ulayat adalah sebagaimana dirumuskan dalam PMNA/ Ka. BPN No.5 Tahun
1999. Kedudukan keberadaan hak ulayat dapat dilihat sebagaimana pelimpahan
wewenang dari negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 4 UUPA, hak
menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilimpahkan wewenang hak
menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilimpahkan wewenang hak
penguasaan dari negara atas tanah kepada pemerintah daerah dan kepada
masyarakat hukum adat.15
14
Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika
Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h.101
15
Ibid,hal102
26
Bahan Bacaan :
27
PERTEMUAN IV : TUTORIAL 2
I. PENDAHULUAN
Hak ulayat dengan hak-hak anggota masyarakat hukum adat mempunyai
hubungan timbal balik yang bertujuan untuk mempertahankan keserasian antara
kepentingan masyarakat hukum dan hubungan ini saling desak atau batas
membatasi atau disebut pula mempunyai sifat mulur mungkret atau mengembang-
mengempis atau tarik ulur yang artinya, dimana hak ulayat kuat disitu hak
perseorangan atas tanah menjadi lemah atau sebaliknya. Contohnya di Desa
Tenganan Pengingsingan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat yang berlaku keluar adalah
larangan-larangan terhadap orang luar yang tidak menjadi anggota masyarakat
hukum adat kecuali atas seijin desa setelah membayar uang pengakuan atau mesi
atau recognitie ( di Bali disebut dengan batu-batu atau penanjung batu).
III. PENUTUP
Bahan Bacaan :
28
3. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung.
4. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan
Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.
5. UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
6. UU No 10 TAhun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
7. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
8. Perda Propinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD
9. SK bersama Mentri Keuangan (No. 351.1/KMK.010/2009), Mentri Dalam
Negeri (No. 900-639 A tahun 2009), Menteri Koperasi Dan UKM (No.
01/SKB/M.KUKM/IX/2009), Dan Gubernur Bank Indonesia (No.
11/43A/KEP.GBI/2009) tentang Strategi Pengembbangan Lembaga Keuangan
Mikro- Menetapkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro-wajib berbadan
hukum BPR atau koprasi atau BUMD.
29
PERTEMUAN V : PERKULIAHAN 3
Istilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana hukum adat tidak ada
kesatuan istilah seperti Ter Haar memakai istilah hukum kesanak saudaraan,
Soerjono Soekanto memakai istilah Hukum Keluarga, sedangkan Djaren Saragih
maupun Soerojo Wignyodipuro memakai istilah Hukum kekeluargaan. Untuk
mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan Hukum Adat Kekeluargaan itu,
perlu mencari beberapa pendapat sarjana. Secara umum pengertian yang
terkandung dalam hukum adat kekeluargaan itu antara lain :
Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan biologis akan beraneka
ragam tergantung dari bentuk perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita atau
orang tua mereka. Apabila hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang pria dan
wanita tanpa dilakukan secara sah maka anak-anak yang lahir dari hubungan
tersebut akan menjadi anak tidak sah. Hal seperti ini akan menjadi berbeda apabila
hubungan biologis itu dilakukan secara saah maka anak-anak yang dilahirpun akan
menjadi anak-anak yang sah.
16
Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal.123.
30
2. SISTEM KEKELUARGAAN DI INDONESIA
Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia antara lain :
31
yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara hubungan kedua belah pihak itu tidak
terputus sama sekali.
Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama dari keluarga pancar
wanita kecuali keluarga dari pancar laki-laki sudah tidak ada lagi, barulah keluarga
dari pancar wanita mendapat perhatian baik mengenai penerimaan warisan maupun
pemeliharaan anak. Dalam masyarakat yang berhukum kekeluargaan patrilinial pada
umumnya terdapat cara perkawinan, dimana si wanita sesudahnya kawin akan
tinggal pada kelompok keluarga suami, demikian pula si anak masuk golongan
keluarga (clan) bapaknya. Sebagai corak kedua dalam susunan kekeluargaan di
Indonesia pada umumnya yang bersifat “klasifikatoris”, artinya bahwa seluruh
generasi dari bapak (dan ibu), seorang anak dari beberapa hal mempunyai
kedudukan yang sama dengan bapak serta ibunya, tanpa memperhatikan umur
yang bersangkutan.17
Hal diatas adalah berkaitan dengan istilah menyapa dan menyebut atau cara
memanggil seseorang dalam keluarga baik keluarga dari bapak maupun dari
keluarga ibu tanpa memandang umur dari mereka yang disapa atau disebut
tersebut.
Bahan diskusi :
a. Apakah ada perbedaan kedudukan antara orang yang satu dengan orang
yang lainnya sebagai akibat adanya hubungan biologis atau karena
perbuatan hukum lainnya di Indonesia ?
b. Jelaskan perbedaan konsep dan akibat hukumnya antara patrilinial Batak
dengan patrilinial Bali ?
c. Jelaskan pengertian unilateral, bilateral, patrilinial beralih-alih !
17
Gede Panetja, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV.Kayumas, hal.41.
32
3. KETURUNAN DAN PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT
PADA UMUMNYA
Oleh karena itu, jika khawatir akan menghadapi kenyataan tidak mempunyai
keturunan maka dapat melakukan pengangkatan anak untuk menghindari
kepunahan. Orang yang satu sebagai keturunan dari orang yang lainnya mempunyai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu sesuai dengan kedudukan dalam
keluarga yang bersangkutan.
SIFAT-SIFAT KETURUNAN
18
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.128.
19
TIP.Astiti,Cs, 1984, Hukum Adat Dua (Bagian II), Dokumentasi dan Publikasi Fak.Hukum
Unud, Denpasar, hal.2.
33
dilihat dari atas kebawah yang disebut lurus kebawah yaitu dari : kakek, bapak,
anak.
b) Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping atau bercabang yaitu :
apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur,
yang disebut dengan “sepupu”.
c) Hubungan darah antara seseorang dengan orang lainnya.
Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan tersebut,
karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum yang
berbeda. Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat dengan
hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat dekat
mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka ada
larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara kakek dengan
cucunya, atau antara saudara kandung.
20
Ibid, hal.3.
34
e. Melalui keturunan dapat dibuat ssisilah keluarga yang akan memberikan
gambaran dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami
istri, baik yang lurus keatas maupun kebawah, menyimpang, menyamping
baupun bercabang.
f. Berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah
diantara mereka ada hubungan darah dekat yang merupakan larangan
untuk mereka kawin (menjadi suami-istri), misalnya adik dengan kakak
sekandung.
PENGANGATAN ANAK
Suami istri yang telah lama melangsungkan perkawinan dan kemudian tidak
mempunyai anak, maka mereka kadang-kadang meminjam anak kecil dari orang
lain yang sering disebut istilah pinjam anak kecil sebagai “penuntun”. Tetapi ada
pula dengan cara lain untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara mengangkat
anak.
1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua perbuatan hukum yang harus
dilalui dalam proses pengankatan anak yaitu di satu pihak melepaskan anak
tersebut dari ikatan kekeluargaan dengna orang tua kandungnya dan di pihak
21
Soerjono Soekanto dan Soleman Biasana Taneko, Op.Cit, hal.275.
22
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.141.
23
Ter Haar, Op.Cit, hal.153.
35
lain memasukkan anak tersebut ke dalam ikatan kekeluargaan orang tua
angkatnya.
2. Magis religius berarti pada saat pengambilan anak tersebut harus disertai
suatu upacara penyerahan suatu benda sebagai pengganti anak tersebut.
3. Terang artinya agar pengangkatan anak tersebut dikatakan sah, maka dalam
proses pengesahannya haruslah disaksikan oleh dihadapan kepala desa dan
selanjutnya diumumkan secara luas keseluruhan desa.
4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus disertai dengan penyerahan
benda yang kelihatan sebagai pengganti anak tersebut pada saat upacara
yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan.
36
1. a. Anak angkat harus dicari dari lingkungan keluarga terdekat
menurut garis ayah;
b. apabila tidak ada anak dilingkungan keluarga purusa, maka dapat dicari
dari lingkungan keluarga garis ibu.
c. Apabila tidak didapat anak baik dari keluarga bapak maupun keluarga ibu
barulah dapat dicari dari keluarga lain dan bahkan dari anak yang tidak
ada hubungan kekeluarganya.
2. Harus mendapat persetujuan dari keluarga atau kerabatnya.
3. Sudah pernah atau masih ada dalam ikatan perkawinan bagi suami istri yang
akan mengangkat anak. Tetapi keadaan sekarang sudah berubah dan lebih
diutamakan adalah adanya hubungan batin antara anak yang diangkat
dengan orang tua angkatnya.
1. Belum dewasa;
2. Usianya lebih muda daripada yang mengangkat;
3. Diutamakan laki-laki.
37
4. HUBUNGAN HUKUM DALAM HUKUM KEKELUARGAAN
Apabila yang dimaksud dengan keturunan ini adalah anak, maka dalam
masyarakat hukum adat pada umumnya akan dikenal macam-macam atau jenis-
jenis anak yaitu :
1. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah orang tuanya.
Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah :
a. Anak kandung.
b. Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat, anak tiri dan anak piara.
2. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam, yaitu anak
yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak pernah disahkan.
Sebagai konsekwensi dari kedudukan anak yang demikian menurut hukum
adat mereka hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja. Dalam
UU No.1 Tahun 1974, anak tidak sah hanya mempunyai hubungan
keperdataan saja dengan ibu dan keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum
barat, yang perlu mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun
laki-laki yang mengawini ibunya. Anak luar kawin disebut dengan “anak
bebinjat atau anak haram”.
- Anak kandung adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari
orang tuanya.
- Anak angkat adalah anak orang lain yang lahir dari perkawinan yang sah
yang diangkat sebagai anak karena alasan-alasan dan tujuan tertentu.
- Anak tiri adalah anak dari salah satu pihak baik dari suami maupun istri
yang dibawa kedalam perkawinan mereka.
- Anak piara adalah anak orang lain yang dipelihara oleh seseorang karena
orang tuanya tidak mampu memeliharanya dan status anak yang demikian
tetap ada pada orang tua kandungnya.
Penggolongan anak seperti tersebut diatas mempunyai arti penting dalam hal :
38
Perbedaan antara hubungan anak dengan orang tuanya dengan hubungan
anak dengan kerabat/keluarga/sanak saudaranya merupakan hal penting untuk
diketahui karena hubungan-hubungan tersebut diberbagai sistem kekeluargaan nilai
untuk anak akan berbeda dalam berbagai hubungan-hubungan hukum seperti
kewajiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan,
hubungan waris dan lain sebagainya.
Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya dikatan ada, apabila
pada waktu anak tersebut lahir, orang tuanya ada dalam perkawinan yang sah.
Pekawinan yang sah baik menurut hukum adat maupun Undang-Undang No.1
Tahun 1974 apabila perkawinan itu telah dilangsungkan menurut hukum agama dan
kepercayaannya seperti dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
39
- Sebagai penegak dan penerus generasinya.
- Menggantikan kedudukan orang tua.
- Memberikan nafkah dan memelihara orang tua kalau sudah tidak mampu
lagi.
Hubungan antara anak dengan orang tua dapat putus dalam hal anak dipecat
sebagai anak karena dianggap durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si anak dapat
tidak diberikan hak untuk mewaris.
40
larangan perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka yang masih ada
hubungan darah yang sangat dekat misalnya antara anak dengan bibinya.
Bahan Bacaan :
41
4. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung.
5. Soepomo R, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
7. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan
Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.
8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
42
PERTEMUAN VI : TUTORIAL 3
HUKUM KEKELUARGA
I. PENDAHULUAN
Kesatuan Hukum Adat di Indonesia membedakan hubungan kekeluargaan
menjadi 3 (tiga) system hubungan kekeluargaan. Hubungan-hubungan ini sangat
mempunyai arti yang sangat penting dalam hukum kekeluargaan.
Sehubungan dengan hukum kekeluargaan, pernah terjadi konflik dalam satu
keluarga Bali-Hindu pada saat pembuatan silsilah keluarga yaitu tidak memasukan
anak perempuannya dalam silsilah tersebut. Sebagai akibat maka anak perempuan
tersebut menuntut supaya dia dimasukan dan diperhitungkan dalam silsilah tersebut.
Pada kasus lain terjadi di keluarga Jawa-Islam juga dalam pembuatan suatu silsilah
yaitu tidak memasukan nama anak perempuan tersebut dalam silsilah tersebut,
sehingga dari hal itu timbul pula konflik.
Pertanyaan :
1. Sebut dan jelaskan system kekeluargaan yang dianut dalam wacana diatas?
2. Jelaskan prinsip-prinsip yang dianut dalam system kekeluargaan dalam
wacana diatas?
3. Diskusikan kasus-kasus dalam wacana diatas serta cara penyelesaian
konflik-konflik dalam wacanna diatas?.
43
tidak ? Bagaimana pula halnya apabila pengangkatan anak terjadi di Jawa,
Minangkabau maupun Batak ?
III. PENUTUP
Bahan Bacaan :
44
PERTEMUAN KE VII. UJIAN TENGAH SEMESTER
24
Ter Haar, Loc.Cit, hal.158.
25
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.140.
45
a. Aspek sosial (pandangan hidup) melalui perkawinan akan dibentuk
masyarakat kecil untuk mendapatkan keturunan, mempertahankan silsilah
dan kedudukan sosial yang bersangkutan, merupakan cita-cita leluhur untuk
membentuk keluarga yang bahagia sebagai suatu nilai yang diharapkan
dalam hidup.
b. Aspek agama, karena pelaksanaan pengesahan perkawinan senantiasa
dimulai dan seterusnya disertai dengan upacara-upacara lengkap dengan
(Bali : upakara berupa sesajen atau banten).
c. Aspek hukum, bahwa sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum yang
berlaku di tiap negara atau masyarakat dimana perkawinan itu dilangsungkan.
Karena aspek hukum akan membawa akibat hukum terhadap kedudukan istri,
kedudukan anak-anak dan harta benda perkawinan.
46
a) Sebelum keluarnya UU No.1 tahun 1974 (Undang-Undang Pokok
Perkawinan) di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan sehingga
disebut pluralisme dibidang perkawinan. Ketentuan-ketentuan yang berlaku
pada saat itu adalah : KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(S.1933 -74), Peraturan Perkawinan Campuran (GHR : S .1898 -158), Hukum
Adat, Hukum Islam, Hukum Agama.
b) Setelah keluarnya UU No.1 Tahun 1974, yang diundangkan 2 Januari 1974
dan baru dapat berlaku efektif setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP)
No.9 Tahun 1975, aturan tentang perkawinan diatur secara nasional. Ini
artinya bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan sepanjang
telah diatur dalam undang-undang ini maka yang berlaku adalah undang-
undang ini dan peraturan yang lama tidak berlaku lagi, karena undang-
undang ini merupakan unifikasi dalam hukum perkawinan (lebih lanjut baca
Pasal 66 UU No.1 Tahun 1975). Di Indonesia undang-undang ini terbentuk
setelah melalui perbincangan diberbagai perdebatan dan kesempatan yang
juga bertujuan melindungi hak-hak wanita dalam keluarga, maupun
emansipasi wanita.
c) Kemudian dalam perkembangan selanjutnya untuk lebih efektifnya undang-
undang perkawinan ini berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 selanjutnya
keluar lagi PP No.10 tahun 1983 dan kemudian PP ini direvisi lagi dengan PP
No.45 Tahun 1990 yang mengatur tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dan untuk lebih mengefektifkan undang-undang
perkawinan ini kemudian keluar lagi beberapa perauran perundangan lainnya
seperti UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Wanita
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lain.
d) Dilihat dari sifat UU No.1 Tahun 1974, Hazairin menyebutkan dengan “Unik
dan Luas” :
- Unik artinya unifikasi tetapi dalam kenyataannya berlaku lagi ketentuan-
ketentuan lain yang dirujuk oleh undang-undang perkawinan.
- Luas artinya bahwa dalam undang-undang perkawinan selain mengatur
perkawinan juga mengatur hal-hal yang lain seperti : masalah anak,
47
perceraian, harta benda perkawinan dan lan sebagainya. Demikian pula
dapat ditemukan dalam pasal-pasal seperti : Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat
(6), Pasal 37 dan Pasal 66.
SISTEM PERKAWINAN
48
dari kelompok keluarganya dianggap mengganggu keseimbangan magis, perlu
ada benda pengganti untuk menetralisir keadaan). Jenis-jenis perkawinan jujur :
a. Perkawinan mengabdi/nyalindung kagelung (bila jujur belum dibayar);
b. Perkawinan bertukar/berbesan rangkap (di Bali : mekedeng ngaad);
c. Perkawinan meneruskan (bila istri meninggal, suami kawin lagi dengan
saudara istri);
d. Perkawinan mengganti/perkawinan ganti tikar (bila suami meninggal, janda
dikawini oleh saudara suami);
e. Perkawinan pinjam jago, dll.
Cara ini pada umumnya dilakukan kedua mempelai sudah saling cinta
mencintai dan telah pula mendapatkan persetujuan dari orang tua kedua belah
pihak.
Oleh karena telah ada persetujuan dari kedua belah pihak maka
dilanjutkanlah dengan pelamaran diawali dari pihak laki-laki ke rumah pihak
perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini lalu diberikanlah kepada pihak suatu
tanda yang disebut “Peningset” sebagai tanda bahwa si wanita sudah ada yang
26
Djaren Saragih, Op.Cit, hal.135-143.
49
melamar. Apabila tidak ada aral melintang dengan didasarkan pada hari baik dan
berdasarkan kesepakatan dilakukanlah penjemputan mempelai wanita lengkap
dengan membawa pakaian, sirih pinang dengan perlengkapan lainnya sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masing-masing suku di Indonesia. Dan
dari sini pulalah akan terlihat berbhinekanya adat istiadat yang ada di Indonesia.
Setelah upacara ini selesai lalu si wanita dibawa kerumah mempelai laki-laki untuk
disahkan perkawinan mereka. Pada umumnya proses pengesahan perkawinan
melalui peminangan ini berjalan sesuai dengan adat istiadat masing-masing daerah
yang ada di Indonesia.
Cara ini lazim dilakukan dengan cara kawin lari bersama-sama yang pada
umumnya antara kedua pasangan itu sudah ada hubungan cinta, dan tidak ada
unsur paksaan didalamnya, tetapi karena diantara mereka ada sesuatu halangan
yang memungkinkan perkawinan itu terancam batal, maka jalan lain yang dapat
ditempuh agar perkawinan itu tidak batal adalah dengan cara kawin lari bersama,
yang pada awalnya mereka membuat perjanjian yang matang tentang, hari, jam,
tempat mempelai wanita dijemput. Berdasarkan kesepakatan itulah mempelai wanita
dilarikan menuju kerumah mempelai laki-laki atau ketempat yang lain sebagai
tempat persembunyian kedua mempelai. Setelah pelarian ini berjalan mulus barulah
pihak laki-laki mengirim utusan kepada keluarga pihak wanita untuk memberi
tahukan bahwa anak gadisnya telah dilarikan untuk dikawini oleh si A, misalnya :
lengkap dengan identitas mempelai laki-laki maupun identitas orang tua mempelai
laki-laki. Utusan ini bertugas sebagai utusan dari mempela laki-laki dan agar tidak
mendapatkan halangan dari keluarga mempelai wanita.
Perkawinan dengan cara ini hanya dikenal pada masyarakat hukum adat Bali
yang umumnya dilakukan diantara keluarga karena orang tua calon mempelai
wanita yang tidak mempunyai anak laki-laki. Perkawinan dalam bentuk ini berbeda
dengan dua bentuk perkawinan diatas, karena dalam perkawinan “nyeburin” segala
proses perkawinan dimulai dari pihak wanita. Uacara pelamaran maupun tempat
pengesahan perkawinan mereka dilakukan di rumah mempelai wanita.
50
Keadaan yang demikian akan membawa perbedaan akibat hukum baik pada
laki-laki maupun perempuannya karena dalam perkawinan “nyeburin” mempelai laki-
laki akan berubah status secara hukum menjadi berstatus “predana/wanita” dan
yang wanita akan berubah menjadi berstatus “purusa/laki-laki”. Segala hak dan
kewajiban baik dalam hukum keluarga maupun hukum waris akan dihitung melalui
garis wanita yang telah berstatus laki-laki yang disebut “sentana rajeg atau putrika”.
Pada masyarakat hukum adat tidak ada ukuran yang pasti bagi seseorang
yang dianggap pantas untuk melangsungkan perkawinan, karena antara desa yang
satu dengan desa yang lainnya memakai kretiria yang berbeda. Sebelum berlakunya
UU No.1 Tahun 1974 kretiria yang dipakai adalah :
Tetapi setelah berlakunya UU No.1 Tahn 1974, yang berarti segala ketentuan
yang berlakulah tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang
ini akan berlakulah undang-undang ini, (lihat pasal-pasal tentang persyaratan
tersebut dalam UU No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya), kecuali belum
diatur barulah berlaku ketentuan lain yang juga akan ditunjuk oleh undang-undang
ini (Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974).
27
Tim Peneliti Fak. Hukum Unud, 1980/1981, Hukum Adat Bali, Fak Hukum Unud
Bekerjasama dengan BPHN, Denpasar, hal.51.
51
Oleh karena persyaratan-persyaratan perkawinan telah diatur dalam undang-
undang ini maka ketentuan dalam undang-undang inilah yang berlaku dan tidak
berlaku lagi ketentuan seperti tersebut diatas.
52
3. TATA CARA PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT
Baik perkawinan itu dilakukan dengan cara meminang atau, dengan cara lari
bersama ataupun dengan cara “nyeburin pada masyarakat hukum adat Bali”
puncaknya atau pada akhirnya akan melakukan upacara pengesahannya yang pada
pokoknya terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu : Upacara penerimaan di rumah mempelai
wanita, Upacara perjalanan ke rumah mempelai laki-laki dan Upacara pengesahan
pada statusnya yang baru, di rumah mempelai laki-laki.
53
LARANGAN-LARANGAN PERKAWINAN.
54
e) Harta benda yang diperoleh suami istri baik secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama selama dalam masa perkawinan berlangsung dinamakan
“harta bersama”.28
DISKUSIKAN :
28
Tim Peneliti Fak. Hukum Unud, Ibid, hal.60.
55
Menurut hukum adat, yang dimaksud dengan perceraian adalah perkawinan
yang putus antara suami istri, yang serinng disebut dengan cerai. Sedangkan
menurut UU No.1 Tahun 1974 terutama Pasal 38 yang mengatur tentang
perceraian, bahwa putusnya perkawinan karena :
Alasan-alasan perceraian
Pada umumnya yang dijadikan alasan untuk bercerai adalah bervariasi, yang
menurut hukum adat antara lain :
a. Istri berzinah;
b. Istri mandul;
c. Suami impoten;
d. Suami meninggalkan istri sangat lama atau istri bertingkah laku tidak baik;
e. Kerukunan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi;
f. Campur tangan pihak mertua atau orang tua daram urusan rumah tangga
anak-anaknya;
g. Istri tidak mau dimadu (poligami);
h. Karena adanya suatu penyakit;
i. Penganiayaan oleh suami, dan lain sebagainya.29
a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabok, pemadat, penjudi, dan lain-lain.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar
kemampuannya.
29
T.I.P. Astiti, Cs, Op.Cit, hal.44.
56
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkwinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain. (KDRT).
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak lagi ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Sahnya Perceraian
Jadi bagi masyarakat yang ingin bercerai, maka haruslah terlebih dahulu
memperoleh Putusan Pengadilan, dan putusan perceraian itu juga harus dicatatkan
di Kantor Catatan Sipil dan selanjutnya barulah atas dasar putusan pengadilan itulah
diumumkan di desa atau di RT/RW atau Kelurahan. Hanya dengan proses itulah
perceraian saat ini dapat dikatakan sah menurut UU No.1 tahun 1974.
57
Akibat Hukum Perceraian
Menurut hukum adat, wanita yang sudah bercerai akan kembali lagi kerumah
orang tuanya, dan berkedudukan kembali seperti sebelum dia kawin yang disebut
dengan “Janda” yang hanya mempunyai hak menikmati harta kekayaan orang
tuanya. Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974, akibat hukum yang timbul dari
perceraian itu terhadap anak diatur dalam Pasal 41 nya, sebagai berikut :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan si anak. Bilamana terjadi
perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak, Pengadilan memberikan
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu dan bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Selain UU No.1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa yang lebih berhak
mengatur, mengurus dan memelihara anak-anak yang telah lahir dalam perkawinan
mereka setelah perceraian, maka undang-undang juga mengatur tentang harta
bersama mereka setelah perceraian, seperti diatur dalam Pasal 37 mengenai :
58
LATIHAN DAN TUGAS MANDIRI
Bahan Bacaan :
59
PERTEMUAN IX : TUTORIAL 4
I. PENDAHULUAN
II. PROBLEM TASK I
Suci seorang perempuan (Bali Hindu) yang melakukan perkawinan sah
dengan yoga (Bali Hindu) dan mempunyai anak 2 (dua) orang (laki berumur 17
tahun dan perempuan masih balita). Selama menjalani perkawinan, usaha yang
mereka geluti sangat maju dan berkembang dengan asset 1 hotel bintang lima yang
berlokkasi di nusa dua, 3 mobil dan tanah seluas 3 hektar. Suatu saat rumah
tangganya mengalami ketidakharmonisan dikarenakan yoga mempunyai wanita
idaman lain (WIL), akhirnnya keduanya sepakat untuk menyudahi perkawinan
(bercerai) .
Pertanyaan :
III. PENUTUP
Bahan Bacaan :
60
6. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum adat Lanjutan, Bagian Hukum
dan Masyarakat Fak. Hukum UNUD, Denpasar.
7. UU No.1 tahun 1974 (UU Perkawinan) beserta peraturan pelaksananya antara
lain PP No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP N0.45 tahun 1990.
8. UU No.23 tahun 2004 tentang KDRT.
9. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
61
PERTEMUAN X : PERKULIAHAN 5
PENGERTIAN PEWARISAN
Dari beberapa pengertian hukum adat waris seperti tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa hukum adat waris itu meliputi :
30
Soepomo.R, Op.Cit, hal.67.
31
Ter Haar, Op.Cit, hal.231.
32
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.199.
62
c) Harta warisan yang dioperkan atau diteruskan tersebut dapat berupa harta
yang berwujud (matriil) dan harta tidak berwujud (immatriil).
d) Penerusan atau pengoperan itu berlangsung dari satu generasi kepada
generasi berikutnya.
Ketentuan hukum adat waris seperti ini menunjukkan corak khas bagi aliran
pikiran tradisional Indonesia yang bersendi pada prinsip-prinsip komunal dan
konkrit.33
Dengan demikian dalam hukum adat waris, tidak terlepas pula dari prinsip-
prinsip komunal dan konkrit seperti tersebut diatas, ditambah dengan prinsip religio
magis (keagamaan) yang sangat besar pengaruhnya kepada proses penerusan dan
pengoperan dalam pewarisan tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hazairin bahwa
menyatukan adat dan agama (Hindu) di Bali secara umum merupakan perpaduan
yang rampung pada masyarakat Hindu di Bali.34 (Hazairin, 1968, h.24).
Corak maupun ciri yang khas pada sistem kekeluargaan patrilinial Bali
(purusa) memberikan tempat pada anak laki-laki sebagai “Puthra” yang akan dapat
membebaskan arwah leluhur dari penderitaan di dunia akhirat. Jadi sistem
kekeluargaan patrilinial di Bali yang memperhitungkan keanggotaan kerabat
berdasarkan garis laki-laki mendapat daya dukung yang kuat dari pandangan agama
Hindu yang menegaskan pentingnya anak (keturunan) laki-laki bagi kebahagiaan
suatu keluarga di dunia dan di akhirat. Artinya : Arti pentingnya anak (keturunan)
laki-laki tidak hanya dilihat dari segi kepercayaan agama tetapi juga dapat
meneruskan pemenuhan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kemasyarakatan
dalam desa pakraman.
33
Soepomo.R, Op.Cit, hal.72.
34
Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta Mas, Jakarta, hal.24.
63
UNSUR-UNSUR PEWARISAN
Agar pewarisan atau proses penerusan dan pengoperan harta warisan dapat
berlangsung maka harus memenuhi unsur-unsur pewarisan yang meliputi 3 (tiga)
unsur yaitu :
a) PEWARIS adalah orang yang meninggalkan harta warisan, baik ia itu laki-
laki, wanita, janda, duda maupun anak-anak.
Seperti halnya dalam hukum adat waris pada umumnya, bahwa untuk
menentukan siapa yang dapat berkedudukan sebagai pewaris, maupun ahli waris
pertama-tama haruslah dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh yang
bersangkutan, sebelum mengetahui ketentuan yang lain-lainnya. Oleh karena
sesuatu masyarakat hukum adat menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka
yang berkedudukan sebagai ahli waris utama adalah anak laki-laki, sehingga
dengan sendirinya anak laki-laki itulah juga yang akan berkedudukan sebagai
pewaris.
Dalam hubungan ini, walaupun telah terkena pengaruh modernisasi dan telah
memasuki era globalisasi, yang berkaitan dengan kedudukan pewaris ini dalam
hukum adat waris belumlah mengalami perubahan.
Pada prinsipnya ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris, dimana orangnya bisa laki-laki atau bisa juga wanita tergantung
dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Ahli
waris bisa digaris menurun (anak, cucu dan seterisnya), bisa digaris mendaki (orang
tua, kakek dan sebagainya) dan digaris menyamping (saudara pewaris, paman,
keponakan).
Ahli waris digaris menurun pada prinsipnya anak. Anak dapat mempunyai
pengertian yang bermacam-macam yang masing-masing mempunyai kedudukan
yang berbeda-beda terhadap harta peninggalan seorang. Selain anak sebagai ahli
waris, maka perlu juga dibicarakan kedudukan janda dan duda terhadap harta
64
warisan, karena janda dan duda disini sebenarnya tidak dalam ikatan pertalian darah
dengan pewaris.
35
Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, Op.Cit, hal.286-287.
65
Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, tetapi dalam
kenyataannya anak wanita tetap dapat menikmati harta kekayaan orang tua mereka
selama ia belum kawin. Apabila anak wanita telah kawin dan keluar dari lingkungan
orang tuanya secara mewaris ia tidak dapat tetapi orang tuanya akan memberikan
bekal hidupna seperti di Bali : ada (pengupa jiwa) yang disebut dengan bekal yaitu
berupa : “jiwadana” ataupun “ketipatan dan atau tetadtadan”. Untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya kedudukan wanita dalam hukum adat waris Bali, lebih lanjut
perlu diketahui terlebih dahulu kedudukan wanita terseebut dalam keluarganya
apakah ia berkedudukan sebagai anak saja, sebagai istri atau janda (dalam
perkawinan biasa atau dalam perkawinan nyeburin) sebagai “sentana rajeg”, atau
sebagai wanita yang “mulih dehe”, karena perbedaan kedudukan maupun status
akan mempengaruhi terhadap kedudukannya sebagai ahli waris.36
Selain dikenal anak kandung dan anak angkat, dalam hukum adat juga
dikenal anak yang lain yaitu :
36
Sagung Ngurah, 1992, Akses Wanita Terhadap Harta Kekayaan Keluarga Ditinjau Dari
Hukum Adat Bali, (Studi Kasus di Kelurahan Kuta, Badung) Laporan Penelitian,hal.35.
66
Anak tiri yaitu anak yang dibawa oleh salah satu pihak kedalam perkawinan
mereka yang baru. Anak ini bukanlah ahli waris dari orang tua tirinya tetapi tetap
dari orang tua kandungnya saja.
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak pernah
disahkan, yang dalam hukum adat Bali ada dua jenis.
(1) Anak bebinjat, adalah anak yang tidak dikethui siapa bapak dari anak
tersebut. Dalam asal 43 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 ditentukan bahwa
anak yang demikian hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan
ibu dan keluarga ibu. Tetapi dalam hubungan waris ia hanya mewarisi
ibunya saja.
(2) Anak astra, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang
tidak pernah disahkan tetapi dapat diketahui siapa bapak dari anak
tersebut. Dalam hukum waris maupun hukum keluarga ia adalah tetap
keluarga ahli waris ibunya. Hanya saja kadang-kadang ayah
biologisnya memberikan pula biaya-biaya hidup anak tersebut tetapi
tidak sebagai ahli waris ayah biologisnya. Demikian pula sebaliknya si
anak hanya mempunyai kewajiban moral terhadap ayah biologisnya
tetapi tidak tehadap kewajiban hukum.
c) HARTA WARISAN adalah semua harta yang ditinggalkan pewaris baik harta
yang berwujug benda (matriil), harta yang dapat dibagi-bagi atau harta tidak
berwujud benda (immatriil) atau harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan hutang-
hutang pwaris. Harta peninggalan yang termasuk harta benda yang tidak dapat
dibagi-bagi ini adalah berdasarkan atas alasan kenapa tidak dibagi-bagi, dapat
dibedakan sebagai berikut :
(1) Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi (misalnya
barang milik suatu kerabat atau famili).
(2) Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat/jabatan
tertentu (misalnya barang-barang keraton yang harus disimpan di Keraton).
(3) Karena belum bebas dari persekutuan hukum (contoh di Bali Tanah
Pekarangan Desa).
(4) Karena pembagiannya untuk sementara ditunda.
67
(5) Karena hanya diwariskan pada seseorang saja (sistem Harta bawaan adalah
harta yang dibawa oleh masing-masing pihak (suami-istri) kedalam
perkawinan yang disebut “harta bawaan”. Pada umumnya harta ini nantinya
akan menjadi harta warisan bagi keturunannya. Tetapi kalau pasangan ini
tidak memiliki keturunan, atau terjadi perceraian maka harta tersebut akan
kembali kepada pemiliknya.
Harta perkawinan atau harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
atau dalam perkawinan, baik harta tersebut diperoleh istri sendiri, suami sendiri atau
suami istri bersama-sama. Di Bali harta semacam ini disebut dengan istilah “harta
guna kaya atau druwe gabro”, di Jawa disebut dengan “harta gono gini”. Dan
terhadap harta ini, apabila terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan undang-
undang perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.
68
b) Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana harus
ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dengan ahli waris.
c) Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud
kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan
dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.37
Apabila diteliti lebih seksama, maka secara prinsip dapat diketahui bahwa
hukum adat waris adalah mengikuti pula prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku
pada masyarakat kekhususan-kekhususan yang harus diperhatikan, seperti sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan karena hukum adat
waris seperti halnya Bali yang dalam hukum kekeluargaannya dilandasi oleh hukum
agama Hindu, maka dalam hukum warispun dilandasi oleh hukum agama Hindu.
37
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, hal.9.
38
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.194-195.
69
3. SISTEM PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS
70
4. SYARAT-SYARAT DAN PROSES PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT
WARIS
Menurut hukum adat pada prisnsipnya harta warisan beralih dari pewaris
kepada ahli warisnya. Ahli waris yang dimaksudkan itu adalah sesuai menurut asas
yang berlaku dalam sistem kekeluargaan yang dianut. Apabila telah memenuhi
syarat-syarat antara lain :
a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik itu
karena ahli waris merupakan keturunannya atau karena berdasarkan
undang-undang atau ketentuan lain.
b. Anak itu harus laki-laki (bila dalam sistem kekeluargaan patrilinial).
c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah,
yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris, misalnya anak angkat.
d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak angkat, dimungkinkan
adanya penggantian melalui penggantinya atau kelompok ahli waaris
dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak pengganti lainnya
yang memenuhi syarat.39
Oleh karena secara nasional belum ada unifikasi dibudang hukum waris,
maka ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan samapi saat ini masih berlaku
ketentuan yang lama, sama seperti halnya untuk menentukan syarat-syarat sebagai
ahli waris seperti tersebut diatas.
Proses Pewarisan
Proses pewarisan adalah pengoperan harta warisan dari pewaris kepada ahli
warisnya. Sejak kapan harta warisan tersebut dapat dioperkan atau dialihkan
kepada ahli warisnya ?
39
Gde Puja, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresipir Kedalam Hukum Adat Bali Dan
Lombok, CV.Yunasco, Jakarta, hal.91.
71
Sedangkan menurut ketentuan yang umum berlaku pada masyarakat hukum
adat terdapat juga penetapan harta kekayaan semasa pewaris masih hidup yang
dapat berupa :
Pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup, tidak dengan
sendirinya merupakan pengalihan harta warisan. Penerusan dan pengoperan ini
tergantung pada kesepakatan ahli waris, dan kadang-kadang harta warisan tersebut
akan dibiarkan tidak terbagi.
LATIHAN :
a. Jelaskan apakah orang yang tidak ada hubungan darah dapat berkedudukan
sebagai ahli waris ? dan bagaimana dengan kedudukan janda dan duda ?
b. Jelaskan perbedaan pengertian antara hibah, hibah wasiat, bekel dan warisan ?
c. Jelaskan mengapa pewarisan terhadap anak wanita di Bali dikatakan terbatas
dan bersyarat ?
Bahan Bacaan :
72
6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung.
7. Sagung Ngurah dkk : Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan
Masyarakat, Fak. Hukum UNUD, Denpasar.
8. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
9. Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
73
PERTEMUAN XI : TUTORIAL 5
I. PENDAHULUAN
Cara cara pembagian harta peninggalan dalam hukum waris adat sangat
memperhatian kegunaan dari harta yang bersangkutan terhadap masing masing
ahli waris. Umumnya pihak laki laki mendapat sawah/lading untuk modal usaha.
Biasanya kalau peempuan mendapatkan rumah/pekarangan. Dalam pembagian
waris, hukum adat tidak didasarkan pada ilmu ilmu matematis( ilmu hitungan) (
geen wiskundig te bereneken erfporties). Melainkan cenderung didasarkan pada
asas kerukunan, kepatutan dan persamaan hak.40
II. PROBLEM TASK.
1. Wayan seorang laki-laki Bali Hindu menikahi seorang gadis Jawa Reni yang
beragama Islam. Pengesahan perkawinan dilangsungkan di Jawa secara
Islam. Karena upacara perkawinan telah selesai lalu mereka kembali ke Bali
untuk melaksanakan upacara pengesahan perkawinan menurut Hukum Adat
Bali. Tidak berselang lama ayah si Wayan meninggal dunia dengan
meninggalkan harta warisan. Wayan bersaudara lima orang, tiga laki-laki
termasuk Wayan dan dua perempuan. Karena upacara dan upakara
pengabenan telah selesai, kemudian munculah riak-riak kecil yang
menyangkut pembagian warisan. Karena semua merasa benar dan masing-
masing mempunyai pembenar sendiri-sendiri, akibatnya persoalan warisan
tidak bisa diselesaikan diantara mereka.
Pertanyaannya :
40
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telah
Kritis terhadap Hukum Adat sebagai HUkum Yang Hidup dalam Masyarakat, Alumni, Bandung,
hal.142
74
2. Model perkawinan antara Wayan dengan Reni seperti tersebut dalam problem
task 1 diatas, ternyata tidak dapat berlangsung lama karena diantara mereka
sudah tidak ada kecocokan lagi untuk mempertahankan perkawinan mereka
lalu mereka sepakat untuk bercerai walaupun mereka telah mempunyai 3
(tiga) orang anak, satu laki dan dua wanita.
Dalam kasus perceraian seperti itu, pengadilan manakah yang berwenang
mengadili dan mengesahkan perceraiannya serta bagaimanakah kedudukan
hukum dari anak-anak mereka ? Dan bagaimanakah kedudukan dari harta
perkawinan mereka ?
III. PENUTUP
Bahan Bacaan :
75
PERTEMUAN XII : PERKULIAHAN 6
Dilihat dari sifat masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat biasa
yang ada di kota-kota, bahwa masyarakat hukum adat sifat atau alam pikiran
komunal dan kosmis (religio magisnya) masih kuat. Hal ini menjadi sesuatu yang
sangat penting karena akan menjadi latar belakang kemasyarakatan, tempat hukum
adat pelanggaran itu berperan. Alam pikran masyarakat hukum adat yang komunal
dan kosmis tersebut memandang segala-galanya sebagai satu kesatuan yang
homogin dalam kehidupan mereka, dimana kedudukan manusia adalah pusatnya.
Manusia merupakan bagian dari alam besar (kosmos), tidak terpisah dari dunia
lahir maupun gaib dan malahan berpadu dengan alam hewan dan tumbuh-
tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu kesatuan. Jadi
semuanya bersangkut paut, saling pengaruh mempengaruhi dan semuanya berada
dalam keseimbangan, yang senantiasa harus dijaga dan jika suatu saat ada
gangguan terhadap keseimbangan tersebut haruslah dipulihkan kembali.41
Apa yang telah diungkapkan oleh Bushar Muhammad seperti tersebut diatas,
kiranya mempunyai prinsip yang sama dengan yang berlaku di Indonesia, bahwa
untuk terwujudnya kebahagiaan haruslah terjaga keseimbangan hubungan yang di
Bali dikenal dengan “Tri Hita Karana”. Apabila antara ketiga hubungan tersebut
terganggu seperti : hubungan antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
hubungan antara manusia dengan alam lingkungan maupun hubungan antara
manusia dengan sesamanya, maka akan muncullah ketidak seimbangan magis
yang lebih umum disebut ada “delik adat atau pelanggaran adat”.
Jadi alam pikiran yang komunal dan kosmis dalam kehidupan masyarakat
hukum adat, merupakan latar belakang timbulnya delik adat atau pelanggaran adat.
Di dalam alam pikiran yang tradisional yang bersifat komunal dan kosmis itu,
41
Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.67.
76
masyarakat hukumnya serta orang-orang tertentu yang dipentingkan dari pada
orang-perorangan secara individual.
Sedangkan menurut Ter Haar, yang disebut dengan delik adalah perbuatan
mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan
kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam
suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma keagamaan,
kesusilaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.43
42
Bushar Muhammad, Ibid, hal.67-68.
43
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.286.
77
benda matriil dan benda-benda immatriil, jadi sifat obyeknya adalah homogin. Dan
selanjutnya dalam pembahasan lebih lanjut akan dipergunakan istilah “Hukum
Pelanggaran Adat”.
Sebagai akibat dari pengaruh alam pikiran yang komunal dan kosmis tersebut
membawa pengaruh pula terhadap sifat-sifat dari hukum pelanggaran adat yaitu :
44
Soepomo.R, Op.Cit, hal.110.
78
perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitu pula hukum
pelanggaran adat tidak membedakan apakah itu pelanggaran adat, agama,
kesusilaan atau kesopanan. Kesemua bentuk pelanggaran tersebut akan
diperiksa dan diadili oleh hakim adat dengan pertimbangan keputusannya yang
bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya.
Walaupun dalam hukum adat pelanggaran dapat dibedakan antara perbuatan
yang bersifat kejahatan dengan perbuatan yang bersifat pelanggaran, tetapi
hukum adat pelanggaran tidak membedakannya karena hukum adat
pelanggaran tidak mementingkan pembagian kekuasaan.
45
Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, hal.22.
79
c. Membeda-bedakan permasalahan
Dalam hukum pelanggaran adat, apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka
yang dilihat tidak hanya perbuatan dan akibatnya saja, tetapi diperhatikan pula
apa yang menjadi latar belakang perbuatannya dan siapa pelakunya. Dengan
alam pikiran yang demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian dan
melakukan tindakan hukumnya terhadap sesuatu peristiwa menjadi berbeda-
beda.46
Menurut hukum adat antara orang-orang yang mempunyai kedudukan penting
dalam suatu masyarakat akan berbeda dengan orang biasa yang tidak
mempunyai kedudukan penting. Keadaan seperti ini akan berpengaruh pula
terhadap subyek dalam hukum pelanggaran adat, sehingga dikatakan pula
hukum adat membeda-bedakan kedudukan orang dalam masyarakat adat.
Karena perbedaan ini akan membawa konsekwensi pada akibat hukum
terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Orang yang mempunyai kedudukan
hukum lebih tinggi di masyarakat apabila melakukan pelanggaran adat, maka
hukumannya akan lebih berat daripada orang yang melakukan perbuatan yang
termasuk kedalam “kejahatan” dengan termasuk “pelanggaran” diatur dalam
ketentuan yang berbeda.
46
Ibid, hal.23.
80
perubahan peraturan. Begitu seterusnya, keadaannya seperti jalannya ombak di
pesisir samudra.47 Demikian pula halnya dengan lahir dan lenyapnya
pelanggaran adat yang berarti perbuatan-perbuatan uang semula dianggap
merupakan pelanggaran adat tetapi karena adanya perubahan rasa keadilan
dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat menyebabkan hukum menjadi
berubah akibatnya perbuatan yang tadinya pelanggaran adat menjadi tidak lagi
dianggap pelanggaran adat. Hal inilah pula yang menunjukkan adanya
perbedaan dengan sistem hukum pidana Barat. Menurut hukum pidana Barat,
delik itu lahir dengan diundangkannya suatu peraturan tentang delik tersebut
dalam Lembaran Negara. Sedangkan untuk menyatakan delik tersebut tidak
berlaku lagi secara formal, haruslah dibuat peraturan baru lagi apapun
bentuknya yang nantinya menyatakan bahwa peraturan yang lama tidak berlaku
lagi, walaupun secara matrial peraturan itu tetap tercantum dalam Lembaran
Negara.
Terlebih dahulu haruslah diketahui bahwa perkara delik adat dapat bersifat :
47
Soepomo.R, Op.Cit, hal.111.
81
a. Melulu delik adat : misalnya pelanggaran adat terhadap peraturan-peraturan
exogami, pelanggaran peraturan panjer, atau peraturan-peraturan khusus
adat lainnya.
b. Disamping delik adat, juga bersifat delik-delik terhadap harta kekayaan
seseorang, menghina seseorang, apalagi seseorang tersebut mempunyai
kedudukan tinggi dalam masyarakat tersebut seperti menghina kepala adat,
dll.
Berlainan dengan hukum criminal Barat, hukum adat tidak mengenal sistem
pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu (sistem prae existente regels),
hukum adat tidak mengadakan peraturan semacam Pasal 1 KUHPidana.48
Dalam hukum adat seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa
yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Tiap perbuatan atau tiap situasi yang
tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan
teman semasyarakat, keselamatan golongan famili dapat merupakan pelanggaran
adat.
48
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.293.
82
3. REAKSI DAN KOREKSI ADAT
49
Soepomo.R, Op.Cit, hal.114.
50
Loc.Cit, hal.115.
83
LATIHAN :
a. Jelaskan dimanakah letak perbedaan lahirnya delik menurut hukum adat dan
menurut hukum Barat ?
b. Sebutkan alasan-alasan yang dapat menimbulkan adanya pelanggaran adat!
c. Sebutkan jenis-jenis atau penggolongan pelanggaran adat yang ada di
beberapa daerah di Indonesia !
Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa reaksi adat yang digunakan
untuk mengembalikan ketidakseimbangan magis dalam masyarakat dapat berupa
suatu kewajiban atau upacara selamatan yang kemudian dapat dibebankan kepada
pelaku, tapi juga keluarga atau kerabatnya dan bahkan terhadap masyarakatnya.
Dalam hubungan ini dapat pula diketahui bahwa yang dapat menjadi subyek
hukum dalam hukum adat pelanggaran tidak hanya orang sepertidalam hukum
51
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal.24.
84
pidana Barat, tetapi juga keluarga, kerabat atau masyarakatnya ikut bertanggung
jawab atas perbuatan pelaku.
a. Artha danda yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan hukum berupa denda
dalam bentuk uang.
b. Jiwa danda yaitu tindakan hukum yang berupa pengenaan hukuman berupa
penderitaan badan maupun rohani bagi pelaku pelanggaran.
c. Sangaskara danda yaitu berupa tindakan hukum untuk mengembalikan
keseimbangan magis berupa tindakan untuk melakukan upacara-upacara
agama.52
a) Reaksi atau koreksi adat beupa kewajiban untuk melakukan sesuatu seperti
membuat upacara/upakara Agama.
b) Reaksi atau koreksi adat berupa pembayaran sejumlah uang yang dapat
dibedakan antara “danda dan dedosan atau dosa”. Danda adalah dikenakan
terhadap orang yang melanggar larangan. Sedangkan dedosan atau dosa
dikenakan bagi mereka yang melalaikan kewajibannya.
c) Dibuat malu yaitu pada umumnya sanksi yang diberikan kepada mereka yang
suka mencuri atau diarak keliling desa.
d) Pencabutan hak yaitu saksi yang dikenakan kepada mereka yang melalaikan
kewajibannya pada desa/banjar (tidak melaksanakan ayah-ayahan
desa/banjar).
52
I Wayan.P.Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fak.Hukum Unud, hal.143-144.
85
e) Perampasan hak yaitu yang disebut dengan “Kerampag”, berupa
pengambilan barang-barang milik seseorang karena tidak membayar
hutangnya.53
a. Sistem pemidanaan.
Berbeda halnya dengan hukum pidana Barat, hukum adat pelanggaran tidak
mengenal pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu (disebut dengan prae
existebte regels). Hukum adat pelanggaran tidak menganut azas legalitas seperti
yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP. Pelanggaran adat baru akan menjadi hukum
setelah para fungsionaris hukum menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya. Hal ini
sesuai pula dengan apa yang disampaikan oleh Ter Haar, bahwa adat baru akan
menjadi hukum adat setelah diputuskan oleh para fungsionaris hukum (kepala adat,
tetua-tetua adat, dan lain-lain). Dan azas ini lebih dikenal dengan “teori keputusan
atau beslissingen leer”.
53
Tim peneliti Fak.Hukum Unud, Op.Cit, hal.79-80.
54
Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.293.
86
Sedangkan menurut hukum Barat (KUHP) untuk menentukan bahwa
seseorang itu melakukan suatu pelanggaran adat atau delik haruslah ada aturannya
terlebih dahulu yang akan menyatakan perbuatannya tersebut melanggar atau
bertentangan dengan peraturan tersebut. Apabila peraturannya belum ada maka
akan sulit menyatakan bahwa seseorang itu melakukan pelanggaran atau tidak. Jadi
KUHP dikatakan menganut azas “legalitas” seperti yang diatur dalam Pasal 1 KUHP,
yang bunyinya : tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum melaikan atas kekuatan
aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari
perbuatan tersebut.
b. Perbuatan Salah
87
d. Berat ringannya hukuman
55
I Gede A.B.Wiranata, 2005, Hukum Adat Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal.213-216.
88
Hukum Pelanggaran Adat dan Reaksi atau Koreksi Adat Dalam Praktek
Peradilan
56
Ibid, hal.220-221.
89
yang hidup dalam masyarakat. Undang-undang ini tampaknya menjembatani asas
legalitas dalam hukum pidana dari legalitas formal ke arah asas legalitas formal dan
material.57
LATIHAN :
Antara ketentuan hukum pidana menurut KUHP dengan hukum adat pelanggaran
dikatakan berbeda. Sebut dan jelaskan dimana letak perbedaannya !
Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membahas satu kasus baru pelanggaran adat yang
termasuk ke Pengadilan dan memberikan komentar terhadap keputusan hakim atas
kasus tersebut ditinjau dari KUHP dan Hukum Adat Pelanggaran
Bahan Bacaan :
57
I Wayan.P.Windia dan I Ketut Sudantra, Op.Cit, hal.153-154.
90
PERTEMUAN XIII : TUTORIAL 6
I. PENDAHULUAN
II. PROBLEM TASK
Widya dengan kelurganya yang merupakan krama desa Desa pakraman A
dikenakan sanksi adat kasepekang (dikucilkan), Adapun kronologis kasusnya adalah
ketika ada paruman desa yang menetapkan dan menyiarkan bahwa telah terbentuk
lembaga pecalang di desa pakraman A, widya dengan keluarganya tidak setuju
dengan alasan mereka tidak ikut membentuk pecalang tersebut dengan bahasa
yang dikeluarkan “ tiang tusing taen milu ngae pecalang”. Dengan alasan tersebut
(menolak ditetapkan pecalang) maka
Pertanyaannya ;
PROBLEM TASK II
Ada pencurian “pretima” disebuah Pura di Bali. ”Pretima “ adalah suatu benda
yang disakralkan oleh penyungsung Pura tersebut. Dengan hilangnya “pretima”
tersebut, bagi orang Bali Hindu itu berarti “Pura “ tersebut sudah dianggap tercemar
(leteh). Dan untuk menghilangkan kesan tercemar tersebut hanya dapat dilakukan
dengan upacara dan upakara yang dikenal dalam masyarakat hukum adat Bali.
91
Apakah perbuatan itu dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran adat, atau apakah
kasus tersebut dapat diselesaikan di pengadilan, lalu bagaimanakah Hakim akan
memberikan sanksi terhadap pelakunya ? Apakah akan berlaku prinsip “ne bis in
idem dalam kasus ini ?
III. PENUTUP
Bahan Bacaan :
92
LAMPIRAN 1 : SILABUS
SILABUS
Mata kuliah hukum adat lanjutan merupakan mata kuliah lanjutan dari mata
kuliah hukum adat secara umum. Mata kuliah hukum adat lanjutan membahas
tentang hukum adat yang berlaku dalam tatanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang beragam, tumbuh dan berlaku bagi Kasatuan Masyarakat Hukum
Adat. Hal ini mengingat kondisi kebangsaaan Indonesia yang berbhineka baik dilihat
dari suku, bahasa, agama maupun budayanya. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
selain tunduk pada hukum adat juga tunduk pada hukum negara sebagai
warganegara dari Negara Republik Indonesia. Mata Kuliah Hukum adat lanjutan
akan membahas mengenai bidang-bidang hukum dalam kehidupakan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya akan dibahas dalam pokok bahasan dan
sub pokok bahasan seperti tatanan masyarakat adat yang meliputi: pemerintahan
adat dan struktur organisasi, hukum tentang tanah adat, hukum adat tentang
keluarga, hukum adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan, hukum
adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam
hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).
8. CapaianPembelajaran :
Pembelajaran Mata kuliah Hukum Adat Lanjutan ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiwa tentang berbagai
memahami hukum adat secara dengan topik pembahasan yang mendalam yang
kemudian mampu menganalisis kasus kasus berkaitan dengan materi dalam
93
lingkaran hukum adat yang meliputi tatanan masayarakat adat yang meliputi:
pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum adat tentang keluarga, hukum
adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan hukum adat tentang
pelanggaran. Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat
perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).
9. Bahan Kajian
Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari:
I. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
a. Pengertian Kesaruan Masyarakat Hukum Adat
b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
10. Referensi
95
14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil, PT. Media Sarana Press, Jakarta.
15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,
CV Rajawali, Jakarta.
17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-asas Hukum Adat,
Alumni, Bandung.
18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Bagian
Hukum dan Masyarakat, Fak.Hukum, Universitas Udayana.
19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.
22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang
Perlindungan anak.
27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45
Tahun 1990.
28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
96
LAMPIRAN II : RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
(Catatan: Pada Lampiran II. dilampirkan RPP untuk keseluruhan pertemuan)
RPP PERTEMUAN KE I
97
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.
11. Media, Alat dan Sumber Belajar
a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka
98
Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat,
Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat.
13. Tugas
a. Apakah yang dimaksud dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ?
Jawaban .................................................................................................
b. Unsur-unsur apakah yang harus dipenuhi jika persekutuan tersebut dapat
dikatakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ?
Jawaban .................................................................................................
c. Faktor-faktor apakah yang mempengauuhi terbentuknya kesatuan
masyarakat hukum adat ?
Jawaban .................................................................................................
d. Apakah kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai hukum tertulis dan
apakah kesatuan masyarakat hukum adat mendapat perlindungan secara
hukum ?
Jawaban .................................................................................................
1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 berkomunikasi
99
16. Suber Belajar
100
20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia, Sumur, Bandung.
21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung.
22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang Tentang Perlindungan
anak.
27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10 tahun 1983, PP No. 45
Tahun 1990.
28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
101
LAMPIRAN III : KONTRAK KULIAH
KONTRAK PERKULIAHAN
102
9. Capaian Pembelajaran
Setelah memahami materi hukum adat lanjutan mahasiswa Fakultas Hukum
Unud, dapat menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip hukum adat
Indonesia kedalam bentuk kasus-kasus adat yang muncul di masyarakat hukum
adat dengan tepat dan benar (C3).
10. Organisasi Materi
I. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
a. Pengertian Kesaruan Masyarakat Hukum Adat
b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
II. HUKUM TANAH ADAT
a. Tanah Adat sebagai Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
b. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat
c. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan
III. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN
a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan
b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia
c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Pada
Umumnya
d. Hubungan Hukum Dalam Hukum Kekeluargaan
IV. HUKUM ADAT PERKAWINAN
a Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia
b Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat
c Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adat
d Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum Adat
e Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam Hukum Adat
V. HUKUM ADAT PEWARISAN
a Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan
b Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris
c Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris
d Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris
VI. HUKUM ADAT PELANGGARAN
a Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat
b Jenis-Jenis Pelanggaran Adat
103
c Reaksi Dan Koreksi Adat
d Pelanggaran Adat Dalam Praktek
yang pusat pembelajarannya ada pada mahasiswa dan bukan pada Dosen.
Metode ini diterapkan dengan cara belajar (learning) dan bukan mengajar
perkuliahan, diskusi dan tutorial dengan prosentasi 50% (6 kali pertemuan atau
perkuliahan) dan 50% (6) kali pertemuan dengan tutorial dan diskusi), 1 (satu)
kali untuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan 1 (satu) kali untuk Ujian Akhir
semester (UAS). Sehingga total pertemuan untuk bobot 2 SKS adalah 14 (empat
belas) kali
12. Tugas-Tugas
Tugas diberikan setiap akhir kegiatan pekuliahan sebagai media evaluasi atas
capaian pembelajaran. Tugas yang diberikan dalam bentuk kasus-kasus
nyata/riil, selanjutnya akan di diskusian pada saat pertemuan selanjutnya/
tutorial.
13. Kriteria Penilaian
Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman
Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.
104
b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila dosen dan mahasiswa
terlambat daripada batas toleransi, maka akan dikenakan sanksi, kecuali
ada pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.
…………………………………… …………………………………
Mengetahui
………………………………………..
105