Anda di halaman 1dari 14

SKROFULODERMA

Sarlita Indah Permatasari, S.Ked


Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Unsri/RSMH Palembang
2010

Pendahuluan
Tuberkulosis kutis (tb kutis) merupakan salah satu penyakit kulit yang sulit untuk
ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak
hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus dipikirkan namun juga diakibatkan
sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi mikrobiologi untuk kasus ini.1 Secara garis besar terdapat
empat kategori dari tb kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen (inokulasi tb primer dan
tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen (skrofuloderma) atau yang dikenal
sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis orifisialis), penyebaran secara hematogen (lupus
vulgaris, tuberkulosis miliaris akut dan tuberkulosis ulkus, guma atau abses) dan tuberkulid
(eritema induratum [Bazin’s disease], tuberkulid papulonekrotik, dan liken skrofulosorum).2
Skrofuloderma merupakan bentuk tertua tb kutis yang disebutkan dalam literatur
kedokteran dan dikenal sebagai the king’s evil. Skrofuloderma adalah bentuk tb kutis tersering di
negara berkembang dan sebagian eropa. Penyakit ini menyerang semua usia mulai dari anak-
anak, dewasa muda hingga orang tua.1 Skrofuloderma merupakan hasil penjalaran secara
perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus tuberkulosis. Biasanya berupa
kelenjar limfe, tulang atau sendi, kelenjar lakrimalis dan duktus yang terinfeksi tb sebelumnya.
Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua puluh tiga pasien dengan skrofuloderma,
didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal dari nodus limfe servikal, lalu diikuti oleh
aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikular, tibia dan fibula. Wajah, leher dan dinding dada adalah
tempat predileksi utama lesi dari skrofuloderma.1,3
Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma awalnya ditandai dengan
limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan, likuifaksi hingga terbentuknya jaringan

1
parut.5. Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi
skrofuloderma disamping terapi pembedahan.1
Walaupun skrofuloderma merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri, namun
dikarenakan tingginya insidensi penyakit ini dan kemungkinan timbulnya jaringan parut yang
dikenal sebagai typical cord-like scars, maka penulis tertarik untuk membahas srofuloderma pada
sari pustaka ini.

Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah
tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran sekunder
dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ bawah kulit yang
mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis tb, tb tulang dan
sendi, atau epididimitis tb.2,5

Gambar 1. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk karakteristik skar yang
berlipat/berkerut.1

Epidemiologi
Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% infeksi menunjukkan
manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah dengan
iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. 4 Kini skofuloderma paling
sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-negara berkembang. Konsumsi
susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium bovis adalah penyebab umum

2
terjadinya skrofuloderma di negara berkembang.6 Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja,
dan orang tua.1,5

Etiologi
Skrofuloderma diakibatkan kuman tb yang secara langsung menginvasi kulit (ekstensi
dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan kulit
dan luka terbuka).5 Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama dari skrofuloderma.
Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan alkohol yang dibungkus
oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten terhadap degradasi setelah
fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, dan
vaksin yang mengandung Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga merupakan etiologi lain dari
skrofuloderma.5

Patogenesis
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit yang
telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening, juga dapat
berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-tempat yang
banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher, kemudian disusul
di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.6
Porte d’entree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak
maka kemungkinan porte d’entree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas bawah.
Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan
lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara hematogen.6
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian
periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat
bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-
kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke
permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler dengan
terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan yang
bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan daerah yang

3
mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks (jaringan parut)
tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).6

Tes Tuberkulin
Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap protein tuberkulin
atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna bila pasien memiliki sistem imun
yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil tes akan positif antara 2 sampai 10 minggu setelah
infeksi dan tetap positif setelah bertahun-tahun. Biasanya dengan cara menyuntikkan Purified
Protein Derivative (PPD) 0.1 cc intrakutan dengan kekuatan 5 tuberkulin unit (TU). Bila hasil
positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif ±
5 mm], berarti sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG
dan Mycobacteria patogen lainnya.2 Menurut Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya
positif pada penderita skrofuloderma.5

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)


BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan di penjuru dunia
untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis. Vaksinasi ini diberikan hanya pada pasien
dengan hasil tes tuberkulin yang negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes tuberkulinnya akan
memberikan hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Tingkat
efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan penambahan usia.4
Komplikasi dari vaksinasi BCG jarang ditemukan. Dostrowsky dkk melaporkan hanya 27
pasien dari 200.000 pasien yang mendapatkan vaksinasi yang mengalami reaksi pada kulit.2
Casanova et al dalam pustaka lain menyebutkan, dari survei yang dilakukan di Perancis tahun
1974 dan 1994 didapatkan prevalensi komplikasi dari vaksin BCG adalah sebesar 0.59 tiap
1.000.000 kasus dari total pasien yang mendapatkan vaksinasi. Walaupun terdapat data jumlah
keterjadian komplikasi vaksinasi BCG yang berbeda di berbagai sentra kesehatan, rata-rata
komplikasi lokal yang terjadi berkisar antara 0.1-0.5 tiap 1000 vaksinasi, dengan komplikasi
serius kurang dari 1 tiap 1.000.000 vaksinasi.4
Secara umum komplikasi yang timbul akibat vaksinasi BCG dibagi menjadi dua yaitu:
komplikasi infeksi (ulkus dan abses pada tempat suntikan, limfadenitis regional yang berat, lupus
vulgaris, Koch phenomenon-like reaction, lesi jauh seperti penyakit diseminata dan osteitis) dan

4
komplikasi noninfeksi (reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum dan konjungtivitis
pliktenular, dan reaksi imun lainnya keloid, liken skrofulosorum, urtikaria, eritema multiform,
eksema, dan erupsi makula simpel).4

Gejala Klinis
Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan supraklavicula,
serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari kelenjar getah bening
(KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila dan inguinal.5
Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-bulan,
liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk
memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah
kebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus
seropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.5

Gambar 2. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan.5

5
Gambar 3. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang mengakibatkan
skar dan retraksi.4

Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi organ
dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding dada, dan
pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut ini
menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses penyembuhannya
memakan waktu yang lama.4

Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis
 Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.
 Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah, tempat
kerja, dan lain-lain).
 Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.
 Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi tuberkulosis.
 Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya: batuk
lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan miksi, dan
lain-lain.7
2. Pemeriksaan fisik
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Abses dan multipel sinus

6
 Ulkus yang khas
 Jaringan parut
 Jembatan kulit (skin bridge)3,5
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal dari
paru.
 Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan asam
(BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang diambil dari
dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau inokulasi pada
marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil pemeriksaan BTA akan
ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma, misal Mycobacterium
tuberculosis.

Gambar 4. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan
pandang.8

 Pemeriksaan laboratorium darah


Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED).
 Pemeriksaan histopatologi

7
Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi akut dan
kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi oleh nekrosis
masif dan pembentukan abses.4 Namun, bagian perifer dari abses atau batas-batas
sinus mengandung granuloma tuberkuloid.5 Nekrosis perkijuan dengan bakteri
dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam. Basil tb dapat
diisolasi dengan mudah melalui pus.3

Gambar 4. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit.8

 Tes tuberkulin.
Biasanya hasilnya positif.
 Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.
Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37ºC. Jika
positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

Diagnosis Banding
Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium avium-
intraselular, infeksi Mycobacterium scrofuloderma, guma sifilis, sporotrikosis, aktinomikosis,
bentuk-bentuk berat dari akne konglobata, dan hidradenitis supurativa.2,5
Limfadenitis M. Avium intracellulare dan infeksi M. Scrofuloderma dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biakan bakteri. Jika didaerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering didahului
oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant, atau rambut ketiak

8
digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut disertai tanda-tanda radang akut yang jelas,
terdapat gejala konstitusi, dan leukositosis.
Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu
limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada limfogranuloma venereum
terdapat tersangka senggama pada anamnesis, disertai gejala konstitusi (demam, malaise,
artralgia), dan terdapat tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma
venereum yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal, sedangkan
pada skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada stadium
lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran
kelenjar di inguinal medial dan fossa iliaca.
Skrofuloderma di daerah ektremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis. Biasanya pada
sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai dengan tanda-tanda radang, terdapat indurasi,
dan penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening.
Pada pembiakkan akan ditemukan jamur penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya negatif. 5

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi yang
panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang menjadi
etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya
rekurensi.
Tata laksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri
penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik. 7 Tb kutis, termasuk
skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan tb kategori III.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi tb kutis
menjadi 2 fase terdiri dari:
 Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT); isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial dimaksudkan
untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.7

9
 Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 2-
3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi sisa
bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.7

Tabel 1. Paduan OAT Kategori III7

Tablet Tablet Tablet Tablet


Tahap Lama Jumlah kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan minum obat
(5mg/kgbb) (10mg/kgbb) (25mg/kgbb) (18mg/kgbb)
Tahap inisial
(dosis 8 minggu 1 1 3 1 60
harian)
1
Tahap 2
Dosis:
lanjutan
18 minggu Dosis: - - 54
(dosis
10mg/kgbb
3xseminggu) 10mg/kgbb

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain seperti
tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen pengobatan yang
diberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut:
 OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru dengan
BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb ekstraparu berat
misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb, perikarditis tb, efusi pleura
bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen pengobatan terdiri dari pemberian
Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol (2HRZE/ 4H3R3).
OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (KDT) dan
bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifamfisin,
pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.14

10
Tabel 1.1 Paduan OAT KDT kategori I10
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu
Berat badan RHZE selama 16 minggu
(150mg/75mg/400mg/275mg) RH (150mg/150mg)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 1.2 Paduan OAT kombipak kategori I


Dosis per hari/kali
Jumlah
Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol
minum
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kg) (15mg/kg)
obat
@300mg @450mg @500mg @250mg
Inisial 8 minggu 1 1 3 3 56
Lanjutan 16 2 1 - - 48
minggu (10mg/kg) (10mg/kg)

 OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan setelah
lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan kombipak, terdiri
dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan etambutol (2HRZES/ HRZE/
5H3R3E3).10

Tabel 2.1 Paduan OAT KDT kategori II10


Tahap Intensif tiap hari
RHZE (150mg/75mg/400mg/275mg) + Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
S
Berat badan RH (150mg/150mg) +
Selama 56 hari Selama 28
hari E(400mg)

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg + 2 tab Etambutol

11
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

Tabel 2.2 Paduan OAT kombipak kategori II10


Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Jumlah
Tab Tab
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kgbb) injeksi minum
250mg 400mg
@300mg @450mg @500mg obat
Inisial 8 1 1 3 3 - 56
minggu 0,75gr
4 1 1 3 3 28
minggu
Lanjutan 20 2 1 - - - - 60
minggu Dosis: Dosis :
10mg/kg 10mg/kg

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma karena


dapat mengurangi morbiditas.5

Prognosis
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara amat
lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan sepenuhnya oleh
5
jaringan parut. Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang, kelenjar, dan paru juga
perlu penatalaksanaan lebih lanjut.3

Kesimpulan
Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutis yang menyebabkan pembentukan abses
dingin dan kerusakan sekunder kulit di atasnya.
Penyebab skrofuloderma adalah penyebaran kuman dari suatu fokus infeksi ke jaringan
luar sehinga menimbulkan kerusakan kulit. Kuman penyebab skrofuloderma antara lain

12
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium scrofuloderma, Mycobacterium bovis dan
Mycobacterium avium.
Manifestasi klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya penyakit. Jika
penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap, artinya terdapat semua kelainan
yang telah disebutkan. Bila penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit
belum terbentuk. Skrofuloderma sering terjadi pada daerah parotis, submandibula, dan
supraklavikula dan mungkin bilateral.
Untuk mendiagnosis skrofuloderma dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Baku emas untuk diagnosis tuberkulosis kutis adalah
pemeriksaan biakan.
Skrofuloderma, termasuk TB ekstra paru yang terapinya adalah paduan obat anti
tuberkulosis (OAT) kategori-1 yang digunakan di Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Bravo FG, Gotuzzo E. Cutaneous tuberculosis. Clinics in Dermatology 2007;


25:173-80.
2. Odom RB, James WD, Berger TG. Mycobacterial diseases. In: Odom RB, James
WD, Berger T, editors. Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 9th
ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000: 417-21.

13
3. Yates VM, Rook GAW. Mycobacterial infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox
N, Griffits C, editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. London: Blackwell
Publishing, 2004:1228-32, 1309-47, 1482-7, 1498-1500.
4. Bolognia, Juan L. Cutaneous Tuberculosis. In: Callen, Jeffrey,editors. Bolognia
Dermatology. 2nd ed. Vol 1. United States; Mosby Elsevier; 2008.
5. Tappeiner G. Tuberculosis and other mycobacterial infection. In: Wollf K,
Goldsmith LA, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill, 2008: 1806-16.
6. Barbagallo J, Tager P, Ingleton R, J Hirsch R, M Weinberg J. Cutaneous tuberculosis,
diagnosis and treatment. Am J of Clin Derm 2002; 3 (5): 319-28.
7. S Meltzer M, A Nasy, C. Cutaneus tuberculosis. Available from: URL
http://www.emedicine.com/cutaneustuberculosis. Diakses tanggal: 10 Oktober 2010
pukul 20.15 wib.
8. McKee PH, Calonje E, Granter SR. Tuberculosis. In: McKee PH. Pathology of The Skin
with Clinical Correlations. 3th ed. China: Elsevier Mosby, 2005.
9. Ramos-e-Silva, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial infections. In: Bolognia JL,
Jonizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. Toronto: Mosby, 2003: 1107-
26
10. Aditama YT, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman nasional penanggulangan
tuberculosis. Ed 2. Jakarta: Departemen kesehatan republik indonesia. 2007: 20-3.

14

Anda mungkin juga menyukai