Anda di halaman 1dari 6

BANGKITAN PSIKOGENIK NONEPILEPSI

Ni Komang Dewi Mahayani1, Mega Nilam Sari2, Anna Marita Gelgel1, Sri Yenni
Tisnawati1, Cokorda Bagus Jaya Lesmana2
Departemen Ilmu Penyakit Saraf1 dan Departemen Psikiatri2 Fakultas kedokteran
Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali

ABSTRAK
Bangkitan psikogenik non epilepsi atau lebih sering disebut Psycogenic nonepileptic seizure
(PNES) merupakan gangguan kesadaran, gerakan atau perilaku paroksismal mirip dengan bangkitan
epilepsi, namun tidak disebabkan oleh gangguan neurobiologis seperti epilepsi serta tidak disertai
perubahan gelombang listrik pada perekaman elektroensefalografi (EEG).1,2,3 Faktor tersering yang
berkaitan dengan PNES antara lain: kekerasan fisik dan penelantaran, kekerasan seksual, cedera kepala
traumatik, kehilangan orang yang sangat disayangi, tekanan disekolah atau ditempat kerja,
komorbiditas medis, gangguan kepribadian seperti narkistik atau histrionik, ciri kepribadian tidak
stabil, gangguan psikiatri seperti kecemasan, depresi, dan bipolar.1,2,3 Kasus seorang laki-laki 17 tahun
dilaporkan kejang dengan tangan dan kaki kelojotan disertai panggul menghentak-hentak kedepan dan
belakang, mata mendelik keatas. Pasien di diagnosis dengan epilepsi umum tonik klonik idiopatik dan
diberikan obat anti epilepsi (OAE) berupa fenitoin 100mg setiap 8 jam. Pasien memiliki sifat pendiam,
tertutup dan dependen, riwayat gangguan bipolar serta riwayat tekanan disekolah berupa diejek teman-
teman sekolah. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan akhirnya pasien didiagnosis dengan PNES,
kemudian dosis OAE diturunkan perlahan-lahan serta dikonsulkan ke bagian psikiatri. Pasien
mendapatkan terapi clobazam 5 mg setiap 24 jam, flouxetine 10 mg setiap 24 jam serta psikoterapi
berupa edukasi, psikoterapi supportif dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT).

Kata kunci: bangkitan, epilepsi, psikogenik


PSYCHOGENIC NONEPILEPTIC SEIZURE

Ni Komang Dewi Mahayani1, Mega Nilam Sari2, Anna Marita Gelgel1, Sri Yenni
Tisnasanti1, Cok Bagus Jaya Lesmana2
Neurology Departement1and Psychiatriy Departement2 Udayana University/Sanglah
General Hospital in Denpasar Bali

ABSTRACT
Psycogenic nonepileptic seizure (PNES) consist of paroxysmal changes in responsivenes,
movemen, or behavior that superficially resemble epileptic seizure, but lack a neurobiological origin
similar to epileptic seizure and not associated with electrophysiological epileptic change. 1,2,3 The most
commonly reported PNES associated factor include physica abuse or neglect, sexual abuse, traumatic
brain injury, separation from family members or friends, medical comorbidities, and psyciatric
comorbidities (eg. Bipolar disorder or anxiety, personality disorder narcistic or histrionic).The case a
boy of 17-year come to emergency room with general tonic clonic seizure tipically with pelvic
thrusting movement. He diagnose as idiopathic general tonic clonic epilepsy and treated with anti
epileptic drug (AED). History of patient’s personality is introvert and dependent person. After some
test and examination finally he was diagnose with PNES and AED is taper of. Patient refer to mental
health professionals and started treated with clobazam 5 mg one time a days, flouxetine 10 mg one
time a days, cognitive behavior therapy.
Keywords: seizure, epilepsy, psychogenic

PENDAHULUAN

PNES memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan epilepsi, sehingga sering
terjadi kesalahan dalam mendiagnosis PNES sebagai epilepsi. Keterlambatan dalam
mendiagnosis PNES menyebabkan kesalahan dalam memberikan terapi, sehingga
memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada kualitas hidup pasien, keluarga dan
lingkungan. The International League Against Epilepsy (ILAE) mengidentifikasi PNES pada
1 dari 10 kondisi neuropsikiatri yang berhubungan dengan epilepsi. Insiden PNES mencapai
5% sampai 10% pada pasien rawat jalan diklinik epilepsi dan 20% sampai 40% pada pasien
rawat inap di unit perawatan epilepsi. Prevalensi PNES 2 sampai 33 per 100.000 individu.
PNES mulai muncul pada usia remaja dan dewasa muda, lebih sering ditemukan pada
perempuan dari pada laki-laki dengan rasio perempuan dibanding laki-laki 2.94.1,2,3,4,5
Berdasarkan the diagnostic and statistical manual of mental disorder fifth edition (DSM-5),
PNES dimasukan dalam kategori gangguan konversi atau disosiasi. Kriteria diagnosis PNES
menurut DSM-5 bisa dilihat pada tabel 1.

KASUS

Pasien laki-laki 17 tahun, dengan keluhan utama kejang, tangan dan kaki kelojotan,
panggul menghentak-hentak ke depan dan belakang, mata mendelik keatas, tidak disertai
mengompol dan lidah tergigit. Durasi kira-kira dua menit, frekuensi lebih dari lima kali,
diantara kejang pasien sadar baik, saat kejang selalu ada orang disekitar. Keluhan ini
merupakan yang kedua kalinya bulan November 2016 pernah kejang dengan pola sama
berobat ke poli saraf untuk dilakukan perekaman EEG, dengan hasil EEG normal. Pasien
pernah berobat kepoli jiwa dengan gangguan bipolar dan diberikan risperidon. Pasien
kemudian didiagnosis dengan epilepsi umum tonik klonik idiopatik dan diterapi dengan obat
anti epilepsi berupa fenitoin 100 mg setiap 8 jam.
Riwayat kejiwaan pasien, ibunya mengatakan pasien merupakan seorang perasa
namun selalu berusaha terlihat ceria didepan orang lain. Pasien mengatakan bahwa dia sering
dibully oleh teman sekolahnya dikatakan “bencong” dan pernah dikunci di lemari sekolah
selama tiga jam. Seminggu sebelumnya pasien memintan laptop seperti kakaknya, namun
tidak dibelikan dan dimarahi oleh ayahnya.
Pemeriksaan status mental, pasien diwawancara dalam keadaan berbaring, tampak
tenang, dapat menyebutkan nama dengan benar, siapa yang menunggu, menyebutkan waktu
dan tempat berada dengan benar. Pasien menjawab dengan benar ketika dilakukan tes
berhitung, namun saat ayah pasien datang, pasien langsung terdiam, pasien mengatakan takut
kepada ayahnya karena sering dimarahi. Mood disforik, afek tidak nyaman, keserasian:
apropriate/inadekuat, bentuk pikir: logis-realis; arus pikir: perlambatan; isi pikir: ide aneh
tidak ada, insomnia tidak ada, hipobulia tidak ada, raptus tidak ada. Kesadaran jernih,
orientasi baik, daya ingat baik, konsentrasi baik, perhatian baik, kemampuan membaca,
menulis, dan visuospasial normal. Daya nilai sosial dan uji daya nilai baik, penilaian realita
normal, tilikan derajat 4, pasien memiliki sifat pendiam, tertutup, dan dependen. Pada
pemeriksaan child depression inventory ditemukan kecurigaan ke arah depresi.
Tanda vital dan status general dalam batas normal, kesadaran komposmentis dengan
riwayat bangkitan umum tonik klonik dan gerakan pelvic thrusting. Hasil laboratorium darah
dan cairan serebrospinal dalam batas normal, perekaman EEG dalam batas normal, CT Sken
kepala tanpa dan dengan kontras dalam batas normal gambar 1.
Pasien kemudian didiagnosis dengan PNES dan dilakukan penurunan dosis fenitoin
perlahan-lahan. Pasien dikonsulkan kebagian psikiatri dan mendapatkan terapi anticemas
berupa clobazam 5 mg setiap 24 jam, antidepresan berupa flouxetine 10 mg setiap 24 jam,
psikoterapi berupa edukasi, psikoterapi supportif dan cognitive behaviour therapy (CBT).
Pasien mengalami perbaikan yang signifikan dan kembali beraktivitas normal seperti biasa.

PEMBAHAS

PNES adalah gangguan kesadaran, gerakan atau perilaku yang paroksismal dan
secara superfisial mirip dengan bangkitan epilepsi, namun tidak disebabkan oleh gangguan
neurobiologis seperti epilepsi serta tidak disertai perubahan gelombang listrik pada
perekaman EEG.1,2,3 Pasien laki-laki 17 tahun dikatakan mengalami kejang dengan pola mata
mendelik, tangan dan kaki kelojotan, panggul menghentak-hentak ke depan dan belakang
durasi kurang dari 2 menit, tidak ada mengompol dan lidah tergigit. Pola gerakan yang
dialami pasien sesuai dengan salah satu karakteristik PNES yaitu gerakan motorik repetitif
berupa gerakan pelvic thrusting, ciri lainya adalah pada PNES jarang terjadi inkotinensia dan
jarang melukai dirinya.1,2,3,5,6 Menurut epidemiologinya PNES mulai muncul pada usia remaja
dan dewasa muda, sesuai dengan usia pasien saat ini. Saat bangkitan selalu ada orang
disekitarnya, pasien PNES bertujuan untuk mencari perhatian sehingga bangkitan akan selalu
muncul saat ada orang disekitarnya. 1,2,3,5, 6

Faktor predisposisi PNES antara lain: kekerasan fisik dan penelantaran, kekerasan
seksual, komorbiditas medis dan komorbiditas psikiatri seperti: gangguan kepribadian
narkistik atau histrionik, ciri kepribadian yang tidak stabil, kecemasan, depresi, dan gangguan
bipolar. Faktor pencetus PNES antara lain kehilangan orang yang sangat disayangi serta
tekanan disekolah, ditempat kerja, dan dirumah. 1,2,3,5,6 Pasien mempunyai faktor predisposisi
terjadinya PNES berupa gangguan bipolar dan kecurigaan depresi, disertai sifat pendiam,
tertutup dan dependen. Pasien juga memiliki faktor pencetus PNES antara lain riwayat
tekanan disekolah berupa sering diejek dikatakan “bencong”dan tekanan dirumah yaitu sering
dimarah ayahnya, riwayat keinginan membeli laptop yang tidak terpenuhi.

Pemeriksaan CT Sken kepala dengan kontras dan perekaman EEG dalam batas
normal, hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis PNES yaitu ketidaksesuaian antara gejala
yang muncul dengan kondisi medis dan neurologis yang sudah diketahui sebelumnya.1,2,3,5,6
Pasien diterapi dengan menurunkan dosis fenytoin perlahan-lahan, pemberian clobazam 5 mg
setiap 24 jam sebagai anticemas dan flouxetine 10 mg setiap 24 jam sebagai antidepresan.
Pasien juga mendapatkan psikoterapi berupa edukasi, psikoterapi supportif dan cognitive
behaviour therapy (CBT). Tatalaksana pasien PNES meliputi penurunan dosis obat anti
epilepsi, pemberian anti cemas dan anti depresan serta psikoterapi berupa CBT.1,2,5,7,8 Suatu
uji klinis pada tiga pusat akademi meneliti efek pemberian psikoterapi dan psikofarmasi pada
pasien PNES, yaitu berupa pemberian sertraline saja, CBT saja serta kombinasi sertraline dan
CBT. Didapatka hasil terapi dengan CBT saja dapat menurunkan serangan sebesar 51,4%
(p=0.01) dan secara signifikan juga dapat memperbaiki depresi, kecemasan, kualitas hidup
dan fungsi keseluruhan (p< 0.001). Kombinasi antara CBT dan sertraline dapat menurunkan
serangan sampai 59.3% (p=0.008) dan dapat memperbaiki depresi, kecemasan, kualitas
hidup dan fungsi keseluruhan (p<=0.007). Terapi dengan sertraline saja tidak dapat
menurunkan serangan secara signifikan (p=0.08).1

KESIMPULAN

Keluhan kejang dengan pola pelvic thrusting harus selalu didiagnosis banding
dengan PNES, terutama pada pasien yang memiliki faktor predisposisi dan pencetus PNES
yang jelas. Hal ini bertujuan untuk mencegah keterlambatan dalam mendiagnosis dan
kesalahan terapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asadi-Pooya AA. Psychogenic Nonepileptic Seizures. Epilepsy. 2015;3(3).


2. Wyllie E. Treatment of Epilepsy: Principles and Practice. 5 th Edition. Lippincott Willians &
Wilkins.2011;289-294.
3. Rossetti AO. Non-Epileptic Psychogenic Seizures: a Neurologist’s Perspective.
Epileptologie.2016;33:50 – 54.
4. Nagaraajan V. Pseudoseizures (PsychogenicNon-Epileptic Seizures). Medicine Update. Vol.
2012;22: 576-579.
5. Oto M, Reuber M.Psychogenic non-epileptic seizures: aetiology, diagnosis and
managementAdvances in psychiatric treatment. 2014;20:13–22.
6. Baslet G. Psychogenic nonepileptic seizures: a treatment review. What have we learned since
the beginning of the millennium?. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2012;8:585–598.
7. LaFrance WC, Reuber M, Goldstein LH. Management of psychogenic nonepileptic seizures.
Epilepsia, 2013;54:53–67.
8. Ker WT, Janio EA, Justine M, Hori JM, Patel A, Angel J, dkk. Diagnose delay in
psychogenic seizure and the association with anti-seizure medication trials. Seizure, 2017;
40:123-126.

Anda mungkin juga menyukai