Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi yang berjudul
“FARMAKOTERAPI GAGAL GINJAL” ini. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Farmakoterapi.
saya menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu sangat
diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi seluruh mahasiswa Farmasi bahkan
masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Akhirnya besar harapan saya kiranya makalah ini dapat membantu teman-teman.
Penyusu
n
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh manusia. Akan tetapi pengetahuan
masyarakat tentang ginjal masih jauh dari memadai. Organ yang memiliki besar seperti
telapak tangan fungsinya banyak sekali. Bukan hanya sebagai alat penyaring dan pembersih
darah seperti yang sudah luas terkenal.Akan tetapi ginjal memiliki fungsi – fungsi lainnya.
Tidak perlu ditutupi,kenyataan bahwa cukup banyak dari masyarakat awam tidak
mengetahui secara tepat dimana letak ginjalnya . Apalagi mengenai besarnya, sistem
kerjanya, dan darimana datangnya air seni. Ginjal merupakan bagian utama dari sistem
saluran kemih yang terdiri atas organ – organ tubuh yang berfungsi memproduksi maupun
menyalurkan air seni ke luar tubuh.
Tanda adanya gangguan ginjal sangat bervariasi. Ada yang lama tidak menampakkan
tanda atau gejala sama sekali ,baru belakangan timbul keluhan. Pada dasarnya, adanya
keluhan yang tidak begitu menonjol pada seseorang harus dipikirkan kemungkinan hal itu
disebabkan oleh gangguan pada ginjalnya. Pemeriksaan laboratorium penyaring untuk
melihat baik tidaknya fungsi ginjal sangat sederhana dan mudah dilakukan diberbagai
laboratorium, yaitu mengukur kadar urea dan kreatinin plasma darah,endapan air seni
(apakah sel darah merah, sel darah putih berlebihan).
1.2 TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Acute Kidney Injury(AKI)
2.1.1 Definisi
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut
sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga
parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury
dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi
definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup
semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan
penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului
peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan
LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang
mudah dan dapat dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).
2.1.2 Klasifikasi Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada Tabel 1.
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti
yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:
Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)
Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,
bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla
ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi
pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan
kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang
menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan
berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh
apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan
mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan
kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama
vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator
vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit.
Bonventre (2008)
2.1.5 Pendekatan Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat
badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat
ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan
takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering,
stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis.
Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik
tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis
penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik
akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik
yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat,
baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur
menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat
dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom (Robert Sinto,
2010).
2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan
pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan
tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau
tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut
dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi
cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22%
kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin
dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-
ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya,
pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat
korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons
dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status
volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak
ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia,
iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan,
pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak
terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari
toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto,
2010).
1.1.7 Komplikasi dan Penatalaksanan
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif,
sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut
1.2
Gagal
Ginjal
Akut
dan
Kronik
2.2.1
Pengertian
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara
bertahap (Doenges, 1999; 626) Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan
fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau
penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long,
1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
2.2.2 Etiologi
a. Penipisan volume
b. Hemoragi
c. Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretik, osmotik)
d. Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah, diare, selang nasogastrik)
e. Gangguan efisiensi jantung
f. Infark miokard
g. Gagal jantung kongestif
h. Disritmia
i. Syok kardiogenik
j. Vasodilatasi
k. Sepsis
l. Anafilaksis
m. Medikasi antihipertensif atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi
a. Diabetus mellitus
b. Glumerulonefritis kronis
c. Pielonefritis
d. Hipertensi tak terkontrol
e. Obstruksi saluran kemih
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Gangguan vaskuler
h. Lesi herediter
i. Agen toksik (timah, kadmium, dan merkuri)
Perubahan berat
Penurunan aliran
jenis urine
darah glomerulus
Obstruksi Penurunan
tubulus ultrafiltrasi
Peningkatan glomerulus
pelepasan Nacl
ke mukosa denia
Kebocoran
filtrat
Penurunan
GFR
Penurunan
Ketidakseimbangan produksi energi
elektrolit metabolik
2. Gagal Ginjal
produksi
Reaksi tinggi
Penurunan
terhadap penurunan
pemasukan diet
curah
Terdapat empat tahapan klinik dari gagal ginjal akut sebagai berikut :
1. Periode Awal
Merupakan awal kejadian penyakit dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Periode Oliguri
Pada periode ini volume urin kurang dari 400 ml/24 jam, disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dari substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin,
asam urat, kalium dan magnesium). Pada tahap ini untuk pertama kalinya gejala uremik
muncul, dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
3. Periode Diuresis
Pasien menunjukkan peningkatan jumlah urin secara bertahap, disertai tanda perbaikan
glumerulus. Nilai laboratorium berhenti meningkat dan akhirnya menurun. Tanda uremik
mungkin masih ada, sehingga penatalaksanaan medis dan keperawatan masih diperlukan.
Pasien harus dipantau ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini. Jika terjadi dehidrasi,
tanda uremik biasanya meningkat.
4. Periode Penyembuhan
Merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3 - 12 bulan
Nilai laboratorium akan kembali normal
Namun terjadi penurunan GFR permanen 1% - 3%
1. Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan
klirens kreatinin. Akibt dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun,
kreatinin akn meningkat, dan nitrogen urea darh (BUN) juga akan meningkat.
4. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adequate,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
terjadiperdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
2.2.4 Gejala
1. Tekanan darah meningkat karena overload cairan dan produksi hormon vasoaktif
diciptakan oleh ginjal melalui RAS (renin-angiotensin system), meningkatkan risiko
seseorang mengembangkan hipertensi dan atau penderitaan dari [gagal jantung (kongestif)
2. Urea terakumulasi, yang mengarah ke azotemia dan akhirnya uremia (gejala mulai dari
kelesuan ke perikarditis dan ensefalopati). Urea diekskresikan oleh keringat dan
mengkristal pada kulit ("frost uremic").
3. Kalium terakumulasi dalam darah (dikenal sebagai hiperkalemia dengan berbagai gejala
termasuk malaise dan berpotensi fatal aritmia jantung s)
4. Erythropoietin sintesis menurun (berpotensi menyebabkan anemia, yang menyebabkan
kelelahan)
5. Overload volume yang Fluida - gejala dapat berkisar dari ringan edema untuk mengancam
kehidupan edema paru
6. Hyperphosphatemia - karena ekskresi fosfat berkurang, terkait dengan hipokalsemia (karena
1,25 hidroksivitamin D 3 ]] defisiensi), yang karena stimulasi faktor pertumbuhan
fibroblast -23-
7. Belakangan ini berkembang menjadi hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi ginjal dan
kalsifikasi vaskular yang berfungsi juga mengganggu jantung.
8. Metabolik asidosis, karena akumulasi sulfat, fosfat, asam urat dll ini dapat menyebabkan
aktivitas enzim diubah oleh kelebihan asam yang bekerja pada enzim dan eksitabilitas
juga meningkat membran jantung dan saraf dengan promosi (hiperkalemia) karena
kelebihan asam (asidemia)
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi
• Pitting edema
• Edema periorbital
• Pembesaran vena leher
• Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
• Krekel
• Nafas dangkal
• Kusmaull
• Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
Anoreksia, mual dan muntah
Perdarahan saluran GI
Ulserasi dan pardarahan mulut
Nafas berbau ammonia
d. Sistem muskuloskeletal
Kram otot
Kehilangan kekuatan otot
Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
Warna kulit abu-abu mengkilat
Pruritis
Kulit kering bersisik
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
Amenore
Atrofi testis.
2.2.6 Diagnosis
a. Laboratorium
1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia
normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin
kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena perdarahan saluran
cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih.
Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein,
dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada
gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D3 pada
GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama isoenzim
fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan metabolism
dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal
(resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian hormone
insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun, BE
menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam
organic pada gagal ginjal.
b. Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau adanya
suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan
ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya usia lanjut,
diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih, dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vascular,
parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.2.7 Penatalaksanaan/Terapi
1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda adanya
kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian fungsi ginjal, GFR
60 89mls/min/1.73m2
NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika GFR turun lebih 1y dari
5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb – bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara progresif
mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien
dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-129/80) bagi
pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga teratur
dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR 15-
29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang
sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi, memeriksa adanya
pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika GFR
terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan ginjal yang
progresif
d. Tes darah : Ca, PO4, Hb
e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada sistem ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien
dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-129/80) bagi
pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga teratur
dan gaya hidup.
g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika transplantasi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II,
III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum
menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien
diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan
mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase
gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien PGK. Penelitian keadaan gizi
pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) _ 25 ml/mt yng diberikan terapi konservatif
di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi
kurang. Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai
akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah.
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui
monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada
dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta
petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan
gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi
optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang
pada
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.
Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori, Protein untuk
pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila
asupan energi tidak tercapai, protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein
diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet
Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga
_ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat dapat
disubstitusi dengan protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk
variasi menu, Lemak untuk mencukupi kebutuhan energy diperlukan ± 30 % diutamakan
lemak tidak jenuh, Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari
ditambah IWL ± 500 ml,
Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan dalam tubuh.
Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg Na/hari, Kalium
disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari, fosfor yang
dianjurkan _ 10 mg/kg BB/hari, Kalsium 1400-1600 mg/hari
Sumber Vitamin dan Mineral Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami
hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun
singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka. Hindari/batasi
makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan tinggi
natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang
diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.
Bahan makanan yang mengandung semua asam amino disebut lengkap protein,
seperti telur, daging, ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa disebut
sebagai protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati, misalnya beras dan kacang-
kacangan, mengandung asam amino esensial yang terbatas atau tidak lengkap. Oleh karena
itu, dikatakan mengandung protein bernilai biologi rendah. Kedelai dan hasil olahannya, yaitu
tempe, tahu dan susu kedelai, mengandung asam amino esensial walaupun ada 1 asam amino
yang kurang, terbatas fungsinya hanya untuk pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan
(Limiting Amino Acid) yaitu metionin. Demikian pula asam amino esensial lisin kurang pada
beras dan triptopan kurang pada jagung, akan tetapi apabila bahan makanan yang
mengandung asam amino terbatas dikonsumsi secara bersamaan dalam hidangan sehari-hari,
dapat saling melengkapi kekurangan dalam asam amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang
terbatas lisin dimakan bersamaan dengan
tempe yang terbatas pada metionin didapatkan campuran yang memungkinkan saling
melengkapi dalam asam aminonya untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh.
Cara Memasak :
Rasa makanan dapat dipertinggi dengan menggunakan bumbu yang rendah
garam :
seperti : gula, cuka, bawang merah, bawang putih, jahe kunyit, salam, laos, dll.
Makanan yang dikukus, ditumis, dipanggang, digoreng lebih enak dari pada
makanan direbus.
Pada hipertensi yang disebabkan karena kelebihan cairan di ekstra sel maka terapi
yang diberikan adalah pemberian diuretika untuk menurunkan edema, serta dengan
memantau intake dan output cairan, mengukur lingkar perut setiaphari, dan penimbangan BB
untuk mendeteksi dini adanya edema.
Cara pengukuran GFR secara tidak langsung mengukur bahan tertentu.bahan bahan
tersebut adalah inulin dan kreatinin.yang paling baik adalah inulin,tapi yang paling mudah
adalah penghitungan berdasarkan berdasarkan kadar kreatinin.sejingga GFR diukur dari
clierance creatinin test (CCT)
Hemodialisis
Dialisis
Dialisis diperlukan apabila sudah sampai pada tahap akhir kerusakan ginjal atau gagal
ginjal terminal (End Stage Renal Disease). Biasanya terjadi apabila kerusakan ginjal sudah
mencapai 85 – 90 persen. Seperti halnya ginjal sehat, tindakan dialisis juga menjaga agar
tubuh berada dalam keseimbangan. Tindakan dialisis dilakukan untuk membuang sisa–sisa
metabolisme, dan kelebihan cairan agar tidak menumpuk di dalam tubuh, menjaga level yang
aman dari unsur – unsur kimiawi dalam tubuh seperti potasium dan sodium. Selain itu
tindakan dialisis juga untuk membantu mengkontrol tekanan darah. Bila ginjal gagal
melakukan fungsinya, sehingga bermacam- macam produk sisa termasuk garam dan air
menumpuk dalam tubuh, perlu dilakukan dialisis untuk mengeluarkan produk-produk sisa
tersebut. Proses dialysis sesungguhnya menggunakan sifat-sifat dari membran
semipermeabel, di mana membran tersebut hanya dapat dilalui oleh zat-zat dengan berat
molekul yang kecil dan tidak dapat ditembus oleh zat-zat dengan berat molekul besar.
Melalui membran semipermeabel tersebut kelebihan air, macam-macam produk sisa yang
menumpuk dalam tubuh ataupun zat-zat toksik lainnya dapat dikeluarkan dari tubuh
penderita gagal ginjal ataupun untuk meningkatkan kerja ginjal pada terapi keracunan. Untuk
melangsungkan proses dialisis diperlukan suatu cairan yang mirip dengan cairan ekstraseluler
ideal. Cairan ini disebut cairan dialisis yang mengandung elektrolit dan dekstrosa.
Prinsip dialisis :
Bila 2 macam cairan dengan kepekatan yang berbeda dibatasi oleh membran
semipermeabel maka oleh karena proses konveksi dan difusi, kepekatan cairan akan berubah.
Cairan yang kurang pekat akan menjadi lebih pekat dan yang pekat menjadi kurang pekat.
Pada proses dialisis, cairan dialisis dialirkan pada salah satu sisi permukaan dari membran
semipermeabel, sedangkan darah pasien dialirkan dalam arah yang berlawanan terhadap
aliran cairan dialisis pada sisi lain dari membran tersebut. Dalam proses tersebut akan terjadi
pertukaran ion antara darah dan cairan dialisis. Dengan menaikkan osmolaritas, cairan dialisis
(menaikkan konsentrasi dekstrosa) dapat membantu mengeluarkan kelebihan air dari dalam
tubuh. Dengan mengurangi konsentrasielektrolit tertentu dapat mengeluarkan elektrolit dalam
Darah dengan selektif, sehingga dapat mengoreksi keseimbanganelektrolit.
Ada dua macam pengobatan dengan dialisis, yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis.
Peritoneal dialisis
Peritoneal dialisis
Hemodialisis :
Hemodialisis adalah suatu cara untuk memisahkan darah dari sampah metabolisme
dan racun tubuh bila ginjal sudah tak berfungsi. Disini digunakan ginjal buatan yang
berbentuk mesin hemodialisis.
Cara kerja :
Darah dikeluarkan dari tubuh melalui pipa-pipa plastik menuju mesin ginjal buatan
(mesin hemodialisis). Setelah darah bersih dari sisa metabolisme dan racun tubuh, darah akan
kembali ke tubuh. Pada GGA dilakukan hemodialisis sampai fungsi ginjal membaik. Pada
GGK berat, dilakukan hemodialisis 2-3 kali seminggu, diulang seumur hidup atau sampai
dilakukan cangkok ginjal.
Pada
proses
hemodialisis ini
digunakan
membran buatan
semipermeable
yang berfungsi
sebagai ginjal buatan. Juga dipergunakan suatu mesin untuk mengalirkan darah pasien
melalui salah satu sisi permukaan dari membran semipermeabel sebelum dikembalikan ke
sirkulasi darah tubuh pasien. Pada saat yang sama cairan hemodialisis dipompakan ke dalam
mesin dan dialirkan melalui sisi lain dari permukaan semipermeabel, sehingga terjadi
pertukaran ion antara darah pasien dengan cairan hemodialisis. Melalui membran
semipermeabel yang mengandung lubang-lubang kecil tersebut produk-produk sisa dari darah
pasien seperti urea, kreatinin, fosfat, kalium dan lainnya termasuk kelebihan air serta garam
dari tubuh akan lewat dan masuk ke dalam cairan hemodialisis yang mengalir dengan arah
berlawanan dari aliran darah pasien.
Walaupun demikian, protein dan sel-sel darah tidak dapat menembus melalui lubang-
lubang kecil dalam membran semi-permeabel tersebut. Bakteri dan virus yang mungkin
mengkontaminasi cairan hemodialisis juga tidak dapat masuk ke dalam aliran darah pasien
melalui membran tersebut karena ukurannya lebih besar dari lubang-lubang kecil tersebut.
Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai.
Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus
diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila
penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau
memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4
ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit
berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa
antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme
dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Proses Hemodialisa
I. Pra Hemodialisa
II.
A. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menyiapkan mesin HD :
- Mesin diperiksa harus dalam keadaan siap pakai.
- Hubungkan mesin dengan aliran listrik.
- Hubungkan mesin dengan saluran air.
- Drain line ditempatkan di saluran pembuangan tidak dalam keadaan tersumbat.
- Jerigen tempat cairan dialisat terisi sesuai jumlah yang dibutuhkan untuk satu kali
dialisa.
B. Menyiapkan dialisat
Dialisat adalah cairan yang digunakan pada proses HD, terdiri dari camuran air dan
elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan serum normal dan mempunyai
tekanan osmotic yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat :
- Mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh.
- Mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Dialisat :
Dialisat konsentrat
Berisi larutan pekat, sebelum dipakai harus dicampur kontinyu dalam
perbandingan tertentu oleh mesin.
Mudah pemakaiannya.
Kesalahan pengenceran sangat kecil.
Sulit transport dan penyimpanan.
Bentuk kering atau puyer.
Mudah menyimpan.
Sulit mendapatkan komposisi yang benar.
C. Menyiapkan Air
Air untuk dialisat seharusnya tidak mengandung zat / elektrolit /mikroorganisme dan
benda asing lainnya karena itu untuk mendapatkan air yang ideal untuk dialysis maka
dilakukan tindakan pengolahan air / water treatment.
1. Peralatan kedokteran
- Tensimeter dan stethoscope - Gunting
- Timbangan berat badan - Bengkok
- Tabung oksigen lengkap - Gelas ukuran
- Alat KG - Zeil / karet untuk alas tangan
- Slym Zuiger - Sarung tangan
- Tromol (duk, kassa, klem) - Kassa
- Bak spuit, kom kecil - Plester / band aid
- Korentang dan tempatnya - Verband
- Klem-klem (besar dan kecil)
2. Alat-alat khusus
- Dyalizer - Infus set
- Blood line - Spuit 1 cc, 3 cc, 20 cc.
- AV fistula - Conducturty meter
- Dialisat pekat
3. Obat-obatan
- Lidocain, Novocain - Sodium bikarbonat
- Alcohol, betadin - Obat-obatan penyelamat hidup
- Heparin, protamin
4. Lain-lain
- Surat izin dialysis
- Formulir hemodialisa
- Treveling hemodialisa
- Traveling dialysis
- Formulir-formulir : laboratorium, radiology dan lain-lain
E. Menjalankan Mesin HD
1. Periksa saluran listrik dan saluran air
2. Hubungkan slang water inlet ke kran air dan slang water outlet ke lubang pembuangan
3. Hubungkan kabel power dengan stop kontak
4. Siapkan cairan dialisat dalam jerigen sebanyak yang dibutuhkan, perhatikan cairan yang
diperlukan apakah standar atau free potassium
5. Hidupkan mesin dengan posisi rinse selama 15 menit, bila mesin mengandung formalin, maka
posisi rinse lebih lama (30 menit)
6. Setelah rinse selesai, masukan slang untuk concentrate ke dalam jerigen dialisat.
7. Lampu temperatur, lampu conductivity dan lampu concentrate di mesin akan warna merah,
tunggu lampu 2 tersebut sampai warna hijau.
8. Pindahkan tombol ke posisi dialisa bila lampu sudah berwana hijau.
9. Mesin HD siap digunakan.
G. Menyiapkan pasien
1. Persiapan mental
- Memberitahu pada pasien bahwa akan dilakukan HD
- Memberi penjelasan dan motivasi mengenai proses HD dan komplikasi yang mungkin terjadi
selama HD.
2. Persiapan fisik
- Menimbang berat badan
- Observasi keadaan umum
- Observasi tanda-tanda vital
- Mengatur posisi
3. Mengisi izin hemodialisa
- Izin / persetujuan HD
- Harus tertulis
- Pasien dan keluarga harus mendapatkan infomasi yang jelas tentang HD
- Izin HD merupakan dasar pertanggung jawaban yang sah bagi dokter kepada pasien dan
keluarga.
- Surat izin HD disimpan pada rekam medis
B. Antikoagulansia
Yaitu obat yang diperlukan untuk mencega pembekuan darah selama HD. Obat yang
digunakan adalah heparin.
Pemakaian heparin :
- Intermiten : diberikan selama 1 jam
- Continous : terus-terusan selama HD berjalan
- Minimal : diberikan pada waktu menyiapkan sirkulasi darah
- Regional : pada ABL diberikan heparin pada BL diberikan protamin
- Dosis heparin : 1000 unit / jam
- Dosis awal : diberikan pada waktu punksi ke sirkulasi sisemik dan pada waktu darah mulai
ditarik.
- Dosis selanjutnya diberikan ke sirkulasi ekstra corporeal
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan
sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan
membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler
sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF,
2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membrane semipermeabel
yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah
mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama
dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer
yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir
melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh.
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam
sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang
terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan
dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan
oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri
dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah mengalir dari
pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan
kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan
dialisa membentuk saluran kedua.
Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian
dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk
dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana
cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari
hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terutama
dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di
dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran
vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan
larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita.
Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400ml/menit) merupakan
aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri
melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau
gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali
ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer
modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai
parameter (Price & Wilson,1995).
Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada
ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap
aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradient osmotik diantara kompartemen-kompartemen
ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan
oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani
hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit
kepala.
h. Infeksi atau peradangan
bisa terjadi pada akses vaskuler.
i. Pembekuan darah
bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun
kecepatan putaran darah yang lambat.
BAB III
PENUTUP & KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, jelaslah bahwa ginjal merupakan organ terpenting di
dalam tubuh manusia. Akan tetapi, pengetahuan manusia akan pentingnya fungsi ginjal
sangatlah rendah.Gagal ginjal akut adalah gagalnya fungsi ginjal yang berlangsung dalam
waktu relatif singkat (beberapa hari atau beberapa minggu). Sedangkan gagal ginjal
kronik adalah penyakit gagal ginjal yang prosesnya bertahap dan memakan waktu relatif
lama. Penyebab utamanya adalah penyakit gula, glomerulonefritis, infeksi, kelainan
bawaan, dan sumbatan oleh batu saluran kemih.Jika kondisi ginjal sangat parah,
pekerjaannya perlu dibantu dengan mesin cuci darah (dialisis) untuk membersihkan
sampah yang berbahaya di dalam tubuh.
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba
(dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25
μmol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr
selama >6 jam (Molitoris et al, 2007). Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang
menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme,
menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses dari
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-50-0210_JAG_DCP_Guidelines
HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf pada tanggal 12 Mei 2012
Astiawanti, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit Ginjal Kronik
Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Diakses dari
http://www.pernefri.org/1-kamus-ginjal.php pada tanggal 12 Mei 2012.
Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Acute Kidney Injury. Nephrology rounds
(2007), Volume 6 Issue 7.
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal medicine.
Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Darusalam,Dany.2010.Penetapan Diagnosa, Penanganan serta Pengobatan Penyakit
Gagal Ginjal.diakses pada 30 Maret 2012. 07:00.http:// Penetapan- diagnosa-
penanganan- serta - pengobatan- penyakit- gagal- ginjal.html