Anda di halaman 1dari 16

Nama : Dewiana Purba Reni Ruth Octaline Sinaga

Gr. Janto Kusniadi Gultom Saputra Silitonga

Mata Kuliah : Dogmatika III

Dosen Pengampu : Pdt. Ricardo Turnip, M.Th

Liturgi HKBP

(Tradisi yang Mempengaruhi Gereja)


I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sejak lahirnya dan perkembangannya, Gereja selalu diperhadapkan dengan


pergumulan, baik dengan sosial, politik, dan tradisi/budaya. Dalam sejarah Gereja, ada zaman
dimana segi institusionalnya ditekankan, dan ada juga segi spiritualitasnya dan ajaran
(dogma).

Masa setelah Perjanjian Baru, perkembangan gereja berada pada institusionalisasi


(pelembagaan). Hal ini tampak dari keseragaman yang diciptakan dalam tata gereja
(episkopal).1 Selain itu, pokok refleksi teologis yang dialami oleh gereja selama perluasan
penginjilan mulai dari kekaisaran Romawi hingga di luar batas-batas kekaisaran Romawi
sangat mempengaruhi perkembangan gereja itu sendiri.2

Pada abad II-IV, gereja sangat dipengaruhi oleh konfrontasi terhadap gnostik dan
bidat-bidat lain, hingga gereja dituntut mampu mempertahankan diri sebagai “yang satu-
satunya yang memiliki kebenaran,” dan dalam periode ini dipengaruhi juga oleh konfrontasi
dengan kelompok-kelompok yang menekankan kesucian hidup yang harus dipelihara para
anggota dan para pejabat gereja. Gnostik memaksakan gereja untuk menjelaskan mengapa
gereja Am (Katolik) merupakan satu-satunya gereja yang dapat menjamin keselamatan.
Secara singkat, Gereja Katoliklah yang memiliki tradisi (paradosis = apa yang diserahkan)
para rasul, dan hanya gereja Katolik yang memiliki patokan kebenaran (canon veritatis), yang
diterima dari para rasul. Demikian juga, para uskup dilihat sebagai pengganti para rasul
(succesio apostolica).3

Perkembangan Ekklesiologi di Barat pada abad IV dan V sangat dipengaruhi dan


ditentukan oleh krisis yang disebabkan oleh donatisme4. Kaum Donatis mengecam gereja

1 Setiap jemaat dipimpin oleh seorang uskup, majelis, presbyteros, dan para diakonos. Tata gereja masih
digunakan oleh gereja Ortodoks Timur, Katolik Roma, dan beberapa gereja Protestan (Anglikan dan Metodis).

2 Dr. Jan.S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge, “Apa dan Bagaimana Gereja,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2009),
hlm. 8-10
3 Dr. . Jan.S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge, hlm. 11-17
4Gerald O’Collins dan Edward Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 59. Donatisme
merupakan skisma yang muncul sekitar 311 berkaitan dengan penahbisan Cecilianus dari Kartago, oleh Uskup
Felix dari Aptunga yang dituduh sebagai pengkhianat selama masa penganiayaan Kaisar Diokletianus. Uskup-

Page | 1
Katolik karena kesucian hidup dan kesungguhan iman kurang diperhatikan. Menurut mereka,
kesucian para pejabat dan anggota gereja menjamin kebenarannya. dalam arti bahwa kaum
Donatis berpendapat bahwa gereja dapat disebut suci jika kesucian itu nyata dalam kehidupan
semua pejabat dan anggotanya (Ef. 5: 27). Di dalam pergolakannya, Augustinus muncul
sebagai pihak yang menentang Donatisme. Ia hadir dengan paham Predestinasi, yaitu gagasan
bahwa Allah sebelum segala zaman telah menentukan siapa akan diselamatkan.5

Di Abad Pertengahan, gereja sebagai lembaga keselamatan semakin diperkokoh,


namun disisi lain gereja juga dipandang sebagai lembaga dimana para pejabatlah yang
membagikan keselamatan bagi kaum awam. Sehingga, gereja dipandang sebagai hierarki
dimana paus memiliki kedudukan khusus di tengah-tengah semua uskup.6 Di daerah Eropa
Barat, perkembangan Gereja Katolik Roma ditentukan oleh ketidakstabilan politik sesudah
kuasa kekaisaran Romawi hilang. Paus menjadi pemimpin di bidang politik dan di bidang
teologi yang masih mempertahankan dan memelihara tradisi gereja kuno. Perkembangan ini
berlangsung sekitaran tahun 590-910. Setelah itu, tahun 910-1300 memang perkembangan
teologi masih lebih cenderung ke gereja kuno tetapi muncul suatu teologi yang kreatif yaitu
Teologi Skolastik, merupakan sebuah cara berteologi dengan memakai jalan berfikir filsafat
Yunani.

Perkembangan selanjutnya adalah di zaman reformasi. Sebenarnya reformasi juga


dipengaruhi oleh Renaissance dan Humanisme, sehingga perubahan yang signifikan terjadi di
gereja, terutama gereja Katolik Roma. Puncaknya adalah ketika Marthin Luther
menempelkan 95 dalilnya. Pemahaman teologinya adalah bahwa manusia bertanggungjawab
untuk hidup secara etis dan saleh, sedangkan peranan gereja dianggap tidak begitu penting. 7
Reformasi telah menjadi titik yang sangat sentral bagi perkembangan gereja di masa
selanjutnya. Gereja berhak untuk menentukan tafsiran Alkitab yang benar, dengan mengukur
tradisi gereja (keputusan konsili, paus, dan tulisan para theolog dari gereja kuno). Berbagai
aliran pun lahir setelah masa Reformasi tersebut. Salah satunya adalah Pietisme. Aliran ini
sangat menekankan hidup di dalam kesalehan.8

Sejarah Gereja telah memberikan kepada kita beberapa tradisi yang berkembang, dan
berlaku pada masanya. Beberapa tradisi memang telah digantikan oleh tradisi lainnya, tetapi
untuk tradisi yang masih berlaku, tradisi tersebut mempengaruhi setiap missionaris. Dapat
dikatakan bahwa setiap missionaris memiliki tradisinya masing-masing. Demikian juga yang
datang ke Indonesia, terkhusus yang datang ke Tanah Batak.

uskup yang tidak setuju memilih Mayorinus yang kemudian kemudian digantikna oleh Donatus. Dari nama
inilah istilah donatisme. Para pengikut aliran ini menolak keabsahan sakramen yang dilayani oleh pelyan-
pelayan yang tidak pantas, dan menuntut pembaptisan sakramen yang dilayani oleh pelayan-pelayan yang
telah jatuh lagi ke dalam dosa. St. Agustinus dari Hippo dengan keras melawan aliranini. Suatu konferensi yang
diadakan di Kartago pada tahun 411 melemahkan mereka dan akhirnya aliran ini menghilang ketika orang-
orang Sarasen menghancurkan gereja Afrika Utara.
5 Dr . Jan.S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge, hlm. 18-22
6 Dr. Jan.S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge,hlm. 22-25
7 Dr.C. De Jonge, “Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2014), hlm. 60-70
8 Dr.C. De Jonge, hlm. 71-82

Page | 2
Perkembangan Gereja Batak lebih dicondongkan kepada perkembangan gereja HKBP
(dulu nama ini belum digunakan). HKBP secara resmi didirikan oleh Rheinische
Missionsgellschaft (RMG- sekarang dikenal dengan UEM) pada tanggal 7 Oktober 1861.
Namun, pekerjaan Misi sudah dimulai sebelum tahun 1824, ketika Richard Burton dan
Nathaniel Ward diutus oleh Baptis Missionary Society dari Inggris, namun mereka gagal.
Selanjutnya, berkat Perjanjian Politik antara Belanda dan Inggris, dua missionaris Amerika,
Henry Liman dan Samuel Munson datang pada tahun 1834. Pada tahun 1861, penginjilan
mulai menunjukkan hasil dimana G. van Asselt dan Dammerboer dan Betz membaptis orang
pertama di tanah Batak. RMG memulai pekerjaannya pada tahun 1861 dan mengambil alih
misionaris yang ada di sana. Pendeta I. L Nommensen memasuki tanah Batak tahun 1863 dan
pertama kali membaptis orang-orang yang bertobat tahun 1865 di Silindung. 9 Seperti yang
dikatakan sebelumnya, bahwa tradisi-tradisi telah melekat pada setiap missionari. Demikian
juga dengan Nommesen. Aliran pietisme10 adalah salah satunya. Nommensen adalah murid
dari beberapa mahaguru, seperti Richter, Wallman, dan G.L Rohden serta Fabri. Selain
melalui Nommensen, ajaran pietisme juga disampaikan melalui pendidikan. Lewat jalur
pendidikan para calon penginjil dibekali dengan warna pendidikan umum dan teologi oleh
missionaris Jerman tersebut, dengan pelatihan berbagai keterampilan tambahan. Para
missionaris mengaplikasikan teologi pietis Lutheran Jerman tersebut melalui dorongan
semangat perluasan penginjilan di Sumatera. Terakhir, ajaran pietis ditunjukkan melalui Buku
Liturgi (Agenda HKBP) dan Buku Nyanyian, yaitu Buku Ende.11

Ternyata, gereja HKBP itu tidaklah murni menjadi Gereja yang benar-benar Batak,
karena pada kenyataannya HKBP juga dipengaruhi oleh tradisi yang dibawa oleh para
Missionaris-missionaris. Kelompok akan mengkhususkan untuk membahas HKBP, karena
HKBP sendiri lebih dekat kepada setiap anggota kelompok.

1.2 Batasan Topik

Pengaruh tradisi-tradisi terhadap gereja-gereja tentu saja tidak akan sepenuh dibahas,
oleh karena itu kelompok akan membahas mengenai Liturgi Gereja (Agenda HKBP),
Perkembangannya, dan Perubahannya.

1.3 Tujuan Topik

Dengan Batasan Topik tersebut, maka tujuannya adalah untuk mengetahui mengenai
Liturgi HKBP, Perkembangan dan Perubahan-perubahannya, serta menelisik apakah mungkin
agenda dapat diubah untuk lebih kontekstual di zaman ini.

1.4 Hipotesa
9 Binsar J. Pakpahan,” Allah Mengingat,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2012), hlm. 26-27
10 Jusen Boangmmanalu, Sekilas Masuknya Pengaruh Teologi Lutherandan Pietisme ke HKBP, dalam buku
dalam buku “Menggagas Masa Depan,” peny. Pdt. Dr. Darwin Lumban Tobing, BPK Gunung Mulia (Jakarta:
2018), hlm. 51-76. Pietisme dikenal d Eropa dan sekitarnya pada abad XVII-XVIII, yang dilatar belakangi: a)
Reaksi gereja yang suam-suam kuku dan acuh tak acuh terhadap kemerosotan moral warga jemaat. b)
kesenjangan hidup sosial di Jerman. c) wibawa dan kekuasaan para kaisar serta para uskup di jerman dianggap
semakin memudar.
11 Pdt. Dr. Jusen Boangmanalu, “Kristologi Lintas Budaya Batak,” Universitas HKBP Nommensen Medan
(Medan: 2014), hlm. 169-171

Page | 3
Agenda adalah salah satu wujud dari tradisi pietis, dan tradisi selalu akan diganti oleh
tradisi yang lainnya. Oleh karena itu, Agenda sangat memungkinkan untuk diubah untuk
menjadi lebih kontekstual.

II. Terminologi

Gereja yang hidup adalah gereja yang beribadah, dan sejumlah gereja telah membuat
tata ibadah, termasuk HKBP sendiri. Beberapa istilah asing dalam tata Ibadah hari minggu di
HKBP, yaitu :

a. Agenda, berasal dari bahasa Latin yang dalam bahasa Inggris berarti menunjukkan
sebuah daftar tentang hal-hal yanng akan dikerjakan. Dalam bahasa Jerman, kata ini
dikenal dengan istilah “Agende” atau “Kirchenagende,” yaitu sebuah buku kumpulan
tata ibadah yang dipakai gereja dalam kebaktian, antara lain kebaktian minggu,
kebaktian perjamuan kudus, baptisan, naik sidi, pemberkatan nikah, penguburan,
ordiniasi dan lainnya. Kumpulan tata ibadah HKBP dikenal dengan nama
Agende/Agenda yang berasal dari para penginjil RMG.12
b. Liturgi, berasal dari bahasa Yunani yaitu Leiturgia. 13 Istilah ini berarti kerja bakti
yang dilakukan warga kota setempat, pajak yang dibayar oleh warga negara, ibadah
dalam kuil. Dalam Perjanjian Baru menunjuk pada ibadah atau kebaktian kepada
Tuhan (Kis. 3:12), mata acara suatu ibadah termasuk kaidah, sistem atau aturannya.
Di dalam Septuaginta, kata ini muncul sekitar 100 kali dalam bentuk leitourgeo dan
40 kali dalam bentuk leitourgia. Kata ini menjelaskan sebuah pelayanan imam dan
Lewi di bait. Di dalam Yudaisme kara ini lebih menekankan pada hubungan manusia
kepada Tuhan, dalam bentuk pelayanan. Manusia menjadi pelayan Allah.
Berbeda dengan Perjanjian Lama, di dalam Perjanjian Baru justru kata ini mendapat
porsi yang sedkit, yaitu 3 kali dalam bentuk leitourgeo, 5 kali dalam bentuk
leiturgeos, dan 1 kali dalam bentuk leitourgikos. Di dalam Kitab Ibrani, kata ini
menunjuk pada pelayanan pada imam tinggi (Ibr. 8:2). Di dalam Roma 15:16, juga
berkaitan dengan kultus, dimana Paulus menunjukkan bahwa ia menjadi pelayan
Tuhan atas anugerahNya. Sehingga penekanannya adalah pada kesempurnaan
dedikasi dan kebergantungan. Sedangkan di Filipi 2:25; 30; kata ini tidak menjadi
sebuah kata yang mengandung kultus. Karena yang ditunjukkan adalah Efaproditus
menjadi pembantu dalam pelayanan Paulus14
c. Kultus, berasal dari bahasa Latin yang merupakan padanan kata Latreia dalam bahasa
Yunani atau Gottesdienst (ibadah pada Allah) dalam bahasa Jerman. Arti Kultus
ibadah seutuhnya oleh manusia terhadap Allah, termasuk tampilan luarnya. Dalam
pengertian ini, ibadah bukan buatan tangan manusia dimana manusia seolah-olah
dapat merebut kedudukan Allah yang bebas mendirikan ibadah untuk Allah sendiri.
12 J. R Hutauruk, “Menghargai Dokumen Sejarah Gereja,” LAPiK (Medan: 2016), hlm. 2-4
13 Berasal dari kata Leos (rakyat), dan Ergon (pekerjaan).
14 Teologisches Begrijjslexikon Zum Neuen Testament, diterjemahkan oleh Colin Brown dan diedit oleh Lothar
Coenen, Erich Beyreuther dan Hans Bietenhard, “The New International Dictionary of New Testament
Theology”, (USA: The Zondervan Corporation Grand Rapids, Michigan, U.S.A. and The Paternoster Press, Ltd.
Exeter, Devon, U.K, 1975), hlm 551-574

Page | 4
d. Votum, berasal dari bahasa Latin yang berarti keinginan, janji, keputusan, pengesahan,
dukungan suara, dan penyataan Allah bahwa Dia ada dan bersedia menerima orang
yang ingin bertemu dengan-Nya, unsur yang mengawali ibadah, pertanda bahwa
kebaktian dimulai oleh Allah yang berjanji dan menyatakan diri hadir.
e. Introitus, berasal dari bahasa Latin: pengantar masuk suatu prosesi. Ayat introitus
menujuk pada sebuah nats Alkitab yang merujuk pada tahun gerejani, berfungsi
sebagai panggilan beribadah.15
Introitus juga menjadi jalan mengingat kembali terhadap baptisan, dimana kita akan
dibenarkan oleh. Terdapat dua aspek pembenaran manusia, yaitu : Pengampunan dosa
atas dosa dan penerimaan kemanusiaan yang baru. 16

Liturgi merupakan suatu kesempatan yang mengekspresikan sebuah memori di dalam


gereja, sehingga liturgi memiliki tempat yang sentral yang berhubungan dengan masa lalu
kepada harapan masa dengan dalam reaksi masa kini.

III. Pembahasan

Wujud Tradisi Pietisme di dalam Gereja HKBP adalah Liturgi/Agenda. Aliran


Pietisme muncul di Eropa Barat pada penghabisan abad ke-XVII, menjadi gerakan
pembangunan Rohani yang amat penting, teristimewa di Jerman dan Belanda. Pietisme
adalah reaksi terhadap suasana Gereja yang suam itu dan terhadap semangat dunia yang
sudah merajalela di dalam masyarakat Kristen. Hal yang diutamakan ajaran ini adalah
Kesalehan, askese, dan konventikel.17

Salah satu aspek yang menonjol dari kehidupan iman Kristen adalah pada pelayanan
ibadah atau liturgi. Oleh karena itu, jemaat masa kini lebih mudah merasakan kehadiran Allah
di dalam persekutuan dengan orang lain. Karena melalui peribadahan, kehadiran Allah
tampak semakin nyata. Demikian juga HKBP, gereja HKBP sendiri juga memiliki
agenda/liturgi. Buku agenda HKBP disebut dengan Agenda dipakai sejak tahun 1904 dan
asalnya diambil alid dari model liturgi gereja Uniert 18 dari Jerman yang dominan dipengaruhi
teologi pietisme dan pada tahun 1930 disempurnakan oleh Johanes Warneck.19

Sejalan dengan datangnya para Missionaris maka mereka juga membawa suatu
tatanan dalam peribadahan. Agenda tahun 190420 telah dilengkapi dengan cara
penggunaannya. Agenda ini diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1906, dan bahasa

15 J. R Hutauruk, hlm. 4
16 Ebbenhaizer Nuban Timo, “Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri,” BPK Gunung Mulia (Jakarta:
2015), hlm. 310
17 H. Berkhof dan I. H. Enklaar, “Sejarah Gereja,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2015), hlm. 244
18 Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 41. RMG berasal
dari Jerman, dan termasuk ke dalam lingkungan Gereja Uniert, sehingga tidak mau mengikat diri pada tradisi
(pengakuan iman, tata gereja) Reiformiert ataupun Lutheran. Gereja-gereja Uniert boleh memilih pengakuan
iman dan tata kebaktian yang hendak dipakainya, begitu pula dengan para missionarisnya. Oleh karena itu,
gereja-gereja yang berdiri di wilayah kerja RMG berpola campuran, meskipun kebanyakan mengakui bahwa
mereka adalah Lutheran.
19 Pdt. Dr. Jusen Boangmanalu, hlm. 171
20 Agenda ini diselesaikan oleh Steinsiek dan Jung pada tahun 1903, dan agenda ini berkaitan dengan Agenda
Prusia 1895

Page | 5
Batak pada tahun 1907. Penggunaan agenda 1904 masih berlangsung hingga tahun 1936, dan
selanjutnya diubah lagi tahun 1939. F. Tiemeyer menjadi tokoh yang menjadi sumber
informasi mengenai ibadah HKBP yang disampaikan dalam khotbahnya pada tahun 1936 di
Padangsidempuan. Penekanan Tiemeyer pada revisi agenda adalah untuk mengkaji kembali
dasar teologis dari sebuah liturgi, dan menurutnya adalah agenda yang berdasarkan teologi
reformatoris Marthin Luther atau John Calvin.21

Sejarah dan Perkembangan Agenda HKBP

a. Tata Ibadah Jemaat sebelum 1903/190422

Kekristenan selalu akrab dengan perkumpulan. Mulai perkembangannya,


perkumpulan orang –orang Kristen di tanah Batak dikenal dengan istilah Huria. Huria yang
percaya kepada Tuhan Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Pada tahun 1860 telah
berdiri beberapa huria di Tanah Batak: Sipirok, Bunga bondar, Pangaloan, Sigumpulon, Huta
Dame, Parausorat, dan Pansurnapitu. Sebagai huria, mereka berkumpul setiap hari Minggu
untuk beribadah. I. L Nommensen menuturkan bahwa para utusan RMG pada Konferensi
tahunan mereka pada 1866 telah memikirkan peraturan jemaat dan peraturan ibadah.
Nommensen menggunakan istilah “Gottesdient-Ordnung” untuk istilah peraturan ibadah.

Gottesdient merefleksikan Allah yang telah datang ke dunia dalam diri Yesus dan
pelayanan kita kepada Allah. Susunan ibadah di jemaat Huta Dame dapat digambarkan
seperti :

- Bernyayi, Dasa Titah, Pengakuan Iman dan Doa


- Bernyanyi, Khotbah, dan Doa
- Bernyanyi, Berkat, dan Menyanyikan Haleluya dan Amen.

Ibadah menjadi bagian pemberitaan Injil, mengajarkan dan menguatkan setiap orang
Kristen menjadi pemberita Injil ke tengah-tengah kaum Batak. Perkembangan Jemaat bukan
hanya dalam hal Spiritual, tetapi juga dalam hal pendidikan. Akhirnya peribadahan jemaat
didukung dengan sarana bacaan. Penerjemahan Perjanjian Lama dan Penerjemahan
Perjanjian Baru pun dilakukan. Bukan hanya itu saja tetapi juga Buku Ende (1881). Sending
RMG telah menerbitkan majalah Immanuel pada tahun 1890, yang merupakan media
parsaoran orang Kristen Batak. Semua ini menunjukkan bahwa ibadah dan perkembanga
pendidikan (literasi) tidak terpisahkan.

b. Tata Ibadah setelah 1903/190323

Dengan semakin meningkatnya Jemaat, maka setiap ibadah minggu, dipimpin tuan
pendeta, pendeta Batak, dan guru Batak. Buku Agende adalah kumpulan dari 16 liturgi atau
tata ibadah, yang dikenal dengan nama “Aturan ni angka ulalon na badia di Huria ni Halak
Kristen na di tano Batak. Susunannya adalah Ibadah Minggu, Liturgi Baptisan, Liturgi Naik
Sidi, Pemberkatan Nikah, Perjamuan Kudus, Perjamuan kudus di rumah, Liturgi Pemakaman,

21 J. R Hutauruk, hlm. 6
22 J. R Hutauruk, hlm. 52-58
23J. R Hutauruk, hlm. 58-65

Page | 6
Liturgi Mengenai Siasat Gereja, Liturgi Pabangkithon Sintua, Liturgi Manjangkon Parguru,
Liturgi Pasahathon Gareja tu Debata, Liturgi Pasahathon tohonan Pandita.

Liturgi Minggu 1903/1904 mencerminkan asas reformatoris. Selain tata ibadah 1866
dan tata ibadah 1903/1904 memaknai hari Minggu sebagai hari pendidikan dan pembelajaran
bagi anak-anak sekolah yang sekaligus merupakan anak-anak sekolah minggu. Di dalam tata
ibadah 1903/1904 terdapat hukum taurat yang sesuai dengan katekhismsu Marthin Luther, hal
ini menunjukkan bahwa setiap orang semakin meresapi keberadaanya di hadapan Tuhan,
yaitu mengasihi Tuhan Allah dan sekaligus mengasihi sesama. Petunjuk dalam buku pedoman
ini harus cermat dipelajari para pelayan pribumi (sintua, guru, pendeta, evangelis), oleh
karena itu dikeuarkan sebuah aturan Pedoman Pemakaian Agenda 1903/1904. Agenda ini
diterbitkan kembali pada tahun 1918.

c. Rencana Revisi Agenda 1930-an24

Tahun 1920, di kalangan utusan RMG muncul pemikiran untuk merevisi Agenda
1903/1904 dan 1918. Namun, pada tahun 1925 dikemukakan bahwa agenda itu masih cukup
jelas, jernih, dan murni. Betolak belakang dengan itu, kesan jemaat malah menginginkan
ibadah yang dapat memuaskan perasaaan dan menarik perhatian jemaat.

Sebagai respon, pada konferensi tahunan para utusan RMG tahun 1936, Tuan Pendeta
Friedrich Tiemeyer mempresentasikan ceramah tentang masalah liturgis tata ibadah Injil,
khususnya dalam konteks Agenda HKBP. Menurutnya, dasar teologis sebuah tata ibadah
yang Injili adalah kepatuhan jemaat terhadap Tuhan Allah yang hidup itu. Tata ibadah berarti
tindakan Allah dengan jemaatNya. Dasar teologis tata ibadah berlandaskan perintah dan
pemberianNya, bukan pada kedatangan jemaat sekalipun itu terjadi dalam pertobatan dan
iman. Dimana pun ibadah berlangsung, apakah saat melayankan khotbah, sakramen, dan lain-
lain, semuanya itu terjadi dalam nama Tuhan Allah Tritunggal.

Tiemeyer menekankan bahwa Tuhan Allah hadir dalam ibadah sebagai Hakim dan
Juruselamat. Firman Tuhan bukanlah milik siapa-siapa. Orang Kristen hidup dalam iman,
belum sampai pada penglihatan (Roma 8). Ia juga menjelaskan bagaimana berbagai aliran
yang juga mempengaruhi liturgi. Misalnya, aliran Ortodoks dan Pietisme. Tiemeyer tidak
menjelaskan bagaimana ibadah gereja pada era rasionalisme dan kulturprotestanisme.
Menurutnya, ada pergeseran makna yang terjadi dalam ibadah, dimana Tuhan yang berbuat
kepada Jemaat telah digantikan oleh dengan Jemaat yang berbuat dengan Tuhan atau ibadah
bukan lagi pelayanan Tuhan kepada manusia berdosa dalam jemaatNya.

Pemahaman dan latar belakang ini menjadi titik tolka untuk merevisi Agende 1904
dan 1918. Perevisian itu bertujuan untuk menegakkan roh sejati dari sebuah ibadah Injli,
dimana penekanannya adalah dalam kehadiranNya kita dipanggil bukan sebagai orang benar
tetapi sebagai orang yang terdakwa, yang membutuhkan anugerahNya.

Berangkat dari dasar teologis Agenda, yaitu bahwa Allah yang bertindak dengan
JemaatNya, Tiemeyer berpandangan bahwa Ibadah harus diawali dengan Votum, sebagai

24 J. R Hutauruk, hlm. 81-86

Page | 7
tanda bahwa manusia bukan bertindak atas wewenangnya sendiri. Lalu dilanjutkan dengan
doa melalui nyanyian. Hal ini menggambarkan bahwa kehadiran Tuhan mengakibatkan rasa
takut, penyesalan, dan pertobatan. Itulah sebabnya ibadah dilanjutkan dengan pengakuan
dosa dari pihak jemaat dan liturgis/pengkhotbah, yang diikuti dengan ucapan anugerah, yang
akan disempurnakan dalam khotbah. Lalu selanjutnya diikuti dengan Khotbah, dan
dilanjutkan dengan doa yang dipimpin pengkhotbah. Kemudian jemaat bernyanyi,
mengumpulkan persembahan dan doa penutup. Lalu jemaat dihantar dengan lagu “Sai tiop
ma Tanganhu..” Lagu ini sebagai doa bahwa seluruh hidup adalah ibadah kepada Tuhan Allah
dan hidup seutuhnya merupakan pertobatan.

Teologi Agenda dan Pelaksanaannya: 1950-an dan 1960-an25

Tiemeyer menguraikan dasar teologis peribadahn gereja Kristus pada Sinode Godang
HKBP tahun 1956 adalah dasar teologis tata ibadah yang disajikannya di depan para utusan
RMG pada tahun 1936, dengan intisarinya adalah : Ibadah dibuka dalam “nama Allah
Tritunggal,” Ibadah gereja Kristus diatas dasar yang kuat, Ibadah adalah bayangan dari
persekutuan surgawi, Jemaat beribadah memandang jauh ke depan, kepada kedatangan hari
Kristus.

Hingga Sinode Godang dan Rapat Pendeta HKBP 1957, perihal perubahan tata ibadah
masih tetap dibicarakan. Penekanan Tiemeyer terhadap ibadah, mulai mendapat respon
karena Sinode Godang 1957 siap untuk mengimplementasikan pemahaman dan praktik
ibadah minggu sesuai pandangan Tiemeyer. Dalam rapat pendeta, Dr Andar Lumbantobing
menentukan isi pemikiran teologis terkait liturgi di gereja Protestan : Kebenaran yang
diperbuat Kristus; Pusat Liturgi adalah Allah, bukan manusia; Semua liturgi harus jelas
reformatoris-alkitabiah. Dari hasil notulen rapat Pendeta 1957, maka terdapat 4 keputusan
yaitu :

a. Tidak menyetujui liturgis menghadap altar karena dianggap mengenang agama


animis-magis Batak.
b. Jangan ada yang mengubah Agenda sebelum ada keputusan rapat pendeta.
c. Tentang mendoakan persembahan,pimpinan HKBP akan mengirimkan surat
edaran kepada pendeta agara tercipta keseragaman di seluruh jemaat HKBP.
d. Tentang posisi warta jemaat, pembacaan hukum taurat, koor, dan lainnya dalam
ibadah minggu akan diserahkan kepada komisi liturgi untuk menetapkan
keputusan.

Agenda HKBP 1970-an hingga Kini26

Setelah HKBP masuk ke dalam anggota PGI, maka mau tidak mau gereja HKBP telah
berhadapan dengan berbagai bentuk Liturgi. Sejak tahun 1970-an HKBP telah berupaya
menciptakan ragam model liturgi sesuai dengan irama kalender tahun gereja dan irama
kehidupan jemaat. Tahun 1997, komisi liturgi telah menyusun 27 model liturgi untuk
berbagai ibadah kategorial dan kasual serta sedang menyusun pedoman penggunaan Agenda

25 J. R Hutauruk, hlm.100-105
26 J. R Hutauruk, hlm. 118-126

Page | 8
HKBP. Tahun 1998, HKBP mencanangkan bahwa jemaat-jemaat yang membutuhkan dapat
melakukan ibadah alternatif.

Dengan berbagai pergolakan mengenai Agenda HKBP, maka :

1. Sudah saatnya HKBP mengkaji ulang teologi Agenda.


2. Atas dasar teologi Agenda, HKBP akan menata kembali model-model liturgi
alternatif sebagai variasi dari tata ibadah dalam Agenda HKBP.
3. Jemaat HKBP perlu pedoman melayankan liturgi yang juga menguraikan dasar
dan prinsip teologis Agenda.
4. Seyogiyanya HKBP mengkaji dasar teologis dari jabatan gerejani.
5. Mestinya HKBP menemukan kembali kelutheran dan ketidaklutherannya.

Ibadah HKBP memiliki makna dogmatis yang mendalam. Sebagai jemaat HKBP kita
harus mengetahui makna dari setiap tata ibadah. Berikut kelompok akan menjelaskan makna
dari setiap tata ibadah yang terdapat di agenda HKBP.

1) Bagian pertama ialah saat teduh. Dimulai sejak lonceng dibunyikan, hal tersebut akan
membawa jemaat untuk saat teduh menyerahkan diri kepada Tuhan, mempersiapkan
diri untuk memasuki ibadah.
2) Nyanyian Bersama atau nyanyian pembuka. Nyanyian ini merupakan nyanyian
panggilan ibadah sesuai dengan nama minggu liturgi HKBP. Lagu ini merupakan
pujian dari jemaat atas Anugrah yang diterima dari Tuhan.
3) Votum-Introitus. Votum adalah ucapan “Di dalam Nama Allah Bapa, dan Nama
AnakNya Tuhan Yesus Kristus, dan Nama Roh Kudus”. Introitus merupakan doa
untuk datang kepada Allah dalam ibadah dan dalam hatinya dalam bentuk ajakan yang
dikutip dari ayat Alkitab. Bacaan ayat berdasarkan Minggu Gerejawi.
4) Nyanyian Bersama. Nyanyian membawa pada pembacaan Hukum Taurat sesuai
dengan tema Minggu Gerejawi.
5) Hukum Tuarat. Pembacaan Hukum Tuhan adalah untuk memperdengarkan Hukum
Taurat dari Allah, yang mengingatkan jemaat akan Firman dan Hukum Allah.
6) Nyanyian Bersama. Nyanyian penghantar kepada pengakuan dosa untuk memberi
respon dalam menjalankan hukum Taurat. Nyanyian penyerahan diri dan pengakuan
dosa.
7) Pengakuan Dosa. Membawa jemaat untuk mengaku segala dosa-dosa pelanggaran
yang dilakukan dan meminta penyertaan Tuhan untuk melakukan Perintah Tuhan.
Setelah berdoa pengampuanan dosa, maka jemaat akan mendengarkan janji Tuhan
akan keampunan dosa untuk memberi pengharapan kepada jemaat-jemaat bahwa
Allah adalah Pengampun dan penuh dengan Kasih Setia. Maka jemaat akan
bersukacita dan memuji Tuhan.

Page | 9
8) Nyanyian Bersama. Nyanyian respon terhadap pengampunan dosa yang telah diterima
dan siap mendengarkan Firman Tuhan melalui Epistel sesuai dengan leksionari
HKBP.
9) Pembacaan Epistel. Setelah menerima keampunana dosa, maka Allah menyapa umat
melalui Firman yang akan dibacakan agar jemaat melakukan Firman Tuhan. Maka
liturgis HKBP yang biasanya dilayankan oleh penatua (sintua) akan mengatakan
“Berbahagia lah orang yang mendengar Firman Tuhan serta melakukannya, Amin”.
10) Nyanyian bersama. Nyanyian respon terhadap Firman Tuhan yang telah didengar.
Nyanyian tetap berdasarkan minggu gerejawi.
11) Pengakuan Iman Rasuli. Bagian penting dalam sebuah ibadah HKBP adalah
Pengakuan Iman Rasuli sebagai wujud pengakuan kita akan Trinitas (Allah Bapa,
Allah Anak, dan Allah Roh Kudus) yang kita percayai.
12) Warta Jemaat. Hal ini adalah bagian manusia dalam ibadah. Hal ini tidak memiliki
makna dogmatis karena wartas jemaat merupakan pengumuman maupun berita
mengenai jemaat. Namun kegiatan jemaat yang dilakukan juga merupakan sebuah
karya Allah dalam hidup kita. Setelah dibacakan, maka dilanjutkan dengan berdoa
syafaat untuk menyerahkan segala kegiatan yang telah terjadi maupun yang akan
dilaksanakan kepada Tuhan sebagai Kepala Gereja yang Menolong dan Berkarya
dalam hidup manusia.
13) Nyanyian persembahan I dan II. Nyanyian ini merupakan ucapan syukur jemaat atas
berkat dan anugrah yang telah Tuhan berikan dalam hidup jemaat. Sambil bernyanyi,
maka jemaat akan memberikan persembahan untuk pelayanan pekerjaan Allah di
dunia ini. Tidak hanya itu saja, nyanyian inijuga merupakan pengantar untuk Firman
Tuhan (Khotbah) yang akan didengarkan. Nyanyian ini mengajak jemaat untuk
mempersiapkan hatidan pikiran untuk mendengarkan Firman Tuhan.
14) Khotbah. Khotbah merupakan bagian penting dalam ibadah HKBP. Khotbah harus
sesuai dengan leksionari (Almanak) HKBP. Khotbah adalah memperdengarkan Suara
Tuhan kepada jemaat untuk menjadi bekal, renungan, pengangan, serta ajaran dalam
kehidupan jemaat.
15) Nyanyian Persembahan III. Nyanyian berupa respon terhadap Firman yang telah
didengar. Tidak hanya itu saja, nyanyian ini merupakan nyanyian penutup
peribadahan HKBP untuk mengajak jemaat membuka hati menerima berkat.
16) Doa Persembahan, Doa Penutup, dan Nyanyian Persembahan. Sebelum jemaat
kembali dan meninggalkan gereja, jemaat diajak untuk berdoa mendapatkan berkat,
mendoakan persembahan yang telah diberikan jemaat, menutup ibadah, menyanyikan
nyanyian persembahan. Setelah itu, doksologi juga akan dibacakan yakni Doa Bapa
Kami, doa yang diajarkan Yesus Kristus sebagai respon jemaat atas seluruh karya
Anugrah Allah. Allah dipuji dan dimuliakan karena Ia adalah Pemilik segala sesuatu
dan Pemberi segala sesuatu.

Page | 10
17) Berkat. Bagian terakhir ialah berkat yang menurut sejarah diberikan kepada umat
Israel (Bil 6 : 24-26). Melalui pembacaan berkat, kita akan menerima bahwa Allah
juga memberkati kita. Maka sambutan iman ialah dengan menyanyikan Amin, Amin,
Amin.
IV. Rekomendasi

Pemahaman tersebut dinilai para teolog juga mempengaruhi kehidupan gereja. Kini,
sejumlah gereja telah membuat tata ibadah yang serba fleksibel dan glamor, penuh dengan
alunan alat musik elektronik dan modern serta cahaya lampu yang seolah mengangkat rasa
nikmat rohani, diikuti dengan suara pengkhotbah yang menggetarkan hati dan pikiran para
pengunjung kebaktian.27 Kebanyakan gereja-gereja di Indonesia memiliki tata kebaktian, dan
semuanya memiliki beberapa kesamaan: seperti Votum/Salam/Introitus, Pembacaan Alkitab,
Khotbah, Pengakuan Iman, Pemberian Jemaat, Nyanyian dan Paduan Suara, Berkat.28

Kebanyakan Jemaat maupun Pendeta tidak dapat membedakan antara Votum dan
Introitus. Votum memiliki rumusan pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang
menjadikan langit dan bumi (Mazmur 124: 8). Sedangkan Introitus pada awalnya merupakan
seruan mazmur tetapi di dalam HKBP, Introitus memiliki rumusan dalam nama Allah Bapa,
Putera, dan Roh Kudus.29 Menurut Pdt. M Pakpahan, Votum adalah sebagai respon dari Allah
atas nyanyian jemaat. Dengan kata lain, manusialah yang mengawali ibadah dan direspo oleh
Allah. Demikian juga dengan Justin Sihombing tidak terlalu menekankan arti dan makna
votum sebagai akta utama dalam ibadah. Baginya, Ibadah adalah respon timbal balik.30

Ibadah HKBP bukan berarti tidak dapat diubah, tetapi melalui rapat. Rapat Pendeta
HKBP 2003 memutuskan perlunya apa yang disebut dengan Liturgi Kontemporer, Liturgi
Kontekstual, dan Liturgi Inkulturatif. Rapat Pendeta 2005 memutuskan bahwa pemakaian
liturgi alternatif tidak tepat. Sebagai anggota LWF, HKBP dapat mempertimbangkan
konsultasi Internasional LWF melalui tim studi Ibadah dan Budaya, yang menggarisbawahi
empat cara dinamis hubungan ibadah dan budaya, yaitu : transkultural, kontekstual, konter-
kultural, dan kros-kultural. Tetapi yang utama adalah bukan mengubah liturgi melainkan
liturgi yang mengubah kehidupan (membentuk spiritualitas).31

Gereja membutuhkan jati diri, termasuk HKBP. Formulasi jati diri dirumuskan sebagai
“ciri-ciri, keadaan khusus,identitas, dan jiwa HKBP” yang bertumpu pada pemahaman gereja
sebagai Tubuh Kristus yang dlayankan pada peribadahan yang dilakukan sebagai bentuk dari
dogma Kristen Batak Protestan32.

27 J. R Hutauruk, hlm.2-3
28 Dr. J.L. Abineno, “Unsur-unsur Liturgi yang dipakai Gereja-gereja di Indonesia,” BPK Gunung Mulia (Jakarta:
2015), hlm. v-vi
29 Dr. J.L. Abineno, hlm. 1-14
30 J. R Hutauruk, hlm.107-114
31 Pdt. Dr. Victor Tinambunan,”Liturgi HKBP dan Spiritualitas Transformatif,” dalam buku “Menggagas Masa
Depan,” peny. Pdt. Dr. Darwin Lumban Tobing, BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2018), hlm. 103-107
32 Bonar Napitupulu, Mengembalikan Jati Diri HKBP, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2011), 308

Page | 11
Di Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah salah satu dari Gereja-gereja
Protestan yang menggunakan leksionari, yang kita kenal dengan almanak HKBP. Peran
ibadah dalam gereja merupakan wahana simbolis yang menghadirkan sejarah keselamatan
yang Allah lakukan di masa lalu hingga pada masa kini. Dalam sejarah keselamatan, fungsi
leksionari sebagai metode ajaran terhadap gereja mengenai ibadah adalah hal yang terpenting.
Secara sederhana fungsinya adalah sebagai berikut33 :

1) Sebagai saran menghadirkan perbuatan-perbuatan Allah pada masa lalu hingga masa
kini.
2) Memperkenalkan ajaran Alkitab kepada jemaat.
Liturgi HKBP (Agenda) dipengaruhi oleh liturgi di Jerman. Di Jerman, terdapat
bermacam-macam denominasi Gereja di Jerman, namun yang umum ada 2, yakni Lutheran
dan Calvinis. Kaisar yang mengatur Jerman pada saat itu menginginkan agama bersatu dan
hanya satu. Maka dengan bersatunya gereja, negara akan menjadi kuat. Usaha penyatuan
gerejadi Jerman tidak lepas dari usaha menyatukan tata ibadah agar menjadi sama di Jerman.
Proses ini akhirnya diputuskan untuk menggabungkan tata ibadah gabungan tradisi Lutheran
dan Calvinis.

Ibadah Jemaat terjadi dialog antara Allah dan Jemaat. Allah berfirman dan Jemaat
menjawab, Allah memberi dan Jemaat menerima serta mengucap syukur, Allah mengampuni
dan Jemaat memuji namaNya, dan lain-lain.34 Namun, dewasa ini sejumlah pola beragam hari
kerja untuk kelompok-kelompok jemaat akhirnya dikembangkan di berbagai gereja Protestan.
Ibadah-ibadah singkat dianggap lebih menarik dan digemari bannyak orang. Dimana orang-
orang dapat melakukan ibadah tanpa terikat oleh jam-jam tertentu.35

Dikutip dari Tulisan Binsar Pakpahan, :

Salah satu bentuk pergumulan akan tata ibadah tersebut telah diperagakan pada Ulang
Tahun Pesta Perak STT HKBP tanggal 12-13 April 2003 lalu. Ibadah alternatif dengan
mempergunakan alur kesenian Batak telah menggugah sebagian besar pengunjung dalam
memahami kemurahan Tuhan pada suku Batak. Di samping itu, tercetus pula semangat
untuk merevisi pemikiran bahwa adat Batak identik dengan kekafiran. Dalam ibadah
tersebut produk budaya, karsa dan karya manusia Batak melalui ulos dipergunakan
kembali sebagai pendukung ibadah.36

Di beberapa gereja HKBP penerapan Leksionari justru tidak nampak padahal HKBP
sendiri tetap setia menggunakan hal tersebut, terbukti di dalam Almanak (penamaan minggu).
Tahun liturgi dan pembacaan Alkitab belum banyak dirapikan dalam sebuah pola oleh
menyelenggara ibadah. Pola pembacaan sistem leksionari modern (Common Lectionary),
yaitu: (1) prinsip siklus tiga-tahun; (2) central pada Injil; dan(3) tahun liturgi.37 Ini
merupakan tantangan dan “pekerjaan rumah” kita. Sebagaimana tahun liturgi Guéranger dari

33 Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,2005), 178
34 Abineno, “Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2008), hlm. 214
35 James F. White, “Pengantar Ibadah Kristen,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2009), hlm. 133-138
36 http://binsarspeaks.net/?p=59, dikunjungi pada 09 Februari 2019

Page | 12
Solesmes menjadi titik berangkat gerakan liturgis, dan Paus Pius XII menegaskan bahwa
tahun liturgi sepatutnya merayakan karya Kristus yang terus hidup di dalam sejarah. Mengapa
ini perlu, adalah karena :

1. Menghindari pilih-tolak kitab, sehingga pembacaan Alkitab untuk ibadah tidak


ditentukan secara spontan atau itu-itu saja.
2. Teratur dalam kalender liturgi, sehingga selebrasi bercerita tentang karya Allah di
dalam Kristus.
3. Kontinuitas pembacaan, sehingga menggambarkan keterbatasan manusia dan
keabadian waktu Allah.
4. Leksionari membimbing kita mengikuti alur tahun liturgi. Pengalaman menggunakan
leksionari selama hampir 20 tahun membuktikan bahwa alur per- Minggu dan per-
tahun berjalan nyaman dengan sistem leksionari.
5. Ekumenisitas kita terlihat melalui wajah dan mulut gereja, yakni selebrasi liturgi.
Kecuali kalangan Pastekostal, pembacaan Alkitab yang sama akan kita jumpai di
Protestan, Katolik, dan Anglikan setiap waktu ibadah.
6. Cerita adalah salah satu kekuatan sistem leksionari yang sangat kuat. Misalnya
Minggu Pembaptisan Tuhan.37
Lagi, Rachman menekan bahwa ada beberapa catatan dalam penerapan liturgi-liturgi yang
baru, yaitu:

a. Gereja memang harus mau dan mampu membuka dialog dengan jemaat terkait liturgi.
Dalam hal teologi, sistematika, adat dan budaya, teologi konstruktif, teologi
kontekstual.

b. Protestan tetaplah Protestan. Pembaruan liturgi bukan melulu ramai, melainkan


makna. Paul Basden, setelah pemaparannya tentang lima gaya ibadah dengan lima
karakternya (liturgical, traditional, revivalist, praise & worship, seeker) di Amerika
pada 1990-an, mengemukakan bahwa yang terjadi kemudian adalah tak ada blended
worship, melainkan “multiple services with different styles at different times” dalam
satu gereja. Tujuannya adalah hanya agar umat dapat memilih hendak bergabung
dalam ibadah yang mana, sehingga tetap di gerejanya. Jadi, menggantikan gaya
berliturgi menjadi karismatik, atau sekadar meniru sini-sana, bukanlah kreativitas
sama sekali.
c. Liturgi bukanlah tontonan umat. Berdasarkan SC 14 dan 21 (KV II), kita belajar dari
Katolik, peran aktif umat dalam beribadah merupakan tugas yang harus sangat
diperhatikan dalam pembaruan dan pengembangan liturgi. Penyelenggara ibadah
harus memperhatikan hakikat liturgi, yakni agar umat mendapat kesempatan untuk
menanggapi dan memahami perayaan ibadah.47 Agar umat dapat terus memaknai
bahasa liturgi (simbol, gestur, teks ritus), yang sesekali mengalami perubahan arti,
maka selanjutnya, Irwin mempertegas bahwa pembaruan liturgi harus menjadi
dynamic dialectic (percakapan dinamis) bagi umat. Irwin mengambil contoh
pengucapan” misteri Paska dalam formula perjamuan yang tak dipahami umat.

37 Rasid Rachman, Liturgi dan Perkembangannya, Seminar Dan Lokakarya Tentang: Liturgi, Hari Raya Gerejawi
& Penyusunan Leksionari Gmist Tahun 2019 Gmist Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018,
https://www.academia.edu/36958775/LITURGI_DAN_PERKEMBANGANNYA, diunduh pada 03 Juni 2019, pukul
08.50

Page | 13
d. Berbagai susunan liturgi, namun satu teks. Dalam pembaruan liturgi yang mengacu
pada praktik liturgi Patristik semisal: Didakhe, Apostolic Tradition Hippolytus,
Didascalia Syria, dan Apostolic Constitution, Irwin seakan kritis menyoroti ragam-
ragam atau model susunan atau struktur liturgi beberapa Gereja Protestan di
Indonesia. Berdasarkan Irwin, struktur liturgi seharusnya hanya satu, namun teks dan
ritual seharusnya beragam. Ada ruang bagi teks dan ritual untuk dapat berubah,
berevolusi, dan berkembang sesuai kebutuhan zaman di dalam struktur yang tetap.
Keragaman teks doa dapat disusun berdasarkan hari raya, semisal: doa syafaat bagi
Yerusalem pada Minggu Palem, doa bagi orang yang membutuhkan anugerah Allah
karena dikucilkan dan ditolak oleh dunia dan gereja pada Jumat Agung, dsb.
e. Selebrasi yang merintih menanggung beban ekologis dan humanis demi kepuasan-
keliru merespons modernitas. Misalnya penggunaan multimedia di banyak gereja kota
akhir-akhir ini. Saya mencatat tiga hal dampak buruk, yaitu: (1) Multimedia tidak
membuat umat cerdas dalam beribadah sebagai muara, liturgi. (2) Umat enggan
membawa Alkitab. (3) Luka bagi orang lain, terutama pencipta, penggubah,
penerjemah nyanyian jemaat, karena tak memperoleh hak cipta (royalty) pemusik
nyanyian jemaat.38
Kelompok berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh Rachman juga berlaku bagi HKBP
sendiri.

V. Kesimpulan

Dengan penjelasan dan pembahasan mengenai Liturgi HKBP, baik sejarah lahirnya dan
perubahannya, maka kelompok dapat menyimpulkan bahwa HKBP memiliki landasan
Alkitabiah yang kuat, yaitu : Allah-lah yang bekerja dalam ibadah. Dengan demikian, maka
tentu saja sebuah agenda tidak dengan gampangnya diubah. Pada era ini manusia merasa
memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, menempatkan diri sebagai pusat
segalanya tanpa harus terikat pada rambu-rambu normatif dan kaku. Situasi bebas
memuaskan kehausan pribadi jadi impian dan hal itu dianggap sangat indah dan enak.
Manusia post modern berpusat pada kebebasan mewujudkan seleranya. Melalui Agenda
HKBP maka dapat dikatahui bahwa manusia yang berdosa hanya akan dilayakkan oleh Allah.

Referensi

Abineno, “Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2008)

Binsar J. Pakpahan,” Allah Mengingat,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2012)

Bonar Napitupulu, Mengembalikan Jati Diri HKBP, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2011)

38 Rasid Rachman, Liturgi dan Perkembangannya, Seminar Dan Lokakarya Tentang: Liturgi, Hari Raya Gerejawi
& Penyusunan Leksionari Gmist Tahun 2019 Gmist Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018,
https://www.academia.edu/36958775/LITURGI_DAN_PERKEMBANGANNYA, diunduh pada 03 Juni 2019, pukul
08.50, hlm. 11-13.

Page | 14
Dr. J.L. Abineno, “Unsur-unsur Liturgi yang dipakai Gereja-gereja di Indonesia,” BPK

Gunung Mulia (Jakarta: 2015)

Dr. Jan.S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge, “Apa dan Bagaimana Gereja,” BPK Gunung

Mulia (Jakarta: 2009)

Dr.C. De Jonge, “Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2014)

Ebbenhaizer Nuban Timo, “Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri,” BPK

Gunung Mulia (Jakarta: 2015)

Gerald O’Collins dan Edward Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)

H. Berkhof dan I. H. Enklaar, “Sejarah Gereja,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2015)

http://binsarspeaks.net/?p=59, dikunjungi pada 09 Februari 2019

J. R Hutauruk, “Menghargai Dokumen Sejarah Gereja,” LAPiK (Medan: 2016)

James F. White, “Pengantar Ibadah Kristen,” BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2009)

Jusen Boangmmanalu, Sekilas Masuknya Pengaruh Teologi Lutherandan Pietisme ke HKBP,

dalam buku dalam buku “Menggagas Masa Depan,” peny. Pdt. Dr. Darwin Lumban

Tobing, BPK Gunung Mulia (Jakarta: 2018)

Pdt. Dr. Jusen Boangmanalu, “Kristologi Lintas Budaya Batak,” Universitas HKBP

Nommensen Medan (Medan: 2014)

Pdt. Dr. Victor Tinambunan,”Liturgi HKBP dan Spiritualitas Transformatif,” dalam buku

“Menggagas Masa Depan,” peny. Pdt. Dr. Darwin Lumban Tobing, BPK Gunung

Mulia (Jakarta: 2018)

Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,2005)

Rasid Rachman, Liturgi dan Perkembangannya, Seminar Dan Lokakarya Tentang: Liturgi,

Hari Raya Gerejawi & Penyusunan Leksionari Gmist Tahun 2019 Gmist Musafir

Pancurang, Manado, 19 Juni 2018,

https://www.academia.edu/36958775/LITURGI_DAN_PERKEMBANGANNYA

Page | 15
Teologisches Begrijjslexikon Zum Neuen Testament, diterjemahkan oleh Colin Brown dan

diedit oleh Lothar Coenen, Erich Beyreuther dan Hans Bietenhard, “The New

International Dictionary of New Testament Theology”, (USA: The Zondervan

Corporation Grand Rapids, Michigan, U.S.A. and The Paternoster Press, Ltd. Exeter,

Devon, U.K, 1975)

Th. Van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)

Dr. J.L. Abineno, hlm. 1-14

Dr. . Jan.S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge, hlm. 11-17

Page | 16

Anda mungkin juga menyukai