Anda di halaman 1dari 7

KO-168 0196: Yohanis Ngili dkk.

ANALISIS DNA MITOKONDRIA MANUSIA MELALUI KARAKTERISASI


HETEROPLASMI
PADA DAERAH PENGONTROL GEN
Yohanis Ngili,1,*) Hendrikus M.B.Bolly,2) dan Richardo Ubyaan3)
1) Jurusan Kimia, Faklutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Cenderawasih
Jl. Kamp Wolker Kampus Baru Waena, Jayapura, Papua
Telp/Fax. 0967-572115, e-Mail: joe_ngili@yahoo.com
2) Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih

3) Program Studi Kimia, FKIP, Universitas Cenderawasih

Disajikan 29-30 Nop 2012

ABSTRAK

Pengungkapan mutasi penyebab penyakit akibat mutasi mtDNA (mitochondrial cytopathies) serta ekspresi biokimia dan
manifestasi kliniknya akan meletakkan dasar-dasar pendekatan kelainan mitokondria, termasuk menentukan kriteria
untuk membedakan mutasi mtDNA penyebab penyakit dari polimorfisme nukleotida tunggal (SNP/single nucleotide
polymorphisms). Tujuan dari riset ini adalah menentukan varian genom manusia Indonesia pada daerah pengkode gen
melalui pendekatan kloning dan karakterisasi mtDNA, penentuan genotype mutasi tertentu sehingga dapat
melengkapi data varian mtDNA yang berkaitan penyakit maternal. Konsep penting mengenai heteroplasmi mtDNA
muncul dari hasil riset bahwa pada kasus-kasus CPEO ini, spesies mtDNA yang membawa delesi besar tersebut
bersama (co-exists) dengan mtDNA normal di dalam sel. Proporsi mtDNA termutasi relatif ke mtDNA normal
merupakan salah satu faktor yang menentukan ekspresi mutasi di jaringan manusia. Contoh lain mutasi penyebab
penyakit pada manusia adalah mutasi mtDNA penyebab LHON. Mutasi penyebab LHON pada gen penyandi subunit
ND4 kompleks respirasi I (G11778a, G3460a), yang merupakan cacat molekul mtDNA. Riset ini dimulai dengan
pengambilan sampel individu dengan kriteria yang diinginkan yang memenuhi kriteria eksklusi pasien mengalami
mutasi dan bersifat heteroplasmi. Hasil riset ini, kami laporkan bahwa variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel
yang sama menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu tertentu, yang juga dikenal sebagai
heteroplasmi. Fenomena ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya sekuen daerah HVSI D-loop yang
memiliki poli-C melalui metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya beberapa subpopulasi
yang berbeda dalam satu sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang
berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa nukleotid mtDNA akibat
perbedaan panjang rangkaian poli-C. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk dilakukannya penelitian lebih
lanjut mengenai hubungan antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang mengandung urutan poli-C
melalui direct sequencing dengan variasi komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting dalam mempelajari
mutasi-mutasi mtDNA yang berhubungan dengan penyakit (disease-related mutations).

Kata kunci: Kloning, mtDNA, Heteroplasmi, Mutasi, Penyakit

I. PENDAHULUAN manusia terdiri atas gen-gen penyandi rRNA 12S dan 16S, 22
Riset DNA mitokondria dan aplikasi-aplikasinya dalam tRNA, dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai
berbagai bidang penelitian telah memberikan banyak respirasi. MtDNA juga memiliki urutan nukleotida non
manfaat. Salah satu tonggak penting yakni berhasilnya penyandi (non-coding region) yang disebut dengan daerah
penentuan urutan nukleotida mtDNA manusia secara Displacement-loop (D-loop) [3-4].
lengkap dengan ukuran 16.569 pasang basa (pb) yang Mitokondria memiliki genomnya sendiri yang
tersusun dalam bentuk lingkaran (sirkuler) dan urutan berbeda dengan genom inti yang terdapat pada matriksnya,
revisinya [1-2]. Penemuan Anderson dan Andrews ini yang dikenal sebagai DNA mitokondria [5-6]. MtDNA
berdasarkan konvensi, selanjutnya dijadikan standar dalam berbentuk sirkuler dan memiliki untai ganda yang terdiri
berbagai studi genetika molekul terutama yang berkaitan atas untai Heavy (H) dan untai Light (L). Penamaan ini
dengan polimorfisme mtDNA manusia. Organisasi mtDNA didasarkan pada perbedaan densitas tiap untai dalam
0196: Yohanis Ngili dkk. KO-169

gradien denaturan cessium chloride (CsCl), di mana untai H nukleotida mtDNA manusia dari Indonesia yang
memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dikomparasi dengan data mutasi pada mitomap.
dengan untai L karena untai H memiliki lebih banyak basa-
basa purin yang memiliki dua buah cincin pada strukturnya.
Untai L memiliki komposisi basa sebagai berikut T 24,7%, C
31,2%, A 30,9%, dan G 13,2%. Dapat dilihat bahwa III. HASIL DAN PEMBAHASAN
komposisi basa purin (A+G) lebih kecil (44,1%) Penyebab ketidakberhasilan penentuan urutan daerah
dibandingkan dengan basa pirimidin (T+C), yaitu 55,9% [7- HVSI mtDNA manusia yang mengandung poli-C malalui
8]. direct sequencing dan keberhasilan sekuensing setelah kloning
MtDNA tidak memiliki intron dan semua gen pengode diduga terjadi karena adanya fenomena heteroplasmi. Pada
terletak berdampingan [1,9]. Selain gen pengode tadi, DNA bagian ini akan disajikan hasil dan pembahasan untuk
mitokondria memiliki daerah yang tidak mengkode, mulai menguji hipotesis tersebut dalam empat bagian besar yang
dari nukleotida 16024 sampai 576 dan terletak di antara gen meliputi (1) Screening klon rekombinan (2) Isolasi DNA
tRNApro dan tRNAphe. Daerah yang tidak mengode ini plasmid, (3) Sekuensing DNA plasmid dan (4) Analisis
mengandung daerah dengan variasi tinggi yang disebut urutan secara in-silico daerah HVI dan HV2 DNA
dengan displacement loop (D-loop) [10]. D-loop memiliki dua mitokondria manusia.
daerah yang sangat bervariasi, yaitu HVS I pada nukleotida
16024-16383 dan HVS II pada nukleotida 57-372. Selain D- A. Screening klon rekombinan
loop, daerah yang tidak mengode juga mengandung origin of Tahapan screening ini dilakukan untuk melihat apakah
replication untuk untai H (OH) dan promoter untuk untai H klon-klon dari dua sampel individu berbeda, yang disimpan
dan L (PL dan PH), oleh karena itu sering disebut daerah dalam stok gliserol mengandung plasmid yang membawa
pengontrol (control region). Selain mengandung daerah DNA sisipan daerah HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb. Vektor
dengan variasi tinggi, daerah yang tidak mengode juga plasmid yang digunakan adalah pGEM-T (Gambar 1).
memiliki tiga daerah yang lestari, yang disebut dengan Vektor pGEM-T memiliki beberapa gen yang penting untuk
Conserved Sequence Block (CSB) I, II, dan III. Daerah yang proses screening, di antaranya gen resisten ampisilin (Ampr)
lestari ini diduga memegang peranan penting dalam
yang mengkode  -laktamase. Enzim ini akan
replikasi mtDNA [11-12].
mendegradasi ampisilin sehingga bakteri yang membawa
plasmid pGEM-T dapat tumbuh pada media yang
II. METODE PENELITIAN mengandung ampisilin. Gen penting lainnya adalah gen lacZ
Strategi pelaksanaan riset untuk mendapatkan data
yang mengkode  -galaktosidase. Gen lacZ ini diinduksi
primer/data laboratorium urutan nukleotida terbagi dalam
tiga tahapan pelaksanaan utama yakni Isolasi dan PCR oleh senyawa IPTG (isopropylthio-  -D-galactoside). Enzim
dengan metode repli-G, kloning dan rekombinasi mtDNA,  -galaktosidase dapat bereaksi dengan X-gal (5-bromo-4-
dan sekuensing serta analisis mutasi nukleotida pada sampel
chloro-3-indolyl-  -D-galactoside), yaitu suatu senyawa tidak
manusia serta menemukan-pengujian mutasi penyebab
penyakit. berwarna, menghasilkan produk 5-bromo-4-kloroindigo
Pengolahan data sekunder mtDNA terdiri dari sejumlah yang berwarna biru, sehingga jika bakteri pembawa plasmid
tahapan proses penyusunan dan penjajaran (alignment) basis ditumbuhkan pada media mengandung IPTG dan X-gal
data variasi nukleotida pada daerah polimorfik mtDNA akan terbentuk koloni berwarna biru. Penyisipan daerah D-
manusia serta diakhiri dengan analisis variasi nukleotida loop: HVSI mtDNA manusia sepanjang 0,4 kb pada gen lacZ
berdasarkan basis data yang disusun berdasarkan mutasi menyebabkan tidak terekspresikannya  -galaktosidase,
mtDNA penyebab penyakit. Tahapan pengolahan data sehingga bakteri yang ditumbuhkan pada media
sekunder adalah meliputi: pengumpulan data mtDNA mengandung IPTG dan X-gal akan membentuk koloni
manusia dari GenBank dan konsorsium penyedia data berwarna putih dan bukan biru.
nukleotida lengkap seperti EMBL dan DDBJ; penentuan Atas dasar ini, setiap klon sampel ditumbuhkan pada
variasi nukleotida terhadap CRS maupun rCRS; penyusunan media LBA yang mengandung IPTG dan X-gal. Sepuluh
basis data variasi nukleotida, pembuatan matriks variasi klon sampel Papua WMN dan satu klon sampel Papua TLK
nukleotida mtDNA penyebab penyakit, penjajaran data membentuk koloni berwarna putih, sementara satu klon
variasi nukleotida terhadap CRS; dan analisis variasi mutasi sampel Papua TLK lainnya membentuk koloni berwarna
biru.
KO-170 0196: Yohanis Ngili dkk.

Gambar 1. Peta Vektor pGEM-T. Vektor ini memiliki gen-gen yang penting untuk proses screening, diantaranya gen
resisten ampisilin (Ampr) dan gen lacZ yang mengkode  -galaktosidase. Daerah pengontrol gen D-loop
DNA mitokondria manusia: HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb tersisipkan pada gen lacZ. (Promega).

B. Isolasi DNA plasmid konformasi nicked circular. Plasmid hasil isolasi ini tidak
Teknik isolasi DNA plasmid dilakukan menggunakan dapat ditentukan ukurannya melalui perbandingan dengan
metode Maniatis termodifikasi untuk melihat apakah koloni penanda  /HindIII karena bentuknya yang masih sirkuler.
putih membawa DNA sisipan yang tepat atau tidak pada Supaya dapat ditentukan ukurannya, plasmid dilinearkan
sampel Papua. Untuk itu, sel bakteri dilisis terlebih dahulu terlebih dahulu dengan cara dipotong oleh enzim restriksi
menggunakan larutan pelisis sel. Lisozim yang terkandung PstI. Enzim PstI mengenali urutan CTGCA/G yang terdapat
dalam larutan tersebut akan menghancurkan dinding sel pada vektor pGEM dan tidak pada fragmen 0,4 kb daerah
bakteri. SDS (sodium dodecyl sulphate) akan melarutkan Pengontrol Gen: HVSI mtDNA. Hasil pemotongan dianalisis
membran sel dan mendenaturasi protein. Adanya NaOH dengan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) menggunakan
dalam larutan pelisis sel membantu mendenaturasi protein penanda  /HindIII.
dan menyebabkan dua untai pada DNA non-supercoiled Setelah dipotong dengan enzim PstI, diperoleh satu
(fragmen linear DNA kromosom) terpisah dan dapat pita pada gel elektroforesis. Hal ini menunjukkan bahwa
dihilangkan dari larutan. Larutan III yang ditambahkan restriksi berhasil dilakukan. Pita yang diperoleh terletak di
selanjutnya mengandung CH3COOH yang akan menetralisir antara pita 4 dan 5 penanda  /HindIII yang berukuran 4364
kondisi alkali karena NaOH dan K+ menyebabkan SDS, yang
dan 2322 pb. Pita plasmid sampel Papua WMN 2 dan 3
berasosiasi dengan protein dan fragmen membran,
sejajar dengan Papua WMN 1, yang merupakan sampel yang
mengendap. Sentrifugasi akan menghilangkan komponen-
sudah diketahui membawa DNA sisipan daerah HVSI
komponen sel sehingga dapat diperoleh DNA plasmid.
mtDNA sepanjang 0,4 kb, sehingga dapat diketahui bahwa
Berhasil atau tidaknya isolasi plasmid yang dilakukan
ukuran Papua WMN 2 dan 3 adalah sama dengan Papua
dapat diketahui melalui analisis menggunakan elektroforesis
WMN 1 yaitu 3,4 kb.
gel agarosa 1% (b/v) dengan penanda  /HindIII.
Hasil isolasi plasmid menghasilkan beberapa pita C. Sekuensing DNA Plasmid
pada gel elektroforesis. Munculnya beberapa pita Plasmid yang telah diyakini membawa DNA sisipan
menandakan isolasi plasmid berhasil dilakukan karena pita- berupa daerah HVSI DNA mitokondria sepanjang 0,4 kb
pita tersebut mewakili beberapa konformasi plasmid yang pada daerah HV1 kemudian ditentukan urutannya dengan
mobilitasnya pada gel agarosa berbeda-beda. Konformasi metode Dideoksi Sanger. Plasmid pGEM-T telah dilengkapi
tersebut adalah superhelical circular, nicked circular, dan linear. sisi pengenalan primer universal T7 forward dan SP6 reverse
Plasmid dengan konformasi superhelical circular memiliki (Gambar 1). Reaksi sekuensing dilakukan oleh Macrogen
mobilitas paling tinggi karena bentuknya yang kecil dan menggunakan primer SP6 reverse berukuran 18 nukleotida
compact, diikuti oleh plamid dengan konformasi linear, dan dengan urutan 5’-ATTTAGGTGACACTATAG-3’ (Gambar
yang mobilitasnya paling rendah adalah plasmid dengan
0196: Yohanis Ngili dkk. KO-171

2). Prinsip reaksi sekuensing dengan metode Dideoksi Standar rCRS pada posisi 16182-16193 memiliki urutan
Sanger adalah penghentian/terminasi DNA polimerase yang terdiri atas dua A, sembilan C, dan satu T. Seperti telah
dengan penambahan dideoksinukleotida trifosfat (ddNTP) disebutkan di atas, mutasi T16189C menyebabkan
yang kehilangan gugus hidroksi pada karbon 3’ dari gula terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 10C. Pada sampel
ribosa. Hilangnya gugus hidroksi ini menyebabkan DNA Papua TLK, rangkaian ini diperpanjang menjadi 12C dengan
polimerase tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester adanya mutasi A16182C dan A16183C (Tabel 2). Hasil
antara dNTP sebelumnya dengan ddNTP sehingga sekuensing klon lain pada penelitian terdahulu, Papua TLKa
perpanjangan rantai DNA oleh DNA polimerase terhenti menunjukkan adanya mutasi lain selain mutasi-mutasi
(Sanger et al., 1977). tersebut di atas, yaitu insersi berupa penyisipan tiga C pada
posisi antara 16182 dan 16193 menghasilkan rangkaian poli-
D. Analisis urutan daerah HVSI pengontrol gen mtDNA C dengan panjang 15C. Variasi panjang rangkaian poli-C
Pada posisi antara 16184-16193, standar rCRS memiliki dua klon ini menunjukkan bahwa sampel Papua TLK
urutan yang terdiri atas sembilan C dan satu T. Mutasi mengalami heteroplasmi. Perbandingan elektroforegram
substitusi T menjadi C pada posisi 16189 telah banyak setiap sampel Papua TLK dengan CRS ditunjukkan pada
dijumpai dan dapat membagi populasi menjadi dua bagian, Gambar 3.
yaitu 83% dan 17%, masing-masing untuk populasi T dan C. Adanya subpopulasi DNA mitokondria pada individu
Mutasi ini juga menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C tertentu atau yang dikenal sebagai heteroplasmi seperti
sepanjang 10C. Hasil perbandingan urutan setiap klon ditunjukkan dua sampel yang dianalisis di duga kuat
sampel Papua WMN (Papua WMN 1, 2, dan 3) terhadap CRS merupakan penyebab tidak terbacanya urutan nukleotida
menunjukkan adanya mutasi T16189C ini. Adanya insersi setelah rangkaian poli-C melalui direct sequencing. Campuran
satu C pada posisi antara 16184 dan 16193 untuk klon Papua subpopulasi yang berbeda diduga menyebabkan detektor
WMN 1/2 serta insersi dua C pada posisi yang sama untuk sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang juga
klon Papua WMN 3 memperpanjang rangkaian poli-C yang berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi
terbentuk menjadi 11C dan 12C untuk masing-masingnya. karena pergeseran basa akibat perbedaan panjang rangkaian
Perbandingan urutan sampel Papua WMN dengan CRS poli-C tadi, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dua sinyal
ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Hasil sekuensing klon fluoresens yang berbeda akan terdeteksi pada
yang berbeda yang dilakukan pada penelitian terdahulu, elektroforegram berupa pita yang tidak tajam, bertumpuk
Papua WMNa juga menunjukkan adanya insersi satu C pada dan intensitasnya sangat rendah. Kloning dapat mengatasi
posisi antara 16184 dan 16193. Hasil perbandingan urutan masalah ini karena setiap klon yang disekuensing hanya
antara klon-klon ini menunjukkan adanya heteroplasmi terdiri dari satu populasi DNA mitokondria tertentu saja.
berupa variasi panjang rangkaian poli-C, yaitu 11C untuk
klon Papua WMN 1/2,a dan 12C untuk klon Papua WMN 3
(Tabel 1).

Gambar 2. DNA hasil rekombinan. Plasmid pGEM-T berukuran 3,0 kb yang telah membawa DNA sisipan berupa
daerah pengontrol gen mtDNA: HVSI berukuran 0,4 kb sehingga diperoleh DNA rekombinan berukuran 3,4
kb.

Tabel 1. Perbandingan urutan sampel papua WMN terhadap rCRS dan antarklon. keempat klon Papua WMN memiliki
mutasi T16189C dan insersi pada posisi antara 16184 dan 16193 terhadap rCRS.
KO-172 0196: Yohanis Ngili dkk.

Insersi 1

Insersi 2
16184

16185

16186

16187

16188

16189

16190

16191

16191

16193
rCRS C C C C C T C C C C X X
Papua 08001 1 C C C C C C C C C C C X
Papua 08001 2 C C C C C C C C C C C X
Papua 08001 a C C C C C C C C C C C X
Papua 08001 3 C C C C C C C C C C C C
Tabel 2. Perbandingan Urutan Sampel Papua TLK Terhadap CRS dan Terhadap Antarklon.

Insersi 1

Insersi 2

Insersi 3
16182

16183

16184

16185

16186

16187

16188

16189

16190

16191

16192

16193
CRS A A C C C C C T C C C C X X X
WMN 1 C C C C C C C C C C C C X X X
WMN a C C C C C C C C C C C C C C C

Catatan: Kedua klon Papua WMN memiliki mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Papua TLKa memiliki insersi 3C
pada posisi antara 16182 dan 16193 sedangkan Papua TLK 1 tidak sehingga terdapat panjang poli-C yang berbeda
menjadi masing-masing15C dan 12C Adanya subpopulasi pada sampel Papua WMN dikenal dengan
heteroplasmi. Mutasi terhadap CRS ditunjukkan dengan warna merah.

2A+9C+T 12C 15C


rCRS Papua TLK 1 Papua TLK a
Gambar 3. Rangkaian poli-C setiap klon sampel papua TLK. Perbandingan setiap klon Papua TLK terhadap CRS
menunjukkan adanya mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Panjang rangkaian poli-C Papua TLK 1 dan
Papua TLKa berbeda, masing-masing 12C dan 15C, karena pada Papua TLKa terdapat insersi 3C pada posisi
antara 16182 dan 16193. Catatan: Ins. adalah singkatan untuk insersi.

Papua WMN 1, 2, a AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG A


AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG
Papua WMN 3 AAAACCCCCCCCCCCCATGCTTACAA
Papua TLK a AACCCCCCCCCCCCCCCATGCTTACA B
Papua TLK 1 AACCCCCCCCCCCCATGCTTACAAGC
Gambar 4. Heteroplasmi Berupa Variasi Panjang Rangkaian Poli-C Sampel Papua WMN (A) dan Papua TLK (B). Adanya
heteroplasmi menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi
yang sama (daerah berwarna biru pada gambar) sehingga urutan setelah poli-C tidak dapat lagi ditentukan
melalui direct sequencing.
0196: Yohanis Ngili dkk. KO-173

Heteroplasmi pada kedua sampel dapat terdeteksi mtDNA Homoplasmic Variants, Human Mutation,
karena subpopulasi yang berbeda terdapat dalam jumlah Online, Wiley-Liss, inc.
yang proporsional. Jika salah satu subpopulasi sangat [4] Handoko, H.Y., Lum, J.K., Gustiani, Rismalia,
dominan terhadap yang lain, maka diduga heteroplasmi Kartapradja, H., Salam, A.M.S., Marzuki, S., (2001),
tidak akan terdeteksi karena sekuensing hanya membaca Length Variations in the COII-tRNALys Intergenic
fragmen yang dominan saja. Untuk membuktikan lebih Region of Mitochondrial DNA in Indonesian
lanjut hal ini perlu dilakukan sekuensing campuran klon Populations, Human Biology, 73 (2), page 205-223
yang mewakili subpopulasi yang berbeda dengan komposisi [5] Lertrit, P., Kapsa, R.M.I., Jean-Francois, M.J.B.,
yang bervariasi. Hal lain yang mendukung pernyataan ini Thyagarajan, D., Noer, A.S., Marzuki, S., and Byrne,
adalah kasus heteroplasmi pada daerah coding DNA E., (1994), Mitochondrial DNA polymorphism in
mitokondria. Oleh karena daerah ini mengode asam amino, disease: a possible contributor to respiratory
maka perubahan berupa substitusi satu basa dapat dysfunction, Hum. Mol. Genet. 3 page 1973-1981.
mengubah urutan asam amino sehingga dapat menimbulkan [6] Marzuki, S., Noer, A.S., Lertrit, P., Thyagarajan, D.,
penyakit. Tetapi apabila populasi mtDNA yang tidak Kapsa, R.M.I., Uttahanaphol, P., Byrne, E., (1991),
mengalami mutasi jauh lebih dominan, penyakit tidak Normal variants of human mitochondrial DNA and
terdeteksi pada individu tersebut. translation products: the building of a reference data
base, Hum. Genet. 88 (2) page 139-145.
IV.KESIMPULAN [7] Mathew, C.K., and Van Holde, K.E., (1999),
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Biochemistry, The Benjamin/ Cumming Publishing
variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel yang sama Company Inc., Menlopark, California.
menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu [8] Moraes, C.T., Lesley Kenyon, and Huiling Hao,
tertentu, yang juga dikenal sebagai heteroplasmi. Fenomena (1999), Mechanisms of Human Mitochondrial DNA
ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya Maintenance: The Determining Role of Primary
sekuen daerah HVSI D-loop yang memiliki poli-C melalui Sequence and Length over Function, Molecular Biology
metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena of The Cell, Vol. 10, October, page 3345-3356
adanya beberapa subpopulasi yang berbeda dalam satu [9] Wallace, D.C., (1997), Mitochondrial DNA in Aging
sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima and Disease, Scientific American, August, page 22-29.
dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi yang sama. [10] Thyagarajan D., Shanske S., Vazquez-Memije M., de
Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa Vivo D., Dimauro S., (1995), A novel mitochondrial
nukleotid mtDNA akibat perbedaan panjang rangkaian poli- ATPase 6 point mutation in familial bilateral striatal
C tadi. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk necrosis, Ann. Neurol, 38, page 468-472.
dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan [11] Wallace D.C., Singh G., Lott M.T., Hodge J.A., Schurr
antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang T.G., Lezza A.M., (1988), Mitochondrial DNA
mengandung poli-C melalui direct sequencing dengan variasi mutation associated with Leber’s hereditary optic
komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting neuropathy, Science, 242. page 1427-1430
dalam mempelajari mutasi mtDNA yang berhubungan [12] Ngili, Y., Ubyaan, R., Palit, E.I.Y., Bolly, H.M.B., and
dengan penyakit (disease-related mutations). Noer, A.S., (2012a), Nucleotide Mutation Variants on
D-Loop HVS1/HVS2 Mitochondrial DNA Region:
Studies on Papuan Population, Indonesian, European
DAFTAR PUSTAKA Journal of Scientific Research, 72, pp. 64-73.
[1] Anderson, S., Bankier, A.T., Barrell, B.G., de Bruijn, [13] Cheng, S., and Kolmodin, L.A., (1997), XL PCR
M.H., Coulson, A.R., Drouin, J., Eperon, I.C., Nierlich, amplification of long targets from genomic DNA,
D.P., Roe, B.A., Sanger, F., Schreier, P.H., Smith, A.J., dalam buku Methods in Molecular Biology: PCR
Staden, R., and Young, I.G., (1981), Sequence and Cloning Protocols, Volume 67, edited by Bruce A.
organization of the human mitochondrial genome, White, Humana Press, Totowa, New Jersey, page 17 –
Nature, 290 (5806) page 457-467. 29.
[2] Andrews, R.M., Kubacka, I., Chinnery, P.F., [14] Noer, A.S., Sudoyo, H., Lertrit, P., Thyagarajan, D.,
Lightowlers, R.N., Turnbull, D.M., and Howell, N. Uttahanaphol P., Kapsa, R.M.I., Byrne, E., and
(1999), Reanalysis and revision of the cambridge Marzuki, S., (1991), A tRNALys mutation in the
reference sequence for human mitochondrial DNA, mtDNA is the causal genetic lesion underlying
Nature Genetics, 23, 147. myoclonic epilepsy and ragged-red fiber (MERRF)
[3] Crimi, M., Sciacco, M., Galbiati, S., Bordoni, A., syndrome, Am. J. of Hum. Genet. 49 (4) page 715-722.
Malferrari, G., Del Bo, R., Biunno, I., Bresolin, N.,
Comi 1, G.P., (2002), A Collection of 33 Novel Human
KO-174 0196: Yohanis Ngili dkk.

[15] Ngili. Y., Bolly, H.M.B., Ubyaan, R., Jukwati, and


Palit, E.I.Y., (2012b), Studies on Specific Nucleotide
Mutations in the Coding Region of the ATP6 Gene of
Human Mitochondrial Genome in Populations of
Papuan Province-Indonesia, Australian Journal of Basic
and Applied Sciences, 6, pp. 111-118
[16] Cheng, S., Fockler, C., Barnes, M.W., and Higuchi, R.,
(1994), Effective amplification of long target from
cloned inserts and human genomic DNA, Proc. of the
Natl. Acad. of Sci. of the USA, 91, page 5695-5699.
[17] Ngili, Y., Palit, E.I.Y., Bolly, H.M.B., and Ubyaan, R.,
(2012c), Cloning and Analysis of Heteroplasmy in
Hypervariable Segment I (HVS1) D-loop in
Mitochondrial DNA of Human Isolates of Timika and
Wamena in Highlands of Papuan Province, Indonesia,
Journal of Applied Sciences Research, 8, pp. 2232-2240
[18] Barnes, M.W., (1994), PCR amplification of up to 35-
kb DNA with high fidelity and high yield from 
bacteriophage templates, Proc. of the Natl. Acad. of Sci.
of the USA volume 91, page 2216-2220.
[19] Noer, A.S., (1991), Molecular Genetics of
Mitochondrial Encephalopaties, A Thesis Presented
for the degree of Doctor of Philosophy Department of
Biochem. Monash University, melbourne, Clayton,
Victoria, Australia.

Anda mungkin juga menyukai