Anda di halaman 1dari 121

KAJIAN ATAS

KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR


TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Disusun oleh

Nama Peneliti/Pengkaji I : Surono, S.Sos, M.Si


NIP : 19720708 199212 1001
Pangkat/Golongan : Penata Tk. I / III.d
Jabatan : Widyaiswara Muda

Nama Peneliti/Pengkaji II : Mohamad Jafar, SE, MM


NIP : 19730316 199212 1001
Pangkat/Golongan : Penata Tk. I / III.d
Jabatan : Widyaiswara Muda

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


JAKARTA
2013
ABSTRAK

Surono dan Jafar, Mohamad, 2013, Kajian atas Kebijakan Pengenaan Bea
Keluar Atas Bijih (Raw Material atau Ore)Mineral

Fenomena utama yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya


kondisi eksploitasi sumber daya mineral secara massif namun kurang
memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Hasil pertambangan sektor industri hulu pertambangan mineral
sebagian besar diekspor dalam kondisi mentah. Padahal amanat Undang-
undang Nomor 4 tahun 2009 menginginkan adanya penciptaan nilai tambah atas
pemanfaatan sumber daya mineral untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Indonesia. Kondisi ini kemudian disikapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan
regulasi yang membatasi ekspor mineral dalam bentuk bijih dan sekaligus
dikenakan beban pajak berupa pungutan bea keluar.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah analisis tentang kebijakan (policy
research), dengan menggunakan metode analisis dampak regulasi (regulatory
impact assesment). Adapun jenis data yang dipergunakan adalah data kualitatif
yang dikombinasikan dengan data kuantitatif.
Berdasarkan analisis manfaat dan biaya, penelitian ini menyimpulkan
bahwa pilihan menerapkan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral sudah
tepat. Kebijakan bea keluar akan menurunkan angka volume ekspor bijih nikel
sekitar 21,8 juta ton untuk komoditi nikel dan bijih aluminium sekitar 29,8 juta ton.
Penurunan angka volume ekspor bijih mineral sebagai dampak pengendalian
ekspor akan diikuti dengan semakin menguatnya upaya-upaya pengembangan
sektor Industri hilir pertambangan mineral. Meskipun manfaat nyatanya belum
dirasakan saat ini namun iklim investasi sektor industri hilir pertambangan
mineral mulai bergairah.
Kebijakan bea keluar yang dibarengi dengan kebijakan pengendalian
ekspor bijih minireal telah mendorong investor untuk menanamkan modalnya
bagi industri hilir. Hingga bulan oktober 2013, tercatat sudah 110 proposal
pembangunan smelter bagi kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral telah
masuk ke kementerian ESDM. Namun yang dapat diverifikasi langsung oleh
kementerian ESDM baru sekitar 13 proposal.
Dari sisi fiskal, kebijakan bea keluar memberikan sumbangan yang cukup
signifikan bagi penerimaan negara. Meskipun tujuan mendasar bea keluar bijih
mineral tidak sama sekali untuk kepentingan penerimaan namun kontribusinya
cukup besar (sekitar 1,27%) dari total penerimaan DJBC di tahun 2012. Padahal
bea keluar atas mineral baru efektif dikenakan pada bulan Juni 2012.
Dari aspek kepentingan pengawasan, kebijakan bea keluar atas bijih
mineral telah memberikan kewenangan pengawasan kepada DJBC untuk
melakukan pemeriksaan fisik. Diharapkan dengan pemeriksaan fisik tersebut,
tingkat pelanggaran baik secara administratif maupun fisik akan dapat
diminimalisasi. Hal ini meberikan dampak yang sangat positif terhadap upaya-
upaya penertiban kegiatan ekspor mineral.

Kata kunci : bea keluar, bijih mineral,

ii
ABSTRACT

Surono dan Jafar, Mohamad, 2013, Studies on Policy Levy Imposition of


Upper Ore (Raw Material or Ore) Minerals

The main phenomenon behind this study is the conditions of massive


exploitation of mineral resources, but less economic adds value to the Indonesian
people as a whole. Results upstream mining mineral mining industry is mostly
exported in the raw state. Though the mandate of Undang-undang No. 4 Tahun
2009 wanted the creation of added value for the utilization of mineral resources
for the overall prosperity of the Indonesian people. This condition is then
addressed by the government by issuing regulations that restrict the export of
ores and minerals in the form of the tax burden at the same time in the form of
levies imposed export duties.
Type of research is the analysis of the policy using regulatory impact
assessment. The type of data used is qualitative data that is combined with
quantitative data.
Based on the analysis of benefits and costs, the study concluded that the
choice of applying the tax policy of the ore minerals are correct. Tax policy will
decrease the volume of nickel ore exports around 21.8 million tonnes of nickel
and aluminum ore around 29.8 million tonnes. Decrease in export volume as a
result of mineral ore export controls will be followed by further strengthening
development efforts downstream mineral mining industry sector. Despite the fact
the benefits have not been felt yet the current climate of investment in
downstream mineral mining industry began to passionately.
Export Tax policy coupled with minireal ore export control policy has
encouraged investors to invest for the downstream industry. As of October 2013,
there were already 110 proposals smelter for processing and refining minerals
ministry has been entered into the EMR. But that can be verified directly by the
ministry of new EMR about 13 proposals.
On the fiscal side, tax policy contribute significantly to the state revenue.
Although the fundamental purpose of mineral ore export duty at all to the benefit
of the reception but its contribution is quite large (approximately 1.27%) of total
revenue in 2012 DGCE. Though the above duties effectively imposed a new
mineral in June 2012.
From the aspect of control interest, export tax policy over mineral ores has
given oversight authority to DJBC to perform a physical examination. It is
expected that with the physical examination, the level of violations of both
administratively and physically will be minimized. This gave the very positive
impact on efforts to curb the export of minerals.

Keyword :export tax, raw materials (ore) minerals

iii
,
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
kajian akademis yang berjudul “ Kajian Atas Kebijakan Pengenaan Bea Keluar
Terhadap Bijih (Raw Material atau Ore) Mineral “.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ilmiah ini banyak pihak
yang telah memberikan dukungan dan saran serta masukan baik dari sisi
substansi maupun dari metodologi penulisan serta motivasi, sehingga dengan
segala kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada :
1. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK),
2. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Bea dan Cukai,
3. Direktur Teknis Kepabeanan DJBC,
4. Direktur Peraturan dan Penerimaan Pabean dan Cukai DJBC,
5. Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana BPPK,
6. Bapak Riyanto, selaku pembimbing metodologi penulisan,
7. Ibu Nanik Susilowati Rizain, selaku pembimbing substansi materi,
8. dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya kajian ilmiah ini.

Terakhir, Penulis menyadari bahwa kajian ini masih terdapat keterbatasan


dan kekurangan, sehingga masukan dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan untuk lebih sempurnanya kajian ilmiah ini. Semoga karya tulis kami ini
dapat memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan Badan Pendidikan
dan Pelatihan Keuangan .

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


ABSTRAK ................... ........................................................................................ ii
ABSTRACT ................ ........................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6
C. Ruang Lingkup ................................................................................ 7
D. Tujuan ............................................................................................. 8
E. Manfaat ........................................................................................... 8
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................ 9
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9
1. Penelitian Terdahulu ................................................................... 9
2. Bea Keluar Dari Sudut Pandang Kepabeanan ............................ 12
3. Konsep Ekonomi Sumber Daya Mineral dan Teori Permintaan. .. 17
B. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 26
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................... 29
A. Pendekatan Penelitian ..................................................................... 29
B. Jenis Penelitian ............................................................................... 30
C. Definisi Operasional Variabel........................................................... 31
D. Jenis dan Sumber data .................................................................... 31
E. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 32
F. Metode Analisis Data ....................................................................... 34
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................................................... 37
A. Data dan Fakta ................................................................................ 37
1. Gambaran Umum Sumber Daya Mineral.................................. ... 37
2. Kebijakan Sumber Daya Mineral di Indonesia dan Kronologis
Penetapan Bea Keluar atas Bijih Mineral.................................. .. 49
3. Aspek Teknis dan kendala yang Dihadapi DJBC...................... ... 57
B. Analisis Data dan Pembahasan Masalah......................................... 63
1. Perumusan Masalah dan Bentuk Regulasi............................... .. 63
2. Latar Belakang Kebijakan Bea Keluar...................................... .. 64
3. Alternatif Pilihan Kebijakan.............................................. ........... 68
4. Penilaian Terhadap Alternatif Kebijakan.................. ................... 72
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 95
A. Simpulan ......................................................................................... 95
B. Keterbatasan Penelitian................................................................... 98
C. Saran dan Rekomendasi ................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 101
LAMPIRAN ........................................................................................................103

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hukum Permintaan Berkaitan dengan Harga ........................................ 22


Gambar 2.2 Pengaruh Pajak Terhadap Permintaan ................................................. 23
Gambar 2.3 Kurva Penawaran dan Permintaan Akibat bea keluar ........................... 24
Gambar 2.5 Alur Kerangka Berfikir Penelitian... ........................................................ 28
Gambar 3.1 Tahapan Metode Analisis RIA... ............................................................ 35
Gambar 4.1 Produksi Nikel Dunia Tahun 2010-2012.. .............................................. 38
Gambar 4.2 Produksi Bauksit Dunia Tahun 2009.. ................................................... 40
Gambar 4.3 Produksi Tembaga Dunia Tahun 2008.. ................................................ 43
Gambar 4.4 Produksi Bijih Besi Dunia Tahun 2009 .................................................. 45
Gambar 4.5 Produksi Timah Dunia Tahun 2009 ....................................................... 48
Gambar 4.6 Kerangka Pikir Kebijakan Bea Keluar Bijih Mineral Versi BKF.. ............ 65
Gambar 4.7 Ekspor Bijih Mineral Pasca UU No.4 Tahun 2009.. ............................... 67
Gambar 4.8 Trend Linear Ekspor Nikel Indonesia... ................................................. 77
Gambar 4.9 Trend Linear Ekspor Bijih Aluminium Indonesia... ................................. 77
Gambar 4.10 Trend Ekspor Nikel Indonesia Kondisi Real... ..................................... 78
Gambar 4.11 Trend Ekspor Bijih Aluminium Indonesia Kondisi Real.. ..................... 79
Gambar 4.12 Volume Ekspor Mineral Utama.... ........................................................ 85

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1Perkembangan Produksi Mineral Tahun 2007 - 2011 ................................ 2


Tabel 1.2 Penerimaan Bea Keluar (dalam milyar) ................................................... 4
Tabel 2.1 Efek Kesejahteraan Akibat Bea Keluar.... ................................................. 25
Tabel 4.1 Produksi Nikel Indonesia.. ......................................................................... 38
Tabel 4.2 Produksi Bauksit Indonesia.. ..................................................................... 41
Tabel 4.3 Produksi dan Penggunaan Tembaga Indonesia Tahun 2007-2011 ......... 43
Tabel 4.4 Produksi dan Penggunaan Pasir Besi Indonesia Tahun 2007-2011 ........ 45
Tabel 4.5 Produksi Timah Indonesia Tahun 2007-2011 ........................................... 48
Tabel 4.6 Potensi Peningkatan Nilai Tambah Mineral.. ............................................ 53
Tabel 4.7 Regulasi dan Permasalahan.. ................................................................... 64
Tabel 4.8 Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario Restriksi Ekspor Bijih Nikel .. 70
Tabel 4.9Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario Restriksi Ekspor Bijih Tembaga.. 71
Tabel 4.10 Identifikasi Manfaat dan Biaya Alternatif 1 .............................................. 73
Tabel 4.11 Identifikasi Manfaat dan Biaya Alternatif 2 .............................................. 73
Tabel 4.12 Penggunaan Bijih Mineral Oleh Industri Hilir ........................................... 74
Tabel 4.13 Perbandingan Angka Volume Ekspor Bijih Nikel dan Aluminium... ........ 81
Tabel 4.14 realisasi Penerimaan DJBC Tahun 2012 – 2013 ...... ............................. 83
Tabel 4.15 Top 20 Negara Yang Mengenakan Bea Keluar.. .................................... 85
Tabel 4.16 Kondisi Sumber Daya Tambang di Indonesia.. ....................................... 88
Tabel 4.17 Komparasi Manfaat dan Biaya.. .............................................................. 92

vii
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bea keluar adalah pungutan pajak atas barang ekspor yang aspek

legalitasnya diatur dalam pasal 2A Undang-Undang nomor 10 tahun 1995

tentang Kepabeanan jo. Undang-undang nomor 17 tahun 2006. Pengaturan yang

lebih khusus mengenai bea keluar ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah

nomor 55 tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor.

Ada empat tujuan mendasar pengenaan bea keluar, yaitu: untuk menjamin

terpenuhinya kebutuhan dalam negeri,melindungi kelestarian sumber daya alam,

mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu

di pasaran internasional, atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam

negeri.

Pada level operasional, pengenaan bea keluar diatur dalam Peraturan

Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang

Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Dalam PMK tersebut

ditetapkan lima kelompok barang yang dikenakan bea keluar, yaitu produk kulit;

kayu; biji kakao;kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya,

serta bijih mineral. Dari kelima jenis obyek bea keluar tersebut, pengenaan bea

keluar terhadap bijih mineral merupakan jenis barang yang paling terakhir.

Munculnya kebijakan pengenaan bea keluar atas bijih mineral

dilatarbelakangi oleh terbitnya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pokok pikiran yang terkandung

1
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

di dalam Undang-undang Minerba tersebut antara lain memberikan kesempatan

kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, Koperasi, perseorangan

maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan

batubara berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya. Disinilah awal

munculnya permasalahan yang terkait dengan eksploitasi secara besar-besaran

barang tambang mineral tanpa memberikan nilai tambah signifikan di dalam

negeri.Tabel 1.1 berikut memperlihatkan gambaran umum perkembangan

eksploitasi barang tambal mineral di Indonesia dalam tahun 2007 hingga

tahun2011.

Tabel 1.1
Perkembangan Produksi Mineral
Tahun 2007 s.d. 2011
TAHUN
No. Jenis Barang Satuan
2007 2008 2009 2010 2011
1 Aspal Ton 98.260 74.147 39.807 72.398 341.876
2 Bauksit Ton 1.251.147 1.152.322 935.211 2.200.000 24.714.940
3 Nikel Ton 7.112.870 6.571.764 5.819.565 9.475.362 12.482.829
4 Emas Kg 117.854 64.390 140.488 119.726 68.220
5 Perak Kg 268.967 226.051 359.451 335.040 227.173
6 Tembaga Ton 796.899 655.046 973.347 993.152 1.472.238
7 Granit Ton 1.793.440 2.050.000 - 2.172.080 3.316.813
8 Mangan Ton 38.700 - - 228.490 162.882
9 Pasir Besi Ton 84.371 4.455.259 4.561.059 8.975.507 11.814.544
10 Timah Ton 64.127 79.210 56.602 97.796 89.600
Sumber: Statistik Pertambangan, Non Minyak dan Gas Bumi

Dari data tabel 1.1 tersebut, angka peningkatan produksi yang signifikan

terjadi pada tahun 2010, tahun dimana implementasi Undang-undang Minerba

mulai diberlakukan. Beberapa produksi yang pada tahun 2010 mengalami

peningkatan produksi yang signifikan adalah: aspal (81,87%), bauksit (135,24%),

nikel (62,82%), pasir besi (96,79%), timah (72,78%).

2
BAB I PENDAHULUAN

Tiga tahun setelah pemberlakukan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009,

pemerintah memandang bahwa eksploitasi secara besar-besaran atas sumber

daya mineral tidaklah memberikan nilai tambah signifikan bagi perekonomian di

dalam negeri.Selanjutnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) selaku pembina sektor pertambangan mengusulkan agar terhadap

produk pertambangan diatur tata niaga ekspornya.Sebagai tindakan awal,

Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM nomor 07 tahun 2012

tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan

Pemurnian Mineral.Poin kritikal yang diatur dalam peraturan ESDM tersebut

adalah pemberlakuan larangan ekspor terhadap bijih (raw material atau ore)

mineral dalam waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak pemberlakuan

Peraturan ESDM nomor 7 tahun 2012 tersebut.

Dampak regulasi peraturan kementerian ESDM tersebut menimbulkan

gejolak di tingkat operasional.Direktorat jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai

frontliner dalam penerapan ketentuan larangan dan pembatasan di bidang impor

dan ekspor tentu saja menjadi instansi pertama yang bersinggungan langsung

dengan kebijakan larangan ekspor bijih mineral tersebut.Tindakan nyata yang

dilakukan oleh DJBC berkaitan dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM

tersebut adalah tidak melayani pemberitahuan ekspor barang atas bijih mineral

dan juga wajib melakukan penindakan terhadap setiap bentuk pelanggaran atas

kebijakan ini.Bagi eksportir pertambangan, kebijakan peraturan menteri ESDM

nomor 7 tahun 2012 ini dirasakan sangat menghambat.Desakan untuk mencabut

ataupun mengubah aturan ini semakin menguat.

Pada akhirnya, berbagai desakan dari masyarakat usaha yang

berkepentingan terhadap ekspor bijih mineraldisikapi pemerintah dengan

3
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

melakukan kajian kembali terhadap kebijakan larangan ekspor bijih mineral.

Pembahasan intensif dilakukan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonmian

bersama-sama dengan instansi terkait, yaitu: Kementerian Perdagangan,

Perindustrian, Keuangan, dan BUMN. Hasil koordinasi memutuskan untuk

memperbolehkan kembali ekspor bijih mineral tetapi dengan syarat diatur tata

niaganya dan juga dipungut bea keluar.

Di sisi lain, sejak pemberlakuan bea keluar berdasarkan amandemen

Undang-undang Kepabeanan sesuai UU Nomor 17 tahun 2006, penerimaan bea

keluar menunjukkan angka pertumbuhan yang relatif tinggi. Fenomena yang

cukup menarik juga diperlihatan melalui data statistik penerimaan bea keluar

dalam Tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2
Penerimaan Bea keluar
Dalam Milyar Rupiah

Jenis TAHUN 2010 TAHUN 2011 TAHUN 2012

Target Penerimaan Realisasi Target Penerimaan Realisasi Target Penerimaan Realisasi

Bea Masuk 15.106.813 19.956.186 132% 21.500.792 25.238.844 117% 24.737.900 28.280.485 114%

Bea Keluar 5.454.560 8.897.780 163% 25.439.076 28.855.580 113% 23.206.200 21.237.008 92%

Cukai 59.265.922 66.165.295 112% 68.075.339 77.009.461 113% 83.266.625 95.019.271 114%

Sumber: DJBC

Administrasi pengelolaan bea keluar oleh DJBC mulai diberlakukan sejak

tahun anggaran 2008 setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 55

tahun 2008 tentang Pengenaaan Bea Keluar atas Barang Ekspor. Pada tahun

anggaran 2010, tingkat pencapaian bea keluar sebesar Rp. 8,89 trilyun atau

163% dari target. Pada tahun 2011, angka penerimaan bea keluar meningkat

224% menjadi Rp 28,85 trilyun. Fenomena yang menarik terjadi pada tahun

anggaran 2011 ini, yaitu tingkat pencapaian penerimaan bea keluar yang mampu

4
BAB I PENDAHULUAN

melebihi angka penerimaan bea masuk. Faktor dominan penyebabnya saat itu

adalah karena faktor tingginya harga Crude Palm Oil (CPO) di pasaran

internasional.Namun pada tahun berikutnya angka penerimaan bea keluar

mengalami penurunan kembali dan bahkan tidak mampu melewati angka target.

Mengamati kebijakan pemerintah dalam menetapkan bijih mineral

sebagai objek bea keluar sebagaimana yang tertuang dalam PMK

75/PMK.011/2011 serta melihat dampak penerimaan bea keluar terhadap

penerimaan DJBC, kami tertarik untuk mengkajinya lebih mendalam.

Pertimbangan lain yang membuat kami tertarik untuk mengkaji kebijakan bea

keluar atas bijih mineral adalah dari sisi teoritis dan aspek kepentingan.

Dari sudut pandang Undang-undang Kepabeanan, secara

teoritispemungutan bea keluar tidaklah dimaksudkan sebagai instrumen

penerimaan fiskal. Tujuan pengenaan bea keluar atas bijih mineral yang paling

relevan dengan Undang-undang Kepabeanan adalah untuk melindungi

kelestarian sumber daya alam. Bila melihat dari sudut Undang-undang Minerba,

alasan penetapan bijih mineral sebagai objek bea keluar lebih dimaksudkan

untuk kepentingan menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Hal inilah yang

membuat pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk mempercepat proses hilirisasi

produk usaha pertambagan.

Pada mulanya, kebijakan atas bijih mineral dilakukan dalam bentuk

pelarangan bijih mineral. Namun atas desakan pelaku usaha sektor industri hulu

mineral dan juga mengingat kepentingan lain yang lebih besar, tindakan

pelarangan tersebut diubah level pengendaliannya dengan menggunakan

5
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

instrumen bea keluar. Artinya, ekspor bijih mineral masih mungkin dilakukan

dengan kompensasi pengenaan bea keluar dan adanya ketentuan pembatasan.

Berdasarkan uraian pertanyaan penelitian di atas, penulis tertarik untuk

melakukan tinjauan lebih jauh atas permasalahan pengenaan bea keluar

terhadap bijih mineral dalam sebuah kajian akademis yang kami berikan judul

“Kajian atas Kebijakan Pengenaan Bea Keluar Terhadap Bijih (Raw Mineral

atau Ore) Mineral”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang disampaikan dalam latar belakang penelitian,

permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan sumber

daya mineral adalah fenomena maraknya ekspor mineral dalam kondisi bijih

atau bahan mentah pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun

2009. Padahal amanat Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 menginginkan

adanya penciptaan nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya mineral untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Kondisi ini kemudian disikapi

oleh pemerintah dengan mengeluarkan regulasi yang membatasi ekspor mineral

dalam bentuk bijih dan sekaligus dikenakan beban pajak berupa pungutan bea

keluar.

Sebagai peneliti, kami tertarik untuk menganalisis pilihan pemerintah yang

menerapkan intrumen kebijakan fiskal berupa bea keluar sebagai solusi untuk

mengatasi permasalahan ekspor bijih mineral. Dalam penelitian ini kami lebih

memfokuskan pada kajian terhadap instrumen fiskal. Untuk membatasi analisis

penelitian maka kami merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

“Apakah kebijakan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral dalam rangka

membatasi maraknya ekspor mineral dalam kondisi bijih sudah tepat ?”

6
BAB I PENDAHULUAN

C. Ruang Lingkup

1. Periode waktu pengamatan.

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Untuk data primer,

periode waktu pengamatan adalah selama enam bulan mulai dari Februari

2013 sampai dengan Juli 2013, sedangkan untuk data sekunder, periode

waktu pengamatan sejak dikelolanya bea keluar atas bijih mineral oleh DJBC

pada bulan Juni 2012 hingga Mei 2013.

2. Unsur-unsur yang diteliti

Sebagaimana tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, unsur-unsur yang

diteliti meliputi hal-hal berikut:

 Aspek latar belakang kronologis yang menjadi dasar pemerintah dalam

kebijakan penetapan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral,

 Aspek manfaat dan biaya yang timbul dalam penerapan kebijakan bea

keluar terhadap bijih mineral’

3. Lingkungan objek penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan DJBC dan BKF sebagai unit teknis

pelaksana kebijakan dan unit pengambil kebijakan bea keluar bijih mineral.

4. Unit analisis dan eksplorasi data

 Unit analisis utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah DJBC

dan BKF Kementerian Keuangan

 Untuk eksplorasi data dan dasar kebijakan pengambilan keputusan

pengenaan bea keluar akan kami himpun dari unit terkait di DJBC, BKF,

Kementerian ESDM dan Biro Pusat Statistik (BPS).

7
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

D. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis latar belakang kebijakan bea keluar atas bijih mineral

2. Menganalisis manfaat dan biaya (cost and benefit) atas kebijakan bea

keluar terhadap bijih mineral

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan banyak manfaat bagi pihak-

pihak yang terkait, yaitu:

1. Bagi Kementerian Keuangan dan instansi terkait,hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai umpan balik guna membuat kebijakan-kebijakan di masa

yang akan datang terkait dengan pengenaan bea keluar.

2. Bagi BPPK, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pendukung

kegiatan belajar mengajar materi ekspor, serta sebagai bahan kajian barang

ekspor.

3. Bagi masyarakat, manfaat dari kajian ini adalah untuk memberikan informasi

dan pemahaman tentang apa dan mengapa bijih mineral dikenakan bea

keluar.

8
BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini terdiri dari dua sub-bab, yaitu tinjauan pustaka dan Kerangka

teoritis yang akan digunakan sebagai dasar pembahasan fenomena-

fenomenayang ditemukan dalam penelitian.

A. Tinjauan Pustaka

Dalam Bab Tinjauan Pustaka ini kami akanmenguraikan tiga hal yang terkait

dengan objek penelitian. Yang pertama adalah review penelitian terdahulu yang

terkait dengan kebijakan pengenaan bea keluar. Yang kedua berkaitan dengan

konsep dasar bea keluar berdasarkan teori Kepabeanan. Yang ketiga mengenai

konsep teoritis ekonomi sumber daya Alam.

1. Penelitian Terdahulu

Sepanjang penelusuran kami belum ada kajian maupun penelitian yang

secara spesifik membahas tentang kebijakan pengenaan bea keluar terhadap

bijih mineral. Namun demikian kami mendapatkan beberapa penelitian

sebelumnya yang secara khusus membahas analisis biaya dan manfaat

terhadap kebijakan pelarangan ekspor mineral, kajian mengenai pajak ekspor di

negara lain. Kami memandang bahwa hasil penelitian tersebut masih relevan

dengan objek penelitian yang akan kami lakukan, khususnya dalam mengkaji

pola kebijakan pemerintah dalam pengenaan bea keluar.

9
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Penelitian pertama yang kami review adalah penelitian Olga Solleder

(2013) dengan judul trade effects of export taxes. Kesimpulan hasil penelitian

Solleder adalah:

 Mayoritas penerapan pajak ekspor dilakukan oleh negara-negara

berkembang dengan tujuan untuk kepentingan kelestarian lingkungan,

menjaga ketahanan pangan maupun kepentingan fiskal. Trend penerapan

pajak ekspor kemungkinan akan berlanjut ke depannya.

 Implikasi langsung pajak ekspor terhadap kesejahteraan sangat tergantung

pada kekuatan pasar dari negara eksportir dan negara importir. Beban pajak

ekspor dibagi oleh eksportir dan importir dan pajak ekspor berperan dalam

kenaikan harga dunia. Keberhasilan penerapan pajak ekspor sangat

tergantung pada tingkat elastisitas penawaran, permintaan dan barang

substitusi.

Penelitian kedua yang kami review adalah penelitian yang dilakukan oleh

Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian dengan judul Analisis

Biaya ManfaatPelarangan Ekspor Bahan MentahMinerba Dan Dampaknya

TerhadapSektor IndustriStudi Kasus Nikel & Tembaga. Beberapa hasil yang

penting dikemukakan dari kajian adalahsebagai berikut:

a) Pengendalian ekspor bahan mentah minerba, dimana tembaga dan

nikeltermasuk di dalamnya, memiliki semangat yang membangun bagi

perekonomiandomestik. Tujuan utama dari pengendalian ekspor bukan

menghambatperdagangan tetapi memanfaatkan kekayaan mineral nasional

untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran bangsa. Upaya ini tidak dapat

ditunda karena kekayaanmineral akan habis pada suatu saat dan tidak dapat

diperbaharui

10
BAB II LANDASAN TEORI

b) Peningkatan kemakmuran dapat dicapai jika terjadi peningkatan

kegiatanekonomi di sepanjang rantai produksi mineral. Oleh karena itu

pengendalianekspor bahan mentah sebenarnya hanyalah salah satu sisi

kebijakan, dimana sisikebijakan lainnya adalah upaya mendorong

peningkatan pada rantai produksidomestik berupa kewajiban pembangunan

fasilitas pengolahan dan pemurnianmineral. Peningkatan rantai produksi

domestik pada gilirannya akanmemberikan dampak positif bagi

perekonomian dalam bentuk penciptaanoutput, nilai tambah dan

kesempatan kerja domestik, ketersediaan bahan bakuindustri hilir berbasis

logam domestik, serta penguasaan teknologi dalampengolahan mineral.

c) Kebijakan pengendalian ekspor minerba dalam jangka pendek dan

menengahmungkin saja dapat merugikan perekonomian jika:

 pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral

tidakterealisasi sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini

sektorpertambangan akan mengalami penurunan output, nilai tambah

dankesempatan kerja.

 industri hilir domestik belum mampu sepenuhnya menyerap hasilproduksi

pengolahan dan pemurnian mineral domestik. Dalam hal iniproduk sektor

pertambangan maupun pengolahan mineral akan menurun.

Penelitian ketiga yang kami review adalah penelitian yang dilakukan oleh

Laborde, dkki (2013) dengan judul “A Global Assessment of the Economic

Effects of Export Taxes” . Beberapa hasil yang penting dikemukakan dari kajian

adalahsebagai berikut:

a) Efek pajak ekspor terhadap suatu negara bersifat berbeda-beda.

11
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

b) Keberhasilan kebijakan bea keluar akan tergantung pada tingkat elastisitas

penawaran, elastisitas permintaan dan barang subsitusi.

c) Kecenderungan pengenaan bea keluar dilakukan oleh negara-negara

berkembang terhadap hasil bumi.

2. Bea Keluar dari Sudut Pandang Kepabeanan

Konsep bea keluar sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17

tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995

tentang Kepabeanan adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang

Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor. Pengenaan bea keluar

terhadap barang ekspor bersifat pilihan, dalam arti kata tidak semua barang

ekspor dikenakan bea keluar namun pemerintah atas pertimbangan tertentu

“dapat” menetapkan bea keluar terhadap suatu barang ekspor.

Bea keluar merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang dikelola

oleh DJBC. Berbeda dengan karakteristik pungutan bea masuk dan cukai,

karakteristik pungutan bea keluar lebih bersifat ekslusif oleh karena hanya

dikenakan terhadap barang-barang ekspor tertentu yang ditetapkan oleh

pemerintah dan juga sifat pengenaannya tidaklah permanen.

Berdasarkan Undang-undang Kepabeanan tujuan dasar pengenaan bea

keluar terhadap barang ekspor adalah untuk:

a) Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;

b) Melindungi kelestarian sumber daya alam;

c) Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor

tertentu di pasaran internasional; atau

d) Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

12
BAB II LANDASAN TEORI

Sejarah Pengenaan Bea Keluar

Bea keluar yang saat ini diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia dipungut

berdasarkan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Meskipun secara

eksplisit tujuan pengenaan bea keluar telah dinyatakan dalam Undang-undang

sebagai suatu bentuk instrumen pengaturan (regulerend) namun tetap saja

kedudukan bea keluar dalam struktur fiskal penerimaan merupakan instrumen

pajak yang berpotensi besar menambah penerimaan negara. Bahkan realisasi

penerimaan Bea Keluar di tahun 2011 angka pencapaiannya mampu melebihi

penerimaan bea masuk.

Jauh sebelum bea keluar ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan

Undang-undang nomor 17 tahun 2006, pungutan bea keluar pertama kali

diberlakukan di bumi Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-undang Tarif

Indonesia, STBL 1873 No.35. Namun dalam perkembangannya keberadaan bea

keluar tersebut dianggap memberatkan komoditi ekspor andalan kita.

Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Moneter nomor 30 tahun 1957 keberadaan

Bea Keluar Umum yang saat itu berlaku dibekukan.

Pasca pembekuan Bea Keluar, didorong oleh kebutuhan untuk membatasi

komoditi ekspor tertentu pemerintah memandang perlu untuk menciptakan

instrumen fiskal sebagai bentuk tariff barrier terhadap komoditi ekspor tertentu.

Pada era inilah mulai diperkenalkan konsep pajak ekspor. Aspek legalitas

penerapan pajak ekspor tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan

nomor 1223/KMK.013/1990. Pada saat itu komoditi ekspor yang dikenakan

pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan mencakup: kulit, rotan dan kayu. Dasar

13
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

pemungutan pajak ekspor ini pada prinsipnya belum memenuhi kaidah yang

berlaku terhadap pemberlakuan pajak berdasarkan pasal 23 Undang-undang

Dasar 1945. Namun mengingat kebutuhan pemerintah dan tata tertib

perundangan yang belum sepenuhnya secara konsisten dijalankan pemerintah

pemberlakuan pajak ekspor tetap eksis.

Setelah pemberlakukan Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang

Kepabeanan, keberadaan pajak ekspor ternyata tidak diintegrasikan dalam

Undang-undang Kepabeanan. Keberadaan pajak ekspor tetap didasarkan atas

Peraturan Menteri Keuangan dan tidak memiliki dasar Undang-undang yang

jelas. Dalam perjalanannya seiring dengan kondisi tata tertib peraturan

perundang-undangan yang semakin membaik, keberadaan pajak ekspor yang

hanya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan tersebut mulai

dipermasalahkan. Idealnya, menurut pasal 23A Undang-undang Dasar 1945

setiap pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

haruslah diatur dengan Undang-Undang.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, keberadaan pajak ekspor selanjutnya

diadopsi dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan

Negara Bukan Pajak. Kemudian sebagai tindak lanjut aturan Undang-undang

nomor 20 tahun 1997, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 35

tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor Tertentu. Filosofis

pajak ekspor yang semula berfungsi sebagai instrumen fiskal perpajakan

bergeser menjadi instrumen fiskal yang lebih berfungsi sebagai aturan

regulerend. Pengelolaan administrasi pungutan ekspor sepenuhnya dilaksanakan

oleh Direktorat jenderal Anggaran.

14
BAB II LANDASAN TEORI

Sejalan dengan semangat amandemen Undang-undang Kepabeanan,

usulan untuk lebih memperjelas status pungutan ekspor yang pada hakikatnya

adalah juga salah satu instrumen fiskal perpajakan semakin menguat. Pada

akhirnya pungutan ekspor kemudian beralih namanya menjadi bea keluar sesuai

dengan pasal 2A Undang-undang nomor 17 tahun 2006. Dengan pemberlakuan

Undang-undang Kepabeanan yang diamandemen tersebut, maka pungutan yang

dikenakan terhadap komoditi ekspor tertentu kembali lagi menjadi salah satu

instrumen fiskal perpajakan dengan nama baru yaitu bea keluar. Sejalan dengan

hal tersebut, administrasi pengelolaan bea keluar diserahkan kepada DJBC.

Mekanisme Pengenaan Bea Keluar

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 tentang

Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor, mekanisme penetapan suatu

barang ekspor yang dapat dikenakan Bea Keluardilakukan olehMenteri

Keuangan setelah mendapat pertimbangan dan/atau usul dari menteri yang

tugas dan tanggung jawabnya di bidangperdagangan dan/atau menteri/kepala

lembagapemerintah non departemen/kepala badan teknis terkait.Posisi Menteri

Keuangan dalam kapasitas ini bertindak sebagai Chief Financial Officer, yang

bertanggung jawab secara portofolio terhadap keuangan negara.

Secara prosedural, apabila pemerintah melalui Kementerian dan/atau

lembaga pemerintah terkait memandang bahwa suatu barang ekspor layak dan

memenuhi aspek tujuan pengenaan bea keluar sebagaimana diatur dalam pasal

2A Undang-undang Kepabeanan maka dapat mengusulkan pengenaan bea

keluar kepada Menteri Keuangan. Dalam hal ini, analisis kebijakan pengenaan

Bea keluar pada level Kementerian Keuangan akan ditangani oleh Badan

15
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Kebijakan Fiskal. Pembahasan teknis operasional pengenaan Bea keluar akan

dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan (dalam hal ini diwakili oleh BKF dan

DJBC) beserta Kementerian atau Lembaga Pemerintah terkait dan juga

Kementerian Perdagangan.

Apabila penetapan Bea Keluar terhadap suatu barang ekspor telah

dilakukan, maka sifat pengenaannya akan mengikuti ketentuan Tarif Bea Keluar

sebagaimana diatur dalam PP nomor 55 tahun 2008. Untuk penetapan Tarif Bea

Keluar, barang ekspor akan dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi

barangsesuai dengan ketentuan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).Tarif

Bea Keluar sebagaimana dimaksud, dapat ditetapkan berdasarkan persentase

dari HargaEkspor (advalorum) atau secara spesifik.

Besarnya Tarif Bea Keluar menurut PP 55 tahun 2008 ditetapkan paling

tinggi :

a) Sebesar 60% (enam puluh persen) dari Harga Ekspor, dalam halTarif Bea

Keluar ditetapkan berdasarkan persentasedari Harga Ekspor (advalorum);

b) Sebesar nilai nominal tertentu yang besarnya equivalen dengan 60%(enam

puluh persen) dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan secara spesifik.

Tarif Bea Keluar tersebut ditetapkan oleh Menteri keuangan setelah

mendapatpertimbangan dan/atau usul menteri yang tugas dantanggung

jawabnya di bidang perdagangan dan/ataumenteri/kepala lembaga pemerintah

non departemen/kepala badan teknis terkait.

Dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan berdasarkan sistem advalorum

maka pungutan Bea Keluardihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:Tarif Bea

Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor x Nilai Tukar Mata Uang.

Kemudian, dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan secara spesifik, maka

16
BAB II LANDASAN TEORI

pungutan BeaKeluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:Tarif Bea

Keluar Per Satuan Barang Dalam Satuan MataUang Tertentu x Jumlah Satuan

Barang x Nilai Tukar MataUang.

Ketentuan yang mengatur mengenai harga ekspor sebagai dasar

perhitungan Bea Keluar diatur pula dalam PP Nomor 55 tahun 2008 tersebut.

Bahwa harga Ekspor untuk penghitungan Bea Keluar ditetapkanoleh Menteri

Keuangan sesuai harga patokan ekspor yang ditetapkansecara periodik oleh

Menteri perdagangan setelah berkoordinasidengan Menteri/kepala lembaga

pemerintah nondepartemen/kepala badan teknis terkait.Dalam hal Harga Ekspor

untuk periode berikutnya belum ditetapkan olehMenteri Keuangan, maka

ketentuan Harga Ekspor periodesebelumnya masih tetap berlaku.

3. Konsep Ekonomi Sumber Daya Mineral dan Teori Permintaan

Sumber daya mineral berdasarkan klasifikasinya termasuk kelompok

sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (exhaustible resources).Barlow

(dalam Suparmoko, 2012) mendefinisikan exhaustible resources ini dari sisi sifat

dan volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah

kembali.Menurut Suparmoko ada dua syarat yang harus dipenuhi agar terdapat

pengambilan sumber daya alam secara optimal.

Syarat pertama yang berlaku pada produksi setiap barang yang berada di

persaingan sempurna agar tercipta suatu tingkat efisiensi yang optimal adalah

bahwa harga barang yang dihasilkan harusa sama dengan biaya produksi

marginal. Khusus untuk sumber daya alam, karena memiliki biaya alternatif maka

syarat optimal tersebut menjadi: harga barang sumber daya alam sama dengan

biaya marginal.

17
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Syarat kedua dari pengambilan sumber daya alam yang optimal adalah

menyangkut perilaku dari biaya alternatif (contoh: royalty). Menurut Suparmoko

(2013:104) biaya alternatif atau royalty harus selalu meningkat sebesar tingkat

bunga yang berlaku dari waktu ke waktu. Dengan kata lain bila royalti dinyatakan

dalam harga sekarang (present value) maka nilai royalty itu tidak akan berubah

sepanjang waktu.

Pengendalian Ekspor Sumber Daya

Dalam praktek untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam

pemerintah melakukan pengendalian ekspor sumber daya alam dalam bentuk

larangan dan pembatasan.Larangan ekspor merupakan langkah paling ekstrem

untuk mencegah ekspor suatu barang.Pengertian pembatasan ekspor dalam

kepabeanan berarti ekspor atas suatu barang tidak bisa dilakukan secara bebas

melainkan dengan mekanisme pembatasan tertentu berdasarkan ketentuan dari

instansi teknis, misalnya persetujuan ekspor, keharusan verifikasi oleh surveyor,

persyaratan mutu atas suatu produk ekspor, persyaratan eksportir terdaftar.

Ekspor produk pertambangan berupa mineral logam, mineral non logam

dan batuan dikenakan ketentuan pembatasan ekspor sesuai dengan Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 29/M-DAG/PER/5/2012 Jo Permendag No. 52/M-

DAG/Per/8/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan. Yang

dimaksud dengan produk pertambangan dalam Permendag tersebut adalah

sumber daya alam yang tak terbarukan yang digali dari perut bumi yang belum

diolah dan atau dimurnikan (raw material atau ore) dapat berupa mineral logam,

mineral non logam dan batuan. Produk pertambangan yang ekspornya

dikenakan pembatasan sejumlah 61 komoditi, yang terdiri dari :

18
BAB II LANDASAN TEORI

a) Mineral Logam, 21 komoditi ,

b) Mineral bukan Logam, 10 komoditi , dan

c) Batuan, 30 komoditi.

Pada prinsipnya jenis komoditi produk pertambangan yang dikenakan

pembatasan ekspor dengan yang dikenakan bea keluar adalah sama. Namun

kalau kita perhatikan ada perbedaan jumlahantara produk pertambangan berupa

batuan yang dikenakan pembatasan ekspor dengan yang dikenakan bea keluar.

Pada pembatasan ekspor terdapat 30 komoditi dan yang dikenakan bea keluar

terdapat 34 komoditi. Awalnya, berdasarkan Permendag 29/M-DAG/PER/5/2012

yang dikenakan BK dan yang dikenakan pembatasan ekspor jumlahnya sama,

namun dengan dikeluarkannya permendag No. 52/M-DAG/Per/8/2012 yang

merubah Permendag 29/M-DAG/PER/5/2012, maka terdapat empat komoditi

yang dikeluarkan dari pengenaan pembatasan yaitu : marmer dan travertine

bentuk balok dan lembaran tebal; marmer bentuk balok dan lembaran tebal. Jadi

atas ekspor kempat produk tersebut tidak dikenakan pembatasan ekspor namun

ekspornya dikenakan BK.

Perbedaan yang kedua adalah pada 21 komoditi mineral

logam.Ketentuan pembatasan ekspor dikenakan terhadap bijih dan konsentrat

mineral logam, tetapi BK hanya dikenakan terhadap produk mineral logam

berupa bijih.Ketentuan pembatasan ekspor komoditi produk pertambangan

adalah sebagai berikut :

a) Eksportir yang boleh melakukan ekspor adalah eksportir yang telah

mendapat pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan

(ET-Produk Pertambangan) dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar

Negeri, Kementerian Perdagangan;

19
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

ET-Produk Pertambangan diterbitkan Kementerian Perdagangan setelah

mempertimbangkan rekomendasi dari Kementerian ESDM. Berdasarkan

ketentuan dalam peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2012 tentang

Perubahan Peraturan Menteri ESDM No. 07 tahun 2012 tentang

Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan

Pemurnian Mineral. Penerbitan rekomendasi oleh Kementerian ESDM

diberikan setelah Pemegang IUP Operasi produksi dan IPR memenuhi

persyaratan, antara lain :

 Status IUP Operasi Produksi dan IPR Clear and Clean;

 Melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada negara;

 Menyampaikan rencana kerja dan/atau kerjasama dalam pengolahan

dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri; dan

 menandatangani pakta integritas.

Dengan demikian, seharusnya eksportir yang telah mendapat pengakuan

sebagai ET- Produk Pertambangan tidak mempunyai permasalahan dengan

perizinan pertambangan dan kewajiban keuangan kepada negara (royalti dan

sebagainya).

b) Saat ekspor yang dilakukan oleh ET-produk Pertambangan harus dilengkapi

dengan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dari Kementerian Perdagangan.

Dalam SPE inilah ditentukan jumlah (kuota) yang dapat diekspor oleh suatu

perusahaan dalam kurun waktu tertentu;

c) Wajib dilakukan penelusuran teknis atau verifikasi oleh surveyor yang

ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sampai dengan saat ini, surveyor

yang telah ditetapkan adalah PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.

20
BAB II LANDASAN TEORI

 Hasil Verifikasi atau Penelusuran Teknis dituangkan dalam bentuk

Laporan Surveyor (LS) disertai hasil Analisa Kualitatif komposisi dan

kadar mineral yang terkandung.

 LS (beserta Analisa Kualitatif dari Laboratorium) digunakan sebagai

dokumen pelengkap pabean yg diwajibkan untuk pendaftaran PEB;

 Penerbitan LS oleh Surveyor paling lambat 1 (satu) hari setelah

pemeriksaan muat barang dilakukan.

Teori Permintaan

Permintaan pada hakekatnya menunjukkan jumlah barang dan jasa yang

dibutuhkan konsumen untuk dibeli pada waktu dan keadaan tertentu. N. Gregory

Mankiw (2003) menyebutkan bahwa quantity demanded (kuantitas barang yang

diminta) menunjukkan jumlah barang yang ingin dan mampu dibeli oleh pembeli.

Selanjutnya Mankiw menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

permintaan atas suatu barang, yaitu :

a) Harga,

b) Pendapatan,

c) Harga barang substitusi,

d) Selera,

e) Ekspektasi,

f) Jumlah pembeli.

21
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Pada pembahasan ini hanya faktor harga yang akan dijelaskan dalam

hubungannya dengan tingkat permintaan suatu barang. Gambar berikut ini untuk

menunjukkan hukum permintaan yang berkaitan dengan harga (The law of

downward sloping demand).

Gambar 2.1
Hukum Permintaan Berkaitan dengan Harga

Pada gambar diatas harga terdapat 2 (dua) variabel yang saling berkaitan

yaitu variabel harga dan jumlah barang yang diminta. Bila harga (P) naik, maka

permintaan (Qd) akan turun, dan bila harga (P) turun, maka permintaan (Qd)

akan naik, dengan asumsi ceteris paribus (hal-hal lainnya tidak berubah).Faktor-

faktor yang menyebabkan naiknya harga sangat beragam dan salah satunya

adalah karena adanya pungutan negara, baik atas barang impor maupun atas

barang ekspor. Bila pungutan dikenakan pada barang impor maka permintaan

barang di dalam negeri akan menurun, dan bila terkait barang ekspor maka

permintaan barang ekspor di negara tujuan ekspor akan menurun.

Gambar berikut ini untuk menunjukkan pengaruh pajak atas tingkat

permintaan suatu barang.

22
BAB II LANDASAN TEORI

Gambar 2.2
Pengaruh Pajak Terhadap Permintaan

Pengaruh dari dikenakannya pungutan negara atas barang ekspor

berpengaruh pada harga yaitu naik dari P1 ke P2 dan permintaan akan bergeser

menjadi lebih rendah dari Q1 ke Q2. Pergeseran permintaan ini dengan asumsi

hanya faktor harga yang mempengaruhi permintaan atas suatu barang (ceteris

paribus). Dari teori permintaan tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa bilamana

suatu barang yang akan diekspor dikenakan pungutan ekspor (bea keluar) maka

permintaan atas suatu barang akan berkurang. Bilamana tujuan dikenakannya

bea keluar adalah untuk membatasi ekspor suatu barang barang hal ini telah

bersesuaian dengan teori permintaan.

Menurut Kusmartata (2013) secara teoritis bea keluar yang diterapkan

pada large countryakan berdampak positif terhadap negara pengekspor dengan

national welfare yang bernilai positif. Ilustrasi pada gambar 2.3akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, mengapa bea keluar bisa berdampak positif terhadap

negara pengekspor. Uraian teoritis pada paragaraf-paragraf berikut kami sarikan

dari pendapat Kusmartata.

23
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Dalam grafik pada gambar 2.3diasumsikan bahwa hanya ada dua negara

yang melakukan perdagangan, satu negara pengimpor dan satu negara

pengekspor. Kurva penawaran dan permintaan bagi kedua negara akan

ditampilkan dalam grafik PFT adalah harga keseimbangan perdagangan bebas.

Pada harga itu, jumlah kelebihan permintaan oleh negara pengimpor sama

dengan kelebihan pasokan oleh eksportir.

Gambar 2.3
Kurva Penawaran dan Permintaan
Akibat Adanya Beban Bea keluar

Sumber: Kusmartata, wawanacara 2013

Dalam gambar 2.3 jumlah volume impor dan ekspor ditampilkan sebagai

garis biru pada grafik masing-masing negara (jarak horizontal antara kurva

penawaran dan permintaan pada harga perdagangan bebas (PFT). Ketika

negara pengekspor besar menerapkan beban pajak atas barang ekspor, hal ini

akan menyebabkan penurunan harga barang di pasar domestik dan peningkatan

harga di negara lain. Misalkan setelah dikenakan pajak, harga di negara

pengimpor naik pada harga (PIM) maka harga di negara pengekspor jatuh ke

24
BAB II LANDASAN TEORI

(PEX). Jika pajak adalah tarif spesifik maka tarif pajak adalah T = PIM – PEX,

sama dengan panjang ruas garis hijau di diagram. Jika pajak adalah advalorem
PIM
maka tarif pajak adalah T = PEX
- 1.

Tabel 2.1 memberikan ringkasan arah dan besarnya efek kesejahteraan

kepada produsen, konsumen dan pemerintah di negara-negara pengimpor dan

pengekspor. Efek kesejahteraan agregat nasional dan efek kesejahteraan dunia

juga ditampilkan. Efek positif kesejahteraan ditampilkan dalam warna hitam, efek

negatif ditampilkan dalam warna merah.

Tabel 2.1
Efek Kesejahteraan akibat Bea Keluar

Sumber: Kusmartata, wawancara 29 Agustus 2013

Pengaruh kesejahteraan agregat bagi negara diperoleh dengan

menjumlahkan keuntungan dan kerugian pada konsumen dan produsen. Nett

effect terdiri dari tiga komponen yaitudampak positif pada perdagangan (c),

dampak negatif pada distorsi konsumsi (f), dan dampak negatif pada distorsi

produksi (h). Lihat Tabel dan Gambar untuk melihat bagaimana besarnya

perubahan kesejahteraan nasional. Karena ada unsur-unsur positif dan negatif,

nett effect kesejahteraan nasional dapat berupa positif atau negatif. Namun

demikian hasil yang menarik adalah bahwa dampaknya cenderung positif. Ini

25
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

berarti bahwa pajak ekspor (bea keluar) yang dilaksanakan oleh negara

pengekspor "besar" berpotensi meningkatkan kesejahteraan nasional.

B. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kajian terhadap kebijakan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral

akan menitikberatkan pada dua permasalahan pokok. Pertama, mengenai dasar

pertimbangan pemerintah menetapkan bijih mineral sebagai salah satu obyek

bea keluar. Yang kedua adalah implikasi penetapan bea keluar atas bijih mineral

tersebut terhadap penerimaan yang dikelola oleh DJBC.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA)

hayati maupun non hayati. Sumber daya alam hayati merupakan segala

kekayaan alam yang secara alamiah dimiliki suatu negara yang dapat digunakan

untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Akan tetapi untuk memanfaatkan SDA

tersebut suatu bangsa membutuhkan teknologi yang mampu mengolah SDA

tersebut menjadi suatu produk yang dapat secara langsung dinikmati manfaatnya

oleh umat manusia. Disinilah letak keterbatasan yang banyak dihadapi oleh

negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia.

Berdasarkan sifatnya SDA dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat

diperbaharui dan yang tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui

adalah kekayaan alam yang dapat dipelihara keberadaannya selama

penggunaannya tidak dieksploitasi secara berlebihan.Sebagai contuh, hutan,

tanaman, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air dan

sebagainya. Meskipun keberadaannya di Indonesia cukup berlimpah, namun

penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan.

26
BAB II LANDASAN TEORI

SDA yang tergolong tidak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya

terbatas dan dapat habis apabila diekploitasi secara terus-menerus.Sebagai

contoh: minyak bumi, bahan mineral seperti emas, besi, nikel, timah dan

berbagai bahan tambang lainnya. Disinilah peran pemerintah diperlukan untuk

menjaga agar SDA ini dapat benar-benar dimanfaatkan secara bijak untuk

kepentingan bangsa dan negara saat ini maupun di masa depan.

Merujuk pada salah satu ayat dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945

bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Untuk

kepentingan nasional, pemerintah perlu membuat kebijakan pendayagunakan

SDA secara berkesinambungan dan memnuhi amanat Undang-undang Dasar

tersebut.

Berkaitan dengan kewajiban menjaga SDA untuk kepentingan nasional,

terdapat tiga isu penting yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, isu

kelestarian SDA. Pemerintah hendaknya menjaga agar SDA yang dimiliki bangsa

Indonesia tidak dieksploitasi secara berlebihan dan mengabaikan faktor

kesinambungannya. Isu kedua, brkaitan dengan penciptaan nilai tambah (added

value) terhadap pemanfaatan SDA yang ada. Untuk tujuan kemakmuran yang

sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia maka SDA yang dimiliki idealnya

diberikan nilai tambah sebelum diekspor. Terakhir, berkaitan dengan isu

penerimaan negara. Untuk menjalankan program-program pembangunan,

pemerintah memerlukan dana yang besar yang dihimpun dari masyarakat.

Untuk lebih memvisualisasikan alur pemikiran penulis dalam melaksanakan

penelitian ini, kami akan menyampaikannya dalam peta konsep sederhana

sebagai berikut :

27
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Gambar 2.4
Alur kerangka Berfikir Penelitian

28
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode merupakan alat yang digunakan untuk menentukan pendekatan

penelitian, jenis penelitian, sumber dan teknik pengumpulan data, serta cara

menganalisis data. Metode penelitian adalah suatu metode ilmiah yang

memerlukan sistematika dan prosedur pengujian secara empiris berdasarkan

standar-standar keilmuan yang berlaku secara umum.Seluruh hal tersebut

ditujukan untuk menggambarkan proses penelitian.Dengan menggunakan

metode penelitian maka gejala obyek yang diteliti dapat dirumuskan secara

obyektif dan rasional.

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono (2012),


metode kualitatif adalah :
“Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada generalisasi”.

Lebih lanjut, Cresswell (dalam Sugiyono, 2005) memberikan penjelasan

bahwa di dalam metode kualitatif, konteks permasalahan perlu dieksplorasi

karena ketersediaan informasi yang sedikit tentang topik yang diangkat dalam

penelitian.Kemudian sebagian besar variabel tidak diketahui dan peneliti ingin

memusatkan pada konteks yang dapat membentuk pemahaman dari fenomena

yang diteliti.Pendekatan kualitatif juga bertujuan untuk memiliki pemahaman dan

interprestasi mengenai suatu fenomena sosial melalui observasi secara

langsung.

29
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pendalaman mengenai latar

belakang kebijakan penetapan bea keluar atas bijih mineral dan analisis manfaat

dan biaya yang timbul atas kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral.

Eksplorasi permasalahan yang peneliti dalami akan berfokus pada dua aspek

utama yaitu aspek latar belakang dan aspek manfaat dan biaya. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti

mengumpulkan data melalui studi literatur dan wawancara mendalam dengan

pihak yang berkompeten dalam penyusunan kebijakan penetapan bea keluar

atasa bijih mineral. Pilihan pendekatan kualitatif dimaksudkan agar penelitian ini

dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai latar belakang

kebijakan penetapan bea keluar atas bijih mineral serta implikasinya terhadap

kinerja penerimaan DJBC.

B. Jenis Penelitian

Bila ditinjau dari metode penelitian, penelitian ini merupakan penelitian

kebijakan (policy research) yang bertujuan mengeksplorasi aspek teoritis, aspek

kronologis dan aspek kepentingan serta implikasi dari kebijakan pengenaan bea

keluar terhadap bijih mineral. Dukeshire & Thurlow (dalam Putra & Hendarman,

2012) mendefinisikan policy research, sebagai:

Policy research is a special type of research that can provide


communities and decision-makers with useful recomendations and possible
action for resolving fundamental problem. Such research provides policy-
makerswith pragmatic, action oriented recomendations for adressingan
issue, question, or problem. The primary focus of policy research is linked to
the public policy agenda and results are useful to the deveopment of public
policies.

30
BAB III METODE PENELITIAN

Terjemahan secara bebas mengenai definisi penelitian kebijakan menurut

Dukeshire & Thurslow tersebut : penelitian kebijakan adalah penelitian khusus

yang menyediakan rumusan rekomendasi kepada pihak pengambil keputusan

yaitu alternatif pemecahan masalah yang memiliki peluang besar untuk

diimplementasikan bagi kepentingan publik. Bila melihat karakteristik objek

kebijakan yang diteliti maka penelitian ini tergolong sebagai “penelitian tentang

kebijakan” dan bukan termasuk “penelitian untuk kebijakan”. Penelitian ini lebih

bertujuan untuk memberikan masukan, evidensi, data dan pertimbangan, serta

dasar konseptual yang bersifat teoritis.

Bila ditinjau berdasarkan tingkat eksplanasi terhadap variabel penelitian

maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sugiyono (1994)

menjelaskan penelitian deskriptif sebagai penelitian yang dilakukan terhadap

variabel mandiri, tanpa membuat perbandingan ataupun menghubungkan antar

variabel.

C. Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini secara khusus mengamati fenomena yang terkait dengan

kebijakan bea keluar pemerintah atas bijih mineral. Dengan demikian variabel

yang diamati dalam penelitian ini bersifat tunggal, yaitu kebijakan pengenaan

bea keluar atas bijih mineral.

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif yang

diperoleh baik dari data sekunder maupun data primer yang langsung

dikumpulkan dari sumber asalnya.Data sekunder diperoleh dari eksplorasi

31
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

laporan-laporan yang dibuat baik oleh DJBC maupun instansi-instansi terkait

dengan masalah kebijakan pungutan bea keluar atas bijih mineral. Untuk data

primer, dikumpulkan dariwawancara dengan pejabat yang terkait dengan

penyusunan kebijakan atas bea keluar.

E. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan teknik pengumpulan data yang akan dilakukan maka penulis

menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Studi Literatur (Library Research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan

terhadap berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian. Bentuk-bentuk

literatur yang menjadi fokus utama sumber data meliputi: buku-buku, jurnal, hasil

penelitian, hasil kajian, artikel, peraturan dan sebagainya yang kami anggap

relevan dengan studi penelitian. Studi kepustakaan digunakan untuk

mengumpulkan data-data terutama terkait dengan teori dan konsep unsur-unsur

yang akan diteliti. Di samping itu studi ini juga dilakukan guna memdapatkan data

tentang permasalaha-permasalahan yang telah diteliti oleh pihak lain.

2. Observasi dan wawancara

Metode observasi dilakukan dengan cara mengunjungi dan melakukan

pengamatan terhadap obyek penelitian guna mengumpulkan informasi yang

diperlukan dari sumber aslinya. Metode wawancara digunakan untuk

memperoleh informasi tambahan yang akan memperkuat informasi-informasi

yang telah didapat pada studi kepustakaan dan observasi.

32
BAB III METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan data primer yang terkait dengan penyusunan

kebijakan bea keluar atas bijih mineral kami mewawancarai secara langsung

maupun tidak langsung beberapa pejabat yagterkait dengan penyusunan

kebijakan atas bea keluar. Adapun informan utama yang menjadi referensi data

primer kami adalah :

a) Pejabat pada Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II, Pusat

Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, BKF

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan secara langsung

mengenai aspek teoritis, aspek historis dan kronologis serta aspek

kepentingan dalam penyusunan kebijakan bea keluar atas bijih mineral.

b) Pejabat pada Sub Direktorat Penerimaan, Direktorat Penerimaan dan

Peraturan Kepabeanan dan Cukai, DJBC

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan secara langsung

mengenai implikasi penerapan bea keluar terhadap kinerja penerimaan

DJBC

c) Pejabat pada Sub Direktorat Ekspor, Direktorat Teknis Kepabeanan, DJBC

Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan secara langsung

mengenai aspek teoritis, aspek historis dan kronologis serta aspek

kepentingan dalam penyusunan kebijakan bea keluar atas bijih mineral.

Selain itu, untuk mendapatkan masukan mengenai kendala dan

permasalahan teknis dalam implementasi kebijakan bea keluar

3. Focuss Group Discussion

Fokus grup diskusi adalah teknik pengumpulan data kualitatif yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa orang yang berkompeten

dengan topik permasalahan dengan pengarahan dari seorang moderator atau

33
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

fasilitator. Tujuan utama focus grup ini adalah untuk memperoleh informasi

secara mendalam terhadap satu atau beberapa aspek permasalahan yang

dibicarakan. Idealnya, penyelenggarakan focus grup ini dilakukan dalam forum

yang tidak terlalu banyak, sekitar 6-12 orang.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Focuss Group

Discussion (FGD) dengan tujuan utama untuk mengklarifikasi dan sekaligus

mengkonfirmasi beberapa kesimpulan awal hasil analisis data penelitian. Peserta

yang dilibatkan dalam FGD ini berasal dari unit pengambil kebijakan (Pusat

Kebijakan Kepabeanan dan Cukai BKF, Direktorat Teknis KepabeananDJBC,

Direktorat PPKC DJBC, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

F. Metode Analisis Data

Untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan peneliti menggunakan

dua cara. Yang pertama, dilakukan dengan menggunakan metode analisis

dampak regulasi (regulatory impact assessment). Metode regulatory impact

assesment (RIA) adalah metode yang bertujuan untuk untuk menilai secara

sistematis pengaruh negatif dan positif suatu regulasi yang sedang diusulkan

atau sedang berjalan (Wardani dkk, 2008). Tahapan-tahapan aanlisis dalam

metode RIA dapat digambarkan sebagai berikut:

34
BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 3.1
Tahapan Metode Analisis RIA

Disamping menggunakan Metode RIA, khusus untuk data yang bersifat

kuantitatif peneliti juga menggunakan statistik deskriptif yang relevan untuk lebih

menjelaskan analisis permasalahan. Penggunaan statistik deskriptif ini akan

lebih menggambarkan data dan fakta mengenai kondisi sumber daya mineral,

fakta pemungutan bea keluar dan dampak kebijakan.

35
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

36
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Data dan Fakta

Bea keluar atas bijih mineral merupakan jenis pajak yang dipungut oleh

pemerintah atas barang ekspor. Untuk melihat lebih detil data dan fakta

mengenai penetapan bijih mineral sebagai obyek bea keluar kami

menguraikannya dalam pemaparan yang menyangkut gambaran umum sumber

daya mineral, kebijakan mineral di Indonesia, aspek legal bea keluar atas bijih

mineral, kronologis penetapan bea keluar atas bijih mineraldan kendala-kendala

teknis pengawasan bea keluar oleh DJBC atas bijih mineral.

1. Gambaran Umum Sumber Daya Mineral

Indonesia adalah negeri yang diberikan karunia kekayaan alam yang maha

besar oleh sang pencipta. Dari Sabang sampai Merauke tersebar kekayaan

sumber daya alam baik yang masih merupakan cadangan maupun yang telah

dieksploitasi.Untuk memperlihatkan kondisi riil pemanfaatan sumber daya

mineral di Indonesia, berikut ini kami tampilkan profil masing-masing bahan

tambang mineraldisertai dengan data statistik yang mencakup pengadaan dan

penggunaannya.Pemilihan data mineral yang ditampilkan dalam penelitian ini

memprioritaskan terhadap jenis mineral yang banyak diekspor ke luar negeri.

a. Nikel

Nikel digunakan sebagai bahan paduan logam yang banyak digunakan

diberbagai industri logam.Nikel biasanya terbentuk bersama-sama dengan kromit

37
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

dan platina dalam batuan ultrabasa seperti peridotit, baik termetamorfkan

ataupun tidak. Terdapat dua jenis endapan nikel yang bersifat komersil, yaitu:

 endapan hasil konsentrasi residual silika dan pada proses pelapukan batuan

beku ultrabasa; serta

 endapan nikel-tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan pirit, pirotit,

dan kalkopirit.

Merujuk pada data produsen nikel dunia versi United States Geological

Survey (USGS) pada tahun 2012 Indonesia menjadi penyuplai nomor 2 terbesar

di dunia setelah Philippines.Peringkat ini menurun dari periode sebelumnya di

tahun 2011 yang mana Indonesia sempat menjadi produsen nikel terbesar di

dunia. Data lain yang cukup menarik dari tampilan gambar grafik4.1 berikut

terlihat dari trend produksi nikel Indonesia yang menunjukkan perkembangan

peningkatan.

Gambar 4.1
Produksi Nikel Dunia Tahun 2010-2012

38
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Potensi nikel terbesar di Indonesia terdapat di Pulau Sulawesi, Kalimantan

bagian tenggara, Maluku, dan Papua. Berdasarkan data BPS 2011,

penambangan besar bijihnikel diusahakan oleh PT. Aneka Tambang (Persero)

yang melakukan kegiatannya didaerah Pomalaa dan P.Gebe, PT ValeIndonesia

di Soroako, Sulawesi Selatan,dan PT GAG Nikel di Sorong, Papua Barat.Sampai

dengan tahun 1978 semua bijihnikel yang dihasilkan oleh PT. AnekaTambang

(Persero) diekspor ke Jepang.

Berdasarkan data statistik versi BPSpada tabel 4.1, dalam kurun waktu

tahun 2007-2011produksi nikel Indonesia cenderungmengalami peningkatan.

Pada tahun 2007produksinya baru mencapai 7,11 juta. Angka ini kemudian

meningkat pada tahun 2010 menjadi 9,48 juta tondan pada tahun 2011

meningkat kembali menjadi sebesar12,48 juta ton.Dari sekian banyak produksi

nikel yang dihasilkan, hampir seluruhnya diekspor. Penggunaan nikel sebagai

bahan baku lokal hanya terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 22,6% dari total

produksi nikel nasional.

Tabel 4.1
Produksi Nikel Indonesia
Tahun 2007-2011
Uraian 2007 2008 2009 2010 2011*

Produksi (Ton) 7.112.870 6.571.764 5.819.565 9.475.362 12.482.829

Penggunaan DN (Ton) - - - 2.137.272 -

Nilai (Jutaan Rp) - - - 523.035 -

Ekspor 6.907.459 5.342.924 7.452.415 7.995.885 12.482.829

Nilai (Ribu USD) 1.923 58.772 81.977 243.514 436.995


*angka sementara
sumber: BPS

39
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

b. Bijih Aluminium (bauksit)

Bauksit (bauxite) adalah biji utama untuk pembuatan alumininium.Bauksit

terdiri atas bahan-bahan yang heterogen, yang mempunyai mineral dengan

susunan terutama dari oksida aluminium, yaitu berupa mineral buhmit

(Al2O3H2O) dan mineral gibsit (Al2O3 .3H2O).Pembentukan bijih bauksit terjadi

di daerah tropika dan subtropika yang memungkinkan pelapukan sangat kuat.

Bauksit terbentuk dari batuan sedimen yang mempunyai kadaraluminium (Al)

nisbi tinggi, kadar Ferum (Fe) rendah dan kadar kuarsa (SiO2) bebasnya sedikit

atau bahkan tidak mengandung sama sekali

Potensi dan cadangan endapan bauksit terdapat di Pulau Bintan,

Kepulauan Riau, Pulau Bangka dan Pulau Kalimantan.Namun kegiatan

penambangan bauksit sebagian besar dilaksanakan oleh unitpertambangan

bauksit PT. Aneka Tambang di daerah Kijang dan sekitarnya (Pulau Bintan,

propinsi Kepulauan Riau). Penambangan bauksit dilakukan dengan cara

tambang terbuka.

Merujuk pada data statistik versi USGS tahun 2009 pada Gambar 4.2,

Indonesia menduduki rangking ke-13 dunia sebagai pemasok bauksit dunia.

Angka produksi bauksit Indonesia mencapai 1,2 juta metrik ton. Adapun

produsen bauksit terbesar dunia adalah Australia dengan total produksi

mencapai 65,23 juta metrik ton.

40
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.2
Produksi Bauksit Dunia Tahun 2009

Merujuk pada data statistik nasional versi BPS, pada tahun 2007 produksi

bauksitIndonesia sebanyak 1,25 juta ton. Angka ini terusmenurun sampai dengan

tahun 2009.Pada tahun 2010 produksi bauksit nasional meningkat tajam menjadi

2,2 juta ton. Kemudian tahun 2011, angka produksi bauksit meningkat cukup

fantastis menjadi 24,71 jutaton atau sepuluh kali lipat lebih dari produksi tahun

sebelumnya.

Sebagian besar hasil produksi bauksitIndonesia diekspor.Pada tahun

2008sebanyak 893.1 ribu ton atau sekitar 75,5% diekspor. Pada tahun 2009

volume yangdiekspor mengalami penurunan, hanya58,6%.menjadi 0,94 juta ton.

Untuk tahun 2011 data penggunaan bauksit nasional belum tersedia.

41
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Tabel 4.2
Produksi Bauksit Indonesia
Tahun 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011*

Produksi (Ton) 1.251.147 1.152.322 935.211 2.200.000 24.714.940

Penggunaan DN 256.000 259.234 364.982 400.000 -

Nilai (Jutaan Rp) 33.254 62.216 87.596 96.000 -

Ekspor 964.282 893.088 566.539 1.824.556 24.714.940

Nilai (Ribu USD) 13.917 21.434 13.597 32.295 470.172


*angka sementara
sumber: BPS

c. Tembaga

Tembaga secara fisik berwarna kuning dan apabila dilihat dengan

menggunakan mikroskop bijihnyaakan berwarna pink kecoklatan sampai

keabuan.Unsur tembaga terdapat pada hampir 250 mineral, tetapi hanya sedikit

saja yang bersifat komersial. Mineral tembaga utama dalam bentuk deposit

oksida adalah krisokola (CuSiO3.2HO), malasit (Cu2(OH)2CO3), dan azurit

(Cu3(OH)2(CO3)2).Deposit tembaga dapat diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu:

deposit porfiri, deposit stratabound dalam batuan sedimen, deposit masif pada

batuan volkanik, deposit tembaga nikel dalam intrusi/mafik, serta deposit nativ.

Umumnya bijih tembaga di Indonesia terbentuk secara magmatik. Pembentukan

endapan magmatik dapat berupa proses hidrotermal atau metasomatisme.

Dalam proses pemurnian tembaga, biasanya endapan bijih tembaga juga

mengandung seng, timbal, emas dan perak.

42
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.3
Produksi Tembaga Dunia Tahun 2008

Data statistik tembaga dunia menurut versi USGS tahun 2008 menunjukan

bahwa produsen tembaga terbesar dunia adalah Chile dengan total produksi 3,3

juta metrik ton. Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia dengan total produksi

sebanyak 632 ribu metrik ton.

Dalam kehidupan sehari-hari, tembaga memiliki fungsi yang cukup

penting.Logam tembaga digunakan secara luas dalam industri peralatan listrik,

bidang telekomunikasi maupun bidang-bidang lainnya.Keunggulan tembaga

terletak pada sifatnya sebagai penghantar yang baik.Kawat tembaga dan paduan

tembaga digunakan dalam pembuatan motor listrik, generator, kabel transmisi,

instalasi listrik rumah dan industri, kendaraan bermotor, konduktor listrik, kabel

dan tabung coaxial, dan sebagainya.

43
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Potensi tembaga terbesar yang dimiliki Indonesia terdapat di Papua, Jawa

Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.Usaha untuk menemukan dan

mengusahakanbijih tembaga di Indonesia telahdilakukan sejak zaman

Belanda.Hal initerbukti dari berbagai buku laporan tentanghasil penyelidikan

endapan bijih tembagayang dibuat oleh Belanda.Menurut laporantersebut,

endapan bijih tembagaditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan,Sulawesi dan

Timor.Hampir semuaendapan yang diketahui ini kecil dan tidakekonomis untuk

diusahakan.Sedangkanbijih tembaga yang mempunyai nilaiekonomis hanya

terdapat di Papua.

Berdasarkan data statistik nasional pada tabel 4.3, produksi tembaga

nasional pada tahun 2007sebesar 796.899 ton. Angka ini sempat mengalami

penurunan produksi pada tahun 2008 menjadi 655.046 ton. Produksi tembaga

nasional mulai meningkat kembali pada tahun 2009 dan terus meningkat hingga

tahun 2011. Pada tahun 2011produksi tembaga mencapai 1.472 ribu tonatau

meningkat sekitar 48,23% dari tahun sebelumnya.

Tabel 4.3
Produksi dan Penggunaan Tembaga Indonesia
Tahun 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011

Produksi (Ton) 796.899 655.046 973.347 993.152 1.472.238

Penggunaan DN (Ton) 993.152 548.688

Nilai (Jutaan Rp) 22.678.723 12.529.344

Ekspor 785.552 785.552 1.043.305 1.360.745 1.065.429

Nilai (Ribu USD) 5.576.198 2.304 3.060.361 3.991.519 3.403.442


*angka sementara
sumber: BPS

44
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

d. Bijih Besi dan Pasir Besi

Bijih besi(iron ore) di alam tersedia dalam bentuk bijih (iron primary) dan

pasir besi (iron sand).Khusus untuk pasir besi, secara umum terdiri dari mineral

opak yang bercampur dengan butiran-butiran dari mineral non logam seperti,

kuarsa, kalsit, feldspar, ampibol, piroksen, biotit, dan tourmalin.Mineral tersebut

terdiri dari magnetit, titaniferous magnetit, ilmenit, limonit, dan hematit.Mineral

bijih besi terutama berasal dari batuan basaltik dan andesitik volkanik.

Dalam kehidupan sehar-sehari, bijih besi digunakan untuk industri logam

besidan jugadimanfaatkan pada industri semen. Daerah penghasil pasir besi di

Indonesia meliputi Sumatera, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor.

Gambar 4.4
Produksi Bijih Besi Dunia Tahun 2009

45
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Bila melihat data statistik dunia versi USGS tahun 2009, Indonesia

menempati urutan ke-36 dunia sebagai negara produsen bijih besi. Pada tahun

tersebut survey USGS mencatat produksi bijih besi Indonesia mencapai angka

63 ribu metrik ton. Peringkat pertama dunia sebagai penghasil bijih besi adalah

China dengan total produksi mencapai 880 juta ton.

Kemudian, khsusu untuk pasir besi, data statistik nasional versi BPS,

memperlihatkan adanya peningkatan produksi yang cukup signifikan. Angka

peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2010 dan terus berlanjut hingga

tahun 2011. Pada tahun 2007, produksi pasir besi nasional baru mencapai 124,6

ribu ton. Namun jumlah tersebut meningkat di tahun 2009 menjadi 4,56 juta ton.

Kemudian angka terus meningkat hampir dua kali lipatnya di tahun 2010 menjadi

8,98 juta ton.

Tabel 4.4
Produksi dan Penggunaan Pasir Besi Indonesia
Tahun 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011*

Produksi (Ton) 124.610 4.455.259 4.561.059 8.975.507 11.814.544

Penggunaan DN (Ton) 94.176 2.073.609 3.574.496 - -

Nilai (Jutaan Rp) 2.040 829.444 1.715.758 - -

Ekspor - 1.296.006 1.489.373 9.869.131 11.814.544

Nilai (Ribu USD) - 51.840 75.064 205.646 300.771


*angka sementara
sumber: BPS

46
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

e. Timah

Timah adalah logam berwarna putih keperakan, dengan kekerasan yang

rendah. Berat jenisnya 7,3 g/cm3 dan mempunyai sifat konduktivitas panas dan

listrik yang tinggi. Dalam keadaan normal tampilan logam ini bersifat mengkilap

dan mudah dibentuk.Timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan

granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasanya

berasosiasi dengan turmalin dan urat kuarsa timah, serta sebagai endapan

sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan alluvium, elluvial, dan koluvium.

Mineral utama yang terkandung di dalam bijih timah pada umumnya adalah

kasiterit. Mineral ikutan yang terkandung di dalamnya antara lain pirit, kuarsa,

zircon, ilmenit, plumbum, bismut, arsenik, stibnite, kalkopirit, kuprit, xenotim, dan

monasit. Dalam kehidupan sehari-hari, timah terutama digunakan untuk bahan

baku logam pelapis, solder, cendera mata, dan lain-lain.

Potensi Timah di Indonesia terdapat di Pulau Bangka, Pulau Belitung,

Pulau Singkep, dan Pulau Karimun. Namun daerah penambangan

timahsebagian besar berada di wilayah propinsiBangka Belitung.Dalam sejarah

penambangan timah di Indonesia, produksinya mengalami fluktuatif dan

Indonesia sempat menjadi negara produsen timah terbesar di dunia. Menurut

data USGStahun 2009, produksi timah Indonesia menempati urutan ke-dua

dunia setelah China.

47
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Gambar 4.5
Produksi Timah Dunia tahun 2009

Yang menarik dalam perkembangan industri timah Indonesia, pada bulan

Agustus 2013 telah diresmikan bursa perdagangan timah pertama di Indonesia.

Menurut Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan, dengan pembentukan bursa

perdagangan timah iniakan mencegah praktik under invoice, meningkatkan

penerimaan royalti, mencegah perdagangan timah ilegal dan meningkatkan daya

saing timah Indonesia. Bahkan Indonesia diharapkan akan menjadi penentu

harga timah dunia. (Investor daily, 30 Agustus 2013).

Untuk data statistik timah nasional berdasarkan publikasi BPS, dalam

kurun waktu 2007-2011produksi timah mengalami perubahan yangrelatif kecil.

Pada tahun 2007 produksi timah nasional mencapai 64.127 ton dan tahun 2011

mencapai 89,6 ton. Angka tersebut relatif stabil dengan peningkatan pertahun

sebesar 7,95% .

48
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.5
Produksi Timah Indonesia
Tahun 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011


Produksi (Ton) 64.127 79.210 56.602 97.796
89.600
Penggunaan DN (Ton) 1.942 2.202 1.138 97.984
3.552
Nilai (Jutaan Rp) 87.936 440.379 227.664 17.798.872
621.091
Ekspor 63.678 50.198 117.360 0
77.698
Nilai (Ribu USD) 95.307 95.307 123.519 0
1.476.741
*angka sementara
sumber: BPS

2. Kebijakan Sumber Daya Mineral di Indonesiadan Kronologis

Penetapan Bea Keluar atas Bijih Mineral

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki

sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang

membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.Sumber daya mineral

adalah sumber daya yang termasuk dalam kelompok sumber daya yang tidak

dapat diperbaharui (exhaustible resouces). Barlow (dalam Suparmoko, 2012:64)

mendefinisikan exhaustible resources ini sebagai sumber daya tak pulih. Artinya,

bahwa sumber daya alam ini dari sisi sifat dan volume fisik yang tersedia tetap

dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali. Untuk terjadinya sumber daya

jenis ini diperlukan waktu ribuan tahun.

Oleh karena jumlahnya terbatas maka pemanfaatan sumber daya mineral

hendaknya benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Politik sumber daya mineral Indonesia merupakan bagian dari kebijakan

pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.Secara eksplisit hal ini dinyatakan

49
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

dalam bunyi pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945, yaitu: “Bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tonggak sejarah regulasi atas sumber daya mineral dan batubara tercipta

dengan hadirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara. Undang-undang ini sekaligus menggantikan keberadaan

Undang-undang nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan

reformasi di bidang pertambangan.

Beberapa dasar pertimbangan ditetapkannya Undang-undang Nomor 4

tahun 2009 sebagaimana tercantum dalam klausul pertimbangannya, antara lain:

a) bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam

memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus

dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi

perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;

b) bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang

merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan

gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan

nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan

pembangunan daerah secara berkelanjutan

c) bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun

internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

50
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga

dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang

pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan

mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,

transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna

menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.

Semangat untuk mendorong penciptaan nilai tambah melalui pengolahan

bahan mentah mineral dan batubara telah muncul dalam Undang-undang Nomor

4 tahun 2009. Dalam Pasal 102 disebutkan bahwa Pemegang izin Usaha

Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus(IUPK) wajib

meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam

pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan

mineral dan batubara.

Selanjutnya Pasal 103 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 menjelaskan

lebih lanjut mengenai kewajiban peningkatan nilai tambah tersebut:

a) Pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan

Khusus (IUPK) Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan

pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

b) Pemegang IUP dan JUPK sebagaimana dirnaksud pasal ayat (1) dapat

mengolahdan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan

IUPK lainnya.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah pengolahan mineral

melalui UU No. 4 Tahun 2009 semakin dipertegas dengan keluarnya Peraturan

Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral

melalui kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Aturan yang paling krusial

51
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

dalam peraturan tersebut terdapat pada pasal 21 yang berdampak luas bagi

industri pertambangan khususnya IUP dan Industri Pertambangan Rakyat (IPR) .

Dalam pasal 21 Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 dinyatakan bahwa

pemegang IUP dan pemegang IPR dilarang mengekspor ore (raw material)

dalam waktu tiga bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini. Peraturan

ESDM nomor 7 tahun 2012 mulai berlaku sejak tanggal 06 februari 2012.

Kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh kementerian ESDM

mendapat respon yang beragam dari para pihak yang berkepentingan.

Pemerintahpun menyadari bahwa kebijakan larangan ekspor tentu saja akan

berdampak sangat luas bagi para pemangku kepentingan. Respon negatif

datang dari kalangan eksportir dan produsen mineral dan batubara. Bahkan

beberapa negara maju secara resmi mempertanyakan kebijakan larangan ekspor

bijih mineral ini. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa ketika diwawancarai para

wartawan mengakui hal ini:

"Saya didatangi berbagai macam duta besar.Bahkan ada Perdana Menteri


suatu negara memrotes dan mengatakan kalau begini berarti industri kami
mati semua," ujar Hatta di hotel Grand Cempaka, Jakarta, Rabu (31/7/2013)
(dikutip dari ww.sindonews.com, 2013).

Bagi kalangan eksportir dan produsen minerba, kebijakan ini tidaklah tepat

karena akan merugikan banyak pihak. Merekaberargumentasi bahwa industri

dalam negeri belum mampu menyerap seluruh produksi pertambangan minerba.

Faktor utamanya adalah karena kurangnya fasilitas peleburan dan pemurnian

(smelter) atau fasilitas pengolahan di sisi yang lebih hilir. Cara terbaik untuk

mendapatkan manfaat ekonomi dan menyumbang devisa negara adalah dengan

mengekspor bahan mentah minerba.

52
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pandangan postif yang mendukung kebijakan larangan ekspor bijih

mineral ini tidaklah sedikit. Pemanfaatan sektor minerba untuk memperkuat

industri domestik mempunyai argumentasi bahwa industri nasional masih perlu

mendapat dukungan ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang memadai dan

harga yang murah. Selain itu, ekspor minerba dalam bentuk raw material tidak

memberikan value added yang signifikan terhadap perekonomian nasional selain

penerimaan devisa dalam jangka pendek (Tim Peneliti Biro Perencanaan

Kementerian Perindustrian, 2012:1).

Aspek lain yang juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam

mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 selain

meningkatkan nilai tambah, langkah ini juga memiliki semangat keberpihakan

terhadap industri pengolahan dalam negeri dan upaya untuk memberikan

perlindungan lebih kepada lingkungan. Data statistik nasional sebagaimana telah

disampaikan terdahulu memperlihatkan adanya kecenderungan eksploitasi yang

berlebihan terhadap sumber daya mineral pasca terbitnya Undang-undang

nomor 4 tahun 2009. Batas waktu tahun 2014 sebagai pemberlakuan kewajiban

untuk membangun smelter oleh para produsen minerba rupanya belum disikapi

dengan baik oleh para pengusaha.

Penambahan nilai dalam pengolahan sumber daya mineral merupakan

suatu keharusan. Hal ini sejalan dengan amanat pengelolaan sumber daya

sebagaimana yang diinginkan dalam pasal 33 Undangundang Dasar 1945.

Dengan adanya nilai tambah dalam pengolahan sumber daya mineral maka

potensi keuntungan yang akan diperoleh masyarakat Indonesia juga akan

meningkat. Sebagai ilustrasi, menurut hasil penelitian Tim Peneliti Biro

Perencaan Kementerian Perindustrian (2012:4)harga nikel mentah tingkat II

53
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

(mengandung hanya 2 persen dari volume tanah tambang) sekitar 2 USD per

kilogram atau 2000 USD per ton. Setelah melalui proses peleburan menjadi

ferronickel (FeNi) nilainya bisa melonjak menjadi lebih dari 8 kali lipat menjadi

17.000 USD per ton di London Mineral Exchange (LME). Selanjutnya, untuk lebih

menggambarkan potensi nilai tambah sumber daya mineral, dalam tabel 4.6

berikut kami perlihatkan data potensi peningkatan sumber daya mineral dalam

negeri untuk beberapa produk mineral yang potensial.

Tabel 4.6
Potensi Peningkatan Nilai Tambah Bijih Mineral

Sumber: Ditjend Minerba, kementerian ESDM

Setelah beberapa minggu menjadi polemik hangat di berbagai mas media,

suara-suara penolakan terhadap kebijakan Peraturan Menteri ESDM nomor 7

tahun 2012 ini mendapat respon dari pemerintah. Pada tanggal 1 Mei 2012,

dalam rapat koordinasi terbatas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

54
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dibicarakan secara khusus kebijakan pemerintah untuk mengendalikan bahan

bakar minyak, mineral dan batubara. Dalam rapat koordnasi terbatas tersebut

diputuskan bahwa ekspor bijih mineral akan diatur tata niaganya dan dikaji

kemungkinan dikenakannya bea keluar.

Menjelang tanggal 6 Mei 2012 sebagai dateline pemberlakuan Peraturan

Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 belum juga muncul langkah implementatif

dari hasil rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian. Untuk itu Direktur

Jenderal Bea dan Cukai menerbitkan surat kepada seluruh Kepala Kantor Bea

dan Cukai dengan nomor S-377/BC/2012 yang isinya menegaskan pelarangan

ekspor bijih mineral.

Pada tanggal 7 Mei 2012, sehari setelah berlakunya ketentuan larangan

ekspor bijh mineral Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri

Perdagangan nomor 29/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Produk

Pertambangan. Peraturan ini merupakan bentuk implementasi kebijakan tata

niaga ekspor bijih mineral yang diputuskan dalam rapat koordinasi Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 1 Mei sebelumnya. Beberapa

pokok aturan yang tertuang dalam aturan Permendag 29/M-DAG/PER/5/2012

tersebut antara lain:

a) Ekspor produk pertambangan tertentu (lihat lampiran 2 penelitian ini) diatur

ekspornya dan harus berasal dari pemegang IUP operasi produksi, IPR,

IUPK Operasi Produksi dan/atau Kotrak Karya

b) Kegiatan ekspor produk pertambangan tertentu (lihat lampiran 2 penelitian

ini) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat

pengakuan sebagai eksportir tertentu (ET) Produk Pertambangan dari

Menteri Perdagangan

c) Produk pertambangan yang diatur ekspornya wajib dilakukan verifikasi atau

penelusuran teknis sebelum muat barang. Kegiatan verifikasi ini dilakukan

oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

55
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Selanjutnya pada tanggal 16 Mei 2012, Menteri ESDM menerbitkan

Peraturan Menteri ESDM nomor 11 tahun 2012 yang mengamandemen isi dari

Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 dengan menambahkan pasal 21A.

Isi pasal 21A tersebut mengatur kembali bahwa pemegang IUP Operasi Produksi

dan IPR dapat menjual bijih mineral ke luar negeri apabila telah mendapatkan

rekomendasi dari Menteri ESDM c.q. Direktur Jenderal.

Bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM nomor 11

tahun 2012, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor

75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenai Bea Keluar

dan Tarif Bea Keluar. PMK inilah yang menjadi landasan hukum pemberlakuan

bea keluar atas bijih mineral. Dalam PMK tersebut ditetapkan 65 jenis barang

mineral yang dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

a) mineral logam,

Terdiri dari 21 komoditi berupa pirit besi dan bijih : besi, tembaga, seng,

mangan, nikel, kobalt, aluminium, timbal, kromium, molibdenum, ilmenite,

titanium, zirkonium, perak, emas, platinum dan antimoni.

b) mineral bukan logam

Terdiri dari 10 komoditi, yaitu : kuarsa, kuarsit, kaolin dan tanah liat kaolin

lainnya dikalkinasi maupun tidak, batu kapur, feldspar, zirkonium silikat dari

jenis yang digunakan sebagai opasitas, zeolit bubuk diaktivasi dengan nilai

KTK 100 miliequivalen, zeolit bentuk pelet atau semacamnya dengan nilai

KTK 100 miliequivalen, intan industri lainnya dan intan bukan industri

lainnya.

56
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

c) Batuan

Terdiri dari 34 komoditi, antara lain :garnet alami, batu sabak, onik, marmer

dan travertine yang tidak dikerjakan atau dikerjakan secara kasar, onik, giok,

granit, peridotit, gabro, opal, kalsedon, jasper, topaz.

Penetapan barang-barang yang dikenakan bea keluar dalam PMK ini sejalan

dengan daftar penetapan barang mineral yang dikenakan tata niaga ekspor

berdasarkan Permendag nomor 29/M-DAG/PER/5/2012. Rincian lengkap daftar

bijih mineral yang ditetapkan bea keluar dan besaran tarif bea keluarnya kami

sertakan dalam lampiran 2 penelitian ini.

3. Aspek Teknis dan Kendala yang Dihadapi DJBC

Penetapan bea keluar dan pembatasan ekspor bijih mineral dinilai banyak

kalangan sebagai langkah yang tepat dalam menertibkan kegiatan ekspor produk

pertambangan serta mengoptimalkan dan menjaga penerimaan negara. Setelah

lahirnya PMK nomor 75/PMK.01/2012 maka secara resmi DJBC meningkatkan

pengawasan terhadap ekspor bijih mineral. Bukan hanya terhadap pengawasan

fisik namun juga pengawasan terhadap hak-hak keuangan negara. Dua hal inilah

yang menjadi tantangan yang cukup besar bagi aparatur DJBC.

Dari sisi teknis, petugas DJBC di lapangan dituntut kemampuannya untuk

memahami karakteristik produk dan spesifikasi teknis terhadap produk tambang

yang terkena aturan tata niaga ekspor dan pengenaan bea keluar. Hal ini tidaklah

mudah, seperti diakui oleh Bambang Lusyanto dan Eri Prasetyanto, Kepala Seksi

Ekspor Drektorat Teknis Kepabeanan, DJBC (wawancara, Agustus 2013).

Beberapa kendala yang ditemui di lapangan terkait tugas pengawasan atas

ekspor bijih mineral yang terkena bea keluarantara lain menyangkut: kriteria fisik

bijih mineral, harga patokan ekspor, rekomendasi dan persetujuan ekspor, serta

infrastruktur daerah yang terbatas.

57
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

a. Kriteria Fisik Produk Mineral

Salah satu permasalah bea keluar yang cukup strategis adalah

permasalahan mineral logam dalam bentuk konsentat. Sesuai kebijakan

pemerintah dalam PMK nomor 75/PMK.01/2012, pengenaan bea keluar produk

mineral logam hanya dikenakan terhadap mineral logam berupa bijih, sedangkan

konsentrat tidak dikenakan bea keluar. Pertimbangannya adalah karena

produksi konsentrat mineral dianggap telah mengalami peningkatan nilai

tambah dari kondisi mentahnya.

Dari sisi pelaksanaan di lapangan, membedakan antara bijih dan

konsentrat bukanlah hal yang mudah. Padahal ini menentukan sekali apakah

ekspor mineral logam dikenakan bea keluar atau tidak. Untuk memastikan hal ini,

Direktur Jenderal Bea dan Cukai samapai harus meminta klarifikasi secara

langsung kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM.

Sesuai dengan klarifikasi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara,

Kementerian ESDM kepada Ditjen Bea dan Cukai melalui surat nomor :

339/30/DJB/013 tanggal 28 Februari 2013 dinyatakan bahwa pengolahan

mineral bijih menjadi konsentrat merupakan proses pemisahan antara

mineral berharga dengan mineral tidak berharga, sehingga didapat kadar

yang lebih tinggi dan menguntungkan baik melalui proses konsentrasi

gravitasi, konsentrasi elekstrostatik, konsentrasi magnetik (magnetic

separator) maupun proses flotasi.

Dalam surat klarifikasi tersebut disampaikan juga beberapa kriteria

konsentrat untuk :

58
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

a) tembaga, apabila berkadar 18-40% (rata-rata 24%) Cu (tembaga), 22-41g/t

Au (emas), 50-60g/t Ag (perak); ukuran 100-75 mesh; proses : crushing,

grinding, flotasi, dewatering.

b) timbal, apabila kadarnya lebih dari 50% Pb; ukuran 65-140 mesh; proses :

konsentrasi gravity (meja goyang), klasifier, flotasi.

c) seng, apabila kadarnya lebih dari 50% Zn; ukuran sampai dengan 65 mesh;

proses : crushing, milling, klasifier, flotasi.

Selain kriteria yang diberikan oleh Dirjend Minerba tersebut, tidak ada

panduan resmi untuk kepentingan pengawasan. Yang bisa dijadikan bahan

pertimbangan bagi petugas bea dan cukai adalah data perusahaan/eksportir,

apakah yang bersangkutan telah memiliki unit pengolahan bijih mineral atau

belum atau yang bersangkutan telah memiliki kerjasama pengolahan dengan unit

pengolahan mineral. Jika perusahaan telah memiliki, besar kemungkinan bijih

yang diekspor telah melalui proses pengolahan menjadi konsentrat dan

sebaliknya.

Selain masalah pembedaan bijih dan konsentrat, pemahaman teknis

berikutnya adalah pengetahuan atas bijih itu sendiri. Bijih mineral suatu logam

dapat ditemui dalam beberapa wujud dan beberapa senyawa, misalnya, bijih besi

biasanya ditemukan dalam bentuk magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), goethite

FeO(OH), limonit (FeO (OH) dan (H2O) atau siderite (FeCO3). Hal ini

memerlukan peningkatan pengetahuan khusus pegawai DJBC.

b. Harga Patokan Ekspor

Dalam struktur harga ekspor (HE) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

beberapa jenis mineral (bijih besi, mangan, nikel dan bauksit) memiliki layer

59
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

harga sesuai kandungan mineralnya, seperti diperlihatkan dalam Tabel 4.9.

Dalam pelaksanaan di lapangan, hal ini akan menyulitkan pejabat DJBC untuk

melakukan pelayanan yang cepat dan akurat. Pembedaan HE berdasarkan layer

ini berpotensi menjadi celahbagi eksportir untuk pelarian bea keluar dengan

pemberitahuan kadar yang tidak sebenarnya.

Berdasarkan Peraturan Dirjen Daglu nomor 01/DAGLU/PER5/2012

tentang Petunjuk Teknis Verifikasi atau Penelusuran Teknis Ekspor Produk

Pertambangan, Surveyor harus melakukan dua kali verifikasi dan penelusuran

teknis terhadap produk pertambangan yang diekspor. Verifikasi pertama

dilaksanakan sebelum barang dimuat ke sarana pengangkut dan hasilnya

dituangkan dalam Report of Analysis (RoA). Verifikasi kedua dilaksanakan

setelah barang dimuat ke sarana pengangkut dan hasilnya dituangkan ke dalam

Certificate of Analysis (CoA). Proses penerbitan CoA ini rata-rata memerlukan

waktu 4-5 hari.

Kendala pengawasan yang dialami DJBC berkaitan dengan proses ini

adalah bahwa DJBC tidak mungkin menahan keberangkatan sarana pengangkut

sampai dengan terbitnya CoA. Dalam standar prosedur pelayanan kepabeanan,

persetujuan muat (istilah lainnya persetujuan ekspor) harus diberikan ketika

barang akan dimuat ke Sarana pengangkut. Dalam konteks kepabeanan, ketika

barang sudah dimuat ke sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah

pabean, maka barang ekspor dianggap telah diekspor.

Kendala pengawasan atas barang ekspor mineral yang terkena bea keluar

akan berlanjut apabila hasil CoA berbeda dengan RoA. Apabila hasil verifikasi

pihak Surveyor menyimpulkan bahwa kadar prosentase dalam CoA lebih kecil

dibanding RoA (CoA < RoA) maka bea keluar yang telah dibayarkan sebelumnya

60
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dapat dikembalikan sesuai dengan selisih hasil verifikasi tersebut. Namun

apabila kesimpulan verifikasi Surveyor menyatakan CoA > RoA, maka DJBC

wajib menagih kekurangan pembayaran bea keluar disertai sanksi adminsitrasi

berupa denda sesuai PP nomor 55 tahun 2008. Mekanisme pengenaan denda

administrasi dalam kasus ini sepertinya tidak adil bagi eksportir karena

kesalahan pemeberitahuan perhitungan bea keluar dalam PEB bukanlah unsur

kesengajaan.

c. Inkonsistensi pencatuman referensi Jumlah Satuan Barang dalam


Rekomendasioleh pihak terkait

Variabel lain penentu perhitungan bea keluar adalah unsur jumlah barang.

Beberapa komoditi bijih mineral logam,satuan jumlah barangnya dinyatakan

dengan wet metric ton (WMT) dan yang lain dengan dry metric ton (DMT).

Penggunaan satuan ini akan menjadi kendala tersendiri apabila tidak ada

kesesuaian antara rekomendasi yang dikeluarkan pihak Kementerian ESDM

dengan SPE yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Perbedaan ini sangat

signifikan mengingat ekspor produk pertambangan biasanya diekspor dalam

jumlah besar sehingga mengakibatkan resiko kehilangan bea keluar yang besar

juga.

d. Keterbatasan Infrastruktur

Dari sisi pelayanan kepabeanan, ekspor barang tambang mineral di

Indonesia sebagaian besar dilakukan didaerah-daerah yang pengawasannya

dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai tipe B (tipe paling kecil). DJBC memiliki

keterbatasan sarana dan juga sumber daya manusia (SDM) di kantor-kantor tipe

kecil tersebut. Tabel pada lampiran 3 penelitian ini, mungkin bisa memberikan

gambaran kongkrit mengenai keterbatasan pelayanan yang diberikan. Tabel

61
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar produk mineral diekspor melalui

pengawasan kantor-kantor Bea dan Cukai yang relatif kecil, seperti: KPPBC

Ternate, KPPBC Kendari, KPPBC Teluk Bayur, KPPBC Sampit, KPPBC

Kotabaru dan sebagainya.

Dalam tatalaksana kepabeanan ekspor terhadap pemberitahuan ekspor

barang yang terkena bea keluar maka diberlakukan ketentuan pemeriksaan fisik

barang. Begitu pula halnya dengan PEB atas produk mineral yang terkena bea

keluar ini. Namun mengingat karakteristik bijih mineral sangat sulit dilakukan

identifikasi dan klasifikasinya secara langsung maka tingkat akurasi pemeriksaan

sangat bergantung pada hasil uji laboratorium. Pemeriksaan laboratorium untuk

mengetahui kandungan bijih mineral memerlukan waktu yang cukup lama dan

belum seluruh wilayah Indonesia memiliki Balai Pengujian dan Identifikasi Barang

(BPIB) terutama di wilayah Indonesia Timur.

Kendala pengawasan timbul apabila barang ekspor bijih mineral dilakukan

melalui kantor-kantor bea dan cukai daerah yang infrastrukturnya masih terbatas.

Jarak tempuh dan sarana tansportasi untuk mengirimkan sampel barang ekspor

ke BPIB terdekat menjadi kendala. Pada akhirnya, pemeriksa DJBC di lapangan

memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil verifikasi dan

penelusuran teknis yang dituangkan Surveyor dalam Laporan Surveyor. Sebagai

aparatur fiskal, kondisi keterbatasan yang dialami DJBC seperti ini sangat tidak

ideal.

Kendala lainnya yang terkait dengan pengawasan atas ekspor bijih mineral

yang terkena bea keluar terletak pada SDM, terutama di kantor-kantor Bea dan

cukai tipe kecil. Pemeriksaan fisik terhadap produk mineral memiliki karakteristik

62
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

khusus sehingga diperlukan SDM dengan kemampuan khusus. Keterbatasan ini

juga diakui oleh Bambang Lusyanto (FGD, 18 September 2013).

B. Analisis Data dan Pembahasan Masalah

Pertanyaan penilitian yang harus kami jawab dengan menggunakan

analisis empiris adalah pertanyaan apakah kebijakan pembatasan ekspor bijih

mineral yang disertai dengan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral dalam

rangka mendorong penciptaan nilai tambah mineral sudah tepat. Untuk

menjawab pertanyaan penelitian ini, kami melakukan analisis peneilitian

menggunakan metode RIA. Adapun tahapan analisis RIA mencakup perumusan

masalah, perumusan tujuan, perumusan alternatif dan analisis manfaat dan

biaya. Pilihan alternatif kebijakan mana yang paling tepat akan ditentukan

berdasarkan perbandingan antara manfaat dan biaya yang diidentifikasi.

1. Perumusan Masalah dan Bentuk Regulasi

Kebijakan bea keluar atas bijih mineral merupakan pilihan solusi yang

diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan eksploitasi sumber daya

mineral yang dilakukan secara berlebihan tanpa adanya upaya-upaya

peningkatan nilai tambah.

Dalam penelitian ini, permasalahan mendasar yang melatarbelakangi

munculnya regulasi pemerintah dalam bentuk kebijakan pembatasan ekspor

yang disertai dengan pemungutan bea keluar atas bijih mineral adalah kondisi

kegiatan ekspor mineral dalam bentuk bijih yang mengalami peningkatan

signifikan pasca dikeluarkannya Undang-undang nomor 4 tahun 2009. Kegiatan

eksploitasi sumber daya mineral cenderung dilakukan secara berlebihan tanpa

63
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

adanya upaya-upaya untuk meningkatkan nilai tambahnya bagi perekonomian di

dalam negeri.

Tabel berikut ini merupakan rangkuman permasalahan dan bentuk regulasi

yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun sekali lagi kami perlu tekankan disini

bahwa kajian ini lebih menitikberatkan pada aspek penerapan bea keluar atas

bijih mineral.

Tabel 4.7
Regulasi dan Permasalahan

Regulasi Masalah yang ingin diselesaikan

Pembatasan ekspor bijih mineral Kondisi eksploitasi sumber daya mineral


yang disertai dengan ketentuan secara berlebihan tanpa diikuti dengan
kebijakan bea keluar upaya penciptaan nilai tambah di dalam
negeri

2. Latar Belakang Kebijakan Bea Keluar

Untuk mengetahui latar belakang pengenaan bea keluar atas bijih mineral

sebagai bagian dari instrumen pembatasan ekspor, kami telah melakukan studi

literatur, mewawancarai dan berdiskusi dengan beberapa informan yang

berkompeten dengan kebijakan bea keluar atas bijih mineral. Berikut intisari yang

dapat kami paparkan berdasarkan pendapat dan kajian literatur tersebut.

Menurut Kusmartata (wawancara, 29 Agustus 013) kebijakan bea keluar

lahir sebagai solusi sementara untuk mengurangi laju pertumbuhan ekspor bijih

mineral dalam kondisi mentah (raw material atau ore). Pilihan kebijakan bea

keluar sebagai solusi, salah satunya dilatarbelakangi dengan success story

penerapan kebijakan bea keluar pada komoditi CPO dan bijih coklat yang telah

64
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dilakukan sebelumnya oleh pemerintah.Untuk memperlihatkan latar belakang

kebijakan bea keluar atas bijih mineral, Kusmartata (FGD, 18 September 2013)

memperjelas dengan suatu ilustrasi kerangka teoritis seperti diperlihatkan dalam

gambar 4.6berikut.

Gambar 4.6
Kerangka Pikir Kebijakan Bea keluar Bijih Mineral
Versi BKF

Kondisi pertambangan di Indonesia mengalami perubahan mendasar

setelah terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009 menggantikan UU nomor 11 tahun

1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Salah satu pokok pikiran yang

65
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

sangat strategis dalam UU pertambangan yang baru ini adalah bahwa mineral

dan batubara sebagai sumber daya yang tidak terbarukan dikuasai oleh negara

dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah

dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha.

Setelah terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009 euforia daerah yang memiliki

sumber daya pertambangan untuk meningkatkan penerimaan asli daerahnya

begitu tinggi.Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada badan usaha yang berbadan hukum, koperasi, perseorangan

maupun masyarakat setempat di daerah untuk melakukan pengusahaan mineral

dan batubara.Izin diberikan oleh pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya masing-masing.

Dalam praktiknya pemberian keleluasaan yang sangat luas kepada

Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) memiliki

dampak eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya mineral.Yang

sangat mengkhawatirkan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya mineral

tersebut tidak diikuti dengan peningkatan nilai tambah yang signifikan bagi

industri di dalam negeri.

Uraian data statistik yang telah kami sampaikan dalam bagian data dan

fakta sebelumnya memperlihatkan dengan jelas kondisi meningkatnya ekspor

sumber daya mineral pasca terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009.Peningkatan

paling ekstrem terjadi untuk komoditi bijih aluminium (bauksit).Tahun 2009

ekspor bijih aluminum Indonesia ke luar negeri baru mencapai 566 ribu ton.

Jumlah ini meningkat 222% pada tahun 2010 menjadi 1,8 juta ton.

66
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.7
Ekspor Bijih Mineral Pasca UU No.4 Tahun 2009

14000000

12000000

10000000

8000000
Tahun I
6000000 Tahun II
Peningkatan
4000000

2000000

0
Pasir besi (ton) Bauksit (ton) Bijih nikel (ton)
Mineral Utama

Jenis Mineral Tahun I Tahun II Peningkatan Keterangan


Pasir besi (ton) 9869131 11814544 20% 2010 ke 2011
Bauksit (ton) 566539 1824556 222% 2009 ke 2010
Bijih nikel
(ton) 7995885 12482829 56% 2010 ke 2011

Sepertinya, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pengantar UU

Nomor 4 tahun 2009 yang menginginkan agar usaha pertambangan harus

memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

rakyat Indonesia belum dapat diwujudkan. Di sisi lain penambangan secara

massif berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Inilah yang

menimbulkan keprihatinanan mendalam dari sebagian masyarakat yang peduli

dengan kelestarian sumber daya dan juga pemerintah.Untuk itu pemerintah perlu

mengevaluasi kembali kebijakan dan aturan main untuk usaha pertambangan

tersebut. Kronologis terbitnya kebijakan bea keluar telah kami sampaikan dalam

uraian data dan fakta.

67
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Merujuk pada analisis penelitian oleh Biro Perencanaan Kementerian

Perindustrian (2012), terjadinya lonjakan ekspor beberapa produk mineral

Indonesia setelah tahun 2009 merupakan dampak langsung dari terbitnya UU

Nomor 4 tahun 2009. Faktor pemicunyanya adalah adanya kelonggaran kepada

daerah untuk melakukan eksploitasi sumber daya mineral dan adanya batas

waktu lima tahun bagi pemegang Kontrak Karya Pertambangan untuk

membangun smelter pemurnian. Pengendalian ekspor bahan mentah minerba

memiliki semangat yang membangun bagiperekonomian domestik.

Berdasarkan uraian latar belakang pengambilan kebijakan, kami

mengambil kesimpulan bahwa tujuan utama dari regulasi penerapan bea keluar

yang diiringi dengan pembatasan ekspor bijih mineral adalah untuk mengurangi

tindakan eksploitasi sumber daya mineral secara berlebihan dan mendorong

upaya penciptaan nilai tambah sumber daya mineral di dalam negeri. Regulasi

ekspor atas bijih mineral bukanuntuk menghambat perdagangan tetapi dalam

rangka memanfaatkan kekayaan mineral nasionaluntuk sebesar-besarnya

kemakmuran bangsa. Upaya ini tidak dapat ditundakarena kekayaan mineral

akan habis pada suatu saat dan tidak dapatdiperbaharui.

3. Alternatif Pilihan Kebijakan

Piilihan untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral dalam

rangka peningkatan nilai tambah pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua

alternatif kebijakan, yaitu:

a) Alternatif 1 : Do Nothing. Dalam metode analisis RIA, alternatif kebijakan

yang harus selalu dibuat adalah pililihan untuk tetap mempertahankan

kondisi saat ini tanpa adanya intervensi kebijakan apapun. Alternatif do

68
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

nothing merupakan suatu kondisi baselineyang nantinya akan

dibandingkan dengan kondisi yang terjadi jika alternatif kebijakan lain

diimplementasikan.

b) Alternatif 2: Kebijakan pembatasan ekspor yang disertai dengan intervensi

fiskal berupa bea keluar dalam rangka membatasi ekspor bijih mineral.

Alternatif kebijakan yang kedua inilah yang saat ini diimplementasikan oleh

pemerintah.

Selain kedua alternatif kebijakan tersebut, sebenarnya masih ada satu

alternatif kebijakan yang relevan untuk diterapkan dalam rangka mengatasi

permasalahan sumber daya mineral, yaitu aternatif kebijakan tata niaga ekspor

yang ketat berupa larangan ekspor bijih mineral.Alternatif kebijakan ini sejalan

dengan amanat UU Nomor 4 tahun 2009 yang menginginkan adanya

peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan batu bara untuk kepentingan

industri dalam negeri. Diharapakan lima tahun setelah pemberlakuan UU Nomor

4 tahun 2009 tersebut usaha pertambangan di Indonesia telah membangun

sendiri smelter-smelter untuk kegiatan pengolahan dan pemurnian bahan

tambang mineral. Namun demikian, justru kebijakan inilah yang menjadi pemicu

timbulnya reaksi penolakan produsen tambang mineral.

Kajian empiris mengenai kebijakan larangan ekspor atas bahan mentah

mineral secara kuantitatif telah dilakukan oleh Tim Peneliti Biro Perencanaan

Kementerian Perindustrian.Hasil penelitian mengenai kebijakan larangan ekspor

bahan mentah mineral (khususnya nikel dan tembaga) dapat kami rangkumkan

sebagai berikut:

 Hasil simulasi dampak ekonomi dengan lima alternatif kondisi pelarangan

ekspor bijih mineral menyimpulkan bahwa skenario yang memberikan

69
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

dampak ekonomi tertinggi adalah kondisi melarang ekspor bahan mentah

dengan catatan kondisi industri pengolahan domestik sudah mampu

menyerap seluruh produksi tambang.

 Dampak ekonomi terburuk adalah ketika dilakukan larangan ekspor bahan

mentah mineral namun kondisi industri pengolahan domestik belum siap

menyerap produksi tambang

Tabel 4.8
Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario
Restriksi Ekspor Biji Nikel

No. Kondisi Skenario Alokasi Dampak Dampak Total Keterangan


ke Hulu ke Hilir Dampak
Hipotesis
1 Ekspor bahan mentah 100% 2.086 0.000 2.086 100% produk
. ekspor; o% terserap; hanya
domestik terdapat dampak
ke hulu
2. Eksisting Kondisi riil yang terjadi Domestik 2.086 0.352 2.438 100% produk
saat ini 26%; ekspor terserap; 100%
74% dampak ke hulu,
26% dampak ke
hilir
3. Hipotesis Larangan ekspor Domestik 2.086 0.352 2.438 74% produk tidak
mentah, pengolahan 26%; ekspor terserap domestik
domestik tidak siap 0% dan tidak
terekspor; 100%
dampak ke hulu,
26% dampak ke
hilir
4. Hipotesis Larangan ekspor Ekspor 0%; 0.542 0.352 0.894 Penambang
mentah, produksi Domestik menurunkan
tambang turun 26% produksinya
menjadi 26%
sekedar untuk
memenuhi
kebutuhan
domestik
5. Hipotesis Larangan ekspor Ekspor 0%: 2.086 1.354 3.440 100% terserap,
mentah, pengolahan Domestik 100% berdampak
domestik siap 100% ke hulu dan hilir
Sumber: Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian (2012)

70
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.9
Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario
Restriksi Ekspor Bijih Tembaga

No. Kondisi Skenario Alokasi Dampak Dampak Total Keterangan


ke Hulu ke Hilir Dampak
Hipotesis
1 Ekspor bahan mentah Domestik 1.831 0.000 1.831 100% produk
1 0%; ekspor terserap; hanya
. 100% terdapat dampak
. ke hulu
2. Eksisting Kondisi riil yang terjadi Domestik 1.831 0.154 1.986 100% produk
saat ini 13%; ekspor terserap; 100%
87% dampak ke hulu,
26% dampak ke
hilir
3. Hipotesis Larangan ekspor Domestik 1.831 0.154 1.986 87% produk tidak
mentah, pengolahan 13% dari terserap domestik
domestik tidak siap kondisi dan tidak
sekarang; terekspor; 100%
ekspor 0% dampak ke hulu,
13% dampak ke
hilir
4. Hipotesis Larangan ekspor Domestik 0.238 0.154 0.392 Penambang
mentah, produksi 13%; ekspor menurunkan
tambang turun 0% produksinya
menjadi 13%
sekedar untuk
memenuhi
kebutuhan
domestik
5. Hipotesis Larangan ekspor Domestik 1.831 1.187 3.018 100% terserap,
mentah, pengolahan 100%; 100% berdampak
domestik siap ekspor 0% ke hulu dan hilir
Sumber: Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian (2012)

Dalam penelitian ini kami tidak lagi menganalisis alternatif kebijakan

kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral.Kebijakan larangan ekspor bijih

mineral akan diimplementasikan pada tahun 2014. Selama masa transisi ini

diperlukan suatu kebijakan yang mengarah kepada upaya-upaya untuk

menyiapkan industri pertambangan mineral untuk mengembangkan industri

hilirnya. Namun demikian,asumsi hasil penelitian Tim Biro Penelitian

Kementerian Perindustrian tersebut akan kami jadikan landasan argumentasi

untuk melakukan penilaian antara alternatif kebijakan 1 dan ke-2.

71
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

4. Penilaian Terhadap Alternatif Kebijakan dan Pemilihan Kebijakan

Untuk melakukan penilaian terhadap alternatif pilihan kebijakan, kami

menggunakan analisis manfaat dan biaya secara kualitatif. Argumentasi

penilaian untuk masing-masing manfaat dan biaya yang kami simpulkan

sebagian didukung dengan data kuantitatif.Namun karena keterbatasan yang

kami miliki analisis yang bersifat komparasi anatar alternatif kebijakan tidak kami

ukur dengan analisis kuantitatif.

a. Identifikasi Manfat dan Biaya

Sebelum penjabaran analisis manfaat dan biaya dari masing-masing

alternatif kebijakan yang diambil pemerintah, kami rangkumkan terlebih dahulu

identifikasi manfaat dan biaya sebagai indikator permasalahan.Pengukuran

masing-masing manfaat dan biaya baik dalam kondisi sebelum regulasi maupun

setelah regulasi kami sampaikan secara deskriptif dengan menggunakan

perkiraan nilai dari masing-masing indikator.Dalam pengukuran ini kami lebih

banyak menggunakan ukuran kualitatif namun sedapat mungkin tetap didukung

dengan data-data kuantitatif.Pada bagian akhir analisis disampaikan ringkasan

penilaian untuk masing-masing indikatoryang dikomparasikan antara kondisi

sebelum regulasi dengan kondisi setelah regulasi.

72
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.10
Identifikasi Manfaat dan Biaya
Alternatif 1: Do Nothing

Kelompok Kondisi Manfaat Biaya


Industri Hipotesis  Volume
Hulu eksporcenderung
meningkat
Industri Hipotesis  Tidak memberikan nilai
Hilir tambah ekonomi

Pemerintah Hipotesis  Pengawasan ekspor


rendah
Masyarakat Hipotesis  Kualitas lingkungan
menurun
 Tidak memberikan nilai
tambah ekonomi

Tabel 4.11
Identifikasi Manfaat dan Biaya
Alternatif 2 :Kondisi adanya regulasi bea keluar

Kelompok Kondisi Manfaat B/S/K Biaya B/


S/
K
Industri Hulu Real  Volume B
ekspor
menurun

Industri Hilir Real  Memberikan nilai B B


tambah ekonomi

Pemerintah Real  Pendapatan fiskal B  Pendapatan S


berupa bea keluar non fiskal
sbg windfall profit menurun
 Pengawasan ekspor
meningkat
B
Masyarakat Real  Pendapatan B
cenderung
meningkat
 Kualitas lingkungan B
meningkat

73
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

b. Analisis Dampak Keterkaitan Volume Ekspor Bijih Mineral

Tujuan mendasar penciptaan nilai tambah sumber daya mineral

sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 tahun 2009

adalah untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Fakta statistik menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya

mineral yang besar namun masih rendah pemanfaatannya untuk kepentingan

industri hulu di dalam negeri. Produksi bijih mineral yang dihasilkan oleh industri

hulu pertambangan hanya sedikit sekali yang mampu diserap oleh industri hilir

pertambangan. Tabel 4.12 berikut memberikan gambaran fakta penyerapan

bahan mentah oleh Industri hilir pertambangan di Indonesia.

Tabel 4.12
Penggunaan Bijih Mineral
Oleh Industri Hilir Pertambangan Dalam negeri
Tahun 2007 s.d 2011 (Dalam Ton)

Jenis Mineral 2007 2008 2009 2010 2011

Bijih besi 94.176 2.073.609 3.574.496 0 0


Bijih Aluminium 256.000 259.234 364.982 400.000 0
Bijih Nikel 0 0 0 2.137.272 0
Bijih tembaga 0 0 0 993.152 548.688.
Sumber: BPS (data diolah)

Dalam analisis dampak keterkaitan ekonomi kami menggunakan asumsi

hasil penelitian tim Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian khususnya

tentang kebijakan larangan ekspor bahan mintah mineral yang juga

menyimpulkan hal yang sama. Analisis penelitian yang dilakukan memaparkan

fakta mengenai minimnya infrastruktur industri hilir pertambangan. Bahkan salah

satu butir kesimpulan penelitian ini disampaikan bahwa kebijakan pengendalian

74
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

ekspor minerba dalam jangka pendek dan menengahmungkin saja dapat

merugikan perekonomian jika:

a) pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tidakterealisasi

sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini sektorpertambangan akan

mengalami penurunan output, nilai tambah dankesempatan kerja.

b) industri hilir domestik belum mampu sepenuhnya menyerap hasilproduksi

pengolahan dan pemurnian mineral domestik. Dalam hal iniproduk sektor

pertambangan maupun pengolahan mineral akan menurun.

Untuk pengukuran indikator manfaat dan biaya dari sisi keterkaitan

pendapatan eksportir kami menggunakan instrumen volume ekspor dan

pendapatan devisa ekspor dari sektor industri hulu yang melakukan kegiatan

ekspor bijih mineral. Sebagai bentuk komparasinya, untuk kondisi sebelum

regulasi kami menggunakan hipotesis berupa angka estimasi dari trend

linear.Kemudian untuk indikator setelah regulasi kami peroleh dari data statistik

volume ekspor bijih mineral. Mengingat karakteristik sumber daya mineral yang

dimiliki Indonesia sangat bervariasi, maka kami hanya melakukan pengukuran

terhadap dua komoditi bijih mineral yang dipungut bea keluar dengan nilai paling

besar. Kedua produk tersebut adalah bijih nikel dan bijih aluminium (bauksit).

Penjabaran pertama yang kami analisis adalah garis trend volume ekspor

nikel dalam kondisi tanpa adanya implementasi regulasi. Kondisi ini merupakan

kondisi hipotesis sesuai dengan alternatif kebijakan pertama (do nothing).

Asumsi data yang dipakai adalah data berkala bulanan volume ekspor bijih nikel

dengan menggunakan bulan dasar Januari 2010. Hipotesis yang kami bangun

untuk asumsi data ini adalah bahwa volume ekspor bijih nikel akan meningkat

signifikan pada tahun 2012 dan 2013. Kecenderungan ini terjadi karena adanya

75
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

batasan waktu Januari 2014 sebagai batas waktu terakhir implementasi Undang-

undang nomor 4 tahun 2009 mengenai kewajiban penciptaan nilai tambah

sumber daya mineral.

Untuk mengestimasikan angka-angka volume ekspor di tahun 2012 dan

2013 (tahun dimulainya regulasi bea keluar) kami menggunakan analisis trend

linear dengan metode kuadrat terkecil (least square method). Adapun asumsi

yang kami pakai terhadap faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi fungsi

peramalan adalah bahwa harga dan tingkat permintaan bijih mineral di pasar

Internasional bersifat tetap.

Hasil peramalan linear terhadap data berkala volume ekspor bijih nikel

dengan asumsi bulan dasar Januari 2010, menunjukan persamaan linear

sebagai berikut:

𝑌 ′ = 152.126𝑋 + 530.019

dimana,
Y’= data berkala (time series data)
X = periode waktu bulanan

Kemudian, untuk estimasi volume ekspor bijih aluminium (bauksit) diperoleh

persamaan linear sebagai berikut:

𝑌 ′ = 83.671𝑋 + 1.789.700

dimana,
Y’= data berkala (time series data)
X = periode waktu bulanan

Grafik trend Ekspor nikel dan timah Indonesia diperlihatkan dalam gambar

berikut.

76
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.8
Trend linear Ekspor Nikel Indonesia
Data Estimasi Kondisi Do Nothing
Tahun 2010 s.d. 2011

5,000,000.00
4,500,000.00 y = 15212x + 53001
4,000,000.00 R² = 0.741
3,500,000.00
3,000,000.00
2,500,000.00
2,000,000.00 Series1
1,500,000.00 Linear (Series1)
1,000,000.00
500,000.00
-
Nop-2010

Nop-2011
Mar-10

Mar-11
Jan-10

Jan-11
Jul-10
Sep-10

Jul-11
Sep-11
Mei-2010

Mei-2011

Gambar 4.9
Trend linear Ekspor Bijih AluminiumIndonesia
Data Estimasi Kondisi Do Nothing
Tahun 2010 s.d. 2011

4,500,000.00
4,000,000.00 y = 83671x + 1789700
R² = 0,5665
3,500,000.00
3,000,000.00
2,500,000.00
2,000,000.00
Series1
1,500,000.00
Linear (Series1)
1,000,000.00
500,000.00
-
Jan-11
Jan-10
Mar-10

Nop-2010

Mar-11

Nop-2011
Jul-10
Sep-10

Jul-11
Sep-11
Mei-2010

Mei-2011

77
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Hasil proyeksi trend volume ekspor bijih mineral apabila pemerintah tidak

melakukan kebijakan pembatasan ekspor dan bea keluar bijih mineral

menunjukan angka peningkatan ekspor yang sangat signifikan. Sebagai contoh,

prediksi ekspor nikel Indonesia pada bulan Desember tahun 2012 akan

mencapai angka 6.006.555 ton. Angka ini meningkat sekitar 18 kali lipat

dibanding data yang sama untuk periode desember 2011. Kemudian untuk

prediksi volume ekspor bijih aluminium pada bulan Desember akan mencapai

4.801.856 ton.

Selanjutnya untuk mengkomparasikan antara kondisi do nothing dengan

kondisi regulasi (alternatif kebijakan 2) kami menampilkan pula analisis trend

volume ekspor bijih nikel dan bijih aluminium. Data volume ekspor yang kami

analisis adalah data perkembangan ekspor dari tahun 2010 sampai dengan

2013. Pilihan waktu pengamatan ini dengan asumsi bahwa pada tahun 2010

inilah dampak UU nomor 4 tahun 2009 mulai terjadi.

Gambar 4.10
Trend Ekspor Nikel Indonesia
Tahun 2010 s.d. 2013
8000000.0
7000000.0
6000000.0
5000000.0 2010
4000000.0 2011
3000000.0 2012
2013
2000000.0
1000000.0
-

sumber: BPS (data diolah)

78
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.11
Trend Ekspor Bijih Aluminium Indonesia
Tahun 2010 s.d. 2013

7000000.0

6000000.0

5000000.0

4000000.0
2010
3000000.0
2011
2000000.0 2012
1000000.0 2013

sumber: BPS (data diolah)

Trend ekspor nikel Indonesia pada periode awal tahun 2010 (garis biru)

masih belum menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Peningkatan

volume ekspor nikel mulai terjadi pada bulan oktober 2010 yang mencapai 2,9

juta ton, meningkat tiga kali lipat dari volume ekspor pada bulan sebelumnya.

Untuk tahun 2011 (garis merah) volume ekspor mulai memperlihatkan trend

peningkatan yang berarti. Garis trend ekspor nikel menunjukan trend

peningkatan yang bersifat siklis. Artinya terjadi variasi peningkatan dan

penurunan secara berkala namun tetap menunjukan adanya kecenderungan

peningkatan volume ekspor nikel.

Data volume ekspor nikel tahun 2012 memperjelas dampak kebijakan bea

keluar mineral terhadap volume ekspor. Pada bulan april 2012 angka volume

ekspor nikel mencapai puncaknya sebesar 6,67 juta ton. Yang menarik adalah

angka volume ekspor ini menurun drastis pada bulan mei hingga agustus 2012

79
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

dan kemudian mulai meningkat kembali pada bulan september 2012. Reaksi

menurunnya volume ekspor nikel tersebut jelas disebabkan oleh kebijakan

larangan bijih mineral berdasarkan Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 yang

efektif berlaku pada tanggal 6 Mei 2012 dan juga kebijakan bea keluar yang

berlaku efektif pada tanggal 16 Mei 2012.

Untuk trend ekspor bijih aluminium pasca terbitnya Undang-undang nomor

4 tahun 2009 menunjukkan fenomena yang secara umum relatif sama. Data

statistik yang sangat menarik adalah data volume ekspor bulan mei dan juni

tahun 2012. Angka volume ekspor bijih mineral pada bulan mei 2012 turun

sangat signifikan sekitar 595 dari volume ekspor bulan april 2012. Bahkan pada

bulan Juni volume ekspor sempat terhenti. Eksportir betul-betul terpengaruh

dengan kebijakan bea keluar atas bijih mineral yang mulai diberlakukan pada

pertengahan bulan mei 2012.

Bila data proyeksi volume ekspor mineral diperbandingkan antara kondisi

kebijakan dalam alternatif 1 (do nothing) dengan kondisi kebijakan alternatif 2,

maka dapat dirangkumkan dalam tabel berikut. Asumsi periode waktu yang kami

gunakan disini adalah periode mulai dari diimplementasikannya bea keluar atas

bijih mineral (bulan Juni 2012) sampai dengan mei 2013.

80
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.13
Perbandingan Angka Volume Ekspor Bijih Nikel dan Aluminium
Sesuai Alternatif 1 dan Alternatif 2

Periode Volume Ekspor Nikel Volume Ekspor


Bijih Aluminium
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 1 Alternatif 2
Juni 2012 5.093.799 957.041 4.299.830 957.040

Juli 2012 5.245.925 1.586.034 4.383.501 506.842

Agts 2012 5.398.051 1.684.934 4.467.172 826.850

September 2012 5.550.177 2.994.597 4.550.843 695.177

Oktober 2012 5.702.303 4.599.926 4.634.514 1.612.926

Nopember 2012 5.854.429 6.966.824 4.718.185 2.720.092

Desember 2012 6.006.555 6.629.208 4.801.856 3.017.559

Januari 2013 6.158.681 5.576.030 4.885.527 2.254.946

Februari 2013 6.310.807 4.845.614 5.220.211 2.259.570

Maret 2013 6.462.933 5.816.687 5.052.869 3.995.741

April 2013 6.615.059 3.960.403 5.136.540 4.287.249

Mei 2013 6.767.185 3.734.738 5.220.211 4.361.018

Total 71.165.904 49.352.036 57.371.259 27.495.010

Selisih 21.813.868 29.876.249

c. Analisis Dampak Fiskal

Pemberlakuan pungutan bea keluar atas bijih mineral secara formal

ditetapkan sejak tanggal 16 Mei 2013 dengan PMK nomor 75/PMK.01/2012.

Namun pemungutan bea keluar atas bijih mineral tidak serta merta bisa

diwujudkan pada tanggal tersebut. Mekanisme teknis pemungutan bea keluar

mensyaratkan adanya penetapan Harga Ekspor (HE) terlebih dahulu oleh

Menteri Keuangan. Dalam PP nomor 55 tahun 2008 juga diatur bahwa HE untuk

penghitungan Bea Keluar ditetapkanoleh Menteri Keuangan sesuai HPE yang

81
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

ditetapkansecara periodik oleh Menteri Perdagangan setelah berkoordinasi

dengan menteri/kepala lembaga pemerintah terkait.

Pada tanggal 1 Juni 2012 Menteri Perdagangan menerbitkan Permendag

34/M-DAG/PER/5/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Produk

Pertambangan yang dikenakan bea keluar. Penetapan tersebut selanjutnya

diikuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1956/KM.4/2012

tentang penetapan Harga Ekspor untuk Penghitungan Bea Keluar atas produk

pertambangan oleh Dirjen Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan. Sejak

saat itulah bea keluar atas bijih mineral mulai diimplementasikan.

Awal penerapan bea keluar di semester kedua tahun anggaran 2012 telah

memberikan kontribusi penerimaan sebesar 1,84 trilyun. Angka ini menyumbang

sekitar 8,66% dari total penerimaan bea keluar secara keseluruhan untuk tahun

2012. Bila dikomparasikan dengan total penerimaan DJBC tahun 2012, maka

kontribusi bea keluar mineral mencapai 1,27 persen. Jumlah penerimaan bea

keluar bijih mineral ini hanya mencakup penerimaan selama tujuh bulan saja,

mulai Juni 2012.

Bila mengkomparasikan antara kondisi alternatif 1 (do nothing) dengan

kondisi alternatif 2 (kondisi realistis) maka baseline data penerimaan fiskal bea

keluarnya adalah kondisi tanpa kebijakan bea keluar (do nothing). Dalam kondisi

ini belum dipungut bea keluar sebagai instrumen fiskal pengendali ekspor.

Dengan demikian dalam kondisi alternatif 2 (kondisi realistis) angka-anngka

penerimaan bea keluar yang mulai muncul pada bulan Juli 2012 merupakan

manfaat yang menjadi salah satu faktor yang kami pertimbangkan sebagai alat

pengambilan kesimpulan penelitian.

82
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Untuk kondisi realistis, pada tahun anggaran 2013 yang masih berjalan,

kontribusi bea keluar bijih mineral sampai dengan bulan Juni 2013 mencapai

2,34 trilyun rupiah. Angka ini meningkat sekitar 27,17% dari tahun sebelumnya

(Juni s.d Desember 2012). Bila melihat kontribusinya terhadap penerimaan bea

keluar secara keseluruhan, penerimaan bea keluar bijih mineral menyumbangkan

sekitar 42,67% . Angka kontribusi ini meningkat sangat signifikan bila dibanding

tahun sebelumnya.

Angka target penerimaan bea keluar tahun 2013 secara keseluruhan

diprediksikan akan mencapai 31,7 trilyun tupiah. Namun melihat trend penurunan

harga CPO di pasar Internasional, angka target penerimaan tersebut diturunkan

menjadi 17,6 trilyun rupiah. Menurut Erwin Situmorang, Kasubdit Penerimaan

Dit. PPKC (wawancara, Agustus 2013) untuk prediksi penerimaan bea keluar

atas bijih mineral tahun 2013 akan mencapai 6,076 trilyun dengan asumsi

normal.

Tabel 4.14
Realisasi penerimaan DJBC
Tahun 2012 s.d 2103

Relisasi 2012 Kontribusi Target 2013 Kontribusi


Uraian Rp (juta) % Rp (juta) %

Bea Masuk 28.280.485 19,57 14.431.583 19,51

Cukai 95.019.271 65,74 52.613.371 71,13

Bea Keluar 21.237.008 14,69 6.925.207 9,36

- Bijih Mineral 1.838.749 1,27 2.955.329 4,00

Total Penerimaan DJBC 144.536.764 73.970.161


*Data sampai bulan Juni 2013
Sumber : PPKC, DJBC (data diolah)

83
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Menurut Kusmartata (FGD, 18 September 2013), penerapan bea keluar

yang efektif adalah yang dapat membatasi ekspor komoditi tertentu dan

berpotensi mempengaruhi devisa ekspor. Namun demikian penerapan bea

keluar dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yang lebih luas. Pengenaan

bea keluar terhadap bahan baku akan mendorong pengolahan di dalam negeri

dan ekspor dalam bentuk yang lebih hilir. Dengan ini nilai tambah akan dinikmati

di dalam negeri sehingga secara nasional diharapkan peningkatan ekonomi akan

lebih besar dari potensi penurunan devisa.

Pendapat Kusmartata ini sejalan dengan hasil penelitian Laborde, dkk

(2013) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan kebijakan bea keluar akan

tergantung pada tingkat elastisitas penawaran, elastisitas permintaan dan barang

subsitusi. Hasil penelitian Laborde juga mendapati bahwa kecenderungan

pengenaan bea keluar dilakukan oleh negera-negara berkembang terhadap hasil

bumi. Kesimpulan ini bisa diperkuat dengan data yang ditampilkan oleh Laborde

dalam hasil penelitiannya seperti pada Tabel 4.15.

84
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.15
Top 20 Negara Yang Mengenakan Bea Keluar
Atas barang Ekspor

Sumber: Laborde,dkk . 2013

Pada tabel 4.15 terlihat bahwa Indonesia menempati posisi ke 9 sebagai

salah satu negara yang mengenakan bea keluar atas barang ekspor. Beban bea

keluar terhadap total perdagangan ekspor Indonesia mencapai 1%. Negara-

negara maju yang masih mengenakan pajak atas barang ekspornya antara lain:

Federasi Rusia (23,1%) dan Australia (0,6%). Dari tabel tersebut juga dapat

diketahui bahwa sebagian besar negara yang mengenakan beban pajak atas

barang ekspor merupakan kelompok negara berkembang, antara lin: Argentina,

Bolivia, Laos, Malaysia dan sebagainya.

85
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Pertanyaan yang muncul dari kesimpulan Laborde, dkk tersebut adalah,

apakah produk bijih mineral Indonesia memiliki tingkat elastisitas permintaan

maupun penawaran yang rendah dan apakah tersedia produk substitusi dari

produk pertambangan yang diekspor oleh Indonesia.Kami memang tidak secara

khusus menganalisis tingkat elastisitas permintaan maupun penawaran atas

produk mineral.Namun data statistik yang telah kami uraikan pada bagian data

dan fakta sebelumnya memperkuat hal ini. Sebagian besar permintaan pasar

internasional terhadap bijih mineral utama yang terkena bea keluar (bijih besi,

nikel dan aluminium) sama sekali tidak mengalami penurunan. Bahkan trend

ekspor ketiga jenis mineral tersebut pasca pemberlakuan kebijakan bea keluar

atas bijih mineral memperlihatkan kecenderungan peningkatan.

Gambar 4.12

Volume Ekspor Mineral Utama


Tahun 2012 - 2013
8000000.0
7000000.0
6000000.0
Volume (Ton)

5000000.0
4000000.0
3000000.0 Bijih Besi
2000000.0 Bijih Nikel
1000000.0
Bijih Aluminium
-
Juli

Januari
Februari

April
Juni

Agustus

Mei
Oktober
September

November

Maret
Desember

Sumber: Direktorat PPKC, DJBC (data diolah)

86
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Angka peningkatan volume ekspor yang signifikan terjadi pada volume

ekspor bijih nikel pada periode september sampai dengan november 2012. Pada

bulan Agustus, ekspor bijih nikel baru mencapai 1,68 juta ton. Untuk bulan

September meningkat 77,72% menjadi 2,99 juta ton. Kemudian meningkat

kembali sekitar 53,5% pada bulan oktober menjadi 4,6 juta ton. Angka puncak

volume ekspor bijih nikel terjadi pada bulan november dengan total volumenya

mencapai 6,97 juta ton.

Dengan menganalisis trend volume ekspor bijih mineral yang terkena bea

keluar, kami menyimpulkan bahwa meskipun terkena bea keluar, pasar

internasional tetap membutuhkan bijih mineral dari Indonesia. Pengaruh

peningkatan harga produk bijih mineral akibat penambahan beban bea keluar

tidak menjadikan permintaan terhadap bijih mineral menjadi turun. Bila

dihubungkan dengan teori yang dikemukakan Kusmartata hal ini menjadi sangat

wajar.Indonesia adalah eksportir bijih mineral yang tergolong large country

sehingga menjadi salah suplier produk mineral mentah dunia.Kondisi ini bahkan

sangat memungkinkan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu penentu

harga komoditi bijih mineral dunia.

Bila melihat posisi produksi mineral Indonesia di pasar Internasional,

Indonesia termasuk dalam kelompok sepuluh besar negara pengekspor bijih

mineral.Data Ini sudah dapat menyimpulkan bahwa Indonesia tergolong sebagai

large countryuntuk komoditi mineral.Uraian data dan fakta statistik ekspor

beberapa jenis mineral yang telah kami sampaikan pada bagian sebelumnya

menunjukkan posisi strategis Indonesia sebagai suplier bijih mineral dunia.Tabel

4.16 berikut memperlihatkan posisi Indonesia sebagai negara eksportir bijih

mineral di dunia yang berpotensi menjadi penentu harga mineral dunia.

87
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Tabel 4.16
Kondisi Sumber daya Tambang di Indonesia

d. Analisis Dampak Non Ekonomi

Selain dampak keterkaitan ekonomi dan fiskal, kebijakan bea keluar

sebagai alat pengendali ekspor juga berdampak pada kondisi-kondisi non

ekonomi secara langsung. Dalam hal ini, ada tiga poin yang menjadi sorotan

kami. Yaitu, isu lingkungan, pengawasan ekspor bijih mineral dan menguatnya

minat investasi sektor industri hulu. Ketiga poin ini menjadi ukuran manfaat dan

biaya yang juga kami pertimbangkan sebagai alat pengambil kesimpulan.

Untukanalisis dampak non ekonomi penelitian ini kami tidak melakukan

pengukuran secara kuantitatif mengingat keterbatasan yang ada pada kami.

Namun dampak yang kami analisis ini lebih bersifat kualitatif dengan melakukan

kajian terhadap informasi-informasi aktual dan wawancar dengan narasumber

yang berkompeten.

88
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Isu Lingkungan

Dalam wawancara dengan Kusmartata (29 Agustus 2013) berkaitan

dengan latar belakang pengambilan kebijakan bea keluar atas bijih mineral,

disampaikan bahwa salah satualasan pokok mengapa suatu komoditi dibatasi

perdagangannya ke luar negeri adalah karena alasan ketiga isu lingkungan.

Kegiatan pertambangan terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi

yang tidak terkendali dari sumber daya mineral akan menyebabkan penipisan

sumber daya tak terbarukan. Data statistik yang telah diuraikan terdahulu

menjelaskan betapa eksploitasi sumber daya mineral di Indonesia pasca

diterbitkannya UU Nomor 4 tahun 2009 menjadi sangat massif dan cenderung

tidak terkendalikan. Isu-isu pokok penggunaan sumber daya alam secara

berlebihan juga telah ramai dibicarakan oleh masyarakat dunia .

Beberapa isu-isu penting dunia yang secara khusus membicarakan

pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam, seperti dikutip dari

Suparmoko (2012:15-16) antara lain:

a) Laporan kelompok Roma dalam “batas-batas pertumbuhan”menunjukkan

kemungkinan dunia akan ambruk karena sumber daya yang penting, seperti

bahan bakar minyak dan batubara terbatas jumlahnya. Namun

kecenderungan tingkat konsumsi dunia terus meningkat.

b) Perkembangan teknologi mampu mengungkap lokasi-loksai persedian

sumber daya alam. Misalnya cadangan minya dunia. Akan tetapi lokasi

persediaan sumber daya alam tersebut semakain jauh dari para konsumen.

c) Manusia semakin tergantung pada sumber daya alam yang semakin rendah

kualitasnya. Untuk mengolah sumber daya alam dibutuhkan lebih banyak

energi dan biaya.

89
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Penguatan Terhadap Iklim Investasi Sektor Hilir Mineral

Dampak ketiga yang kami analisis berkaitan dengan kebijakan bea keluar

bijih mineral adalah perkembangan usaha-usaha ke arah peningkatan nilai

tambah mineral. Amanat UU nomor 4 tahun 2009 yang diterjemahkan dalam

bentuk Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 berupaya agar sumber daya mineral

yang dieksploitasi harus memberikan nilai tambah dan manfaat ekonomi dan

sosial bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sejak terbitnya Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 maka sebagai salah

satu syarat utama bagi pengusaha yang berminat untuk menjadi eksportir

terdaftar (ET) produk pertambangan dan juga dalam rangka memperoleh Surat

Persetujuan Ekspor (SPE), harus melampirkan roadmap untuk melakukan

kegiatan pengolahan dan pemurnian (membangun smelter). Menurut data

laporan utama Warta Bea cukai (september 2012) setelah munculnya kebijakan

Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 yang diikuti dengan Kebijakan bea keluar

bijih mineral, sebanyak 126 perusahaan tambang telah menyerahkan proposal

perencanaan pembangunan smelter kepada Kementerian ESDM. Lebih lanjut,

Dirjend Minerba Thamrin Sihite, sebagaimana dikutip oleh Harian Bisnis

Indonesia (senin, 30 september 2013) mengatakan bahwa pemerintah baru bisa

melakukan verifikasi proposal pembangunan smelter terhadap 13 perusahaan

pemegang izin usaha pertambangan. Jumlah smelter yang seharusnya ditinjau

oleh pemerintah sebanyak 110 perusahaan. Namun, karena keterbatasan tim

ahli dan peninjau, pemerintah pusat menyerahkan 97 proposal pengajuan

smelter kepada pemerintah daerah.

Menurut Kusmartata (FGD, 18 September 2013) kebijakan pengendalian

ekspor dan pengenaan bea keluar bijih mineral meningkatkan investasi

90
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

pengolahan tambang, memperluas sebaran investasi, serta menertibkan

kegiatan ekspor tambang. Dengan mewajibkan pembangunan smelter untuk

kegiatan pengolahan dan pemurnian maka akan mendorong investor-investor

asing maupun dalam negeri untuk berinvestasi. Hal ini telah terbukti dengan

banyaknya pengajuan proposal pembangunan smelter yang diterima oleh

Kementerian ESDM.

Benefit yang juga dirasakan dengan adanya kebijakan pengendalian

ekspor dan pengenaan bea keluar adalah dari sisi penertiban kegiatan ekspor

tambang. Menurut aturan teknis tatalaksana kepabeanan di bidang ekspor

sebagaimana diatur dalam PMK nomor 147/PMK.04/2007 terhadap barang

ekspor pada prinsipnya tidak dilakukan pemeriksaan fisik. Namun hanya dalam

beberapa kategori berikut, terhadap barang ekspor dapat dilakukan pemeriksaan

fisik:

a) barang ekspor yang akan diimpor kembali;

b) barang ekspor yang pada saat impornya ditujukan untuk diekspor kembali;

c) barang ekspor yang mendapat fasilitas KITE;

d) barang ekspor yang dikenai bea keluar;

e) barang ekspor yang berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak;

atau

f) barang ekspor yang berdasarkan hasil analisis informasi lainnya terdapat

indikasiyang kuat akan terjadi pelanggaran atau telah terjadi pelanggaran

ketentuanperundang-undangan.

Dengan penetapan bijih mineral sebagai salah satu objek bea keluar maka

hal ini memberikan kewajiban pengawasan yang lebih intensif dari aparatur

DJBC. Menurut Bambang Lusanto (FGD, 18 September 2013) pemeriksa DJBC

91
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

di lapangan sering kali menemukan kasus pelanggaran administratif yang

dilakukan oleh eksportir pertambangan. Salah satu kasus yang pernah diungkap

adalah adanya ketidaksesuaian antara karakteristik barang yang tercantum

dalam SPE dengan fisik barang yang diekspor setelah dilakukan

pemuatan.Dalam izin ET dan SPE nya dinyatakan sebagai bijih nikel, padahal

saat pemeriksaan DJBC yang dilakukan bersama-sama dengan Surveyor

didapati barang yang diekspor banyak mengandung bijih besi.

e. Perbandingan Manfaat dan Biaya

Sebagai alat pengambil kesimpulan dalam analisis penelitian ini, kami

menggunakan tabel perbandingan manfaat dan biaya antara kondisi alternatif 1

dan alternatif 2. Dalam hal ini, asumsi kondisi baseline adalah pada kondisi

alternatif 1, yaitu kondisi apabila kebijakan bea keluar tidak diimplementasikan.

Tabel 4.17
Komparasi Manfaat dan Biaya

Jenis Manfaat/Biaya Baseline Kondisi Regulasi Selisih


Alternatif 1 Alternatif 2 Manfaat/Biaya

Volume Ekspor (C) Nikel: 71.165.904 Ton Nikel: 49.352.036 Ton Nikel: -21.813.868
Bauksit: 57.371.259 Ton Bauksit: 27.495.010 Ton Bauksit: -29.876.249

Kualitas Lingkungan Menurun (Besar) Meningkat (Besar) Positif


(C)

Pendapatan Fiskal 0 Nikel: Rp 2.117 milyar Nikel: +Rp 2.117 milyar


(B) Bauksit: Rp 767 milyar Bauksit:+Rp 767 milyar

Penguatan Industri 0 110 proposal Jumlah Positif


Hilir (B) pengajuan, baru 13 yang
diverifikasi oleh pemerintah
pusat
Penguatan 0 Kewajiban pemeriksaan fisik Positif
Pengawasan Ekspor atas ekspor bijih mineral
(B)
Keterangan: (C) Cost, (B) benefit

92
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan komparasi manfaat dan biaya dalam tabel 4.17 terlihat bahwa

kebijakan bea keluar atas bijih mineral memiliki manfaat yang jauh lebih besar

dibandingkan dengan tingkat biaya yang harus ditanggung pemerintah. Dari sisi

biaya, kebijakan bea keluar menurunkan angka volume ekspor bijih mineral

(yang diwakili komoditi nikel dan bijih aluminium). Hal ini tentu saja akan

membawa dampak penurunan pendapatan terhadap industri hulu pertambangan

mineral. Namun penurunan pendapatan sektor industri hulu dapat dikompensasi

dengan meningkatnya upaya-upaya investasi di sektor hilir pertambangan

mineral. Berdasarkan data terakhir (Oktober 2013) pemerintah Pusat telah

memverifikasi 13 proposal pembangunan smelter mineral di Indonesia. Hal ini

akan membawa dampak ekonomi yang cukup besar bagi Industri Hilir mineral.

Dari sisi fiskal, kebijakan bea keluar telah memberikan kontribusi yang

cukup signifikan bagi kas negara. Angka penerimaan bea keluar bijih mineral

selama periode awal pemberlakuan kebijakan (Juni 2012 s.d. Mei 2013) telah

memberikan kontribusi penerimaan pemerintah sekitar 2,8 trilyun rupiah.

Kemudian dari sisi pengawasan ekspor, kebijakan bea keluar bijih mineral

memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengawasan yang lebih intensif

terhadap ekspor sumber daya mineral ini.

93
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

94
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Latar belakang terbitnya kebijakan bea keluar atas bijih mineral secara

kronologis diawali dengan perkembangan yang terjadi pasca penerbitan UU

Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Adapun kondisi yang

berkembang saat itu adalah:

 Izin usaha kegiatan pertambangan terutama yang diterbitkan oleh daerah

semakin bertambah namun proses penerbitannya cenderung belum

memenuhi aspek transparansi (clear and clean).

 Kegiatan eksploitasi mineral tidak terkendali dan sebagian besar hasil

tambang diekspor dalam bentuk mentah (raw material/ore).

 Kegiatan usaha pertambangan belum menciptakan nilai tambah ekonomis

yang signifikan. Industri pengolahan dan pemurnian barang tambang belum

tumbuh secara signifikan

Kondisi tersebut membuat pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian

ESDM sebagai pembina sektor melakukan tindakan pengendalian dengan

penerbitan Permen ESDM nomor 7 tahun 2012. Kondisi yang berkembang

adalah:

 Kebijakan larangan mengekspor bijih (raw material) bagi pemegang IUP dan

IPR dalam jangka waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal 6 Febuari 2012

atau jatuh tempo pada tanggal 6 mei 2012.

95
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

 Kebijakan larangan ekspor tersebut bertujuan untuk mendorong kegiatan

pengolahan dan pemurnian mineral di Indonesia (menciptakan industri hilir)

dalam rangka peningkatan nilai tambah mineral.

 Eksportir dan pelaku usaha pertambangan memprotes kebijakan larangan

ekspor bijih mineral ini. Alasan yang kemudian menjadi pertimbangan

pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan ini adalah penyerapan hasil

tambang mineral untuk kepentingan dalam negeri masih rendah, faktor

kesempatan kerja dan belum tersedianya infrastruktur yang memadai bagi

kegiatan pengolahan dan pemurnian.

Rapat koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi pada tanggal 1

Mei 2012 memutuskan untuk mengkaji kebijakan penerapan bea keluar dan

pengendalian ekspor bijih mineral. Untuk melaksanakan keputusan tersebut,

masing-masing instansi menyiapkan perangkat peraturan terkait sesuai dengan

portofolio tugas masing-masing. Kondisi yang berkembang selanjutnya:

 Menteri Perdagangan menrebitkan Permendag Nomor 29/M-

DAG/PER/5/2012 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan. Dalam

peraturan tersebut ditetapkan 65 jenis mineral yang diatur ekspornya dengan

kewajiban penetapan sebagai ET produk pertambangan.

 Menteri ESDM mengamandemen Permen ESDM nomor 07 tahun 2012

dengan Permen ESDM nomor 11 tahun 2012. Aturan strategis yang diubah

adalah bahwa pemegang IUP dan IPR dapat mengekspor bijih (raw material)

mineral sepanjang mendapat rekomendasi dari Menteri ESDM.

 Menteri Keuangan menerbitkan PMK nomor 75/PMK..011/2012 tentang

Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

96
BAB V PENUTUP

Berdasarkan analisis manfaat dan biaya, penelitian ini menyimpulkan

bahwa pilihan menerapkan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral sudah

tepat. Kebijakan pembatasan ekspor yang disertai dengan penerapan bea keluar

atas bijih mineral memiliki manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan

tingkat biaya yang harus ditanggung pemerintah.

Dari sisi biaya, kebijakan bea keluar mampu menurunkan angka volume

ekspor bijih mineral (yang diwakili komoditi nikel dan bijih aluminium). Penurunan

angka volume ekspor bijih mineral khususnya nikel berdasarkan simulasi dua

kondisi alternatif kebijakan, diperkirakan mencapai angka 21,8 juta ton untuk

komoditi nikel dan 29,8 juta ton untuk komoditi bijih aluminium. Hal ini tentu saja

akan membawa dampak penurunan pendapatan terhadap industri hulu

pertambangan mineral. Namun penurunan pendapatan sektor industri hulu dapat

dikompensasi dengan meningkatnya upaya-upaya investasi di sektor hilir

pertambangan mineral. Meskipun manfaat nyatanya belum dirasakan saat ini

namun iklim investasi sektor industri hilir pertambangan mineral mulai bergairah.

Kebijakan bea keluar yang dibarengi dengan kebijakan pengendalian ekspor bijih

minireal telah mendorong investor untuk menanamkan modalnya bagi industri

hilir. Hingga bulan oktober 2013, tercatat sudah 110 proposal pembangunan

smelter bagi kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral telah masuk ke

kementerian ESDM.

Dari sisi fiskal, kebijakan bea keluar telah memberikan kontribusi yang

cukup signifikan bagi kas negara. Angka penerimaan bea keluar bijih mineral

selama periode awal pemberlakuan kebijakan (Juni 2012 s.d. Mei 2013) telah

memberikan kontribusi penerimaan pemerintah sekitar 2,8 trilyun rupiah.

Meskipun tujuan mendasar bea keluar bijih mineral tidak sama sekali untuk

97
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

kepentingan penerimaan namun kontribusinya cukup besar (sekitar 1,27%) dari

total penerimaan DJBC di tahun 2012. Padahal bea keluar atas mineral baru

efektif dikenakan pada bulan Juni 2012.

Dari aspek kepentingan pengawasan, kebijakan bea keluar atas bijih

mineral telah memberikan kewenangan pengawasan kepada DJBC untuk

melakukan pemeriksaan fisik. Diharapkan dengan pemeriksaan fisik tersebut,

tingkat pelanggaran baik secara administratif maupun fisik akan dapat

diminimalisasi. Hal ini meberikan damapak yang sangat positif terhadap upaya-

upaya penertiban kegiatan ekspor mineral.

B. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan penelitian yang perlu kami sampaikan:

1. Mengingat implementasi kebijakan bea keluar baru dimulai sejak bulan Mei

2012 dan baru efektif dilaksanakan pada bulan Juni 2012 praktis periode

pengamatan yang kami lakukan hanya sekitar 12 bulan. Waktu yang pendek

ini menurut hemat kami belum ideal untuk sebuah penelitain yang

komprehensif.

2. Penelitian ini hanya mengkaji kebijakan dari sisi aparatur pembuat kebijakan

dan belum menyeluruh hingga mencakup dampak yang dialami oleh pelaku

usaha.

98
BAB V PENUTUP

C. Saran dan Rekomendasi

Bagi BKF, Kementerian Keuangan

 Dari sisi waktu, perumusan kebijakan bea keluar atas bijih mineral

hendaknya dillakukan dalam waktu yang cukup dengan

mempertimbangkan lebih banyak lagi pihak-pihak yang berkepentingan

 Menimbang amanat UU Nomor 4 tahun 2009 bahwa usaha pertambangan

harus memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya

bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka hendaknya kebijakan bea

keluar harus diformulasikan dengan intrumen pentarifan yang lebih

presisi.Data statistik ekspor bijih mineral memperlihatkan bahwa kebijakan

bea keluar meskipun mampu mengurangi laju volume ekspor bijih mineral

di awal-awal penerapannya (Juni 2012) namun pada periode berikutnya

ekspor bijih mineral kembali meningkat. Harus diingat bahwa tujuan akhir

pengelolaan sumber daya mineral tetap mengedepankan aspek

peningkatan nilai tambah yang mendorong berkembangnya industri hilir.

Bagi DJBC, Kementerian Keuangan

 Pengawasan ekspor mineral merupakan tanggung jawab strategis yang

dilaksankan oleh DJBC. Hendaknya dilakukan upaya-upaya peningkatan

pengawasan terhadap infrastruktur DJBC (laboratorium dan sarana dan

sarana dan pra sarana pengawasan) di lokasi-lokasi ekspor bijih mineral

 Mengingat bijih mineral merupakan barang yang memiliki karakteristik

khusus maka DJBC perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia

dalam rangka pemeriksaan ekspor bijih mineral.

99
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Bagi BPPK, Kementerian Keuangan

 Sebagai unit yang bertanggung jawab dalam peningkatan kualitas SDM

Kementerian Keuangan, hendaknya BPPK dapat merancang kurikulum

diklat maupun workshop yang benar-benar dibutuhkan dalam pelaksanaan

tugas pemeriksaan maupun pengawasan ekspor.

 BPPK hendaknya dapat memanfaatkan kajian-kajian yang bersifat

akademis sebagai salah satu sumber belajar.

100
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan :

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor atas


Barang Ekspor Tertentu.

Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar


Terhadap Barang Ekspor

Buku dan Artikel :

Abimanyu, Anggito dan Megantara, Andi (ed.), Era Baru Kebijakan Fiskal,
Kompas, Jakarta, 2009

Dimyati, Ahmad, Artikel:Bea Keluar Dalam Sistem Kepabeanan Indonesia,


Pusdiklat Bea dan cukai, 2009

Hutabarat, Roselyn, Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta, 1994

Lindert, Peter H., Ekonomi Internasional, Bumi Aksara, Jakarta, 1994

Putra, Nusa dan Hendarman, Metode Penelitian Kebijakan, Rosdakarya,


Bandung, 2012

Soemitro, Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan pajak Pendapatan, 1977

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta Bandung, 1994

Suparmoko, M. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, BPFE,


Yogyakarta, 2012

Siregar, Ulian, Peraturan Pabean Reglemen A, Pusdiklat Bea dan Cukai,


Jakarta, 1999

101
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Tambunan, Tulus, Perdagangan Internasional dan Neraca pembayaran,


LP3ES, Jakarta, 2001

Wardani, Rahayu Setia, dkk, Panduan Penerapan Metode Analisis Dampak


Regulasi (Regulatory Impact Assesment-RIA) di Lingkungan DPR RI,
DPRRI, 2008

102
LAMPIRAN

Lampiran 1
Transkrip Wawancara

Narasumber : Djaka Kusmartata


Jabatan : Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara – BKF

1. Secara teoritis, otoritas Negara menghindari beban pajak atas barang


ekspor untuk kepentingan devisa. Mengapa bea keluar diterapkan
sebagai salah satu instrument pajak atas barang ekspor?

Penerapan bea keluar yang efektif adalah yang dapat membatasi ekspor
komoditi tertentu yang berpotensi mempengaruhi devisa ekspor. Namun
demikian penerapan bea keluar dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional
yang lebih luas. Pengenaan bea keluar terhadap bahan baku akan
mendorong pengolahan di dalam negeri dan ekspor dalam bentuk yang lebih
hilir. Dengan ini nilai tambah akan dinikmati di dalam negeri sehingga secara
nasional diharapkan peningkatan ekonomi akan lebih besar dari potensi
penurunan devisa.

Secara teoritis dapat pula disampaikan bahwa pajak ekspor (bea keluar)
yang diterapkan pada “large country” akan berdampak positif terhadap
negara pengekspor dengan “national welfare” yang bernilai positif.
Sebagaimana digambarkan pada grafik di bawah diasumsikan hanya ada
dua negara yang melakukan perdagangan, satu negara pengimpor dan satu
negara pengekspor. Kurva penawaran dan permintaan bagi kedua negara
akan ditampilkan dalam grafik PFT adalah harga keseimbangan
perdagangan bebas. Pada harga itu, jumlah kelebihan permintaan oleh
negara pengimpor sama dengan kelebihan pasokan oleh eksportir.

Jumlah impor dan ekspor ditampilkan sebagai garis biru pada grafik masing-
masing negara (jarak horizontal antara kurva penawaran dan permintaan
pada harga perdagangan bebas (PFT)). Ketika negara pengekspor besar
menerapkan pajak ekspor, hal ini akan menyebabkan penurunan harga

103
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

barang di pasar domestik dan peningkatan harga di negara lain. Misalkan


setelah dikenakan pajak, harga di negara pengimpor naik pada harga (PIM)
maka harga di negara pengekspor jatuh ke (PEX). Jika pajak adalah tarif
spesifik maka tarif pajak adalah T = PIM – PEX, sama dengan panjang ruas
garis hijau di diagram. Jika pajak adalah advalorem maka tarif pajak adalah
PIM
T= -1
PEX

Tabel di bawah memberikan ringkasan arah dan besarnya efek


kesejahteraan kepada produsen, konsumen dan pemerintah di negara-
negara pengimpor dan pengekspor. Efek kesejahteraan agregat nasional
dan efek kesejahteraan dunia juga ditampilkan. Efek positif kesejahteraan
ditampilkan dalam warna hitam, efek negatif ditampilkan dalam warna
merah.

Pengaruh kesejahteraan agregat bagi negara diperoleh dengan


menjumlahkan keuntungan dan kerugian pada konsumen dan produsen.
Nett effect terdiri dari tiga komponen yaitu: dampak positif pada
perdagangan (c), dampak negatif pada distorsi konsumsi (f), dan dampak
negatif pada distorsi produksi (h). Lihat Tabel dan Gambar untuk melihat
bagaimana besarnya perubahan kesejahteraan nasional. Karena ada unsur-
unsur positif dan negatif, nett effect kesejahteraan nasional dapat berupa
positif atau negatif. Namun demikian hasil yang menarik adalah bahwa
dampaknya cenderung positif. Ini berarti bahwa pajak ekspor dilaksanakan
oleh negara pengekspor "besar" dapat meningkatkan kesejahteraan
nasional.

2. Apa saja dasar alasan pengenaan bea keluar? apakah hanya semata-
mata berdasarkan Undang-undang Kepabeanan atau apakah ada faktor
lain ?

Pada Pasal 2A ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan UU


Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, bea keluar dikenakan terhadap
barang ekspor dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi
kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran
internasional, atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam
negeri.

104
LAMPIRAN

Pada dasarnya kebijakan pengenaan bea keluar atas ekspor komoditas


tertentu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;
melindungi kelestarian sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan harga
yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional;
atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri (UU No.
10/1995 jo. UU No.17/2006).

Namun demikian ada tiga alasan pokok mengapa suatu komoditi dibatasi
perdagangannya ke luar negeri. Alasan pertama karena komoditi tersebut
sangat dibutuhkan di dalam negeri. Sebagai contoh adalah komoditi Crude
Palm Oil (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku minyak goreng. Saat
harga CPO di pasaran internasional meningkat tajam maka akan ada
kecenderungan untuk mengekspor CPO sehingga akan membahayakan
industri minyak goreng nnasional karena kekurangan pasokan bahan baku
yang pada akhirnya akan merugikan konsumen dalam negeri karena stok
minyak goreng akan berkurang drastis sehingga harga minyak goreng akan
membumbung tinggi. Kondisi semacam inilah yang perlu diantisipasi oleh
pemerintah agar ketersediaan bahan baku CPO di dalam negeri tetap
terjamin.

Alasan kedua suatu komoditas dikenakan bea keluar adalah pengembangan


industri dalam negeri. Sebagai contoh, untuk komoditi kakao dan bijih
mineral. Tanpa adanya hambatan terhadap ekspor, kedua komoditi ini akan
terus-menerus diekspor dalam bentuk bahan mentah sehingga tidak akan
ada industri pengolahan biji kakao maupun mineral tambang dalam negeri
yang berkembang. Artinya tidak akan ada penyerapan tenaga kerja, tidak
akan ada penerimaan negara berupa pajak, dan akhirnya tidak akan
terwujud multiplier effect pada perekonomian nasional.

Alasan ketiga adalah isu lingkungan. Kegiatan pertambangan terkait dengan


eksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi yang tidak terkendali dari sumber
daya mineral akan menyebabkan penipisan sumber daya tak terbarukan.
Menurut statistik, ekspor bijih mineral Indonesia meningkat secara signifikan
sehingga pemerintah perlu memberlakukan bea keluar atas ekspor bijih
mineral untuk mengontrol kegiatan ini.

3. Bagaimana prosedur teknis, penetapan suatu barang menjadi obyek


bea keluar ?

Sesuai bunyi Pasal 2 ayat 3 PP No. 55 tahun 2008, penetapan barang


ekspor yang dikenakan Bea Keluar dilakukan oleh Menteri Keuangan
setelah mendapat pertimbangan dan/atau usul menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perdagangan dan/atau menteri/kepala
lembaga pemerintah non departemen/kepala badan teknis terkait.

Secara prosedur dapat dijelaskan sebagai berikut:


a. Menteri terkait misalnya Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian,
atau Menteri ESDM mengusulkan secara tertulis kepada Menteri
Keuangan untuk mengenakan bea keluar terhadap komoditi tertentu.

105
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

b. Berdasarkan usulan tersebut Menteri Keuangan menugaskan Kepala


BKF selaku Ketua Tim Tarif untuk melakukan pembahasan dan
analisis kelayakan komoditi tersebut dikenakan bea keluar serta
besaran tarif bea keluar yang paling tepat.
c. Pembahasan dilakukan oleh Tim Teknis yang melibatkan
kementerian terkait setingkat eselon II. Hasil pembahasan ini
diputuskan pada Rapat Pleno Tim Tarif yang melibatkan eselon I
kementerian terkait.
d. Hasil pembahasan rapat pleno tersebut yang diusulkan kepada
Menteri Keuangan untuk dapat ditetapkan sebagai jenis barang yang
dikenakan bea keluar melalui Peraturan Menteri Keuangan.

4. Apa dasar pertimbangan pemilihan bijih mineral sebagai obyek bea


keluar ?mengapa hanya dibatasi terhadap bijih mineral saja ?

Dalam rangka meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral di dalam


negeri pemerintah memandang perlu mengambil kebijakan pembatasan
ekspor bahan baku yang berlebihan dan mendorong peningkatan nilai
tambah di dalam negeri. Untuk itu pemerintah mengenakan bea keluar
terhadap ekspor bijih mineral logam dengan pertimbangan bahwa kebijakan
ini akan lebih efektif untuk menghambat ekspor komoditas tambang mineral
di saat tren harga mineral makin meningkat. Adapun tujuan pengenaan bea
keluar atas ekspor barang tambang mineral logam adalah sebagai berikut:
a. Dalam rangka pengamanan supply dalam negeri.
b. Untuk mendukung hilirisasi pengolahan dan pemurnian barang tambang.
c. Untuk menunjang pelaksanaan UU Minerba.
d. Sebagai disinsentif atas ekspor barang tambang dan bukan untuk
penerimaan pajak tambahan.

5. Bagaimana kronologis penetapan bijih mineral menjadi salah satu


obyek bea keluar berdasarkan PMK Nomor 75/PMK.011/2012

a. Pada Rapat Koordinasi Menteri Bidang Perekonomian yangdihadiri oleh


Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Negara BUMN,
Menteri ESDM, Menko Perekonomian, Direktur Ekspor Produk Industri
dan Pertambangan diputuskan pengenaan bea keluar atas komoditas
bijih mineral.
b. Menteri ESDM mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk
mengenakan Bea Keluar terhadap bijih (raw material atau ore) mineral
dengan tarif seragam sebesar 20%.
c. Dilaksanakan beberapa kali rapat teknis tim tarif untuk membahas
usulan Menteri ESDM.

106
LAMPIRAN

d. Menteri Keuangan menetapkan PMK No.75/PMK.011/2012 tentang


Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea
Keluar

(Kronologis detil terlampir)

6. Apakah ada relevansinya antara kebijakan pengenaan bea keluar atas


bijih mineral dengan kepentingan upaya peningkatan penerimaan fiskal
negara?

Kebijakan pengenaan bea keluar atas ekspor bijih (raw material/ore) mineral
yang mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2012 merupakan salah satu dari
paket kebijakan pengendalian ekspor bijih mineral yakni Kebijakan
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian dengan Peraturan Menteri ESDM No.7 tahun 2012 jo. No.11
tahun 2012, Kebijakan Tata Niaga Ekspor Produk Pertambangan dengan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2012 jo. Nomor 52 Tahun
2012. Dengan demikian kebijakan bea keluar atas bijih mineral adalah
sebagai disinsentif atas ekspor barang tambang dan bukan untuk
penerimaan pajak tambahan.

107
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

Lampiran 2

Tabel Penerimaan Bea Keluar Per-Kantor Bea dan Cukai


Periode Januari s.d. Mei 2013

Nilai Bea
No. Nama Kantor Jenis Mineral PEB Keluar
Rp (Juta)

1 KPPBC Ternate Bijih Nikel 150 383.583


2 KPPBC Kendari Nikel 133 338.990
3 KPPB Teluk Bayur bijih besi 12 273.133
4 KPPBC Sampit Bauksit, Bijih besi 93 201.862
5 KPPBC Kota Baru Bijih Besi 73 196.657
6 KPPBC Pomalaa Bijih Nikel 67 153.400
7 KPPB Tanjung Pinang bijih bauksit 41 129.626
8 KPPBC Pontianak Bauksit, Zirconium 51 114.670
9 KPPBC Poso Bijih Nikel 77 106.558
10 KPPBC Ketapang Bauksit 42 95.268
11 KPPBC Tanjung Perak Bijih besi 117 54.486
12 KPPBC Tanjung Balai Karimun bauksit 15 52.029
13 KPPBC Ujung Pandang Marmer dan Travertine 174 41.917
14 KPPBC Balikpapan Bijih Nikel, Bijih Besi 3 39.024
15 KPU Tanjung Priok Zeolit, bijih timbal, Marmer, 261 32.960
Kaolin, bijih besi, bijih seng,
16 KPPBC Banjarmasin bijih Zirconium 20 25.214.
17 KPPBC Dabo Singkep bauksit, bijih besi, bijih kobalt 37 22.335
18 KPPBC Pangkalan Bun Bijih besi, zirconium 24 19.784
19 KPPBC Tanjung Emas Bijih Zirconium 4 17.029
20 KPPBC Cilacap Bijih Besi 35 15.837
21 KPPBC Luwuk Bauksit 10 11.784
22 KPPBC Uleelheue bijih besi 3 4.331
23 KPPBC Sorong 3 4.157
24 KPPBC Merak Bijih Besi 2 2.442
25 KPPBC Meulaboh Bijih besi 2 1.178
26 KPPBC Bima Bijih Tembaga 12 0
27 KPPBC Belawan Zeolit 18 0
28 KPU Batam Garnet, zeolit 4 0
29 KPPBC Amamapare Bijih Tembaga 26 0
TOTAL 2.338.257

108
RIWAYAT HIDUP PENELITI

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : Surono
NIP : 1972080772 1992 12 1001
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 8 Juli 1972
Jabatan : Widyaiswara Muda

Data Pendidikan
1. Prodip III Keuangan Spesialisasi Bea dan Cukai, lulus tahun 1994
2. Sarjana Manajemen Perekonomian Negara (S.Sos)STIA-Lembaga
Administrasi Negara, Jakarta, lulus tahun 2000
3. Magister Ilmu Manajemen (M.Si) Universitas Sumatera Utara, Medan, lulus
tahun 2007

Riwayat Pekerjaan
1. Pemeriksa pada KPU Bea dan Cukai Batam, tahun 2007-2009
2. Kepala Seksi Keberatan dan Banding, Kanwil BC TBK, tahun 2009
3. Widyaiswara Muda pada Pusdiklat Bea dan Cukai, 2009

Riwayat Mengajar
1. Pengajar pada Pusdiklat Bea dan Cukai
2. Pengajar pada STAN Spesialisasi Bea dan Cukai
3. Pengajar pada Pusat Pelatihan Ekspor Impor (PPEI) Kemdag Jakarta

109
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR
TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : Mohamad Jafar


NIP : 197303161992121001
Tempat, tanggal lahir : Madiun, 16 Maret 1973
Jabatan : Widyaiswara Muda

Data Pendidikan
1. Prodip III Keuangan Spesialisasi Bea dan Cukai, lulus tahun 1994
2. Sarjana Ekonomi (SE) Universitas Dr Soetomo Surabaya, lulus tahun 2001
3. Magister Managemen (MM) Universitas Bhayangkara, lulus tahun 2009

Riwayat Pekerjaan
1. Pemeriksa pada KPU Tanjung Priok 2007-2009
2. Widyaiswara pada Pusdiklat Bea dan Cukai, 2009

Riwayat Mengajar
1. Pengajar pada Pusdiklat Bea dan Cukai
2. Pengajar pada STAN Spesialisasi Bea dan Cukai
3. Pengajar pada Pusat Pelatihan Ekspor Impor (PPEI) Kemdag

110

Anda mungkin juga menyukai