Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan dan
menerbitkan Panduan Manajemen Nyeri di Rumah Sakit Umum Ganesha.
Panduan Manajemen Nyeri di Rumah Sakit Umum Ganesha akan digunakan
sebagai acuan dalam menjalankan program Rumah Sakit.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih serta penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
memberikan masukan dalam penyusunan Panduan Manajemen Nyeri di Rumah
Sakit Umum Ganesha.
Semoga panduan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam
melakukan pelayanan pasien di Rumah Sakit Umum Ganesha.

Gianyar, Januari 2019


Penulis

i
DAFTAR ISI

SK Direktur tentang Pemberlakuan Panduan Manajemen Nyeri di Rumah Sakit


Umum Ganesha
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I DEFINISI..............................................................................................1
BAB II RUANG LINGKUP.............................................................................3
BAB III TATA LAKSANA...............................................................................4
BAB IV DOKUMENTASI...............................................................................36

ii
BAB I
DEFINISI

A. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan
kepribadian yang berbeda-beda dalam kehidupannya, perilaku dan
kepribadian didasarkan dari berbagai macam factor penyebab, salah satunya
factor lingkungan yang berusaha beradaptasi untuk bertahan dalam
kehidupannya. Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan
luar dalam beradaptasi menjaga kestabilan dan keseimbangan tubuh dengan
cara melalui berespon bila terjadi tubuh terkena hal yang negative dengan
berusaha menyeimbangkannya kembali sehingga dapat bertahan atas
serangan negative, missal mata kena debu, maka akan berusaha dengan
mengeluarkan air mata.
Keseimbangan juga terjadi dalam budaya daerah dimana manusia itu
tinggal, seperti kita ketahui bahwa di Indonesia sangat beragam budaya
dengan berbagai macam corak dan gaya, mulai dari logat bahasa yang
digunakan, cara berpakaian, tradisi perilaku, keyakinan dalam beragama,
maupun merespon atas kejadian dalam kehidupan sehari-harinya seperti
halnya dalam menangani rasa nyeri akibat terjadi perlukaan dalam tubuh
dengan direspon oleh manusia dengan berbagai macam adaptasi, mulai dari
suara meraung-raung, ada juga cukup dengan keluar air mata dan kadang
dengan gelisah yang sangat.
Atas dasar tersebut maka sebagai pember terapi medis harus
mengetahui atas berbagai perilaku dan budaya yang ada di Indonesia
sehingga dalam penanganan terhadap nyeri yang dirasakan oleh setiap orang
dapat melakukan pengkajian dan tindakan pemberian terapi secara obyektif,
maka untuk itu RSU Ganesha menyusun panduan dalam penanganan nyeri.

B. PENGERTIAN
Manajemen nyeri atau pain management adalah salah satu bagian dari
disiplin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan
nyeri. Management nyeri ini menggunakan pendekatan multidisiplin yang

1
didalamnya termasuk pendekatan farmakologikal , non farmakologikal dan
psikologikal.
Dibawah ini beberapa definisi nyeri :
1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan
adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman
sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan
jaringan. (International Association for the Study of Pain).
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau
penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama.
Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Panduan manajemen nyeri ini disusun dengan tujuan adanya
standarisasi dalam assesmen dan manajemen nyeri di RSU Ganesha
sehingga kualitas pelayanan kesehatan, khususnya penanganan nyeri di
RSU Ganesha semakin baik.
2. Tujuan Khusus
 Membantu pasien dalam mengontrol nyeri.
 Memanajemen nyeri secara optimal
 Mengurangi risiko lanjut dari efek samping nyeri tersebut, yang pada
akhirnya pasien mampu mengontrol ataupun nyeri yang dirasa tersebut
hilang.

BAB II
RUANG LINGKUP

RSU Ganesha berupaya secara intensif untuk mengelola rasa nyeri


tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai tindakan medis, tindakan

2
keperawatan ataupun prosedur diagnostik pada pasien dapat di minimalkan atau
dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan
oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien. Nyeri yang dirasakan pasien dikelola
dengan melakukan pemantauan secara kontinyu dan terencana. Ruang lingkup
pelayanan nyeri meliputi di semua unit pelayanan RSU Ganesha.

BAB III
TATA LAKSANA

Penatalaksanaan nyeri adalah cara meringankan nyeri atau mengurangi


nyeri sampai tingkat kenyamanan yang dapat diterima klien.

A. ASSESMENT NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
- Onset nyeri : akut atau kronik, traumatik atau non – traumatik.
- Karakter dan derajat keparahan nyeri : nyeri tumpul, nyeri tajam,
rasa terbakar tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
- Pola penjalaran / penyebaran nyeri
- Durasi dan lokasi nyeri

3
- Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan
mual/ muntah, atau gangguan keseimbangan / control motorik
- Faktor yang memperberat dan memperingan
- Kronisitas
- Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respons terapi
- Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
- Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
- Penggunaan alat bantu
- Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas
hidup dasar (activity of daily living)
- Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat
yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
c. Riwayat psiko – sosial
- Riwayat konsumsi alcohol, merokok, atau narkotika
- Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
- Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri
- Pembatasan / restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stress. Pertimbangkan juga aktivitas
penggantinya.
- Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri)
dapat menimbulkan pengruh negatif terhadap motivasi dan
kooperasi pasien dengan program penanganan / manajemen nyeri
ke depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan
dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
- Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan
stres bagi pasien / keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
- Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar, merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung
e. Obat – obatan dan alergi
- Daftar obat – obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS
mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36% mengkonsumsi
vitamin)

4
- Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi,
efektivitas, dan efek samping
- Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat –
obatan dengan efek samping kognitif dan fisik
f. Riwayat keluarga
- Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetic
g. Asesmen system organ yang komprehensif
- Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner,
gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin,
dan musculoskeletal)
- Gejala konstitusional : penurunan berat badan, nyeri malam hari,
keringat malam, dan sebagainya.

2. Assesmen nyeri
a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric rating scale
- Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun
yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas
nyeri yang dirasakanya
- Instruksi : pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0-10.
 0 = tidak nyeri
 1-3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari – hari)
 4-6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari –
hari )
 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari –
hari)

b. Wong baker FACES Pain Scale


- Indikasi : pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak
dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan
asesmen wong baker faces pain scale
- Intruksi : pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana
yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi
dan durasi nyeri.
 0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
 2-3 = sedikit nyeri
 4 -5 = cukup nyeri
 6-7 = lumayan nyeri
 8-9 = sangat nyeri
 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

5
c. COMFORT scale
- Indikasi : pasien bayi, anak dan dewasa di ruang rawat intensif /
kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale dan Wong – Baker FACES
Pain Scale.
- Intruksi : terdapat 9 katagori dengan setiap kategori memiliki skor
1-5, dengan skor total antara 9-45.
 Kewaspadaan
 Ketenangan
 Distress pernafasan
 Menanggis
 Pergerakan
 Tonus otot
 Tegangan wajah
 Tekanan darah basal
 Denyut jantung basal

6
Katarogori Skor Tanggal /waktu
Kewaspada 1-Tidur pulas /nyenyak
2-tidur kurang nyenyak
an
3-gelisah
4-sadar sepenuhnya dan waspada
5-hiper alert
Ketenangan 1-tenang
2-agak cemas
3-cemas
4-sangat cemas
5-panic
Distress 1-tidak ada respirasi spontan dan
pernafasan tidak ada batuk
2- respirasi spontan dengan
sedikit / tidak ada respon terhadap
ventilasi
3- kadang – kadang batuk atau
terdapat tahanan terhadap ventilasi
4- sering batuk, terdapat tahanan/
perlawanan terhadap ventilator
5- melawan secara aktif terhadap
ventilator, batuk terus menerus /
tersedak
Menanggis 1- Bernafas dengan tenang
tidak menangis
2- Terisak-isak
3- Meraung
4- Menangis
5- Berteriak
Pergerakan 1- Tidak ada pergerakan
2- Kadang – kadang bergerak
perlahan
3- Sering bergerak perlahan
4- Pergerakan aktif / gelisah
5- Pergerakan aktif termasuk
badan dan kepala
Terus otot 1- Otot relaks sepenuhnya,
tida ada torus otot
2- Penurunan torus otot
3- Torus otot normal
4- Peningkatan torus otot dan
flesi jari tangan dan kaki
5- Kekakuan otot ekstrim dna
fleksi jari tangan dan kaki
Tegangan 1- Otot wajah relaks
wajah sepenuhnyan 7
2- Torus otot wajah normal,
tidak terlihat tegangan otot
d. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi
sedang assesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien
menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa
nyeri.
e. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut :
- Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
- Dilakukan pada : pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah
tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang
sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan,
sebelumnya transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah
sakit.
- Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat –
obatan intravena
- Pada nyeri akut / kronik lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1
jam setelah pemberian obat nyeri.
f. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba – tiba, terutama bila
sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya
diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca –
pembedahan, nyeri neuropatik).
g. Assessment nyeri NIPS (Neonatal Infant Pain Scale) untuk neonates

Assessment nyeri
Ekspresi wajah
0- Otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral
1- Meringis Otot wajah tegang , alis berkerut (ekspresi wajah
negatif )
Tangisan
0- Tidak menangis Tenang, tidak menangis
1- Merengek Mengerang lemah intermiten
2- Menangis keras Menangis kencang, melengking terus menerus
(catatan: menangis tanpa suara diberi skor bila bayi
diintubasi)

8
Pola napas
0- Relaks Bernapas biasa
1- Perubahan nafas Tarikan ireguler, lebih cepat dibanding biasa,
menahan napas, tersedak
Tungkai
0- Relaks Tidak ada kekakuan otot, gerakan tungkai biasa
1- Fleksi/ ekstensi Tegang kaku
Tingkat kesadaran
0- Tidur/ bangun Tenang tidur lelap atau bangun
1- Gelisah Sadar atau gelisah

Interpretasi:
Skor 0 tidak perlu intervensi
Skor 1-3 intervensi non-farmakologis
Skor 4-5 terapi analgetik non-opioid
Skor 6-7 terapi opioid

h. Assessment nyeri FLACC Behavioral Tool


(Face, Legs, Activity, Cry and Consolability)
Indikasi: anak usia < 3tahun atau anak dengan gangguan kognitif atau
pasien anak yang tidak dapat di nilai dengan skala lain.

0 1 2
Face = wajah Tidak ada Menyeringai, Menyeringai lebih
perubahan berkerut, menarik sering, tangan
ekspresi (senyum) diri, tidak tertarik mengepal,
menggigil, gemetar
Legs = tungkai Posisi normal atau Tidak nyaman, Mengejang/
relaksasi gelisah, tegang tungkai dinaikkan
ke atas
Activity = Posisi nyaman dan Menggeliat, Posisi badan
aktivitas normal, gerakan tegang, badan melengkung, kaku
ringan bolak balik, atau menghentak
bergerak tiba tiba, tegang,

9
pelan, terjaga dari menggesekkan
tidur badan
Cry = tangisan Tidak Mengerang, Menangis keras
menangis/merintih merengek, menjerit,
(posisi terjaga kadangkala mengerang, terisak,
atau tertidur menangis, menangis rewel
pulas) rewel setiap saat
Consolability Tenang, relaks, Minta dipeluk, Tidak nyaman dan
ingin bermain rewel tidak ada kontak
mata

Interpretasi:
Skor total dari lima parameter di atas menentukan tingkat keparahan
nyeri dengan skala 0 - 10. Nilai 10 menunjukan tingkat nyeri yang
hebat.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
- Tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh
- Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
- Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut
akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
- Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment),
atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema
b. Status mental
- Nilai orientasi pasien
- Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera
- Nilai kemampuan kognitif
- Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala – gejala depresi,
tidak ada harapan, atau cemas
c. Pemeriksaan nadi
- Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimatrisan
- Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris
- Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
- Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri

10
- Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera
ligament.
d. Pemeriksaan motorik
- Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan criteria di
bawah ini
Derajat Definisi

5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan


tahanan kuat

4 Mampu melawan tahanan ringan


3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontrasi otot

e. Pemeriksaan sensorik
- Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin
prick), getaran, dan suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
- Evaluasi nervus cranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh
nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala
- Periksa refleksi otot, nilai adanya asimetris dan klorus untuk
mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.
Reflex Segmen spinal
Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medical L5
Achilles S1

- Nilai adanya reflex babinski dan Hoffman (hasil positif


menunjukkan lesi upper motor neuron)
- Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi deficit serevelum
dengan melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari ke hidung,
pergerakan tumit ke tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes
keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi)

11
g. Pemeriksaan khusus
- Terdapat 5 tanda non – organik pada pasien dengan gejala nyeri
tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa
pasien dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis,
histeria, dan depresi.
- Kelima tanda ini adalah :
 Distribusi nyeri superficial atau non – anatomik
 Gangguan sensorik atau motorik non – anatomic
 Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over – reaktif)
 Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan
nyeri
 Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah – pindah)
saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi)
4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang
terkena
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang
berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi
otot.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan
respons terhadap terapi
f. Indikasi : kecurigaan saraf terjepit, mono / poli neuropati,
radikulopati

5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif


a. Pemeriksaan sesorik mekanik (tidak nyeri) : getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri) : tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi

6. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi
- Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang
belakang
- Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang
belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular
- Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih
atau ereksi

12
- Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
- Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi : bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri
- Foto polos : untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis,
neoplasma)
- MRI : gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang
(herniasi diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang
diskus, keganasan, kompresi tulang belakang, infeksi)
- CT-scan : evaluasi trauma tulang belakang hemiasi diskus,
stenosis spinal
- Radionuklida bone – scan : sangat bagus dalam mendeteksi
perubahan metabolism tulang (mendeteksi osteomyelitis dini,
fraktur kompresi yang kecil / minimal, keganasan primer,
netastasis tulang)

7. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi social

B. FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK


1. Lidokain tempel (Lidocain patch) 5 %
a. Berisi lidokain 5% (700 mg)
b. Mekanisme kerja : memblok aktivitas abnormal di kanal natrium
neuronal
c. Memberikan efek analgesic yang cukup baik ke jaringan local, tanpa
adanya efek anestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada
efek samping sistemik
d. Indikasi : sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia
pascaherpetik, neuropati diabetic, neuralgia pasca – pembedahan),
nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping : iritasi kulit ringan pada tempat menempelkan lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan : dapat memakai hingga 3 patchers di area
yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka),
dipakai selama <12jam dalam periode 24 jam.
2. Eutectie mixture of local anesthetics (EMLA)
a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%

13
b. Indikasi : anestesi topical genital untuk pembedahan minor superficial
dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi
c. Mekanisme kerja : efek anestesi (baal), dengan memblok total kanal
natrium saraf sensorik
d. Omset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek
anesthesia local pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi
kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kasa dilepas.
e. Kontraindikasi : methemoglobinemia idiopatik atau congenital
f. Dosis dan cara penggunaan olekkan krim EMLA dengan tebal pada
kulit dan tutuplah dengan kasa oklusif
3. Parasetamol
a. Efek analgesic untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesic yang
lebih besar
b. Dosis : 10mg/kg BB/kali dengan pemberian 3-4 sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
4. Obat – obatan inflamasi non steroid (OAINS)
a. Efek analgesic pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan
sedang anti piretik
b. Kontraindikasi : pasien dengan triad franklin (polip hidung,
angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid
c. Efek samping gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi renal,
peningkatan enzim hati
d. Ketorolak :
- Merupakan satu – satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral.
Efektif untuk nyeri sedang berat
- Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau
dikombinasikan dengan epioid untuk mendapat efek sinergistik dan
meminimalisasi efek samping opioid (deperesi pernafasan, sedasi,
stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi analgesic

5. Efek analgesic pada antidresan


a. Mekanisme kerja : memblok pengambilan kembali norepinefrin dan
serotonin sehingga meningkatkan efek neurotan suitter tersebut dan
meningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif
b. Indikasi : nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca – herpetic,
cedera saraf perifer, nyeri sentral)

14
c. Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine, despiramin :
efek antinosisptif perifer dosis 50-300 mgmg, sekali sehari
6. Anti – konvulsan
a. Carbanazepine : efektif untuk nyeri neuropatik, efek samping
samnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis : 400-1800 mg/hari (2-3
kali perhari) mulai dengan dosis kecil (2x100 mg), ditingkatkan
perminggu hingga dosis efektif
b. Gabapentin : merupakan
7. Antagonis kanal natrium
a. Indikasi : nyeri neuropatik dan pasca – operasi
b. Lidokain : dosis 2 mg / kg BB selama 20 menit, lalu dilanjutkan
dengan 1 – 3 mg/ kgBB/jam titrasi
c. Prokain :4-6,6mg/kgBB/hari
8. Antagonis kanal kalsium
a. Ziconotide : merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif
sebagai analgesik. Dosis 1-3 ug/hari. Efek samping : pusing, mual,
nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini
bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat
dihentikan
b. Nimodipin, verapamil : mengobati migraine dan sakit kepala kronik.
Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan
eskalasi dosis morfin
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih paten daripada OAINS oral, dengan
efek samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan
medikasi OAINS.
b. Indikasi : efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri
kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawahan neuropati DM,
fibromyalgia, neuralgia pasca – herpetic, nyeri pasca operasi.
c. Efek samping pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi
d. Jalur pemberian : intravena/epidural, rectal, dan oral
e. Dosis tramadol oral 3-4 kali 50 – 100 mg (perhari) dosis maksimal 400
mg dalam 24 jam
f. Titrasi : terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi,
terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi
yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh

Jadwal titrasi tramadol


Protocol Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasikan

15
titrasi untuk
Titrasi 10- 4x50 mg  2x50 mg  Lanjut usia
Selama 3  Risiko jatuh
hari selama 3 hari
hari  Sensitivitas
 Naikkan
medikasi
menjadi 3 x
50 mg
selama 3 hari
 Lanjutkan
dengan 4x50
mg
 Dapat
dinaikkan
sampai
tercapai efek
analgesik
yang
diinginkan
Titrasi 16- 4 x 25 mg  2 x 25 mg  Lanjjut usia
selama 3  Risiko jatuh
hari selama 3 hari
hari  Sensitivitas
 Naikkan
medikasi
menjadi
3x25mg
selama 3 hari
 Naikkan
menjadi
4x25mg
selama 3 hari
 Naikan
menjadi 2 x
50 mg dan 2
x 25 mg
selama 3 hari
 Naikkan
menjadi
4x50 mg

16
 Dapat
dinaikan
sampai
tercapai efek
analgesik
yang
diinginkan

10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung – dosis ) dan efeknya dapat
ditiadakan oleh nalokson
b. Contoh opioid yang sering digunakan morfin, sufentanil, meperidin
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut
e. Efek samping ;
1. Depresi pernafasan, dapat terjadi pada :
 Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian
secara infuse, opioid long acting
 Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepine, antihistamin,
antimemetik tertentu)
 Adanya kondisi tertentu : ganguan elektrolit, hipovelemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan
intracranial
 Obstructive sleep opnoes atau obstyruksi jalan nafas intermiten
2. Sedasi adalah indicator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi yaitu :
 0 = sadar penuh
 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah
dibangunkan
 3 = sedasi berat, samnolen, sukar dibangunkan
 S = tidur normal
3. System sarat pusat
 Euforia, halusinasi, miosis, kekekuan otot
 Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
4. Toksisitas metabolit
 Petidin (nopertidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklunus
multifokal, kejang

17
 Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca – bedah
 Pemberian morfin kronik menimbulkan gangguan fungsi ginjal,
terutama pada pasien usia > 70 tahun
5. Efek kardiovaskuler
 Tergantung jenis dosis, dan cara pemberian : status volume
intravasculer serta level aktivitas simpatetik
 Morfin menimbulkan vasodilatasi
 Petidin menimbulkan takikardi
6. Gastrointekstinal : mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah :
hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari
pergerakan berlebihan pasca-bedah atasi kecemasan passien, obat
antiemetik

Katagori Metokloprami Droprami Ondansetro Proklorperazi


d d n n fenotiazin
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis 8-24 6
rendah)
24 (dosis
tinggi)
Efek
++ ++ - +
samping :
- ++ - +
*
+ + - +
ekstrapiramid
al
* anti-
kolinergik
* sedasi
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
jam
Jalur Oral, IV,IM IV,IM Oral, IV Oral, IM
pemberian

11. Pemberian oral


 Sama efektifnya dengan pemberian parantal pada dosis yang sesuai
 Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral
12. Injeksi intramuscular
 Merupakan nite parenteral standar yang sering digunakan

18
 Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerahan tidak
dapat diandalkan
 Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin
13. Injeksi subkutan
14. Injeksi intravena
 Pilihan perental utama setelah pembedahan major
 Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus menerus
 Terdapat resiko depresi pernafasan pada pemberian yang tidak sesuai
dosis
15. Injeksi supraspinal :
 Lokasi mikroinjeksi terbaik : mesencephalic periaqueductal gray
PAG)
 Mekanisme kerja : memblok respon nosiseptif di otak
 Opioid intraserebroventikuler digunakan sebagai pereda nyeri pada
pasien kanker
16. Injeksi perifer
 Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anaetesi lokal (pada konsentrasi tinggi)
 Sering digunakan pada sendi lutut yang mengalami inflamasi

C. MANAJEMEN NYERI AKUT


1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu
2. Lakukan assesmen nyeri mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang
3. Tentukan mekanisme nyeri :
a. Nyeri somatik
- Nyeri diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebbakan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi
dan nyeri melalui nasiseptor kulit
- Karakteristik onset ceapat terlokalisasi dengan baik dan nyeri
bersifst tajam menusuk atau seperti tertikam
- Contoh nyeri akibat laserisasi sprain, fraktur dislokasi
b. Nyeri visceral
- Nasiseptor viscaceral lebih sedikit dibandingkan somatik sehingga
jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa
dilokalisasi bersifat difus, tummpul, seperti ditikam benda berat
- Penyebab iskemi nokrosis inflamasi perengangan ligement spasme
otot polos disertai organ berongga lumen
- Biasanya disertai dengan gejala otonomi seperti mual, muntah
hipotensi, bradikardia, berkeringat
c. Nyeri neuropatik :

19
- Berasal dari cedera jaringan saraf
- Sifat nyeri rasa terbakar, nyeri menjalar kesemutan alodinia (nyeri
saat disentuh) hiperlgesia
- Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif nyeri dialami pada tempat
cederanya )
- Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclorosis
hemiasi diskus AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi
/radioterapi
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya
a. Farmakologi gunakan step – ladder WHO
- OAINS efektif untuk nyeri ringan – sedangopioid efektif untuk
nyeri sedang berat
- Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan
2 ) dengan pemberian intermiten (pro re nata – prn) opioid kuat
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
- Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif /nyeri menjadi sedang berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 ( ganati dengan opioid kuat
dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1)
- Penggunaan opioid hrus ditrasi opioid standart yang sering
digunakan adalah morfin kodein
- Jika pasien memiliki kontrakdiksi absolud OINS dapat diberikan
opioid ringan
- Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati lakukan pengurangan
dosis secara bertahap

Mild pain Moderate pain Severre pain


Non opioids Weak opioids Strong opioids
Reguler Reguler Prn Reguler Prn
Prn

D. MANAJEMEN NYERI KRONIK


1. Lakukan assesmen nyeri :
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (katateristik nyeri, riwayat
manajemen nyeri sebelumnya
b. Pemeriksaan penunjang radiologi
c. Assesmen fungsional :

20
- Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecatatan /
disabilitas
- Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
- Nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
2. Tentukan mekanisme nyeri
a. Manajemen bergantung pada jenis klasifikasi nyerinya
b. Pasien sering mengalami 1 jenis nyeri
c. Terbagi menjadi 4 jenis :
- Nyeri neuropatik :
 Disebabkan oleh kerusakan / disfungsi somatosensorik
 Contoh neuropati DM, neuralgia trigeminal neuralgia psca
herpetik
 Katareristik nyeri persistem
 Fibroniyalgia gatal, kaku dan nyeri yang infus pada
musculoskeletal (bahu ekstremitas ) nyeri berlangsung selama
3 bulan
- Nyeri otot
 Mengenai otot leher, bahu , lengan punggung bawah panggul
dan ekstremitas bawah
 Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1 jenis otot
 Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive
 Tatalaksana mengembalikan fungsi otot
- Nyeri inflamasi ( dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif
- Nyeri mekanis / kompresi
3. Nyeri kronik nyeri yang persistem berlangsung 6 minggu
4. Assesmen lainnya
5. Manajenen nyeri kronik

E. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK


1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah sakit kepala kronik
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda
terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik :

Algoritma Manajemen Nyeri mendasar pada Pediatrik


a. Asesmen nyeri pada anak
 Nilai kateristik nyeri
 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif
dan neuropatik
 Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

21
b. Diagnosis penyebab primer dan sekunder

 Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini


 Kumpulkan gejala – gejala fisik yang ada
 Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

c. Pilih terapi yang sesuai

Obat Non – obat


- Analgesik - Kognitif
- Analgesik adjuvant - Fisik
- Anestesi - Perilaku

d. Implementasi rencana manajemen nyeri


 Berikan umpan balik mengenai penyebab yang mempengaruhi
nyeri kepada orang tua (dan anak)
 Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
 Revisi rencana jika diperlukan

5. Pemberian analgesik
a. By the ladder pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat)
b. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1. Naiklah le
level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten)
c. Pada pasien yang mendapat terapi opioid pemberian parasetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant
d. Analgesik adjuvant
 Merupakan otot yang memiliki indikasi primer bukan untuk
nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu
 Pada anak dengan nyeri neuropatik dapat diberikan analgesik
adjuvant sebagai level 1
 Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropatik
- Analgesik multi – tujuan antidepresant, agonis adrenergic
alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical

22
- Analgesik untuk nyeri neuropatik antidepresant,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi lokal
- Analgesik untuk nyeri muckolossketal, relaksan otot,
benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka
6. By the clock mengacu pada waktu pemberian analgesik
7. By the child
8. By the mounth

F. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT


(GERIATRI)
1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65
tahun
2. Pada lansia prevelensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipat
dibandingkan dewasa muda
3. Penyakit yang sering menyebabakan nyeri pada lansia adalah artritis,
ksnker, neurolgia, trigeminal, pasca – herpetik, reumatika polimialgia dan
penyakit degenerative
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama / penyangga tubuh,
punggung tungkai bawah dan kaki
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah :
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri
geriatric
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keenganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional Pain Scale seperti dibawah ini :
Functional Pain Scale
Skala nyeri Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Dapat toleransi (aktivitas tidak terganggu
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit
terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat
menggunakan telepon, menonton TV, atau
membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat menggunakan
telepon, menonton TV, atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara
karena nyeri)

23
 Skor normal/yang diinginkan : 0-2

7. Intervensi non farmakologi


a. Terapi terminal pemberian pendinginan atau pemanasan di nosiseptif
untuk mengidentifikasi pelepasan opioid endogen
b. Stimulasi listrik pada saraf trankutan / perkutan dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi
e. Fisioterapi dan terapi okupasi
8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan )
a. Ansiolitik
b. Opioid
c. Analgesik adjuvant
9. Resiko efek samping OAINS meningkat pada lansia insiden perdarahan
gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi,
distribusi metabolisme, dan eleminasi
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik,
absorbsi sering tidak teratur kareana adanya penundaan waktu transit atau
sindrom malabsorbsi,
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih
singkat
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis
pengobatan
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat polifarmasi (misalnya
pasien mengkonsumsi analgesik antidepresant dan sedasi secara rutin
harian)
17. Prinsip dasar terapi farmakologi mulailah dengan dosis rendah lalu naik
perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibakan
19. Beberapa dosis yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid sebelumnya harus diberikan
kombinasi preparat semua dan obat pelunak fases
21. Pemilihan analgesik menggunakan 3 step ladder WHO sama dengan
OAINS dan manajemen pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan sedang analgesik non opioid
b. Nyeri sedang opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan
analgesik adjuvant
c. Nyeri berat opioid paten

24
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian
dosis dan hati – hati dalam memberikan obat kombinasi.

Algoritma Asesmen Nyeri Akut

Pasien mengeluh nyeri

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Asesmen nyeri
Apakah etiologi nyeri
ya
bersifat reversibel?
Prioritas utama: identifikasi
tidak dan atasi etiologi nyeri
 Lihat manajemen nyeri
Apakah nyeri berlangsung kronik.
ya
 Pertimbangkan untuk
> 6 minggu?
merujuk ke spesialis yang
tidak sesuai

Tentukan mekanisme nyeri


(pasien dapat mengalami > 1 jenis nyeri)

Nyeri somatic Nyeri viseral Nyeri neuropatik

Nyeri bersifat tajam, menusuk, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
terlokalisir, seperti ditikam ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
tumpul spesifik.
25
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7

Nyeri viseral Nyeri neuropatik


Nyeri somatic
 Antikonvulsan
 Parasetamol
 Kortikosteroid  Kortikosteroid
 Cold packs
 Anestesi lokal intraspinal  Blok neuron
 Kortikosteroid
 OAINS  OAINS
 Anestesi lokal (topical / infiltrasi)
 Opioid  Opioid
 OAINS
 Antidepresan trisiklik
 Opioid
(amitriptilin)
 Stimulasi taktil

Pilih alternatif terapi


yang lainnya
Pencegahan
tidak  Edukasi pasien
 Lihat
 Terapi farmakologi
manajemen ya
Apakah nyeri  Konsultasi (jika perlu)
nyeri
 Prosedur pembedahan
kronik. > 6 minggu?
 Non-farmakologi
 Pertimbang
kan untuk ya
merujuk ke tidak tidak
spesialiske
Kembali Mekanisme ya Analgesik adekuat?
yang sesuai
kotak nyeri sesuai? ya
‘tentukan Efek samping
mekanisme pengobatan?
nyeri’ tidak

Follow-up /
nilai ulang

Manajemen
efek samping

G. SKRINING / SELEKSI DAN PENANGANAN NYERI PADA PASIEN


RAWAT JALAN
1. Perawat, bidan, dokter jaga dan DPJP melakukan assesmen awal
terhadap nyeri pada semua pasien yang di periksa di rawat jalan
Poliklinik, Poli Umum dan IGD secara komprehensif.
2. Penilaian derajat nyeri dilakukan oleh perawat, bidan Dokter jaga dan
atau DPJP di semua unit pelayanan
3. Bila skor nyeri < 4 ( nyeri ringan ) DPJP- dokter jaga, perawat dan bidan
akan langsung melakukan penanganan nyeri

26
4. Bila skor nyeri ≥ 4 ( nyeri sedang – berat ) , DPJP langsung melakukan
konsultasi penanganan nyeri kepada dr Spesialis Anastesi dan terapi
intensif untuk penanganan nyeri pasien.
5. Evaluasi tatalaksana nyeri dan derajat nyeri dilakukan dalam 24 jam
setelah terapi dimulai.
6. Bila nyeri belum tertangani dg terapi yg telah diberikan, dapat diberikan
adjuvant analgesia lainnya dan dipertimbangkan rawat inap
7. Bila nyeri telah tertangani, pasien melakukan kontrol rawat jalan melalui
poliklinik masing – masing unit pelayanan
8. Hasil assesmen nyeri dan penanganannya didokumentasikan dalam
rekam medis pasien.

H. PELAYANAN MANAJEMEN NYERI PADA RSU GANESHA


1. Dokter, perawat dan bidan melakukan assesmen awal terhadap nyeri pada
semua pasien yang di periksa di RSU Ganesha secara komprehensif.
2. Penilaian intensitas nyeri pasien
a Jika Nyeri Ringan (1-3) » Tatalaksana oleh Perawat dan bidan
dengan tehnik Non Farmakology
b Jika Nyeri Sedang (4-6) » Tatalaksana oleh DPJP dgn Terapi
Farmakology.
c Jika Nyeri Berat (7-10) » Tatalaksana DPJP melakukan Konsultasi
penanganan nyeri dengan dokter Spesialis Anastesi dan melakukan
perawatan /pengobatan Bersama oleh DPJP dengan dokter Spesialis
Anastesi
3. Penanganan nyeri dilaksanakan sampai nyeri berkurang sampai skor
nyeri 4.
4. Bila skor nyeri < 4 dokter Sps Anastesi menyerahkan kembali
penanganan nyeri kepada DPJP dan perawatan nyeri kepada perawat dan
bidan.
5. Pada pasien yang dilakukan pembedahan, penanganan nyeri dimulai dari
preoperasi hingga pasca operasi atau selama DPJP tetap mengkonsulkan
untuk rawat bersama sampai skor nyeri 0.

I. PENCEGAHAN
a. Edukasi pasien:
 Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksananya.

27
 Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk
pasien
 Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika
memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
 Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen
nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan
jadwal control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
c. Medikasi saat pasien pulang
 Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat
beraktivitas seperti biasa / normal.
 Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.

BAB IV
DOKUMENTASI

Pendokumentasian manajemen nyeri dilakukan di semua unit


pelayanan RSU Ganesha dan terlampir dalam rekam medis pasien.

28
29

Anda mungkin juga menyukai