REFERAT Anemia Pada Sirosis Hepatis
REFERAT Anemia Pada Sirosis Hepatis
OLEH:
09700117
PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat dan karuniaNya lah penulis mampu menyeselesaikan tugas referat yang berjudul
“Anemia Pada Sirosis Hepatis” dengan tepat pada waktunya. Referat ini diajukan untuk
memenuhi tugas dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam
di RSUD Sidoarjo.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Judhy Eko Septiarso selaku dokter pembimbing referat di SMF Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
2. Kepada teman-teman sejawat dokter muda yang sudah memberikan masukan dan
membantu dalam menyelesaikan referat ini.
3. Kepada tenaga paramedis yang telah membantu penulis selama menjalankan kepaniteraan
klinik di poli Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo, dan semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu terwujudnya referat ini.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis
mengharapkan kritis serta saran yang membangun guna kemajuan karya penulis dimasa yang
akan datang. Semoga referat ini bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan
kepaniteraan klinik di Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo, serta pembaca umum. Akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman judul.........................................................................................................................................1
Kata Pengantar........................................................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................................................3
Daftar Tabel ...........................................................................................................................................4
Daftar Gambar........................................................................................................................................5
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................................................6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Sirosis Hati......................................................................................................................................8
2.1.1 Definisi......................................................................................................................................8
2.1.2. Klasifikasi Dan Etiologi..........................................................................................................8
2.1.3. Patologi Dan Patogenesis................................................................................................... 10
2.1.4. Manifestasi Klinis..................................................................................................................12
2.1.5. Gambaran Laboratoris..........................................................................................................15
2.1.6. Diagnosis................................................................................................................................16
2.1.7. Komplikas.................................................................................................................................17
2.1.8. Prognosis............................................................................................................................................ 17
2.2. Anemia.......................................................................................................................................19
2.2.1 Definisi Anemia.............................................................................................................19
2.2.2 Etiologi Dan Klasifikasi Anemia.................................................................................19
2.2.3 Patofisiologi Dan Gejala. .............................................................................................22
2.2.4. Diagnosis. .......................................................................................................................22
2.3. Anemia Pada Sirosis Hepatis...............................................................................................27
2.3.1 Definisi................................................................................................................................27
2.3.2 Etiologi/Patogenesis.........................................................................................................27
2.3.3 Gambaran Laboratorium......................................................................................................... 32
2.3.4 Diagnosa...................................................................................................................................... 36
2.3.5 Pengobatan................................................................................................................................. 36
BAB III. KESIMPULAN ................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 39
3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.2.1. Sebab – sebab sirosis dan /atau penyakit hati kronik......................................9
Tabel 2.2.4.1. Gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi portal..........................................14
Tabel 2.1.8.1. Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh......................................................................18
Tabel 2.2.1.1. Kriteria anemia menurut WHO.......................................................................19
Tabel 2.2.2.1. Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis...................................................20
Tabel 2.2.2.2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi .................................21
4
DAFTAR GAMBAR
5
BAB 1
PENDAHULUAN
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Penyakit ini merupakan stadium terakhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan sel hati, dengan memberikan gambaran klinis
akibat kegagalan sel hati dan hipertensi portal (1). Hati merupakan organ yang penting dalam
tubuh kita yang turut mempertahankan sistem hemopoesis. Seperti diketahui fungsi dari hati
adalah sebagai berikut (2) :
1. Pusat dari metabolisme tubuh
2. Detoksifikasi zat-zat racun
3. Sebagai tempat penyimpanan zat-zat seperti glikogen, protein, vitamin, besi dan lain-lain.
4. Menghasilkan protein esensial yang diperlukan untuk hemopoesis.
5. Tempat sintesa faktor-faktor pembekuan
Bila oleh karena sesuatu sebab, hati tidak dapat lagi melaksanakan fungsinya
dengan normal, maka sistim hemopoesis akan terganggu (3). Sehubungan dengan adanya
kerusakan sel hati dan gangguan fungsi hati tersebut maka pada sirosis hati, anemia dapat
terjadi.
Anemia sering ditemukan pada sirosis hati, sekitar 60-75%. Beratnya anemia tidak
berhubungan dengan beratnya kelainan hati dan sebabnya belum diketahui.
Banyak faktor etiologi, masing-masing dapat berdiri sendiri atau bersamaan. Dapat
dikemukakan diantaranya defisiensi (asam folat, besi), hemolisis, hipersplenisme, kegagalan
sumsum tulang dan faktor penyakit hati sendiri.
Pada penyakit sirosis hati yang disertai hipertensi portal, akan terjadi penambahan
volume plasma yang mengakibatkan hemodilusi. Bila alkohol sebagai penyebab kerusakan
hati, maka alkohol juga ternyata dapat bersifat toksik terhadap sumsum tulang sehingga
terjadai penekanan hemopoesis (4).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya anemia pada sirosis hati dengan
alkoholik, yang terpenting adalah penekanan hemopoesis pada sumsum tulang. Penggunaan
alkohol kronis menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme asam folat atau defisiensi
asam folat dengan gambaran anemia megaloblastik, terjadinya perdarahan dan umur eritrosit
yang memendek (anemia hemolitik).
6
Menurut Sherlock dkk alkohol dapat menimbulkan gambaran eritrosit berupa
makrositik tebal, yang disebabkan oleh efek toksik alkohol pada sumsum tulang. Juga
makrositik tebal ini karena adanya defisiensi asam folat dan vitamin B12 yang disebabkan
oleh alkohol. Pada berbagai penelitian, perdarahan terjadi sekitar 70% pasien sirosis hati
alkoholik, yang terbanyak berasal dari perdarahan saluran cerna, tetapi dari hidung,
hemorroid dan uterus umumnya sering terjadi dan dihubungkan dengan kelainan
homeostasis.
Pada umumnya anemia pada sirosis hati tanpa komplikasi mempunyai tingkat
anemia yang ringan sampai sedang. Tetapi kadang-kadang dijumpai anemia berat, bila terjadi
komplikasi perdarahan varises esofagus atau perdarahan ditempat lain.
Pada penelitian 35 pasien sirosis hati alkoholik, Hb rata-rata ditemukan 12,3 gr/dl.
Hb dapat menurun dibawah 10 gr/dl bila timbul komplikasi sirosis hati. Kira-kira 5% pasien
mengalami gangguan hepatoseluler berat, umur eritrosit menjadi pendek, terjadi anemia
hemolitik yang ditandai dengan adanya spur sel dan Hb yang dijumpai dapat mencapai < 5
gr/dl serta bila fungsi hati diperbaiki maka remisi dapat terjadi. Anemia hemolitik dapat
terjadi pada ketergantungan alkohol pada penyakit hati yang relatif ringan.
Umumnya anemia ringan dan sedang, serta mempunyai kecendrungan sembuh
sendiri bila alkohol diberhentikan (5) .
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3.SIROSIS HATI
2.1.2 DEFINISI
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular,
dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan
tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat
dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati. (6)
8
2.1.9. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul lebih dari
3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran mikro dan
makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional namun hal ini
juga kurang memuaskan.
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis
menjadi: (6)
1. Alkoholik.
2. Kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrotik).
3. Biliaris .
4. Kardiak.
5. Metabolik.
6. Keturunan
7. Terkait obat.
Tabel 2.2.2.1. Sebab – sebab sirosis dan /atau penyakit hati kronik.
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toxoplasmosis
Hepatitis virus (hepatitis B, C, D,
sitomegalovirus)
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis laenec ditandai oleh pembentukan
jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif.
Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat
diakibatkan oleh cedera hati lainnya.
Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan hati alkoholik,
2).Hepatitis alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.
2) Hepatitis Alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan
destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat
cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah peniportal dan perisental timbul
septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena
sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang
kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel
10
yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati
mengecil berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya
sebagai berikut: 1). Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan
konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari
aliran darah yang teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2). Infiltrasi/aktivitas neutrofil,
terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol.
Cedera jaringan dapat terjadi dan neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet
oksigen reaktif, proteasa, dan sitokin; 3). Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan
sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang
menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4). Pembentukan radikal bebas oleh jalur
alternatif dan metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.
Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor nekrosis tumor,
interleukin-1, FDGF, dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan mengaktifasi sel stelata tetapi
bukan suatu faktor patogenik utama pada fibrosis alkoholik.
11
Gambar 2.1.3.1. Patologi Sirosis Hepatis.
12
anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa
selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walaupun ukuran
lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon esterogen. Tanda ini juga
tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid,
hipertiroidisme dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal dipisahkan dengan
warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati gipertrofi suatu
periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi
jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks
simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula
mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu,
ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki
mengalami perubahan ke arah feniminisme. Kebalikannya pada perempuan
menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal atau mengecil.
Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor
hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
13
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi
bilirubin kurang dari 2-3mg/dl tidak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari
tangan, dorsofleksi tangan. (6)
Tabel 2.2.4.1. Gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi portal (7)
14
Gambar 2.2.4.1. Gambaran sirosis (hipertensi portal)
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu
seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan
spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin
aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi
tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal
tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Konsentrasi
yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis dan sirosis bilier primer.
15
Gamma glutamil transfpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase
pada penyakit hati. Konsentrasi tinggi pada penyakit hati alkoholik karena alkohol selain
menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari
hepatosit.
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasi menurun sesuai dengan
perburukan sirosis.
Globulin konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
imunoglobulin.
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada
sirosis memanjang.
Natrium serum-menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
Kelainan hematologi-anemia penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia monokrom,
normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia dengan
trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta.
Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasif
dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai
dengan USG meliputi sudut hari, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya
massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan adanya
peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites,
splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrening adanya
karsinoma hati pada pasien sirosis.
Tomografi komputerisasi (Computerized Axial Tomography) informasinya sama dengan
USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal.
Magnetic resonance imaging-peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain
mahal biayanya.
16
Biopsi hati untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Untuk biopsi, digunakan jarum yang
kecil untuk memeriksa jaringan parut dan tanda-tanda lainnya dibawah mikroskop.
2.1.13. DIAGNOSIS
2.1.14. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah:
1. Anemia.
2. Hematemesis/ melena, oleh karena varises esofagus/ kardia pecah
3. Ensefalopathy hepatik
4. Ascites permagna
5. Peritonitis bakterial spontan
17
6. Sindrom hepatorenal.
Gambar 2.2.7.1. komplikaasi sirosis dari hipertensi portal atau liver insufisiensi.
2.1.15. PROGNOSIS
Prognosis dari sirosis hati tergantung dari beberapa hal dan tidak selamanya buruk. Sampai
saat ini yang paling populer dipakai sebagai parameter dalam upaya menentukan prognostik
sirosis hati adalah kriteria Child yang dikaitkan dengan kemungkinan menghadapi operasi.
Kriteria tersebut sederhana dan dapat dimengerti, walaupun bila diteliti akan mungkin terjadi
tumpang tindih pada tiap faktor pada kasus yang sama. Angka kematian Child A pada operasi
berkisar 10-15 %, Child B 30% dan Child C diatas 60%2. Kriteria/klasifikasi Child ini tidak
hanya digunakan untuk persiapan operasi, tetapi dapat dimanfaatkan untuk terapi konservatif
lain1-3,9 . Oleh Pugh dan kawan-kawan, nutrisi pada kriteria Child ini diganti dengan
pemanjangan masa protrombin19. Parameter yang diukur pada kriteria Child Pugh dapat
dilihat pada tabel dibawah.
18
2.4. ANEMIA.
19
Gambar 2.2.1.1. Anemia
20
a. Anemia defisisensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi B12
2. Gangguan penggunaan besi (utilisasi)
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoetik
e. sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoeitin: anemia pada gagal ginjal kronik
C. Anemia Hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskuler
a. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi
G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimus
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Lain-lain
21
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat index eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3
golongan:
1. Anemia hipokromik mikrositer bila MCV <80 fl dan MCH <27-34 pg.
2. Anemia normokromik normositer bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg.
3. Anemia makrositer bila MCV >95 fl. (3)
3. Anemia makrositik
a. Bentuk megaloblastik
i. Anemia defisiensi asam folat
ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b.Bentuk non-megaloblastik
i. Anemia pada penyakit hati kronik
ii. Anemia pasa hipotiroidisme
22
iii. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Gejala umum anemia adalah sindrom anemia. Gejala umum ini timbul karena:
(1) anoksia organ,
(2) mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
a) Gejala umum anemia
Sindrom anemia, iskemia organ target, penurunan <7g/dl, lemah, lesu, cepat
lelah,telinga mendenging (tinnitus), mata berkunag-kunang, kaki terasa dingin, sesak
nafas, dan dyspepsia. Konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, bawah jaringan
kuku pucat.
b) Gejala khas
Anemia defisiensi besi: Disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis dan kuku
sendok (koilonychia) (3)
2.3.4. DIAGNOSIS.
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang
disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
Diagnosis anemia dilakukan dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan
laboratorik.
A. Pendekatan klinis
23
1. kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia)
2. berat ringannya derajat anemia.
3. Gejala yang menonjol.
Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang
timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh:
a. Perdarahan akut
b. Anemia hemolitik didapat.
c. Anemia akibat leukemia akut.
d. Krisis aplastik pada hemolitik kronik.
a. Defisiensi besi
b. Anemia defisiensi folat atau vitamin b12
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.
Anemia yang bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat berat:
24
c. Thalasemia trait. (3)
25
Gambar 2.1.4.3. Alogaritme Diagnosis Anemia Normokromik Normositer (3)
26
Gambar 2.1.4.4. Alogaritme Pendekatan Anemia Makrositer. (3)
27
masa hidup eritrosit yang memendek, perdarahan dan berkurangnya kemampuan sumsum
tulang untuk membentuk eritrosit (4).
2.3.7 ETIOLOGI/PATOGENESIS
28
a). Peranan dari penyakit kronis hatinya sendiri
Hati merupakan organ yang penting untuk menghasilkan asam amino esensial yang
diperlukan untuk hemopoesis. Pada penyakit hati kronis, kemampuan ini akan berkurang
sehingga berakibat proses hemopoesis akan terganggu dan dapat menyebabkan terjadinya
anemia. Walaupun demikian hemoglobin mempunyai prioritas yang tinggi untuk
menggunakan protein sehingga hanya pada keadaan malnutrisi berat gangguan hemopoesis
oleh karena kekurangan/ketiadaan protein bisa terjadi (3).
Pada sirosis hati bisa dijumpai anemia defisiensi besi yang biasanya sekunder
terhadap adanya perdarahan, misalnya dari varises esofagus yang pecah. Walaupun demikian
kadar besi plasma dan derajat saturasi diatur oleh hati yang selain tempat penyimpanan besi,
juga merupakan organ yang menghasilkan transferin (4) .
Pada sirosis hati, dimana alkohol merupakan penyebab kerusakan hati, maka
alkohol juga memiliki efek toksik langsung terhadap sumsum tulang (4).
b). Hipervolemia
Volume darah sering meningkat pada penderita sirosis hati, terutama dengan asites.
Volume darah rata-rata meningkat 15% lebih tinggi dari normal dan ini cenderung
memperbesar prevalensi dan derajat anemia. Hipervolemia ini bisa parsial dan kadang-
kadang total dihitung dari rendahnya Hb dan eritrosit pada darah tepi 5-7. Besarnya
hipervolemia dihubungkan dengan hipertensi portal, bukan berdasarkan ada atau tidaknya
asites (8) .
e). Hipersplenisme
Pada sirosis hati dengan hipertensi portal, selalu terjadi splenomegali. Jandl. dkk menduga
limpa yang membesar memegang peranan yang penting dalam penangkapan dan
penghancuran eritrosit. Ini terbukti dengan lebih pendeknya masa hidup eritrosit pada
penderita dengan splenomegali dari pada yang tidak mengalami splenomegali. Dengan
memakai 51Cr red cell survival telah dibuktikan adanya penangkapan eritrosit yang
berlebihan oleh limpa pada beberapa penderita. Tetapi pada umumnya penangkapan oleh
limpa adalah normal walaupun masa hidup eritrosit memendek. Pada beberapa penderita,
splenektomi akan diikuti oleh perbaikan proses hemolitik, tetapi pada penderita yang lain,
splenektomi hanya memberikan efek yang sedikit. Ga mbaran darah tepi dari hipersplenisme
bisa dijumpai salah satu atau kombinasi anemia, lekopenia dan trombositopenia (4).
f). Hemolitik
Masa hidup eritrosit bervariasi antara 100-120 hari. Pada penyakit hati alkoholik,
masa hidup eritrosit cenderung menurun. Alasan mengapa terjadi penurunan umur eritrosit
ini, belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian telah membuktikan bahwa dijumpai perbaikan
masa hidup eritrosit, jika ditansfusikan ke orang normal, sehingga diduga faktor hemolitik
berada di ekstrakorpuskular. Walaupun unsur hemolitik ekstrakorpuskular berperanan pada
anemia oleh karena penyakit hati, tetapi gambaran klinis yang khas dan gambaran
hematologis dari anemia hemolitik tidak selalu dijumpai. Pada sirosis hati dijumpai
perubahan yang khas dari membran lipid eritrosit. Dimana rasio kolesterol dan fosfolipid (CP
ratio) membran eritrosit berubah dan sebagai akibatnya dijumpai berbagai kelainan
morfologi eritrosit, seperti makrosit tipis, target sel dan spur sel. Tidak ada bukti bahwa
30
kelainan itu menyebabkan pemendekan umur eritrosit. Pada kegagalan fungsi hati berat,
penimbunan kolesterol dalam membran eritrosit tanpa penimbunan lesitin, mengakibatkan
terbentuknya spur sel. Spur sel (akantosit) berhubungan dengan hemolisis, masa hidup
eritrosit memendek dan menandakan penyakit hati yang berat serta mempunyai prognosa
yang buruk. Pada sirosis hati dengan peningkatan asam empedu, dijumpai aktivitas enzim
lesitin cholesterol acyl transferase (LCAT) terganggu. Ini menyebabkan rasio kolesterol dan
lesitin membran eritrosit berubah, sehingga kekenyalan membran eritrosit menjadi kaku,
mudah terjadi skuesterisasi di limpa dan terjadi hemolisis (5).
Pada sirosis hati dapat dijumpai abnormalitas metabolisme eritrosit, yang
menyebabkan umur eritrosit lebih pendek. Stimulasi aktivitas pentosa fosfat menurun. Ini
menyebabkan glutation tidak stabil dan cenderung membentuk Heinz-bodies. Abnormalitas
metabolisme ini, membuat sel sensitif terhadap oksidasi hemolisa. Kelainan metabolisme
eritrosit lain yang dijumpai pada sirosis adalah hipofosfatemia dengan penurunan ATP
eritrosit dan sebagai akibat terjadi hemolisis (5) .
31
b). Penurunan kemampuan klirens hati.
Faktor pembekuan dapat digolongkan dalam :
a) Yang memerlukan vitamin K untuk pembentukan F(II, VII, IX, X).
b) Yang tidak memerlukan vitamin K untuk pembentukan F(I, V, XI, XII, XIII).
32
h). Trombositopenia akibat hipersplenisme
Pada penderita sirosis hati dapat terjadi gangguan kwantitatif maupun kwalitatif
dari trombosit. Penghancuran trombosit dilakukan di limpa yang memerlukan waktu 3-4 hari.
Pada keadaan normal kira-kira 30% trombosit berada dalam limpa, tetapi pada sirosis hati
dengan splenomegali, jumlah trombosit yang menumpuk di limpa ? 80%, sehingga pada
pemeriksaan di perifer didapati keadaan trombositopenia 5,52-53. Pada sirosis hati sering
terjadi hipersplenisme dengan akibat limpa memfagositosis sel-sel darah secara berlebihan,
pada penderita tersebut juga terjadi trombositopatia yaitu suatu keadaan terganggunya faal
trombosit (4).
33
Bisa dijumpai retikulositosis sampai dengan 5% atau lebih bersama dengan polikromasi
sedang dan bintik-bintik basofil. Lekopenia sering didapat pada sirosis hati yang juga diikuti
jumlah trombosit yang menurun dengan nilai lekosit sekitar 1500-3000/mm3 dan trombosit
sekitar 60.000-120.000/mm3 menunjukkan adanya hipersplenisme (4).
b. Hitung retikulosit
34
Untuk memperkirakan aktivitas eritropoesis dengan menentukan indeks retikulosit dari rasio
retikulosit. Rasio retikulosit = hitung retikulosit / hitung eritrosit x 1000% Indeks retikulosit
Pria = Ht/46 x rasio retikulosit, Wanita = Ht/41 x rasio retikulosit. Rata-rata normal indeks
retikulosit 1. Bila indeks retikulosit meningkat melebihi 3, aktivitas eritropoesis meningkat
dan kemungkinan anemia hemolitik (10).
C. Serum transferin
Transferin adalah protein transport besi yang diukur serempak dengan besi = serum.
Transferin diukur secara tidak langsung dengan mengukur kapasitas total ikatan besi (TIBC).
Pada anemia defisiensi besi, nilai TIBC meninggi dan menurun pada peradangan akut, infeksi
kronis, penyakit renal dan keganasan. Serum transferin kurang dipengaruhi variasi
diurnal.(11).
E. Serum feritin
35
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek
klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ng/ml sangat spesifik untuk kekurangan
zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukkan pertanda dini kekurangan besi karena
variabilitas yang tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian
referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin
cenderung lebih rendah pada wanita dari pada pria, yang menunjukkan cadangan besi lebih
rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua dan tetap stabil atau
naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun
dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
menunjukkan terjadinya penghentian menstruasi dan melahirkan anak.
Feritin adalah cadangan besi terutama disimpan di hati dan sistem RE. Feritin
utamanya terbanyak di dapat dicadangan besi intraseluler, hanya sejumlah kecil dijumpai di
plasma darah. 1 ng/ml feritin mengikat 8-10 mg cadangan besi atau kira-kira 120-140 ?g/kg
berat badan.
Serum feritin adalah pengukuran secara tak langsung menilai cadangan besi,
seakurat metode invasif, tidak mahal, metode pilihan dan dapat diterima pasien. Karena
adanya sifat acute phase reactan, serum feritin sering meningkat pada proses inflamasi,
penyakit hati, keganasan dan alkohol (11).
Peninggian serum feritin pada penyakit hati sebagian besar berasal dari sel hati yang
mengalami cedera. Pada berbagai penelitian serum feritin ini sering dijumpai meninggi.
Kadar serum feritin tergantung pada derajat kerusakan sel hati dan penyimpanan cadangan
besi hati. Kadar feritin paling tinggi dijumpai pada nekrosis hati masif seperti halnya kadar
serum transaminase dan adanya cadangan besi. Nilai serum feritin meninggi umumnya pada
sirosis hati, dianggap, dipertimbangkan sebagai halnya sebagai kadar serum transaminase
dan bukan dari cadangan besi hati68. Guyatt, dkk mendapatkan pada pasien-pasien dengan
penyakit tanpa adanya proses inflamasi, pemeriksaan serum feritin adalah merupakan test
yang paling diandalkan untuk menunjukkan ada atau tidaknya cadangan besi sumsum tulang.
Rentang normal : Pria 20-250 ng/ml, Wanita : 10-200 ng/ml. (9)
36
dimana prekursor eritrosit dinyatakan sebagai makronormoblas yakni istilah yang
menyatakan ukurannya meningkat, tapi struktur kromatin inti normal
Penilaian histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin
dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah besi retikuler
tidak ada dan pemeriksaan ini masih dianggap sebagai baku emas untuk penilaian cadangan
besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Keterbatasan metode ini seperti sifat
subjektifitasnya, sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah stroma sumsum yang
memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik
invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum(9).
2.3.9 DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan dengan dijumpainya gejala-gejala dan tanda-tanda anemia,
disamping gejala dan tanda sirosis hati. Dengan pemeriksaan darah tepi, serum darah dan
sumsum tulang, maka dapat ditentukan jenis anemia yang didapat (4).
2.3.10 PENGOBATAN
Pada penyakit sirosis hati tanpa komplikasi dengan anemia yang ringan dan sedang,
pada dasarnya penatalaksanaannya adalah mempertahankan fungsi hati dengan memperbaiki
fungsi hati dan mencegah kerusakan sel-sel hati berlanjut, misalnya dengan memberhentikan
alkohol, memberi nutrisi yang baik dan sebagainya. Bila anemia diputuskan untuk dikoreksi,
maka jenis anemia perlu diketahui. Bila ditemukan defisiensi besi maka dapat disubsitusi
dengan preparat besi, begitu pula bila anemianya karena defisiensi asam folat, maka subsitusi
dengan asam folat dapat diberikan. Penderita dengan perdarahan sering memerlukan
transfusi, biasanya diberikan PRC. Bila diberikan darah segar dapat mencetuskan perdarahan
baru oleh karena kelebihan beban pada vena yang membesar yang sebelumnya sudah terjadi
seperti keadaan peninggian tekanan vena porta. Penderita sirosis hati dengan defek koagulasi,
dapat dianjurkan pemberian vitamin K, bila disertai perdarahan untuk mencukupi kebutuhan
faktor pembekuan dapat ditransfusikan darah plasma segar beku. Bila DIC merupakan
penyebab perdarahan, maka tindakan suportif dengan menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pada kasus ini, bila memerlukan transfusi darah, maka pilihan adalah fresh whole
blood oleh karena adanya faktor-faktor pembekuan yang segar, dalam sediaan darah yang
diberikan. Pemberian antikoagulan heparin juga bermanfaat dengan catatan pemeriksaan
masa bekuan atau APTT untuk mengkontrol pemberian obat. (4)
37
BAB III
KESIMPULAN
38
Sirosis hati adalah stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan sel hati, dengan memberikan gambaran klinis akibat kegagalan sel hati dan
hipertensi portal. Sehubungan dengan adanya kerusakan sel hati dan gangguan fungsi hati
tersebut maka pada sirosis hati, anemia dapat terjadi. Anemia sering ditemukan pada sirosis
hati, sekitar 60-75%. Banyak faktor etiologi, masing-masing dapat berdiri sendiri atau
bersamaan. Dapat dikemukakan diantaranya faktor penyakit hati sendiri, defisiensi (asam
folat, besi), hemolisis, hipersplenisme, kegagalan sumsum tulang.
Diagnosa ditegakkan dengan dijumpainya gejala-gejala dan tanda-tanda anemia,
disamping gejala dan tanda sirosis hati. Dengan pemeriksaan darah tepi, serum darah dan
sumsum tulang, maka dapat ditentukan jenis anemia yang didapat.
Dasarnya penatalaksanaan anemia pada sirosis adalah mempertahankan fungsi hati
dengan memperbaiki fungsi hati dan mencegah kerusakan sel-sel hati berlanjut. Bila anemia
diputuskan untuk dikoreksi, maka jenis anemia perlu diketahui. Bila ditemukan defisiensi
besi maka dapat disubsitusi dengan preparat besi, begitu pula bila anemianya karena
defisiensi asam folat, maka subsitusi dengan asam folat dapat diberikan. Penderita dengan
perdarahan sering memerlukan transfusi, biasanya diberikan PRC. Penderita sirosis hati
dengan defek koagulasi, dapat dianjurkan pemberian vitamin K, bila disertai perdarahan
untuk mencukupi kebutuhan faktor pembekuan dapat ditransfusikan darah plasma segar beku.
Bila DIC merupakan penyebab perdarahan, maka tindakan suportif dengan menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit
DAFTAR PUSTAKA
39
1. Sherlock S, Dooley J. Hepatic Cirrhosis.In : Diseases of the liver an billiary system.10th
ed. Blackwell Science Publication.1997; 371-84.
2. Ganong F. Function of liver. Review of medical physiology.2nd ed.Los Altos. Appleton
& Lange. 1991; 302-40.
3. Sherlock S, Dooley J.The haematology of liver disease. In : Disease of the liver and
billiary system.10th ed. 1997; 43-47.
4. Lee GR. The anemias associated with renal disease, liver disease, endocrine disease, and
pregnancy. In : Lee GR et al eds. Wintrobe’s clinical hematology.10thed. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 1999; 1503-6.
5. Firkin F, Penington D, Chesterman C, Rush B. Liver diseases. Anaemia in systemic
disorders; diagnosis in normochromic normocytic anaemias. In : de Gruchy?s clinical
haematology in medical practice.5th ed. Delhi, Oxford University Press. 1990; 110-12.
6. Sudoyo, aru et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid 1 dan 2. Jakarta
Pusat : Interna Publishing.
7. Tjikroprawito, askandar et all. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya:
Airlangga University Press.
8. Supandiman I. Anemia pada penyakit hati. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi
ketiga.2001; 517-18.
9. Lee GR.Anemia : A diagnostic strategy. In : Lee GR et al eds. Wintrobe’s clinical
hematology.10th ed. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins 1999; 1908-34.
10. Lee GR.Anemis : general aspects. In : Lee GR et al eds. Wintrobe?s Clinical
hematology.10th ed. Philadelphia.Lippincott Williams and Wilkins. 1999; 897-905.
11. Lee GR. Microcytic anemia. In : Lee GR.et al eds. Wintrobe’s clinical hematology.10th
ed. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins. 1999; 1109-28.
40