Nama : Tn. S
Usia : 37 tahun
Alamat : Ungaran
Status : Menikah
Keluhan Utama : Pasien mengalami bintik-bintik merah sejak 2 hari yang lalu
Pasien mengalami bintik-bintik merah sejak 2 hari yang lalu, bintik-bintik terasa
perih dan panas. Bintik-bintik ini timbul mendadak, pertama kali di punggung kaki yang
kemudian timbul di tangan perut dan kaki. Keluhan disertai rasa gatal dan nyeri. Pasien
juga mengeluh wajah terutama daerah mata dan telapak tangan terasa bengkak. Panas (+).
Mual (+) muntah (-). Pasien mengatakan keluhan tersebut timbul setelah minum obat
racikan asam urat yang di beli sendiri di apotek.
Penggunaan salep, obat, minyak kayu putih dan minyak tawon disangkal.
Riwayat atopi/alergi (-)
Riwayat keluarga :
Adik pasien mempunyai alergi obat. (namun pasien lupa nama obatnya)
Lokasi : tungkai bawah kanan dan kiri, telapak tangan kanan dan kiri dan kelopak
mata kanan dan kiri.
Distribusi : tersebar
Ruam : eritema multiform di tungkai bawah kanan dan kiri, edema di telapak tangan
dan kelopak mata kanan dan kiri
1.4 Status Generalis
baik
Nadi: 76x/menit
Spo2: 99%
Kepala / leher : anemis (-), ikterus (-), kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah
bening (-) palpebra edema (+)
1. Erupsi obat
2. Dermatitis atopik
Darah Rutin
Hb : 15 gr/dl
Ht : 42,93 %
Leukosit : 13.84/ul
Trombosit : 266.000/ul
Eritrosit : 4,50x106/ul
MCV : 95 fl
MCH : 33,4 pg
MCHC : 35 g/dil
Kimia Darah
1.7 Diagnosis
Erupsi Obat
1.8 Terapi
Infus RL 20 tpm
Cetirizine 2x5mg
1.9 Follow Up
28 september 2018
P/ inf RL 20tpm
Cetirizine 2x1
Konsul dr. yuni Sp.Pd karena hiperurisemia advise: diet rendah purin, perbaiki ku karena
alergi, kontrol poli penyakit dalam untuk penanganan hiperurisemia
29 september 2018
P/ inf RL 20tpm
Pada hari ini pasien dapat pulang dari rumah sakit dengan membawa obat pulang berupa:
Cetirizine 2x5mg
Omeprazole 2x40mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Exanthematous Drug Eruption disebut juga morbilliform atau maculopapular.
Exanthematous Drug Eruption merupakan penyakit kulit yang diinduksi obat dengan karakteristik
makula eritem dan papul yang menyebar cepat dan konfluens serta biasanya muncul pertama dari
batang tubuh. Waktu timbul reaksi berbeda-beda, sebagian besar kasus mulai muncul bintik
beberapa hari setelah minum obat penyebab, tetapi dapat juga timbul segera, atau timbul sesudah
beberapa minggu.1,2,3
2.2. Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan
laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan
1,4,6
atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance
Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar
2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.
Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah
mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000
jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat
1,5
yang sering timbul adalah:
• eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
• urtikaria sebanyak 5,9%, dan
• vaskulitis sebanyak 1,4%
1,4,6
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang
dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang
belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa
berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset
erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4,6
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi.
Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan
reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi
alergi pada penderita yang peka.
7
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan
keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya
ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
1
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian, berdasarkan
studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya
reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur,
3,6
penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya.
2.3. Patogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan
kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai
hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non
imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan
1
dalam metabolisme.
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One.
2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang pada
penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya lentikuler maka disebut
2
eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis.
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi yang
2
polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan simetris.
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak hilang
bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya disebabkan oleh
2
permeabilitas kapiler yang meningkat..
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Erupsi yang
muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan
yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula
pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai
pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kullit dari
2,7
merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit. Erupsi
eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, sulfonamid, dan obat
antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi
7
ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika
2
kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum.
nd
Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki,
sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di tempat yang sama maka
2
disebut dengan eksantema fikstum.
Gambar 2.2. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan
obat golongan sefalosporin.
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One.
2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa
2
demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah.
g. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya yang
biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa
2
skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.
h. Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis Eksantematosa
Generalisata Akut (PEGA).
1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida, bromida,
ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin. Erupsi timbul
pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf
7
berbentuk akne tanpa disertai komedo.
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption (FDE),
erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
i. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan
golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam
beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas
dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla
dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla.
Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai
4,7
pemphigus foliaceus.
ii. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua
minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya
dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter,
eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak
edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan
genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul
kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema
multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di dermal-epidermal junction
dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai diskeratosis. FDE kronis
memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan
dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T
2,4,8
helper dan sel T supresor pada tempat lesi.
Gambar 2.3. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada penderita FDE
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One.
2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
iii. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit
dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).
Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan ditandai dengan
urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis.
Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan
kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau
edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat
dan lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem
4,6
dihubungkan dengan antibodi IgM.
2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
o Hemaglutinasi pasif
o Radio immunoassay
o Degranulasi basofil
o Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
o Tes transformasi limfosit
o Leucocyte migration inhibition test
2.5 Diagnosis
2
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah:
1. Anamnesis yang teliti mengenai:
a. Obat-obatan yang dipakai
b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
a. Distribusi : menyeluruh dan simetris
b. Bentuk kelainan yang timbul
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan
distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat
yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka
waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada
kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang
1
mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.
2.6 Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of choice
pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik
dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus
dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua
1,6
pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.
2. Topikal
• Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah.
Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan
2,9
basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
• Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
2,9
misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%.
• Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami
2
skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
• Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
9
yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.
2.7 Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada
2,4,9
luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.
BAB III
KESIMPULAN
1. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.
2. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat.
3. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang
dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan.
4. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis
dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
5. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh
Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III
(Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat).
6. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada
metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan
hiperpigmentasi generalisata diffuse.
7. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya,
gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, erupsi
eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa.
8. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum
ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel untuk
digunakan secara rutin.
9. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan
khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif
sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama
pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.
10. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
DAFTAR PUSTAKA
1. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
3. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.
Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN.
U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
nd
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed. Pharmaceutical
Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American
Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.aafp.org/afp
6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June
3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-
07AlergiObat006.mht
7. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. In: Fitzpatrick’s
th
Dermatology in General Medicine. 6 ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2003. p:
1330-1337
8. Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. No.1. Volume
18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at:
www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta
Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
10. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu