RESISTENSI ANTIMIKROBA(PPRA)
DI RUMAH SAKIT ISLAM NAMIRA
I. Pendahuluan
Resistensi mikroba terhadap antimikroba (disingkat: resistensi antimikroba, antimicrobial
resistance, AMR) telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan berbagai
dampak merugikan, dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Muncul dan
berkembangnya resistensi antimikroba terjadi karena tekanan seleksi (selection pressure)
yang sangat berhubungan dengan penggunaan antimikroba, dan penyebaran mikroba
resisten (spread). Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat dengan cara menggunakan
secara bijak, sedangkan proses penyebaran dapat dihambat dengan cara mengendalikan
infeksi secara optimal.
Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap antimikroba yang
efeketif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan parasite. Bakteri
adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antibakteri yang dimaksud adalah
penggunaan antibiotik.
Berbagai cara perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah resistensi antimikroba ini
baik di tingkat perorangan maupun di tingkat institusi atau lembaga pemerintahan, dalam
kerja sama antar-institusi maupun antar negara. WHO telah berhasil merumuskan 67
rekomendasi bagi negara anggota untuk melaksanakan pengendalian resistensi antimikroba.
Di Indonesia, rekomendasi ini tampaknya belum terlaksana secara institusional. Padahal,
sudah diketahui bahwa penanggulangan masalah resistensi antimikroba di tingkat
internasional hanya dapat dituntaskan melalui gerakan global yang dilaksanakan secara
serentak, terpadu, dan berkesinambungan dari semua negara.
Diperlukan pemahaman dan keyakinan tentang adanya masalah resistensi antimikroba,
yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan nasional melalui program terpadu antara rumah
sakit, profesi kesehatan, masyarakat, perusahaan farmasi, dan pemerintah daerah di bawah
koordinasi pemerintah pusat melalui kementrian kesehatan. Gerakan penanggulangan dan
pengendalian resistensi antimikroba secara paripurna ini disebut dengan Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA).
Dalam rangka pelaksanaan PPRA di rumah sakit, maka perlu disusun program kerja
PPRA agar pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit dapat berjalan dengan baik
dan terarah.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap pengendalian resistensi
antimikroba melalui kominikasi, pendidikan, dan pelatihan efektif
b. Meningkatkan pengetahuan dan data melalui kegiatan surveilans dan penelitian
c. Menurunkan insidensi infeksi melalui sanitasi, hygiene dan pencegahan pengedalian
infeksi yang efektif
d. Mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak pada pasien
1. Peningkatan pemahaman
a. Sosialisasi program pegnendalian resistensi antimikroba
b. Staff Medis menetapkan pedoman penggunaan antibiotik
c. Melakukan sosialisasi dan memberlakukan pedoman penggunaan antibiotik.
2. Penyebarluasan informasi
a. Penyebarluasan informasi tentang peta medan mikroba, resistensi, dan sensitivitas
antibiotik di rumah sakit secara berkala, sekurang-kurangnya setiap satu tahun
b. Informasi didistribusikan ke seluruh unit pelaksana pelayanan medis terkait
3. Monitoring dan evaluasi
a. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan
dengan cara uji pertik dan sampling
b. Evaluasi meliputi peta medan mikroba dan data resistensi, audit kuantitas dan
kualitas penggunaan antibiotic, serta dampak farmakoekonomi (efesiensi biaya)
4. Analisis
a. Analisis dilakukan secara bersama dengan melibatkan jajaran Pimpinan Rumah
Sakit.
b. Hasil analisis digunakan oleh Pimpinan Rumah Sakit untuk menetapkan kebijakan
selanjutnya dalam rangka membangun proses “continual improvement”
Dalam keadaan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), maka rumah sakit
dapat menyesuaikan keanggotan tim PPRA berdasarkan ketersediaan SDM yang
terlibat dalam program pengendalian resistensi antimikroba.
c. Tugas Pokok Tim PPRA
Tugas pokok Tim PPRA adalah:
1) Membantu Direktur Rumah Sakit dalam menyusun kebijakan tentang
pengendalian resistensi antimikroba
2) Membantu Direktur Rumah Sakit dalam menyusun kebijakan dan panduan
penggunaan antibiotik rumah sakit
3) Membantu Direktur Rumah Sakit dalam melaksanakan program pengendalian
resistensi antimikroba di rumah sakit
4) Membantu Direktur Rumah Sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit
5) Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi
6) Melakukan surveillans pola penggunaan antibiotik
7) Melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap
antibiotik
d. Tahapan pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
1) Mempunyai Pedoman Penggunaan Antibiotik di rumah sakit
2) Sosialisasi pedoman penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi
3) Melakukan pengumpulan data dasar (peta medan mikroba, data resistensi,
evaluasi kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik), sebagai pembanding
4) Melakukan implementasi pelaksanaan pedoman penggunaan antibiotik
5) Melakukan pencatatan dan pengelolaan data serta forum diskusi
6) Menyajikan data studi operasional, selanjutnya dipresentasikan di rapat tinjauan
manajemen (seminar, workshop)
7) Melakukan pembaharuan secara berkala pedoman penggunaan antibitoik
berdasrakan peta medan mikroba dan data resistensi terbaru
8) Kembali ke point 3
9) Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan
VI. Sasaran kegiatan
Seluruh elemen rumah sakit terutama klinisi, perawat, bidan, dan petugas medis lainnya
yang berada di lingkungan Rumah Sakit Islam Namira, termasuk pasien itu sendiri.
g. Kategori IVB = Penggunaan antibiotik tidak tepat karena ada antibiotik lebih aman
h. Kategori IVC = Penggunaan antibiotik tidak tepat karena ada antibiotik lain yang
harganya lebih murah
i. Kategori IVD = Penggunaan antibiotik tidak tepat karena ada antibiotik yang
spektrumnya lebih spesifik "narrow spectrum"
j. Kategori V = Penggunaan antibiotik tidak tepat karena tidak ada indikasi
k. Kategori VI = Catatan medik tidak lngkap untuk dikaji dan dievaluasi