Anda di halaman 1dari 23

SISTEM PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT STRIKTUR URETRA


Dosen Fasilitator : Arif Nur Akhmad, S.Kep., Ns., MSN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I
Epiphana Desi I1031151001 Agung Nur R I1031151010
Dian Susanti I1031151002 Selvy Rahmayuni I1031151011
Lola Prianti I1031151003 Fathur Mahali I1031151012
Francisca Chlaudia I1031151004 Novara Qusnul L I1031151013
Natalia Mela P I1031151005 Cintyakarin C. A I1031151014
Annissa Puspa J I1031151006 Zakiah Amar I1031151015
Dwi Asni S I1031151007 Desy Anggraeni I1031151016
Cindi Laruna O I1031151009 Jamilah I1031151017

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada
Penyakit Striktur Uretra
. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur
Mata Kuliah Sistem Perkemihan Tahun Akademik 2017 di Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari
pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Ucapan
terima kasih tidak lupa diucapkan kepada:
1. Arif Nur Akhmad, S.Kep., Ns., MSN selaku dosen Mata Kuliah Sistem Perkemihan
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2015 Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kepada pembaca dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun.

Pontianak, 17 Oktober 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 4

C. Tujuan .................................................................................................................................. 4

D. Manfaat ................................................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6

A. Definisi dari Striktur Uretra ................................................................................................. 6

B. Etiologi Striktur Uretra ........................................................................................................ 6

C. Klasifikasi ............................................................................................................................ 7

D. Manifestasi Klinis ................................................................................................................ 8

E. Patofisiologi ......................................................................................................................... 8

F. Pathway ................................................................................................................................ 9

G. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................................... 10

H. Penatalaksanaan ................................................................................................................. 11

I. Komplikasi Striktur Uretra ................................................................................................ 13

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ........................................................................................ 14

A. Pengkajian .......................................................................................................................... 14

B. Rencana Diagnosa Keperawatan........................................................................................ 16

BAB IV PENUTUP ...................................................................................................................... 21

ii
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 21

B. Saran .................................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Striktur uretra sering menjadi sumber gangguan saluran kemih bagian bawah pada
orang dewasa, seperti infeksi saluran kemih, retensi urin akut, tekanan urin tinggi yang
menyebabkan penebalan dan iritasi kandung kemih sekunder dan bahkan divertikula kandung
kemih atau fistula perineum dan abses. Beberapa factor yang menyebabkan terjadinya
striktur uretra yaitu trauma perineum tumpul, kateterisasi uretra atau instrumentasi, lichen
sklerosus dan Penyakit menular seksual. Namun, sebagian besar penyebab striktur uretra
tetap tidak diketahui, namun mungkin akibat trauma perineum yang tidak dikenal yang
dialami selama masa kanak-kanak (Barbagli & Lazzeri, 2007).
Striktur uretra adalah fibrosis kronis dan penyempitan lumen uretra yang disebabkan
oleh luka akut, kondisi inflamasi, dan intervensi iatrogenic termasuk instrumentasi atau
operasi uretra dan pengobatan kanker prostat. Gejala striktur uretra tidak spesifik dan dapat
bercampur dengan gejala penyakit perkemihan yang lain seperti infeksi saluran kencing
(ISK) (Hunter, Wessell. 2016).
Kelompok umur yang paling umum untuk striktur adalah 40-50 tahun dan penyebab
striktur penyebab stiktur yag sering ditemukan akibat trauma, dimana cedera jatuh adalah
44,3% diikuti oleh kecelakaan lalu lintas dan iatrogenik. Terjadi penyempitan pada bulbous
di anterior dan membran di uretra posterior (Chhetri, RK., Shrestha, G. K., Joshi, H. N., &
Shrestha, R. K. M. 2009).
B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan striktur uretra?

C. Tujuan

1.Tujuan umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada klien yang mengalami striktur uretra.
2.Tujuan khusus
a. Mengetahui definisi dari striktur uretra.
b. Mengetahui epidemiologi dari striktur uretra

4
c. Mengetahui etiologi dari striktur uretra.
d. Mengetahui klasifikasi dari striktur uretra.
e. Mengetahui manifestasi klinis dari striktur uretra.
f. Mengetahui patofisiologi dari striktur uretra.
g. Mengetahui pathway dari striktur uretra.
h. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari striktur uretra.
i. Mengetahui penatalaksanaan dari striktur uretra.
j. Mengetahui komplikasi dari striktur uretra.
k. Mengetahui asuhan keperawatan dari striktur uretra.

D. Manfaat

1. Mahasiswa
Makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan bacaan oleh mahasiswa
khususnya keperawatan sebagai informasi mengenai konsep penyakit striktur uretra
dan penyusunan asuhan keperawatan pada klien dengan struktur uretra yang tepat
sehingga dapat meminimalisir angka kejadian.
2. Masyarakat
a. Agar masyarakat mengetahui bahayanya striktur uretra.
b. Untuk mengetahui pedoman perilaku perawat dalam melakukan tindakan
keperawatan
3. Agar masyarakat bisa mencegah supaya tidak terkena striktur uretra
a. Agar perawat bisa menerapkan penanganan kepada klien striktur uretra.
b. Perawat sebagai role model dalam tindakan keperawatan professional.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dari Striktur Uretra

Striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan lumen uretra (Muttaqin & Sari,
2011). Menurut Baradero, Dayrit & Siswadi (2015) striktur uretra adalah penyempitan
atau pengerutan (konstriksi) lumen uretra. Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2001)
striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontraksi.
Dari paparan beberapa definisi diatas, jadi kami dapat menarik sebuah kesimpulan
striktur uretra, yaitu sebagai suatu proses terjadinya penyempitan atau pengerutan pada
lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi.
Striktur uretra adalah suatu proses terjadinya penyempitan pada lumen uretra
akibat adanya jaringan parut dan kontraksi. mengacu pada uretra anterior dan sekunder
akibat jaringan parut pada jaringan ereksi spons korpus spongiosum Strain uretra lateral
disebabkan oleh proses fibrotik yang mempersempit leher kandung kemih dan biasanya
diakibatkan oleh cedera akibat trauma, atau cedera, seperti prostatektomi radikal.

B. Etiologi Striktur Uretra

Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Hal ini disebabkan
perbedaan anatomis uretra pria lebih panjang dibandingkan dengan uretra wanita. Uretra
pria dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm. Karena
itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau terkena trauma dibanding wanita.
Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Striktur uretra
kemungkinan kongenital dan di dapat. Seseorang dapat terlahir dengan striktur uretra,
meskipun hal tesebut jarang terjadi (Muttaqin & Sari, 2011 ; Widya, Oka, Kawiyana &
Maliawan, 2013 ; Baradero, Dayrit & Siswadi, 2015).
Penyebab umum suatu penyempitan uretra adalah akibat traumatik atau
iatrogenik. Penyebab lainnya adalah inflamasi, proses keganasan, dan kelainan bawaan
pada uretra (Muttaqin & Sari, 2011). Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2001),

6
penyebab striktur umumnya adalah cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama
operasi transuretal, kateter indwelling, atau prosedur sistoskopi), cedera akibat
peregangan dan cedera yang berhubungan dengan kecelakaan mobil, uretritis gonorheal
yang tidak tertangani, dan abnormalitas kongenital.
Beberapa faktor resiko lain yang diketahui berperan dalam insiden penyakit ini,
diantaranya adalah pernah terpapar penyakit menular seksual, ras orang Afrika, berusia
diatas 55 tahun, dan tinggal di daerah perkotaan. Striktur dapat terjadi pada semua bagian
uretra, namun kejadian yang paling sering pada orang dewasa adalah di bagian pars
bulbosa-membranasea, sementara pada pars prostatika lebih sering mengenai anak-anak.
Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi oleh kuman
gonokokus, yang sempat menginfeksi uretra sebelumnya. Trauma yang dapat
menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada selangkangannya (straddle
injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi peralatan bedah
selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur sitoskopi. Striktur
kongenital sangat jarang terjadi. Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang tidak
adekuat antara ureta anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun
peradangan (Widya, dkk., 2013).
Menurut Patel (2007) penyebab terjadinya striktur uretra adalah :
a. Pascatrauma : akibat pemasnagan instrument, kateter, atau trauma eksternal. Striktur
paling banyak terdapat pada sumbangan penoskrotal atau uretra bagian penis
proksimal. Trauma pada selangkangan akan menekan uretra melawan simpisis pubis
dengan kemungkinan terjadinya rupture, sehingga penting untuk melakukan
uretronografi.
b. Peradangan : biasnya terjadi pada uretra anterior, sering disebabkan oleh infeksi
gonorhoea, tuberculosis, atau urethritis nospesifik.
c. Neoplasis, terjadi akibat infliltrasi keganasan, namun jarang
C. Klasifikasi

Menurut Basuki, 2011, dalam Widya, dkk., 2013 klasifikasi striktur uretra
berdasarkan derajat penyempitan lumen uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
a. Tingkat ringan jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen.
b. Tingkat sedang jika terdapat oklusi mencapai ½ lumen uretra.

7
c. Tingkat berat oklusi lebih dari ½ diameter lumen uretra.
D. Manifestasi Klinis

Gejala penyakit ini mirip seperti gejala penyebab retensi urine tipe obstruktif
lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus mengejan untuk memulai
kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala tersebut harus dibedakan
dengan inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, atau
tidak mampu ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah
adanya disuria, frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin
kencing yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan
adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar nanah (Widya, dkk., 2013).
E. Patofisiologi

Struktur uretra terdiri atas lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri atas epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri atas lapisan erektil vaskular.
Menurut (Muttaqin & Sari, 2011) striktur uretra dapat diakibatkan dari proses
peradangan, iskemik atau traumatik. Apabila terjadi iritasi uretra, maka akan terjadi
proses penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan
ikat yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan terbentuknya
jaringan parut yang memberikan manifestasi hilangnya elastisitas dan memperkecil
lumen uretra.
Selain itu proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan fibroblast,
dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh ruang pada lumen
dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga menimbulkan hambatan aliran
urine. Karena adanya hambatan, aliran urine mencari jalan keluar di tempat lain dan
akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Karena ekstravasasi urine, daerah tersebut
akan rentan terjadi infeksi akan menimbulkan abses periuretra yang kemudian bisa
membentuk fistula uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit). Selain itu resiko

8
terbentuknya batu buli-buli juga meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi dan gagal ginjal
(Widya, dkk., 2013).

F. Pathway

Proses peradangan, iskemik atau


traumatic pada uretra

Terbentuk jaringan parut pada uretra

Penyempitan lumen uretra

Striktur uretra

Respons obstruksi Peningkatan tekanan Respons iritasi


intravesika
- Pancaran miksi lemah - Frekuensi
- Intermitensi meningkat
- Miksi tidak puas - Noktura
- Pembengkakan penis - Urgensi
- Disuria
9
Gangguan pemenuhan
eliminasi urine Nyeri miksi
Preoperasi

Respons psikologis kecemasan Pemenuhan informasi praoperasi

pascaoperasi

Kerusakan Resiko kerusakan Kerusakan Luka


integritas jaringan organ seksual jaringan pascabedah
pascaoperasi

Nyeri Gangguan Risiko tinggi Risiko tinggi


konsep diri trauma infeksi
(gambaran diri)

(Muttaqin & Sari, 2011)

G. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Purnomo, 2011, pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi


diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, yaitu:
1. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urine secara obyektif. Derasnya
pancaran diukur dengan membagi volume urine saat kencing dibagi dengan lama
proses kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan
pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.
2. Pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan Voiding
Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk menegakan diagnosis.
Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari striktur.

10
3. Ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.
Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan
parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan operasi
yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urine dan
panjang striktur secara nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi.
4. Uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam
uretra sampai ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan
karakter striktur secara langsung.
5. Pencitraan menggunakan magneting resonance imaging bagus dilakukan sebelum
operasi karena dapat mengukur secara pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan
pembesaran prostat. Namun alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat
mahal sehingga jarang digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau
cek darah lengkap rutin dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien dan
menyingkirkan diagnosis lain.

H. Penatalaksanaan

Menurut Purnomo, (2011) penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada striktur


uretra, yaitu :

1. Dilatasi uretra
Dilatasi uretra merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan
striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan. Dilatasi
dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau busi logam dimasukan hati-hati ke
dalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit. Pendarahan selama proses
dilatasi harus dihindari karena itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang
akhirnya menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka
kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan.
2. Uretrotomi interna
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan insisi
pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis atau
sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada striktur lebih

11
berat pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan
pisau sasche. Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang
tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses
epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan
berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka
striktur akan muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup
tinggi, namun dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya
striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan
ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi
ereksi.
3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent
biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent yang
tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk striktur uretra
pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua,
yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun stent permanen juga memiliki
kontra indikasi terhadap pasien yang sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan
pasien straddle injury dengan spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur
bervariasi dari 40%-80% dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa
tidak nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.
4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun masih
jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik bedah ini.
Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis.
Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis dan substitusi. Uretroplasti
anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur kemudian uretra diperbaiki
dengan mencangkok jaringan atau flap dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat
untuk striktur uretra pars bulbosa dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti
substitusi adalah mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa
bibir, mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan

12
organ atau jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah
pasien untuk dapat bertahan.
I. Komplikasi Striktur Uretra

Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran


berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat mengalirkan urine keluar dari
tubuh. Urine yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi.
Komplikasi terberat adalah gagal ginjal. Striktur uretra masih merupakan masalah yang
sering ditemukan pada bagian dunia tertentu (Muttaqin & Sari, 2011).
Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang dan gejala infeksi dan retensi
urinarius terjadi. Striktur menyebabkan urin mengalir balik dan mencetuskan sistitis,
prostatitis, dan pielonefritis (Smeltzer & Bare, 2001).

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan gangguan striktur uretra,
antara lain (Muttaqin & Sari, 2011) :
A. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Identitas klien yang dikaji meliputi : nama, umur, nomor register, jenis
kelamin, status, alamat, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain.
Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien adalah keluhan rasa tidak
nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada
waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien
sendiri.
3. Keadaan umum
Kaji kesadaran: GCS, ekspresi wajah klien, dan suara bicara.
4. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami striktur uretra meliputi
frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum dan
eliminasi yang meliputi BAB (Frekuensi, warna, konsistensi) serta BAK (frekuensi,
banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna urine). Personal hygiene
(frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisir rambut dan
menggunting kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan
tempat rekreasi).
5. Sistem pernafasan
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada lubang
hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan dada
pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang timbul.
Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas. hal ini penting karena

14
imobilisasi berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan
nafas.
6. Sistem kardiovaskuler
Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian vena
jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada dan pengukuran
tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
7. Sistem pencernaan
Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik
usus, dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan
pada sistem ini. Sistem genitourinaria dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan
dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah
untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang keadaan alat-alat
genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri tekan dan
benjolan serta bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada nyeri waktu miksi,
serta bagaimana warna urine.
8.Sistem muskuloskeletal
Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of Motion dari
pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah, ketidaknyamanan
atau nyeri yang dilaporkan klien waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan
observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena klien imobilitas biasanya
tonus dan kekuatan ototnya menurun.
9. Sistem integumen
Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku, pemeriksaan
kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan.
10. Sistem neurosensori
Sistem neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf cranial,
fungsi sensori serta fungsi refleks.
11. Sistem Perkemihan
Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi kita
perhatikan meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di sekitar
penis, skrotum, perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi apakah teraba

15
jaringan parut sepanjang uretra anterior pada ventral penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk mengeluarkan nanah
di dalamnya. Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir diagnosis lain seperti pembesaran prostat (Widya dkk,
2013).
B. Rencana Diagnosa Keperawatan

1. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (prosedur bedah).

Tujuan : Dengan dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri yang


dirasakan klien berkurang atau menghilang dalam waktu … x24 jam.
Kriteria Hasil :
 Klien mampu mengontrol nyeri
 Klien mengungkapkan tingkat nyeri yang dirasakan
 Skala nyeri berkurang
No Intervensi Implementasi Rasional

1. Ajarkan teknik distraksi atau Mengajarkan teknik distraksi atau Teknik distraksi dan teknik
pengalihan nyeri dan teknik pengalihan nyeri dan teknik relaksasi diharapkan bisa
relaksasi seperti teknik napas relaksasi seperti teknik napas dalam. menurunkan skala nyeri.
dalam.

2. Observasi tanda-tanda vital, Mengobservasi tanda-tanda vital, Observasi dilakukan untuk


keluhan klien serta skala nyeri keluhan klien serta skala nyeri memastikan bahwa nyeri berkurang

3. Kolaborasi untuk pemberian Berkolaborasi untuk pemberian obat Obat analgesik dapat menurunkan

16
obat analgesik analgesik atau menghilangkan rasa nyeri.

2. Diagnosa : Gangguan konsep diri b.d perubahan fungsi tubuh.


Tujuan : Gambaran diri klien positif.
Kriteria hasil :
 Klien senang dengan anggota tubuhnya.
 Klien tidak merasa malu.
 Klien mau berinteraksi dengan orang lain
No. Intervensi Implementasi Rasional

1. Bina hubungan saling Membina hubungan saling percaya Dasar dalam mengembangkan
percaya tindakan keperawatan

2. Kaji penyebab terjadinya Mengkaji penyebab terjadinya Merencanakan intervensi lebih lanjut
gangguan gambaran diri gangguan gambaran diri

3. Kaji kemampuan yang Mengkaji kemampuan yang dimiliki Memfasilitasi dengan memanfaatkan
dimiliki klien klien kelebihan klien

4. Berikan dukungan yang Memberikan dukungan yang positif Ekspresi emosi membantu pasien
positif dan dukungan dan dukungan emosi menerima kenyataan dan realitas
emosi hidup serta motivasi klien

17
3. Diagnosa : Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan jaringan pasca pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami trauma
pascabedah.
Kriteria Hasil :
 Tidak ada keluhan subjektif, seperti dysuria, dan urgensi
 Eliminasi urin tanpa menggunakan kateter
 Tidak terjadi komplikasi pascabedah
No. Intervensi Implementasi Rasional

1. Monitor adanya keluhan subjektif Memonitor adanya keluhan subjektif Parameter penting dalam mengevaluasi
pada saat melakukan eliminasi pada saat melakukan eliminasi urin. intervensi yang telah dilaksanakan.
urin.
2. Istirahatkan pasien setelah Mengistirahatkan pasien setelah Pasien dianjurkan tirah baring selama
pembedahan. pembedahan. 24-48 jam, tergantung pada sejauh
mana prosedur yang telah dilakukan.
3 Lepas kateter pada hari ke 1-3 Melepas kateter pada hari ke 1-3 Menurunkan risiko cedera pada uretra.
pascaoperasi pascaoperasi
4. Evaluasi pasca-intervensi Mengevaluasi pasca-intervensi Kekambuhan striktur uretra dari
pelebaran uretra. pelebaran uretra. intervensi pelebaran uretra adalah
komplikasi yang paling umum.
Meskipun jarang, intervensi untuk

18
melebarkan uretra dapat menyebabkan
trauma uretra, kondisi ini termasuk
instrumen yang dimasukkan melalui
urothelium ke dalam korpus
spongiosum. Risiko ini dapat
diminimalisasi dengan teknik hati-hati
dan pilihan pelebaran yang tepat untuk
pasien.
Kolaborasi : Berkolaborasi dengan tim medis lain
untuk pemberian: Menurunkan risiko infeksi yang akan
1. Antibiotik intravena pascaoperasi1. Antibiotik intravena pascaoperasi meningkatkan respons trauma jaringan
pascabedah
2. Agen antimuskarinik 2. Agen antimuskarinik Sering digunakan untuk mencegah
kejang kandung kemih.

4. Diagnosa : Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.


Tujuan : Agar tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
 Mendeskripsikan proses penularan penyakit factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaanya,
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
19
 Menunjukkan perilaku hidup sehat,
No. Intervensi Implementasi Rasional

1. Pemantauan tanda-tanda Memantauan tanda-tanda vital, Untuk mengetahui perkembangan


vital, melaporkan gejala- melaporkan gejala-gejala shock dan kesehatan dan mencegah sebelum
gejala shock dan demam demam terjadi shock.

2. Pemantauan warna urine Memantauan warna urine Untuk memastikan ada tidaknya
cairan lain yang mnyertai urine, serta
memastikan tidak adanya penurunan
kepekatan urine.

3. Pertahankan teknik aseptik dari Mempertahankan teknik aseptik dari Meminimalkan resiko masuknya
sistem drainase urine, irigasi sistem drainase urine, irigasi bila kuman yang bisa menyebabkan
bila perlu saja. perlu saja. infeksi

4. Usahakan intake yang banyak Mengusahakan intake yang banyak Dapat menurunkan resiko infeksi

(Herdman, T. Hearher, Kamitsuru, Shigemi. 2015).

20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Striktur uretra merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau
konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi . Striktur urethra di sebut juga
penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada
urethra atau daerah urethra. Striktur uretra diklasifikasikan yaitu tingkat ringan jika oklusi
yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen, tingkat sedang jika terdapat oklusi mencapai
½ lumen uretra, ingkat berat oklusi lebih dari ½ diameter lumen uretra.
Penyebab striktur umumnya adalah cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah
selama operasi transuretal, kateter indwelling, atau prosedur sistoskopi), cedera akibat
peregangan dan cedera yang berhubungan dengan kecelakaan mobil, uretritis gonorheal
yang tidak tertangani, dan abnormalitas kongenital. Pengkajian yang di lakukan terhadap
pasien yang mengalami gagal ginjal kronis yaitu biodatakeluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial,
TTV, dan pengkajian pada setiap sistem. Diagnosa yang dapat di ambil yaitu nyeri akut
berhubungan dengan agen cedera fisik (prosedur bedah) tujuannya dengan dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan nyeri yang dirasakan klien berkurang atau menghilang,
gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh dengan
tujuan gambaran diri klien positif, risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan
jaringan pasca pembedahan dengan tujuan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawat
diharapkan klien tidak mengalami trauma pascabedah, dan risiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi.
Apabila penyakit ini tidak bisa ditangani dengan baik maka akan menimbulkan
berbagai macam komplikasi.
B. Saran

Tujuan penulisan makalah ini terhadap pembaca yaitu supaya pembaca khususnya
perawat dapat menerapkan asuhan keperawatan pada pasien striktur uretra dengan tepat
agar dapat mencegah timbulnya komplikasi yang lebih parah dari striktur uretra.

21
DAFTAR PUSTAKA

Barbagli, G., & Lazzeri, M. (2007). Surgical Treatment Of Anterior Urenthral Stricture
Diseases: Brief Overview: International Braz j Urol, 33(4), 461-469.
Baradero, M., Dayrit, M. W., & Siswadi, Y., (2015). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Ginjal. Jakarta : EGC.
Chhetri, RK., Shrestha, G. K., Joshi, H. N., & Shrestha, R. K. M. (2009). Management of
urethral strictures and their outcome. Nepal Med Coll J, 5-8.

Guido, Barbagli & Massimo Lazzeri. (2007). Surgical Treatment of Anterior Urethral Stricture
Diseases:. International Braz J Urol, 461-469.

Herdman, T. Hearher, Kamitsuru, Shigemi. (2015). Diagnosis Keperawatan: Defenisi &


Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta : EGC.
Hunter, Wessell. (2016). MALE URETHRAL STRICTURE: AUA GUIDELINE. American
Urological Association (AUA) Guideline.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.

Patel, Pradip P. (2007). Lecture Notes:Radiologi. Jakarta : Erlangga

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-dasar urologi Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto.

Statement, G. (2012). American Urological Asspciation (AUA) Guideline.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC.

Widya, A. N., Oka, A. G., Kawiyana, K. S., & Maliawan, S. (2013). Diagnosis Dan Penanganan
Striktur Uretra. E-Jurnal Medika Udayana, 428-443.

22

Anda mungkin juga menyukai