Anda di halaman 1dari 40

KOMBINASI DATA AKUSTIK DAN SATELIT

UNTUK PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN DANGKAL


PULAU TUNDA

TRY FEBRIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kombinasi Data Akustik
dan Satelit untuk Pemetaan Batimetri di Perairan Dangkal Pulau Tunda adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Try Febrianto
NRP C552130131
RINGKASAN

TRY FEBRIANTO. Kombinasi Data Akustik dan Satelit untuk Pemetaan


Batimetri di Perairan Dangkal Pulau Tunda. Dibimbing oleh TOTOK
HESTIRIANOTO dan SYAMSUL BAHRI AGUS.

Pengukuran batimetri menggunakan kapal survei akustik sangat terbatas di


perairan dangkal sekitar pantai, sehingga penggunaan teknologi citra satelit perlu
dilakukan untuk melengkapi keterbatasan tersebut. Informasi topografi dasar laut
penting bagi beberapa tujuan seperti alur pelayaran kapal rakyat, pelabuhan, wisata
bahari dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan menganalisis data batimetri yang
ditampilkan pada peta dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) berdasarkan
kombinasi data akustik dan data citra satelit Worldview-2.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2014 hingga Juni 2015, sedangkan
pengukuran data lapang dilakukan di perairan dangkal Pulau Tunda pada tanggal
21-24 Agustus 2014. Metode yang digunakan adalah metode akustik dengan
melakukan pemeruman di perairan pulau tersebut, kemudian data pemeruman
tersebut diinterpolasi dan metode pengolahan citra Worldview-2 menggunakan
algoritma Stumpf yang menghitung rasio antar kanal sinar tampak (band 1-5).
Penghitungan slope menggunakan ArcGis Benthic Terrain Modeler (BTM).
Nilai kedalaman perairan Pulau Tunda berkisar 0,9 m - 52 m berdasarkan data
akustik dan data satelit. Nilai kedalaman berdasarkan citra satelit diperoleh dari
hasil rasio kanal B1/B3 (coastal band dan green band). Nilai koefisien determinasi
(R2) tertinggi adalah 0,73 yang dihubungkan dengan 59 titik kedalaman akustik
yang tersebar di sekitar perairan dangkal Pulau Tunda. Nilai kedalaman aktual
diperoleh menggunakan persamaan hasil nilai R 2 B1/B3 yaitu z =
0,50621+1,36941*B1:B3. Tampilan 3D memperlihatkan kondisi topografi dasar
laut yang sangat rata di bagian Timur laut pada kedalaman 52 m, sedangkan di
bagian Utara terlihat dasar laut yang hanya berkisar 30-40 m. Nilai slope dari 0∘⃘
hingga 57o yang terdiri dari 3 kategori, yaitu yaitu kategori flat (0o -1o), kategori
slope atau miring (1o-30o) dan kategori steeply sloping atau tebing (30o-60o).
Berdasarkan tampilan melintang kondisi topografi dasar laut bagian Utara dapat
dijadikan informasi dasar sebagai lokasi peletakan perangkap ikan dan lokasi wisata
bahari.

Kata kunci: batimetri, akustik, citra satelit, kedalaman, dasar laut


SUMMARY

TRY FEBRIANTO. Combination of Acoustic Data and Satellite for Mapping of


Bathymetry in Shallow Waters Tunda Island. Supervised by TOTOK
HESTIRIANOTO dan SYAMSUL BAHRI AGUS.

Bathymetry measurements currently using acoustic technology, but the


limitations of the survey boat to perform sounding in very shallow waters requires
other technologies such as satellite imagery to get the values of depth in the shallow
areas. Bathymetry information is important for some purpose such as shipping lanes
ports, fishing, marine tourism and others. This study aims to analyze bathymetric
data displayed on two dimensional (2D) and three dimensional (3D) based on the
combination of acoustic data and image data Worldview-2 satellite.
This study was conducted from June 2014 to June 2015, while the field data
measurement conducted in shallow waters Tunda Island on 21th-24th August 2014.
Acoustics and Worldview-2 imagery data were collated and processed using
Stumpf algorithm and by comparing between band of visible light spectra (bands
1-5). The combination of acoustic data and satellite imagery is done by looking at
the coefficient of determination (R2). Calculation of slope in this study was
performed with ArcGis using Benthic Terrain Modeler.
Tunda Island waters depth value ranges from 0.9 mm - 52 m based on the
acoustic data and satellite data. The depth value based on satellite imagery obtained
from the ratio of channel B1 / B3. The value of coefficient of determination (R2) of
0.73 which is correlated with 59 points of the acoustic depth scattered around the
shallow waters of the Tunda island. The actual depth value is obtained using the
equation generated from the highest R2 value (B1 / B3) which z = 0.50621 +
1.36941 * B1: B3. 3D view shows the seabed topography is very flat in the eastern
part of the sea at a depth of 52 m, while in the northern part of the seabed seen that
only around 30-40 m. The value of slope is 0o to 57o which consists of 3 categories,
are flats (0o-1o), slope (1o-30o) and steeply sloping (30o-60o). Based of sectional
views seabed topography northern part can be used as basic information as the
location of laying a trap fish and marine tourism locations.

Keywords: bathymetry, acoustics, satellite imagery, depth, seabed


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMBINASI DATA AKUSTIK DAN SATELIT
UNTUK PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN DANGKAL
PULAU TUNDA

TRY FEBRIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA
PRAKATA

Segala puji bagi Allah swt penulis panjatkan sebagai bentuk rasa syukur atas
rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan selama ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir dan salah satu syarat
mendapatkan gelar Magister di program studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian
Bogor.
Penghargaan yang terdalam penulis tujukan kepada ayahanda dan ibunda
tercinta yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh rasa kasih sayang
serta memberi dukungan selama ini hingga menyelesaikan pendidikan program
Magister ini.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada seluruh dosen program
studi Teknologi Kelautan IPB yang telah memberikan ilmu selama masa studi
berlangsung, khususnya kepada Bapak Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc dan Bapak
Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si yang dengan sabar telah membimbing dan
memberikan saran selama penelitian hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Ir. Vincentius P Siregar, DEA yang
telah menjadi penguji dan bapak Dr. Ir. Hendry M Manik, MT sebagai perwakilan
dari program studi Teknologi Kelautan yang telah mendukung hingga
terlaksananya ujian akhir penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan
kepada seluruh masyarakat Pulau Tunda yang telah memberikan kesempatan untuk
melakukan penelitian di daerah tersebut dan kepada seluruh tim survey batimetri
(Ari Wahyudi dan Tarlan) serta teman Teknologi Kelautan 2013 yang selama ini
telah memberikan dukungan dan saran. Terima kasih kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dukungan materilnya berupa
beasiswa pada program Bantuan Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN) 2013-2015.
Penulis berharap karya ilmiah ini bermanfaat baik secara langsung maupun
tidak langsung bagi pembaca maupun masyarakat sekitar daerah penelitian.

Bogor, Mei 2016

Try Febrianto
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 4
Tempat dan Waktu 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Analisis Data 5
Pengukuran Kedalaman Akustik 6
Pengolahan Citra Worldview-2 8
Penggabungan Data Satelit dan Akustik 10
Koreksi Pasang surut 10
Analisis Nilai Kemiringan (slope) 12
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Data Batimetri Singlebeam Echosounder 13
Data Batimetri Citra Worldview-2 14
Pengelompokan Data 16
Data Batimetri Akustik dan Citra Worlview-2 17
4 SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 28
DAFTAR TABEL
1 Alat dan Bahan 5
2 Spesifikasi sonar echosounder GPSmap 585 7
3 Panjang gelombang sensor band citra Worldview-2 8
4 Nilai R2 hasil regresi antara setiap band dengan sample kedalaman 14

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian dan jalur titik pemeruman akustik. 4
2 Diagram alur pengolahan data 6
3 Kondisi pasang surut ketika pemeruman tanggal 21-25 Agustus 2014 11
4 Kondisi Pasang surut ketika perekaman citra tanggal 25 Agustus
2013 11
5 Peta batimetri 2D hasil pemeruman akustik 13
6 Nilai koefisien determinasi rasio B1/B3 15
7 Selisih kedalaman citra dan kedalaman pemeruman akustik 15
8 Sebaran nilai kedalaman akustik 16
9 Sebaran nilai kedalaman rasio B1 : B3 17
10 Tampilan 3D batimetri perairan Pulau Tunda 18
11 (a) Nilai slope dasar laut dan posisi garis profil melintang (b) Profil
melintang lokasi peletakan perangkap ikan (c) Profil melintang lokasi
kegiatan wisata 20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Spesifikasi Worldview-2 25
2 Instalasi instrumen singlebeam echosounder GPSmap 585 26
3 Tabel Pasang surut ketika perekaman citra tanggal 13 Agustus 2013 26
4 Tabel Pasang surut ketika pemeruman tanggal 21-25 Agustus 2014 27
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanfaatan perairan laut secara optimal memerlukan informasi mengenai


lingkungan perairan tersebut, salah satunya informasi topografi dasar perairan yang
diperoleh dari data kedalaman atau batimetri (Hamid et al. 2014). Batimetri
merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar laut, sehingga peta batimetri
memberikan informasi kondisi topografi dasar perairan. Peta batimetri dapat
memberikan manfaat terhadap beberapa bidang yang berkaitan dengan dasar laut,
seperti navigasi pada alur pelayaran untuk kapal rakyat, kelayakan lokasi budidaya
dan lokasi wisata bahari, karena batimetri termasuk salah satu faktor lingkungan
yang menjadi syarat untuk tujuan tersebut (Affan 2011; Arief et al. 2013).
Metode konvensional untuk pengukuran batimetri adalah sistem batu duga,
yaitu sistem pengukuran dasar laut menggunakan kabel/tali yang dilengkapi bandul
pemberat dengan massa berkisar 25-75 kg. Seiring perkembangan teknologi,
metode tersebut sudah mulai ditinggalkan khususnya dalam pengukuran perairan
yang luas dan dalam (Smith dan Sanwell 2004). Saat ini pemetaan batimetri dapat
dilakukan menggunakan teknologi penginderaan jauh dengan 2 cara yang berbeda,
yaitu metode hidroakustik dan data satelit (Setyawan et al. 2014; Tarigan et al.
2014).
Metode hidroakustik mempunyai beberapa sistem, salah satunya sistem
singlebeam echosounder, yaitu alat ukur kedalaman air yang menggunakan sistem
pancaran tunggal sebagai pengirim dan penerima sinyal gelombang suara (SNI7646
2010). Sistem ini mengukur kedalaman air secara langsung dari kapal survei
(Brouwer 2008). Secara umum singlebeam mempunyai komponen alat transceiver
(tranducer/reciever) pada lambung kapal atau sisi bantalan pada kapal. Transciever
mengirimkan pulsa akustik dengan frekuensi tertentu yang terkandung dalam beam
(sorot/pancaran) secara langsung menyusuri bawah kolom air selama di jalur
pemeruman (Becker dan Sandwell 2008). Pada tahun 1960-an dan 1970-an
dilakukan survei pemeruman menggunakan metode akustik dengan 2 sistem
(singlebeam dan multibeam) di perairan antar benua dan hasilnya banyak wilayah
perairan yang belum dapat terjangkau oleh kapal survei tesebut (Hell 2011).
Pengukuran kedalaman menggunakan kapal akan membatasi luasan area survei,
karena apabila kapal mendekati wilayah pesisir atau pantai dengan kondisi
kedalaman sangat dangkal akan dapat mengakibatkan kapal kandas. Pengukuran
menggunakan metode akustik memerlukan biaya dan waktu yang sesuai dengan
luasan area survei, semakin luas area tersebut maka akan semakin banyak biaya dan
semakin lama waktu yang dibutuhkan (Liu et al. 2003).
Sejak tahun 1970 penginderaan jauh satelit telah digunakan untuk pemetaan
batimetri dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh
objek kemudian diterima oleh sensor yang ada pada satelit tersebut (Loomis 2009;
Arief 2012). Penggunaan citra satelit yang mempunyai nilai reflektansi akan
menghasilkan nilai kedalaman terdangkal wilayah yang luas dalam waktu singkat,
sehingga bisa menghemat waktu dan biaya (Deng dan Zhang 2008). Batimetri
menggunakan citra satelit secara garis besar dibagi menjadi dua kategori, yaitu non-
imaging dan imaging. Kategori non-imaging berupa light detection and ranging
2

(LiDAR) yang mendeteksi jarak antara sensor dan permukaan air atau dasar laut
menggunakan gelombang tunggal (single wave) atau gelombang ganda (double
waves) (Gao 2009). Kategori imaging adalah pendugaan kedalaman berdasarkan
nilai-nilai piksel dari citra yang mempunyai informasi multispektral (Arief 2012).
Saat ini banyak citra satelit yang telah digunakan untuk pemetaan batimetri, seperti
Quickbird, SPOT, Landsat, Ikonos dan Worldview. Citra satelit Worldview-2
merupakan citra terbaru yang digunakan untuk menduga kedalaman perairan
dangkal (Setyawan 2014). Satelit Worldview-2 diluncurkan pada tanggal 8 Oktober
2009 yang dilengkapi sensor band 8 multispektral, yaitu coastal, blue, green,
yellow, red, red edge, NIR 1 dan NIR 2. Band 1 (coastal) pada Worldview-2
merupakan band baru yang bermanfaat untuk pendugaan batimetri dengan panjang
gelombang 400 - 450 nm (Digitalglobea 2010).
Aplikasi algoritma batimetri dilakukan dalam proses pengolahan citra satelit
untuk menduga nilai kedalaman. Perkembangan algoritma batimetri hingga saat ini
adalah algoritma Lyzenga (1978), Benny dan Dawson (1983), Jupp (1988) dan
Stumpf (2003) (Green et al. 2000; Madden 2011). Algoritma stumpf merupakan
algoritma terakhir setelah algoritma Jupp. Prinsip algoritma stumpf ini adalah faktor
atenuasi kolom air akan melemahkan energi cahaya yang masuk ke kolom air
tersebut. Panjang gelombang mempengaruhi dalam menembus kolom air, yaitu
panjang gelombang pendek akan menembus kolom air lebih dalam dibandingkan
dengan panjang gelombang yang lebih panjang (Rina dan Khakim 2014; Madden
2011).
Penelitian ini menggabungkan teknologi penginderaan jauh Satelit dan
teknologi hidroakustik untuk memantau kondisi perairan dangkal dengan
kedalaman yang cukup bervariasi. Kedua teknologi tersebut akan saling
melengkapi data kedalaman di perairan dangkal Pulau Tunda. Kombinasi data
akustik dan citra satelit akan memberikan informasi yang lebih baik dalam hal ini
data kedalaman mulai dari tengah laut hingga ke daerah pantai yang sangat dangkal
(Agus et al. 2012).

Perumusan Masalah

Perairan dengan kondisi ekosistem yang baik umumnya terdapat di sekitar


pulau-pulau kecil, seperti Pulau Tunda yang terletak di Provinsi Banten. Sebanyak
80% penduduk Pulau Tunda bekerja sebagai nelayan dan melakukan aktivitas
penangkapan di wilayah perairan Pulau Tunda (KKP 2016). Berdasarkan kondisi
lingkungan perairan dan aktivitas masyarakat tersebut, maka informasi batimetri
yang detail sangatlah dibutuhkan. Aktivitas pelayaran kapal rakyat yang tidak
dilengkapi informasi kedalaman atau kondisi topografi dasar laut akan
mengakibatkan kesalahan dalam berlayar seperti kandasnya kapal.
Penangkapan ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang tidak merusak
ekosistem laut, seperti meletakkan perangkap ikan atau bubu di dasar laut.
Informasi batimetri juga dibutuhkan dalam penentuan lokasi untuk meletakkan
perangkap ikan atau bubu agar sesuai dan tidak merusak ekosistem.
Belum tersedianya informasi batimetri yang lengkap di perairan dangkal
Pulau Tunda, menjadi salah satu persoalan yang mendasar untuk pemanfaatannya
3

secara optimal. Informasi batimetri tersebut bisa diperoleh dengan melakukan


penggabungan data akustik dan citra satelit.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data batimetri yang ditampilan


pada peta batimetri dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D), berdasarkan data
akustik, data satelit dan kombinasi data akustik dan satelit. Peta batimetri
menampilkan informasi kedalaman minimal, kedalaman maksimal, nilai slope dan
tampilan melintang. Penelitian ini juga menghasilkan rasio kanal atau band yang
sesuai untuk pendugaan kedalaman perairan Pulau Tunda.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi batimetri, yang akan


berguna pada aktivitas masyarakat di wilayah perairan dangkal Pulau Tunda seperti
pelayaran kapal rakyat dan penentuan posisi bubu di dasar perairan untuk
penangkapan ikan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup pengamatan nilai kedalaman yang menggambarkan


kondisi topografi berdasarkan data akustik singlebeam dan citra satelit Worldview-
2 di sekitar perairan dangkal Pulau Tunda. Metode akustik dilakukan untuk
memperoleh data kedalaman hingga 50 m, sedangkan citra satelit digunakan untuk
pendugaan nilai kedalaman di wilayah sekitar pantai Pulau Tunda.
4

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juni 2014 hingga Juni 2015. Lokasi
penelitian berada di perairan dangkal Pulau Tunda, Provinsi Banten (Gambar 1).
Pulau Tunda yang mempunyai luas 289,79 Ha ini merupakan salah satu gugusan
pulau dari 17 pulau di Kabupaten Serang. Secara gegografis Pulau Tunda terletak
pada 5° 48’ 43” LS dan 106° 16’ 47” BT. Perairan dangkal Pulau Tunda memiliki
ekosistem yang lengkap dan cukup baik yaitu ekosistem terumbu karang (karang hidup
42,42%), ekosistem mangrove (7 jenis) dan ekosistem lamun (5 jenis) (KKP 2016).
Pengamatan lapang dilakukan pada tanggal 21 hingga 25 Agustus 2014, yaitu
pengukuran kedalaman menggunakan singlebeam echosounder.

Gambar 1 Lokasi Penelitian dan jalur titik pemeruman.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan seperangkat lengkap instrument akustik


Singlebeam Echosounder dan Citra Worldview-2, adapun alat dan bahan yang
lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
5

Tabel 1 Alat dan Bahan


Alat :
Singlebeam echsounder GPS map Pemeruman pengambilan data akustik
585
Kapal survei (5 GT) Pengambilan data akustik
Personal Computer Pengolahan data

Bahan :
Citra Worldview-2 Data citra satelit
Envi 5.1 Pengolahan data citra Worldview-2
Surfer 11 Pengolahan data akustik
ArcGis 10.1 Integrasi data satelit dan akustik
Data Pasang surut Koreksi data akustik dan data citra
satelit

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini secara garis besar menggunakan 2 jenis data yaitu data akustik
dan data citra satelit. Setiap data memiliki proses analisis dengan cara yang berbeda
hingga mendapatkan nilai kedalaman.
Data akustik diperoleh dari hasil perekaman selama pemeruman
menggunakan singlebeam echosounder. Nilai kedalaman berdasarkan hasil
pemeruman dikoreksi dengan nilai kedalaman tranduser dan nilai pasang surut
selama pemeruman. Koreksi dilakukan untuk mendapatkan nilai kedalaman yang
benar dan kemudian diolah menggunakan metode interpolasi pada perangkat lunak.
Hasil interpolasi ditampilkan dalam bentuk peta 2D yang memperlihatkan garis
kontur kedalaman. Sebagian nilai kedalaman akustik digunakan sebagai nilai
kedalaman referensi atau acuan untuk menduga nilai kedalaman berdasarkan citra
satelit.
Data citra satelit didapat dengan melakukan beberapa tahapan pada perangkat
lunak. Proses pertama adalah koreksi citra untuk mengurangi kesalahan pada citra
tersebut, dalam hal ini menggunakan koreksi radiometrik dan geometrik. Penelitian
ini menduga nilai kedalaman berdasarkan citra satelit hanya pada daerah perairan
yang dekat pantai. Proses masking dilakukan hanya untuk mendapatkan cakupan
wilayah yang dikaji. Wilayah kajian yang telah diperoleh, kemudian dilakukan
proses konversi digital number ke radiansi dan konversi nilai radiansi ke
reflektansi. Setelah proses konversi dilakukan hingga mendapatkan nilai
reflektansi, kemudian dilanjutkan proses berikutnya, yaitu penerapan algoritma
batimetri.
Penelitian ini menggunakan algoritma Stumpf untuk mendapatkan nilai
kedalaman relatif, yaitu nilai kedalaman yang dihasilkan dari rasio band dan
digunakan untuk proses regresi linier terhadap nilai kedalaman akustik. Tahapan
proses regresi linier dilakukan menggunakan sampling nilai kedalaman dari data
akustik dan data citra satelit. Tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan nilai
kedalaman absolut berdasarkan citra satelit. Nilai kedalaman absolut adalah nilai
kedalaman aktual yang dihasilkan menggunakan persamaan dari hasil nilai
koefisien determinasi (R2) tertinggi.
6

Integrasi data nilai kedalaman yang diperoleh dari data akustik dan data citra
satelit dilakukan untuk penyempurnaan nilai kedalaman di wilayah kajian. Integrasi
data dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi dan Benthic Terrain
Modeler (BTM). Metode interpolasi menghasilkan peta batimetri 3D dan tampilan
melintang, sedangkan BTM menghasilkan nilai slope. Tahapan proses analisis data
dalam bentuk diagram alur dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alur pengolahan data

Pengukuran Kedalaman Akustik

Pengukuran kedalaman akustik mengikuti bentuk jalur survei yang sudah


direncanakan terlebih dahulu. Perhitungan lintasan survei dilakukan untuk
memperkirakan panjang lintasan dan lama waktu yang akan dibutuhkan selama
pengambilan data di lapang. Panjang lintasan dapat didefinisikan menurut
Simmonds dan Maclennan 2005 :

V.te.d = Np.Lp + (Np-1) = k (1)


keterangan :
V : Kecepatan kapal
te : Waktu layar actual kapal pada kecepatan V
d : Lama hari survei
7

Np : Jumlah parallel track (transek)


L : Panjang empat persegi area survey (nautical miles)
S : Jarak spasi track (nautical miles)
Lp : Panjang track parallel (nautical miles)
k : Panjang dari titik awal hingga titik akhir
Lintasan survei pengukuran data pemeruman berbentuk paralel yang
mengelilingi pulau hingga kedalaman maksimal 50 meter dengan (Gambar 2).
Kondisi lintasan survei yang tegak lurus garis pantai dan sejajar garis pantai dapat
menghasilkan peta batimetri yang lebih baik (Dewitt et al. 2007).
Sebelum pemeruman dilakukan, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat
echosounder tersebut dengan cara bar check yaitu membandingkan suatu nilai
kedalaman yang diukur secara manual (menggunakan benda yang diletakkan di
bawah tranduser dengan kedalaman tertentu) dengan nilai kedalaman yang diukur
oleh alat echosounder tersebut (Dewi et al. 2015).
Selama pengukuran berlangsung, tranduser singlebeam echosounder
memancarkan energi gelombang akustik. Energi gelombang akustik merambat
hingga dasar laut dan pantulan diterima kembali oleh tranduser (Simmonds dan
Maclennan 2005). Nilai kedalaman yang diperoleh berdasarkan persamaan berikut
(Sasmita 2008):
1
𝒅 = 2 𝑣∆𝑡 (2)

keterangan : d : Kedalaman perairan


v : Kecepatan gelombang akustik di medium air
∆t : Selang waktu sejak gelombang dipancarkan hingga
diterima kembali
Pemeruman menggunakan instrument akustik yaitu echosounder GPSmap
585 dengan menggunakan frekuensi 200 kHz. Kecepatan kapal 3 hingga 5 knot,
adapun spesifikasi alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi sonar echosounder GPSmap 585


Frequency 50/200 kHz
Transmit power 500W(RMS), 4,000W(peak to peak)
Voltage range 10-36 VDC
Maximum depth 1,500ft
Cone angle 20 degrees
(Sumber : http://id.garmin.com)

Pemeruman menggunakan kapal dengan posisi kedalaman tranduser 0,5 m


dari permukaan air. Data hasil pemeruman kemudian diekstrak menjadi format x y
z pada software Microsoft exel 2013, nilai x y menunjukkan posisi koordinat dari
GPS sedangkan nilai z menunjukkan nilai kedalaman dari echosounder (Parnum et
al. 2014). Kemudian data xyz tersebut diproses gridding yaitu proses penggunaan
titik data asli atau data pengamatan yang ada pada file xyz untuk membentuk titik-
titik data tambahan pada sebuah grid yang tersebar secara teratur (Budiyanto 2005).
8

Pengolahan Citra Worldview-2

Penelitian ini menggunakan data Worldview-2 yang mempunyai resolusi


spasial 1,85 m untuk sensor multispektral (Digitalglobe a 2010; Myrick 2011).
Satelit Worldview-2 ini dilengkapi sensor pankromatik dan sensor 8 band
multispektral yang masing-masing sensor tersebut mempunyai kisaran panjang
gelombang yang berbeda. Nilai kisaran panjang gelombang tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Panjang gelombang sensor band citra Worldview-2
Band Kisaran panjang gelombang (nm)
Panchromatic 450 – 810
Coastal Blue 400 – 450
Blue 450 – 510
Green 510 – 580
Yellow 585 – 625
Red 630 – 690
Red edge 705 – 745
Near IR-1 770 – 895
Near IR-2 860 – 1040
(Sumber : DigitalGlobe 2010)

Koreksi Geometrik dan Radiometrik


Koreksi radiometrik dan geometrik dilakukan terlebih dahulu, sebelum
pengolahan citra lebih lanjut. Koreksi geometrik untuk mendapatkan acuan
koordinat yang sesuai geografis. Koreksi radiometrik untuk meningkatkan atau
memperbaiki nilai pixel pada citra Worldview-2 karena kesalahan radiometrik dan
juga untuk meningkatkan visualisasi pada citra Worldview-2 ini (Ardiansyah
2015).
Kesalahan radiometrik disebabkan oleh gangguan atmosferik, sehingga perlu
dilakukan koreksi atmosferik. Koreksi atmosferik menggunakan tool pada
perangkat lunak pengolahan citra satelit, yaitu Fast Line-of-sight Atmospheric
Analysis of Spectral Hypercube (FLAASH) atmospheric correction (Felde et al.
2003; Ardiansyah 2015).

Masking
Masking yang paling efektif untuk memisahkan antara badan air dengan
daratan adalah dengan melibatkan kanal dengan panjang gelombang terbesar. Pada
Worldview-2 kanal dengan panjang gelombang paling besar adalah NIR 2 (860 –
1040 nm), dikarenakan kanal ini memiliki nilai radiansi yang lebih besar pada
daratan daripada nilai radiansi pada air (DigitalGlobe a 2010).

Konversi Nilai Digital ke Nilai Radiansi


Konversi Nilai Digital ke Top of the Atmosphere Radiance (TOA) dilakukan
menggunakan persamaan dibawah (DigitalGlobe b 2010; Madden 2011):

Kband * qPixel ,Band


LλPixel ,Band= (3)
ΔλBand
9

keterangan LλPixel ,Band : Nilai TOA Radiance (W-m-2-sr-1-µm-1)


KBand : Faktor kalibrasi dari setiap kanal
qPixel,Band : Nilai Digital (DN) masing – masing kanal
ΔλBand : Lebar kanal

Konversi Nilai Radiansi ke Nilai Reflektansi


Mengubah Radiance ke Water Leaving Reflectance yaitu konversi nilai
radiansi ke reflektansi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung water leaving
reflectance (Rw) adalah sebagai berikut (Madden 2011):

LλPixel, Band *dES 2 * π


ρλPixel,Band = (4)
EsunλBand *cos⁡(θs )

keterangan : ρ λPixel,Band : Rata–rata reflektansi kanal


LλPixel,Band : TOA Radiance setiap kanal
dES2 : Jarak antara bumi dan matahari pada waktu
mendapatkan citra
EsunλBand : Solar irradiance
θs : Sudut puncak matahari (Zenith Angle)

Nilai Kedalaman
Pengolahan citra Worldview-2 untuk memperoleh nilai kedalaman
menggunakan pendekatan (Stumpf et al. 2003) yang telah dimodifikasi oleh
Madden (2011). Menghitung kedalaman relatif (Relative Bahtymetry) yaitu
menggunakan panjang gelombang yang lebih pendek dari water leaving reflectance
Rw(λi) sebagai pembilang dan panjang gelombang yang lebih panjang Rw(λj)
sebagai penyebut dengan persaman di bawah ini:

ln(Rw (λi ))
Zrelatif =m1 − 𝑚𝑜 (5)
ln⁡(Rw(λj ))

keterangan : Rw(λi) : Panjang gelombang pendek


Rw(λj) : Panjang gelombang panjang
m1 : Koefisien kalibrasi
mo : Faktor koreksi
n : konstanta untuk menjaga rasio tetap positif

Menghitung kedalaman aktual (Absolute Bathymetry) yaitu kedalaman relatif


yang didapat kemudian dihitung menggunakan persamaan hasil regresi linier yang
mempunyai nilai korelasi yang tertinggi.
10

Penggabungan Data Satelit Dan Akustik


Penentuan hubungan antara keduanya dilakukan dengan menggunakan
koefisien korelasi. Dimana variabel X, yaitu variabel data kedalaman hasil
pengukuran akustik dan Y, yaitu data nilai kedalaman dari pengolahan citra. Kuat
tidaknya hubungan antara keduanya ditunjukkan dengan tinggi tidaknya korelasi
antara kedua variabel tersebut. Persamaan dasar koefisien korelasi ini adalah
sebagai berikut (Rina dan Khakim 2014) :

𝑛∑𝑥𝑦−(∑𝑥)(∑𝑦)
𝑅 = ⁡ (𝑛∑𝑥2 −(∑𝑥)2 (𝑛∑𝑦2 −(∑𝑦)2 ) (7)

keterangan: n : Jumlah sampel


R : Koefisien korelasi
X : Variabel yang diwakili transformasi citra pada daerah sampel
Y : Variabel yang diwakili hasil pengukuran akustik di lokasi
sampel

Koreksi Pasang surut


Data pemeruman yang diperoleh dari alat singlebeam echosounder tersebut
kemudian dikoreksi dengan data pasang surut dari Dishidros TNI AL pada hari
pemeruman dilakukan yaitu pada tanggal 21 hingga 25 Agustus 2014 sedangkan
data kedalaman dari citra Worldview-2 dikoreksi dengan data pasang surut pada
tanggal 25 Agustus 2013. Data kedalaman tersebut direduksi pasang surut dengan
menggunakan persamaan berikut (Masrukhin et al. 2014):

D = dT – rt (8)

keterangan: D : Kedalaman sebenarnya


dT : Kedalaman terkoreksi tranduser
rt : Reduksi pasang surut laut

Nilai kedalaman yang lebih mendekati dengan keadaan sebenarnya diperoleh


dengan melakukan koreksi terhadap nilai kedalaman tranduser dan nilai pasang
surut ketika pemeruman dilakukan. Data kondisi pasang surut ketika pemeruman
diperoleh dari Dishidros AL pada tanggal 21-25 Agustus 2014. Kondisi pasang
surut ketika pemeruman ditampilkan pada Gambar 3.
11

Gambar 3 Kondisi pasang surut ketika pemeruman tanggal 21-25 Agustus 2014
Koreksi pasang surut juga dilakukan terhadap nilai kedalaman yang telah
didapatkan dari citra satelit. Akuisisi citra Worldview-2 pada tanggal 25 Agustus
2013 waktu 10.38 wib dikoreksi dengan nilai pasang surut pada tanggal dan waktu
citra tersebut. Kondisi pasang surut ketika perekaman citra dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Kondisi Pasang surut ketika perekaman citra tanggal 25 Agustus 2013
Berdasarkan gambar 3 dan 4, bahwa kisaran tinggi pasang surut di perairan
Pulau Tunda pada bulan agustus (2013 dan 2014) adalah 0,3 hingga 0,9 m. Menurut
Purba dan Pranowo (2015) wilayah perairan Indonesia sebagai negara yang berada
di ekuator mempunyai kisaran pasang surut 0,2 – 4 m dan mempunyai 4 tipe pasang
surut yaitu semidiurnal, campuran senderung ke semidiurnal, diurnal dan campuran
cenderung ke diurnal. Kondisi pasang surut perairan Pulau Tunda termasuk pada
tipe semidiurnal karena pada grafik (gambar 3 dan 4) terlihat dua tinggi pasang dan
dua surut yang mempunyai pola sama.
12

Analisis Nilai Kemiringan (slope)


Analisis perhitungan nilai slope menggunakan Benthic Terrain Modeler
(BTM) yaitu suatu perangkat untuk menganalisis karakteristik dasar perairan secara
spasial, salah satunya menganalisis nilai kemiringan (slope). Perangkat BTM
dikembangkan oleh Oregon State University Departement of Geosciences bersama
dengan NOAA Coastal Service Center’s GIS Integration and Development
Program. Analisis slope menggunakan BTM dimulai dari data batimetri yang
berbentuk raster dan selanjutnya diolah menggunakan tool Geomorphometry
dengan pilihan slope (compute slope).
Perhitungan untuk mendapatkan nilai kemiringan menggunakan rumus dasar
perbandingan trigonometri. Persamaan nilai kemiringan tersebut adalah (Tarigan et
al. 2014) :

tan α = y/x (9)

keterangan: α : Besar sudut kemiringan (o)


y : Jarak vertikal (m)
x : Jarak horizontal (m)
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Batimetri Singlebeam Echosounder

Berdasarkan pengukuran di lapangan, maka diperoleh nilai kedalaman yang


bervariasi dan nilai kedalaman tersebut dikoreksi untuk mengurangi kesalahan.
Koreksi yang digunakan adalah koreksi kedalaman tranduser 0,5 m dan koreksi
pasang surut ketika perekaman data yang hanya berkisar pada ketinggian 0,5 – 0,7
m pada waktu 08.00 – 17.00 wib. Nilai kedalaman yang terkoreksi kemudian diolah
dan ditampilkan dalam bentuk peta 2D dengan interval garis kontur kedalaman
sebesar 5 m. Tampilan peta 2D dapat dilihat pada Gambar 5.

PULAU TUNDA

Keterangan : Nilai kedalaman dalam satuan meter (m)

Gambar 5 Peta batimetri 2D hasil pemeruman akustik

Peta 2D kedalaman perairan Pulau Tunda memperlihatkan nilai kedalaman


dari 2 m hingga 52 m. Nilai kedalaman maksimal berada di bagian timur laut yaitu
52 m, sehingga pada bagian ini mempunyai kedalaman yang paling bervariasi.
Lebar perairan dari pantai hingga ke tengah laut yang ditamplikan pada peta 2D
berkisar 223,3 m hingga 934,1 m. Lebar perairan yang berada di bagian timur
dengan kondisi kisaran kedalaman 2 m hingga 40 m. Lebar perairan tertinggi berada
di bagian barat daya dan timur laut dengan kisaran kedalaman 2 m hingga 52 m.
Tampilan peta memperlihatkan bahwa garis kontur dengan kedalaman lebih
kecil dari 5 m terlihat sangat rapat di sepanjang garis pantai sehingga ini
mengindikasikan bahwa perubahan kedalaman yang cukup ekstrim. Menurut Dewi
(2014) topografi dasar laut yang curam mempunyai jarak garis kontur rapat
sedangkan jarak garis kontur jarang menunjukkan kondisi topografi dasar laut yang
landai. Berdasarkan nilai kedalaman yang diperoleh, maka kondisi topografi dasar
laut perairan Pulau Tunda termasuk pada daerah continental shelf yaitu topografi
dasar laut yang berbatasan langsung dengan daratan dan mempunyai kedalaman
tidak lebih dari 200 m (Hutabarat dan Evan 2008).
14

Data Batimetri Citra Worldview-2

Analisis citra satelit dapat menghasilkan nilai batimetri sampai kedalaman


tertentu, selama cahaya matahari yang dipancarkan mampu menembus kolom
perairan.
Proses untuk mendapatkan nilai estimasi kedalaman pada penelitian ini
dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2) atau kanal-kanal tersebut dengan
menggunakan nilai referensi sebanyak 59 titik yang mewakili sebagai uji akurasi
nilai estimasi tersebut sehingga akan mendapatkan nilai R 2 yang sesuai (Tabel 4).

Tabel 4 Nilai R2 antara setiap band dengan sample kedalaman


Rasio Rasio
Persamaan R2 Persamaan R2
Kanal Kanal
B1 z = 1,15245+0,90854*B1 0,02 B4: B5 z = 0,61354+0,75381*B4:B5 0,11

B2 z = 0,32498+2,19859*B2 0,41 B1:B2:B3 z= 0,55


0,81875+0,27341*B1:B2:B3

B3 z = 0,34340+3,00757*B3 0,49 B1:B2:B4 z= 0,18


1,00769+0,25335*B1:B2:B4

B4 z = 1,35351+0,04871*B4 0,01 B1:B2:B5 z= 0,16


1,08509+0,19654*B1:B2:B5

B5 z = 1,15543+0,94004*B5 0,05 B2:B3:B4 z= 0,04


1,69466-0,70771*B2:B3:B4
B1: B2 z= 0,59 B2:B3:B5 z= 0,01
0,23648+0,55802*B1:B2 1,38507-0,04424*B2:B3:B5
B1: B3 z= 0,73 B2:B4:B5 z= 0,10
0,50621+1,36941*B1:B3 1,52656-0,46142*B2:B4:B5

B1: B4 z= 0,03 B3:B4:B5 z= 0,06


1,84409-0,48722*B1:B4 1,46309-0,18759*B3:B4:B5
B1: B5 z= 0,01 B1:B2:B3: z = 0,25
1,16832+0,20025*B1: B5 B4 1,09517+0,18780*B1:B2:B3:B4
B2: B3 z= 0,09 B1:B2:B3: z = 0,23
2,28710-1,34009*B2:B3 B5 1,13256+0,15914*B1:B2:B3:B5
B2: B4 z= 0,64 B1:B2:B4: z = 0,01
2,58640-2,40295*B2:B4 B5 1,34232+0,02072*B1:B2:B4:B5
B2: B5 z= 0,31 B2:B3:B4: z = 0,01
2,18535-1,64313*B2:B5 B5 1,41508-0,14965*B2:B3:B4:B5
B3: B4 z= 0,50 B1:B2:B3: z = 0,02
2,42996-1,44056*B3:B4 B4:B5 1,32354+0,03604*B1:B2:B3:B4:
B5
B3: B5 z= 0,17
1,87383-0,69850*B3:B5
15

Nilai R2 yang tertinggi adalah pada rasio kanal Coasatal dan kanal hijau
(B1/B3) yaitu dengan nilai R2 0,73. Band 1 merupakan sensor baru pada satelit
Worldview-2 dengan panjang gelombang pendek, sehingga sesuai untuk membantu
menganalisis studi batimetri dan kolom air (Tarantino et al. 2012). Doxani et al.
(2012) menggunakan kanal hijau pada citra Worldview-2 untuk mendapatkan nilai
batimetri. Setyawan (2014) menghasilkan rasio kanal band 1 dan band 3 untuk
menduga kedalaman di perairan Pulau Panggang menggunakan citra Worldview-2.
Nilai tertinggi berikutnya dihasilkan pada rasio kanal blue dan kanal yellow (B2/B4)
yaitu 0,64. Nilai koefisien determinasi (R2) akan lebih baik apabila mendekati nilai
1 (Walpole, 1997) sedangkan hasil nilai rasio pada kanal lainnya tidak memberikan
nilai yang tinggi atau jauh dari nilai 1 sehingga tidak akan memberikan nilai
kedalaman yang lebih akurat.
Persamaan yang dihasilkan oleh R2 tertinggi (B1/B3), yaitu Z =
0,50621+1,36941*B1:B3 digunakan untuk mendapatkan kedalaman aktual.
Kedalaman aktual berdasarkan persamaaan tersebut diolah menggunakan
perangkat lunak pengolahan citra. Hasil nilai R 2 kedalaman aktual terhadap
kedalaman referensi dapat dilihat pada Gambar 6.
3
y = 0,50621+1,36941*B1:B3
R2 = 0,73
Kedalaman Pemeruman (m)

2.5

1.5

0.5

0
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Kedalaman Citra (m)

Gambar 6 Nilai R2 rasio B1/B3


Selisih kedalaman antara nilai kedalaman citra dan nilai kedalaman
pemeruman beragam di setiap sample kedalamannya. Selisih kedalaman ini
menggunakan titik kedalaman pemeruman sebanyak 59 titik kedalaman yang telah
mewakili perairan tersebut (Gambar 7).
3
Kedalaman Pemeruman
2.5 Kedalaman Citra
Kedalaman (m)

1.5

0.5

0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56
Titik sample
Gambar 7 Selisih kedalaman citra dan kedalaman pemeruman akustik
16

Gambar 7 memperlihatkan bahwa nilai selisih kedalaman paling tinggi


mencapai 1 m yang hanya terdapat pada titik sample ke 1, sedangkan pada titik
sample yang lain mempunyai selisih di bawah 1 m.
Hasil pengukuran berdasarkan metode akustik dijadikan sebagai nilai acuan
atau nilai yang dianggap paling benar. Metode akustik lebih akurat karena
menggunakan sensor yang memancarkan gelombang akustik langsung di perairan
tersebut, sedangkan citra satelit Worldview-2 menggunakan sensor yang hanya
menerima pantulan cahaya dari objek dengan posisi sensor di ketinggian 770 km
sehingga dapat dipengaruhi oleh lemahnya energi cahaya ketika masuk kedalaman
perairan (Digitalglobea 2010; Ardiansyah 2015; Simmonds dan Maclennan 2005)
Nilai kedalaman yang dapat dihasilkan oleh citra Worldview-2 adalah <3 m,
karena pada penelitian ini hanya bertujuan mendapatkan nilai kedalaman yang
hanya dekat dengan pantai yang memungkinkan kapal tidak bisa melakukan
pengambilan nilai kedalaman menggunakan instrumen akustik.

Pengelompokan Data

Data Akustik
Pengukuran kedalaman menggunakan metode akustik pada penelitian ini
mencapai nilai maksimal 52 m. Kisaran nilai kedalaman 2 m hingga 2,5 m
merupakan nilai yang mempunyai frekuensi atau jumlah data tertinggi yaitu 90,
sedangkan pada kisaran nilai kedalaman 26 m hingga 28 m mempunyai nilai
frekuensi 60 hingga 70 (Gambar 8).

100
90
80
70
60
Frekuensi

50
40
30
20
10
0
2 6 10 14 18 22 26 30 34 38 42.7 52.1
Nilai Kedalaman Akustik (m)
Gambar 8 Sebaran nilai kedalaman akustik

Data Satelit
Nilai kedalaman berdasarkan data satelit, yaitu menggunakan citra
Worldview-2 yang menggunakan rasio band coastal dan band green (B1 : B3).
Nilai kedalaman yang didapat berkisar 0,9 m hingga 3,8 m karena wilayah hanya
17

di sekitar pantai yang mendekati daratan. Frekuensi tertinggi terdapat pada kisaran
nilai kedalaman 1,2 m hingga 1,4 m, dengan frekuensi 325 hingga 350 (Gambar 9).

350
325
300
275
250
Frekuensi

225
200
175
150
125
100
75
50
25
0
0.9 1.2 1.5 1.8 2.1 2.4 2.7 3.8
Nilai Kedalaman Rasio B1 : B3
Gambar 9 Sebaran nilai kedalaman rasio B1 : B3

Data Batimetri Akustik dan Citra Worldview-2

Penelitian ini menggabungkan dua teknologi untuk mendapatkan nilai


kedalaman yang mencakup seluruh wilayah perairan khususnya perairan di sekitar
pulau kecil untuk menghasilkan peta batimetri yang lebih rinci, sehingga
pengukuran kedalaman hingga mendekati daratan atau pantai.
Batimetri merupakan kedalaman perairan yang dapat menggambarkan bentuk
dasar perairan, sehingga dalam memberikan informasi atau gambaran diperlukan
tampilan 3D yang lebih memperlihatkan kondisi dasar perairan. Pengolahan peta
3D menggunakan metode interpolasi Invers Distance to a Power (IDP) yang
terdapat pada software Surfer 11.
Tampilan peta 3D berdasarkan data akustik, rasio B1 dan B3 dan kombinasi
data akustik dan satelit. Nilai kedalaman berdasarkan analisis data akustik
menunjukkan kedalaman tertinggi, yaitu 52 m yang terdapat di bagian timur laut
dan 30-40 m di bagian utara. Berdasarkan peta 3D terlihat kondisi dasar laut di
bagian timur laut pada kedalaman 50 sangat rata dan terlihat sangat berbeda
dibandingkan dengan kondisi di bagian lain. Pebedaan ini diduga karena aktivitas
pengerukan pasir yang pernah terjadi di perairan tersebut. Hasil peta 3D
ditampilkan pada Gambar 10.
18

PULAU TUNDA

Hasil data akustik

PULAU TUNDA

Hasil data citra rasio B1:B3

PULAU TUNDA

Hasil kombinsai data Akustik dan B1:B3


Keterangan : Nilai kedalaman dalam satuan meter (m)
Gambar 10 Tampilan 3D batimetri perairan Pulau Tunda

Selain mengetahui nilai kedalaman, analisis data akustik dan citra satelit juga
dapat menghasilkan nilai slope. Slope adalah ukuran kemiringan dasar laut setiap
terjadinya perubahan atau ukuran kemiringan tebing dasar laut dengan satuan
derajat. Kondisi batimetri di perairan Pulau Tunda mempunyai kemiringan mulai
dari 0o hingga 57o (Gambar 11 (a)). Berdasarkan klasifikasi menurut BTM bahwa
topografi dasar laut di perairan dangkal Pulau Tunda secara keseluruhan terbagi
menjadi tiga kategori, yaitu kategori flat (0o-1o), kategori slope atau miring (1o-30o)
dan kategori steeply sloping atau tebing (30o-60o) (Young 2007). Kategori flat atau
datar dapat terlihat pada tampilan 3D nilai slope dari rasio B1: B3. Nilai slope yang
diperoleh dari rasio tersebut berkisar 0o hingga 12o, dengan kondisi topografi yang
dekat dengan daratan atau sekitar pantai.
Kondisi dasar laut akan lebih memberikan informasi ketika ditampilkan
dalam bentuk profil melintang seperti pada Gambar 11 (b) berada di bagian utara,
terlihat kondisi slope yang dapat dijadikan salah satu informasi dasar untuk
dimanfaatkan sebagai tempat peletakan perangkap ikan (bubu) yang berada pada
kisaran kedalaman 5-10 m. Profil melintang pada Gambar 11 (c) berada di bagian
barat yang memperlihatkan kondisi pantai yang begitu landai, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai lokasi wisata karena mempunyai kedalaman yang relatif
19

dangkal yaitu kisaran kedalaman 0-5 m dengan kondisi slope yang tidak curam
(Affan 2011; Arief et al. 2013).

PULAU TUNDA

Nilai slope berdasarkan data akustik

PULAU TUNDA

Nilai slope berdasarkan data citra rasio B1: B3

PULAU TUNDA

Nilai slope berdasarkan data akustik dan B1: B3


Keterangan : Nilai slope dalam satuan derajat (₀)

Posisi garis profil melintang (b dan c)


a
20

Kedalaman (m)

Jarak (m)
b

Kedalaman (m)

Jarak (m)

c
Gambar 11 (a) Nilai slope dasar laut dan posisi garis profil melintang (b) Profil
melintang lokasi peletakkan perangkap ikan (c) Profil melintang lokasi
kegiatan wisata
21

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil data di lapangan diperoleh dengan batasan-batasan yang ada maka, nilai
kedalaman perairan Tunda berdasarkan data akustik adalah maksimum 52 m
sedangkan kedalaman yang bisa diestimasi oleh citra Worldview-2 setelah
dilakukan koreksi dan tahapan-tahapan dengan menggunakan algoritma Stumpf
adalah hingga sekitar 2 m.
Rasio kanal yang baik untuk mendapatkan nilai kedalaman pada penelitian
ini adalah kombinasi B1/B3 (coastal/green). Nilai kedalaman berdasarkan citra
Worldview-2 mempunyai nilai R2 0,73 dengan nilai kedalaman akustik, artinya
nilai tersebut cukup baik karena mendekati nilai 1. Nilai slope dasar perairan Tunda
berkisar dari 0o hingga 57o. Berdasarkan analisis data batimetri menghasilkan
tampilan topografi dasar laut yang dapat dijadikan sebagai informasi dasar untuk
tujuan tertentu seperti posisi untuk meletakkan perangkap ikan dan lokasi wisata
bahari yang ditampilkan dalam bentuk profil melintang.

Saran

Perlunya penelitian lanjut dan menggunakan alat yang lebih baik seperti
instrumen multibeam echosounder, akan memberikan hasil sesuai tujuan yang
diinginkan.
22

DAFTAR PUSTAKA

Affan JM. 2011. Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam Keramba Jaring
Apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di Perairan
Timur Kabupaten Bangka Tengah. Jurnal Sains MIPA. 17 (3) : 99 – 106.
Agus SB, Siregar VP, Bengen DG dan Hanggoro A. 2012. Profil batimetri habitat
pemijahan ikan terumbu hasil integrasi data inderaja satelit dan akustik : studi
kasus perairan sekitar pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Jurnal Teknologi
Perikanan Dan Kelautan. 2 (2) : 45-61
Ardiansyah. 2015. Pengolahan citra penginderaan jauh menggunakan ENVI 5.1
dan ENVI Lidar (teori dan praktek). PT. Labsig Inderaja Islim Jakarta. p 78
Arief M. 2012. Pendekatan baru pemetaan bathimetric menggunakan data
penginderaan jauh SPOT studi kasus : Teluk Perigi dan Teluk Popoh. Jurnal
Teknologi Dirgantara. 10 (1) : 71 – 80.
Arief M, Hastuti M, Asriningrum W, Parwati E, Budiman S, Prayogo T dan
Hamzah R. 2013. Pengembangan metode pendugaan kedalaman perairan
dangkal menggunakan data satelit SPOT-4 studi kasus : Teluk Ratai,
Kabupaten Pesawaran. Jurnal Penginderaan Jauh. 10 (1) : 1-14.
Becker JJ dan Sandwell DT. 2008. Global estimates of seafloor slope from
singlebeam ship soundings. Journal of Geophysical Research. 113 : 1-14.
Brouwer PAI. 2008. Seafloor classification using a single beam echosounder [tesis].
Department of Earth Observation and Space System cahir of Acoustic
Remote Sensing. Delf, the Netherlands. p 1
Budiyanto E. 2005. Pemetaan kontur dan pemodelan spasial 3 dimensi
menggunakan surfer. Andi Yogyakarta. p 214
Deidda M and Sanna G. 2012. Bathymetric extraction using Worldview-2 high
resolution images. International Archives of the Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Sciences. XXXIX (B8) : 153 – 157.
Dewi LS, Ismanto A dan Indrayanti E. 2015. Pemetaan batimetri menggunakan
singlebeam echosounder di perairan Lembar, Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Oseanografi. 4 (1): 10-17.
Dewitt NT, Flocks JG, Hansen M, Kulp M, and Reynolds BJ. 2007. Bathymetric
survey of the nearshore from Belle Pass to Caminada Pass, Louisiana:
Methods and data report. U S Geological Survey Data Series 312. Virginia.
Deng Z, Ji M and Zhang Z. 2008. Mapping bathymetry from multi-source remote
sensing images : a case study in the Beilun estuary, Guangxi, China. The
international archieves of the photogrammetry, remote sensing and spatial
information sciences. XXXVII (B8) : 1321 – 1326.
Digital globea. 2010. The Benefits of the eight spectral bands of Worldview-2.
[diacu 2014 Juli 1].Tersedia dari http:// www.digitalglobe.com /sites/default
/files /DG-8SPECTRAL-WP_0.pdf
Digital globeb. 2010. Radiometric use of Worldview-2 imagery. Dry Creek Suite
260. Longmont Colorado USA. p 15
Doxani G, Papadopoulou M, Lafazani P, Pikridas C, and Tsakiri-Strati. 2012.
Shallow-water bathimetry over variable bottom types using multispektral
WorldView-2 image. International Archieves of the Potogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Sciences. 36 (B8) : 159 – 164.
23

Felde GW, Anderson GP, Cooley TW, Matthew MW, Adler-Golden SM, Berk A,
Lee J. 2003. Analysis of Hyperion Data with the Flaash Atmospheric
Correction Algorithm. Pages 90-92. Geoscience and Remote Sensing
Symposium, Proceedings. : IEEE International.
Gao J. 2009. Bathymetric mapping by means of remote sensing : methods, accuracy
and limitations. Progress in Physical Geography. 33 (1) : 103 – 116.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ and Clark CD. 2000. Remote sensing handbook
for tropical coastal management. United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization. Paris. p 219 - 225
Hamid W, Kaparang FE dan Dien HV. 2014. Batimetri di perairan pantai depan
sungai Bahu, kecamatan Malalayang, Manado. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Tangkap. 2 (1) : 39 – 43.
Hell B. 2011. Mapping bathymetry from measurement to applications. Department
of Geological Sciences Stockholm University. Stockholm, Sweden. p 7
Hutabarat S dan Evan A M. 2008. Pengantar oseanografi. UI Press. Jakarta. p 26
Liu Y, Anisul IM and Jay Gao J. 2003. Quantification of shallow water quality
parameters. Progress in Physical Geography. 27 (1) : 24 – 43.
Loomis MJ. 2009. Depth derivation from the Worlview-2 satelilite using
hyperspectral imagery [tesis]. Naval Postgraduate School. Monterey,
California. p 2
Madden CK. 2011. Contributions to remote sensing of shallow water depth with
the Worldview-2 yellow band [tesis]. Naval Postgraduate School. Monterey,
California. p 83
Masrukhin M A A, Sugianto D N dan Satriadi A. 2014. Studi batimetri dan
morfologi dasar laut dalam penentuan jalur peletakan pipa bawah laut
(Perairan Larangan-Maribaya, Kabupaten Tegal). Jurnal Oseanografi. 3 (1) :
94-104.
Myrick II K B. 2011. Coastal bathymetry using satellite obsevation in support of
intelligence preparation of the environment [tesis]. Naval Postgraduate
School. Monterey,California.
Parnum I, Siwabessy J, Gavrilov A, and Parsons M. 2014. A comparison of single
beam and multi beam sonar system in seafloor habitat mapping. Underwater
Acoustic Measurement : Technologies and Results. P 155-166
Purba NP dan Pranowo WS. 2015. Dinamika oseanografi, deskripsi karakteristik
massa air dan sirkulasi air laut. Unpad Press. Bandung. p 164 - 174
Rina N dan Khakim N. 2014. Pemetaan batimetri perairan dangkal menggunakan
citra Quickbird di perairan Taman Nasional Karimun Jawa, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah. p 140-148
Sasmita D K. 2008. Aplikasi multibeam echosounder system (MBES) untuk
keperluan batimetrik. ITB. Bandung. p 7
Setyawan IE, Siregar VP, Pramono GH dan Yuwono DM. 2014. Pemetaan profil
habitat dasar perairan dangkal berdasarkan bentuk topografi : studi kasus
Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta. Majalah Ilmiah Globe. 16 (2) :
125-132
Simmonds J, and MacLennan, D. 2005. Fisheries acoustics theory and practice
second edition. Blackwell Science, Victoria. p 71
Smith WHF and Sanwell DT. 2004. Conventional bathymetry, bathymetry from
space, and geodetic altimetry. Oceanography. 17 (1) : 8 – 23.
24

Stumpf RP, Holdried K, Siclair M. 2003. Determination of water depth with high
resolution satellite imagery over variable bottom types. Limnol Oceanogr. 48
(1) : 547-556.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 7646. 2010. survei hidrografi menggunakan
singlebeam echosounder. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Tarantini C, Adamo M, Pasquariello G, Lovergine F, Blonda P and Tomaselli V.
2012. 8-Band image data processing of the Worldview-2 satellite in a wide
area of applications. Earth Observation. InTech : 137 - 158
Tarigan S, Setyono H dan Saputro S. 2014. Studi pemetaan batimetri menggunakan
multibeam echosounder di perairan pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa
Tenggara Timur. Jurnal Oseanografi. 3 (2) : 257-266.
Walpole RE. 1997. Pengantar statistika. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Young M. 2007. Modeling Rockfish Abundance and Distribution on Cordell Bank
National Marine Sanctuary, California using Generalized Linear Models
(GLMs). Monterey Bay. p 22
[Garmin]. 2015. (diakses tanggal 13 Mei 2015). Tersedia di http://id.garmin.com
[KKP]. 2016. (diakses tanggal 05 Maret 2016). Tersedia di http://www.ppk-
kp3k.kkp.go.id
25

Lampiran 1 Spesifikasi Worldview-2

Launch Information Date: October 8, 2009


Launch Vehicle: Delta 7920 (9 strap-ons)
Launch Site: Vandenberg Air Force Base, California
Orbit Altitude: 770 km
Type: Sun synchronous, 10:30 am descending node
Period: 100 min.
Mission Life 10-12 years, including all consumables and
degradables (e.g. propellant)
Spacecraft Size, 5.7 m (18.7 ft) tall x 2.5 m (8 ft) across
Mass and Power 7.1 m (23 ft) across the deployed solar arrays
2615 kg (5765 lbs)
3.2 kW solar array, 100 Ahr battery
Sensor Bands Panchromatic: 450 - 800 nm
8 Multispectral:
Coastal: 400 - 450 nm Red: 630 -690 nm
Blue: 450 - 510 nm Red Edge: 705 - 745 nm
Green: 510 - 580 nm Near-IR1: 770 - 895 nm
Yellow: 585 - 625 nm Near-IR2: 860 - 1040 nm
Sensor Resolution Panchromatic: 0.46 m GSD at nadir, 0.52 m GSD at
20° off-nadir
Multispectral: 1.85 m GSD at nadir, 2.07 m GSD at
20° off-nadir
Dynamic Range 11-bits per pixel
Swath Width 16.4 km at nadir
Attitude Determination 3-axis stabilized
and Control Actuators: Control Moment Gyros (CMGs)
Sensors: Star trackers, solid state IRU, GPS
Pointing Accuracy Accuracy: <500 m at image start and stop
and Knowledge Knowledge: Supports geolocation accuracy below
Retargeting Agility Time to Slew 200 km: 10 sec
Onboard Storage 2199 Gb solid state with EDAC
Communications Image and Ancillary Data: 800 Mbps X-band
Housekeeping: 4, 16 or 32 kbps real-time, 524 kbps
stored, X-band
Command: 2 or 64 kbps S-band
Max Contiguous Area Mono: 138 x 112 km (8 strips)
Collected in a Single Pass Stereo: 63 x 112 km (4 pairs)
(30° off-nadir angle)
Revisit Frequency 1.1 days at 1 m GSD or less
(at 40°N Latitude) 3.7 days at 20° off-nadir or less (0.52 m GSD)
Geolocation Accuracy Demonstrated <3.5 m CE90 without ground control
(CE90)
Capacity 1 million km2 per day
26

Lampiran 2 Instalasi instrumen singlebeam echosounder GPSmap 585

Lampiran 3 Tabel Pasang surut ketika perekaman citra tanggal 13 Agustus 2013
TELUK BANTEN SEKITARNYA KETINGGIAN DALAM METER
05° 52’ 12” S - 106° 02’ 00” T AGUSTUS 2013 Waktu : G.M .T. + 08.00
J 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 J
T T
1 0,7 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,8 * 0,7 0,7 1
2 0,7 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,8 * 0,8 0,7 0,7 2
3 0,7 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8 * 0,8 0,8 0,7 0,7 3
4 0,7 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 * 0,8 0,8 0,7 0,7 4
5 0,6 0,6 0,6 0,5 * 0,5 0,6 0,6 * 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 * 0,8 0,8 0,7 0,7 5
6 0,6 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 0,7 0,6 6
7 0,6 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,6 0,7 * 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,8 0,7 0,6 7
8 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,8 0,9 0,9 * 0,9 0,8 0,6 8
9 0,5 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 * 0,7 0,7 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 0,7 9
10 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,8 0,7 10
11 0,6 0,4 0,4 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 11
12 0,6 0,5 0,4 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,8 12
13 0,7 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 * 0,8 13
14 0,7 0,6 0,4 0,3 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,6 0,5 * 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 14
15 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 * 0,7 15
16 0,7 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 16
17 0,7 0,6 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 17
18 0,6 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,7 0,7 0,6 18
19 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,8 0,7 0,7 0,6 19
20 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 * 0,8 0,8 0,7 0,6 20
21 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 0,7 0,6 21
22 0,5 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,8 0,9 0,9 * 0,8 0,7 0,6 22
23 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 0,6 23
24 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,8 0,7 24
25 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,8 0,7 25
26 0,6 0,4 0,3 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 26
27 0,6 0,5 0,4 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 * 0,8 0,7 27
28 0,6 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 * 0,8 0,7 28
29 0,6 0,5 0,4 0,4 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 29
30 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,6 * 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 30
31 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 31
27

Lampiran 4 Tabel Pasang surut ketika pemeruman tanggal 21-25 Agustus 2014
TELUK BANTEN SEKITARNYA KETINGGIAN DALAM M ETER
05° 52’ 12” S - 106° 02’ 00” T AGUSTUS 2014 Waktu : G.M.T. + 07.00
J 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 J
T T
1 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 1
2 0,7 0,5 0,4 0,4 0,3 * 0,4 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 * 0,7 0,7 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 * 0,8 2
3 0,7 0,6 0,4 0,4 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,6 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 3
4 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 4
5 0,7 0,6 0,5 0,5 0,4 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,6 * 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 * 0,7 5
6 0,7 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 6
7 0,7 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 7
8 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,8 0,7 0,7 0,6 8
9 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,8 0,7 0,7 0,6 9
10 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,6 0,7 * 0,6 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,8 0,9 0,9 * 0,9 0,8 0,7 0,6 10
11 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,9 0,7 0,6 11
12 0,5 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,8 0,9 0,9 * 0,9 0,8 0,7 12
13 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 * 0,8 0,7 13
14 0,6 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,8 0,9 0,9 * 0,9 0,7 14
15 0,6 0,5 0,4 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 15
16 0,6 0,5 0,4 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 * 0,8 16
17 0,7 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,7 0,7 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 17
18 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 * 0,7 18
19 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,6 * 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 19
20 0,7 0,6 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 20
21 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,7 0,7 21
22 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,7 0,7 22
23 0,6 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,6 0,6 * 0,5 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,7 0,6 23
24 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,6 * 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,7 0,6 24
25 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 * 0,6 0,6 0,5 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,8 0,7 0,6 25
26 0,5 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 * 0,7 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 * 0,8 0,7 0,6 26
27 0,5 0,4 0,4 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,8 0,7 0,6 27
28 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,5 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 * 0,9 0,8 0,6 28
29 0,5 0,4 0,3 * 0,4 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 * 0,8 0,7 29
30 0,5 0,4 0,3 0,3 * 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,4 * 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 30
31 0,6 0,4 0,3 0,3 * 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 0,6 0,5 0,5 * 0,5 0,5 0,6 0,7 0,8 0,8 * 0,8 0,7 31
28

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 17 Februari 1987 di Serasan Provinsi Kepulauan


Riau. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara yang terlahir dari
pasangan bapak Asril dan ibu Mulfidarni. Pendidikan tinggi pertama yang
ditempuhi penulis adalah di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) pada
program Starata 1 di program studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan dari tahun 2008-2012. Tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan
tinggi program Magister di Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan bantuan pendidikan dari
DIKTI dalam program Bantuan Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN) selama 2
tahun.

Anda mungkin juga menyukai