Anda di halaman 1dari 11

Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Cyberporn Di Kalangan

Remaja
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terlahir dengan natur sebagai makhluk sosial membawa manusia pada suatu
kenyataan, bahwa manusia tidak bisa hidup seorang diri. Negara yang merupakan populasi
terbesar manusia juga tidak terlepas dari hubungan sosial dengan negara lainnya.
Hubungan antar negara inilah yang kemudian dikenal pada awal abad ke-20 dengan istilah
globalisasi. Kata “global” dalam istilah globalisasi seolah menggambarkan hubungan atau
interaksi yang terjadi antar negara atau bersifat global. Wolf (2004) mendefenisikan
globalisasi sebagai suatu revolusi total dari ilmu pengetahuan, teknologi, managemen, dan
berbagai bidang kehidupan lainnya yang semakin mengecilkan batas geografi dan politik.
Globalisasi secara khusus membawa suatu revolusi besar-besaran dalam dunia
teknologi (IT), perkembangan komputer yang semakin canggih memungkinkan
manusia untuk membangun suatu hubungan dunia maya yang menghubungkan jutaan
bahkan milyaran manusia dari seluruh dunia. Perkembangan komputer yang
memungkinkan manusia untuk bertukar informasi inilah yang kemudian dikenal
sebagai internet (Interconnected Network). Internet menyuguhkan begitu banyak
manfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya transaksi ekonomi, pendidikan,
komunikasi, perbankan, dan berbagai manfaat lainnya. Kehidupan manusia masa kini
sangat bergantung pada teknologi khususnya internet, mulai dari anak kecil hingga
lanjut usia, dengan berbagai latar belakang menggunakan internet. Konsumsi internet
yang tinggi kemudian memunculkan suatu istilah baru yaitu dunia maya (virtual world)
di kalangan masyarakat dunia. Virtual world disebut juga cyberspace yaitu dunia
tempat kehidupan internet berlangsung, yang pada saat yang bersamaan terlihat nyata
dan tidak nyata (Sjahdeini, 2009).
Cyberspace yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu menciptakan peluang
kejahatan yang bahkan tidak pernah terjadi di dunia nyata dengan menggunakan
komputer sebagai media kejahatannya. Kejahatan yang terjadi di dunia maya inilah
yang kemudian dijuluki cybercrime atau kejahatan komputer yang melibatkan jaringan
sebagai sarana maupun tempat berlangsungnya kejahatan internet tersebut (Sjahdeini,
2009). Pengertian ini mengindikasikan bahwa cybercrime dapat terjadi dalam berbagai
bidang kehidupan manusia yang menyampingkan ruang dan waktu serta pelakunya.
Jenis cybercrime yang paling banyak meresahkan masyarakat umum adalah
jenis cybercrime bidang kesusilaan yaitu cyberpornography atau cybersex. Cyberporn
adalah suatu tindakan di cyberspace yang membuat hingga mempublikasikan hal-hal
pornografi secara bebas maupun berbayar (Sulianta, 2010). Keunggulan teknologi
visual dan audio serta kepraktisan yang ditawarkan di cyberspace membuat cyberporn
semakin merajalela dan digandrungi di seluruh dunia dari segala level usia, terutama
pada remaja. Remaja mengalami suatu masa transisi dari masa kanak-kanak menuju
dewasa, yang kemudian menimbulkan perubahan-perubahan dalam psikologi
perkembangannya terutama mengenai problematika seksual (Gunarsa & Gunarsa,
2008, hal. 223). Perubahan seksual yang umumnya dialami remaja adalah kematangan
hormon reproduksi yang menimbulkan suatu dorongan dalam psikologi maupun
biologis untuk mencari tahu berbagai hal mengenai seksual terutama dari fasilitas
internet yang mudah diakses dan kecanggihan visual yang tawarkan. Oleh karena itu
remaja menjadi salah satu usia yang paling rentan dengan kejahatan pornografi
terutama cyberporn. Hal ini sesuai dengan banyaknya penelitian yang dilakukan
mengenai perilaku mengakses internet di usia remaja, salah satunya adalah penelitian
yang dilakukan oleh mahasiswa universitas UGM Indonesia yang menemukan bahwa
rata-rata pengakses situs porno adalah remaja usia SLTP, mahasiswa hingga dewasa.

Dari hasil survey awal yang dilakukan tanggal 26 Februari 2001


hingga 11 Maret 2001 terhadap sepuluh subjek, seluruhnya
menyatakan pernah mengakses situs porno, sembilan orang merasa
terangsang gairah seksualnya akibat melihat gambar-gambar porno
di web tersebut dan memiliki keinginan untuk memuaskan dorongan
seks yang dirasakan serta satu orang subjek mengaku pernah
melampiaskannya dengan melakukan oral sex. Kesepuluh subjek
menyetujui privasi salah satu alasan melihat materi-materi porno di
internet sebab lebih mudah mendapatkannya dibandingkan dengan
membeli majalah porno atau menyewa vcd yang beresiko tinggi
terlihat oleh orang lain. Lima orang subjek di antaranya bertugas
menjaga warung internet menyatakan bahwa sebagian besar user
pengakses situs porno adalah laki-laki, mulai seusia remaja pelajar
SLTP, mahasiswa hingga dewasa (Rahmawati, Hadjam, & Afiatin,
2002, p. 2).

Pemberitaan media massa menunjukkan banyaknya kasus kejahatan yang


dilakukan anak usia remaja sebagai akibat dari perilaku mengakses pornografi di
internet salah satunya adalah kasus seorang anak pendeta yang memperkosa serta
membunuh salah satu jemaat gerejanya usai menonton video porno di internet (adhila,
2015). Hal ini menunjukkan bagaimana kejatuhan manusia dalam dosa sungguh
merusak citra diri manusia, sehingga manusia tidak lagi melihat dirinya sebagai citra
Allah terlebih atas tubuhnya sendiri. Alkitab menunjukkan betapa bernilainya tubuh
manusia yang dikatakan sebagai bait Allah atau bait Roh Kudus, bahkan Yesus sendiri
berkata mengenai kejinya dosa berzinah dalam Matius 5:28
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang
memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah
dengan dia di dalam hatinya – Matius 5:28

cyberporn tidak hanya merugikan diri pelaku tetapi juga berdampak negatif bagi
lingkungannya dan menciptakan kejahatan baru bagi pelaku yang tidak hanya
melanggar UU karena mengakses pornografi tetapi juga melanggar UU karena
pembunuhan, dan kejahatan lainnya sebagai akibat dari cyberporn.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam mengenai peran pemerintah Indonesia dalam menangani kasus
cyberporn di kalangan remaja.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti kemukakan, adapun rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah :

1 Bagaimana peran/upaya pemerintah Indonesia dalam menangani kasus

cyberporn di kalangan remaja?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1 Mengetahui peran pemerintah Indonesia dalam menangani kasus cyberporn di

kalangan remaja

2 Memenuhi salah satu tugas perkuliahan pada mata kuliah study skill

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1 Manfaat Akademis
a Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca mengenai

peran/upaya pemerintah dalam menangani kasus cyberporn di kalangan

remaja Indonesia

b Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi guru-guru

dalam menangani remaja dengan perilaku serupa di lingkungan sekolah

c Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan saran bagi

pemerintah Indonesia, terutama pemerintah yang bergerak dalam bidang

perlindungan anak dan keamanan nasional dalam menangani

cybercrime: pornography.
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Internet Di Indonesia


Sejarah internet di Indonesia berawal pada tahun 1990-an berupa jaringan
internet yang dikenal dengan nama paguyuban network. Perkembangan jaringan ini
dimulai sejak era 1980-an, yang diprakarsai oleh kelompok akademis yang bergerak dalam
bidang teknologi komputer dan radio. Perkembangan jaringan ini melibatkan lima
universitas besar di Indonesia yaitu ITB, UI, UGM, dan Institut Teknologi Sepuluh
November. Singkat cerita pada tahun 1994 ISP komersial pertama masuk di Indonesia yaitu
IndoNet yang disambungkan ke internet dengan menggunakan dial up. Sejak tahun 1994
inilah internet masuk ke Indonesia dengan Top Level Domain ID.
Tahun 1994-1995

Pada tahun 1994, mulai beroperasi ISP kompersial pertama di


Indonesia yaitu IndoNet. Sambungan awal ke internet dilakukan
dengan menggunakan dial up oleh IndoNet. Akses awaldi IndoNet
mula-mula memakai metode teks dengan shell account, browser
lynx dan e-mail client pine pada server AIX. Mulai 1995, beberapa
BBS di Indonesia seperti Clarissa menyediakan jasa akses telnet ke
luar negeri. Dengan memakai remote browser lynx di Amerika
Serikat, pemakai internet di Indonesia baru bisa mengakset Hyper
Text Transfer Protocol (HTTP).
Sejak tahun 1994, internet masuk ke Indonesia dengan Top Level
Domain ID (TLD ID_ primer yang dibangun di server UUNET
USA. Selanjutnya dipindahkan ke server ADFA. Domain tingkat
dua atau second level domain dibangun pula untuk mendaftar
domain web.id, my.id, ac.id, or.id, sch.id, go.id, co.id, .id. Untuk
terkoneksi ke jaringan internet diperlukan penyedia jasa layanan
akses internet yang disebut ISP (Internet Service Provider). ISP
Pertama di Indonesia adalah IPTEKnet yang terhubung ke internet
dengan kapasitas bandwidth 64 kbps. Bandwidth yaitu istilah yang
menunjukan kapasitas media dalam mebawa informasi. Bandwidth
digunakan dalam banyak hal misalnya telepon, jaringan kabel,
sinyal frekuensi radio dan monitor. Bandwidth diukur dengan putara
per detik (cycle per second) atau hertz (Hz), tetapi dapat juga
digunakan dalam ukuran bit per second(bps).
Di Indonesia, ISP resmi yang memperoleh izin dari Kemenkominfo
berada dibawah naungan APJII yaitu Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia. APJII terbentuk pada musyawarah nasional yang
pertama pada 15 Mei 1996, yang tugas nya melakukan beberapa
program kunci yang dinilai strategis untuk pengembangan jaringan
internet di Indonesia ("Sejarah Perkembangan Internet di
Indonesia", 2015).

2.2. Cybercrime Di Indonesia


Kemajuan teknologi dalam era globalisasi membawa dampak positif dan
negatif. Globalisasi membawa dampak positif hampir di segala bidang kehidupan manusia,
seperti pendidikan, teknologi, manajemen, dll. Sisi yang lainnya, globalisasi melahirkan
suatu globalisasi kejahatan yang mengeneralisasi segalanya, seperti gaya hidup, kondisi
ekonomi, ideologi, dan cara berelasi sosial, dll (Wahid, 2005). Hal ini jelas menunjukkan
bahwa globalisasi tidak hanya berdampak positif terutama di bidang teknologi, tetapi juga
berdampak negatif terutama di bidang teknologi yang notabenenya terjadi di dunia maya.
Kejahatan di dunia maya inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
Cybercrime yang dapat diartikan sebagai kejahatan dunia maya atau kejahatan komputer.
Sutarman, Widiana, & Amin (2007) mendefenisikan cybercrime sebagai kejahatan yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok yang menggunakan sarana komputer maupun
telekomunikasi lainnya. Cybercrime tidak terjadi di dunia nyata seperti kasus kejahatan
lainnya, tetapi terjadi di dunia yang menjadi nyata dan maya sekaligus yang dikenal
sebagai cyberspace. Cyberspace adalah dunia maya, tempat terjadinya hubungan antar
komputer dalam jaringan internet yang mengabaikan ruang dan waktu (Sutarman,
Widiana, & Amin, 2007).
Tidak ada satu referensipun yang mengatakan secara pasti awal kemunculan
cybercrime di Indonesia, namun berdasarkan kasus atau fenomena mengenai cybercrime
yang terjadi di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa cybercrime masuk ke Indonesia
pada awal tahun 1990-an yaitu pada kasus pemakaian nama domain Mustikaratu.com
(Sutarman, Widiana, & Amin, 2007). Kasus lainnya terjadi di Bandung yang disebut-sebut
sebagai daerah pusatnya cybercrime kedua setelah Yogyakarta, yaitu kasus carding atau
pembobolan kartu kredit melalui jaringan internet di salah satu warnet di Bandung (Wahid,
2005, h.127-128). kasus kejahatan yang dilakukan anak usia remaja sebagai akibat dari
perilaku mengakses pornografi di internet salah satunya adalah kasus seorang anak pendeta
yang memperkosa serta membunuh salah satu jemaat gerejanya usai menonton video
porno di internet (adhila, 2015).
Roy Suryo dalam Sutarman, dkk (2007) mengatakan bahwa sekalipun Indonesia
merupakan negara dengan penggunaan internet dalam kategori rendah dibandingkan
negara-negara lainnya seperti Amerika, Kanada, bahkan China yang notabenenya bukan
merupakan negara maju, namun jika ditinjau dari kejahatan dunia maya yang dilakukan,
berdasarkan penelitian Ari Syam Indradi Indonesia menduduki peringkat pertama setelah
menggeser Ukraina yang sebelumnya menempati peringkat pertama.
Kasus kejahatan dunia maya yang begitu tinggi di Indonesia dalam bidang
kesusilaan (cyberporn), hacking, carding, dll, baik yang terdeteksi maupun tidak ini
menunjukkan kondisi negara Indonesia dalam lingkup globalisasi dunia dalam persoalan
cybercrime.
2.3. Peran/Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Kasus Cyberporn Di
Kalangan Remaja Indonesia
Cybercrime dalam bidang kesusilaan dikenal dengan istilah cyberporn.
Cyberporn adalah suatu tindakan di cyberspace yang membuat hingga mempublikasikan
hal-hal pornografi secara bebas maupun berbayar (Sulianta, 2010). Keunggulan
teknologi visual dan audio serta kepraktisan yang ditawarkan di cyberspace membuat
cyberporn semakin merajalela dan digandrungi di seluruh dunia dari segala level usia
terutama remaja. Perkembangan fisik yang dialami remaja diikuti dengan perkembangan
hormon seksual yang kemudian mendorong remaja untuk memuaskan dorongan seksual
dalam dirinya, salah satunya adalah melalui pornografi di internet atau cyberporn.
Jallaludin Rakhmat dalam Chomaria (2008) mengatakan bahwa dorongan seksual yang
timbul sebagai akibat dari pornografi di internet akan menimbulkan suatu reaksi
emosional dalam diri remaja, yaitu resah, gelisah, impulsif, mengabaikan nilai-nilai
moral, hingga menyebabkan kejahatan pemerkosaan.
Kerentanan remaja terhadap pornografi sudah seharusnya mendapatkan
perhatian khusus dari lingkungannya termasuk pemerintah, karena sebagai generasi
bangsa mereka turut menentukan masa depan bangsa ini. Kemajuan suatu bangsa
ditentukan dari kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki (Kunandar, 2011).
Penegakan hukum mengenai cyberporn dilakukan oleh pemerintah Indonesia
melalui dua kebijakan, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal (Monica &
Maulani, 2013) yaitu :
1 Kebijakan Non-Penal
Kebijakan ini hanya meliputi penggunaan sarana sosial yang integral dan
strategis, seperti
a Pendekatan Teknologi : untuk meminimalisir bahkan meniadakan jenis
untuk meminimalisir bahkan meniadakan cyberporn diperlukan suatu
teknologi yang canggih, untuk memblok website-website porno di
dunia maya sehingga tidak dapat diakses oleh remaja atau anak di
bawah umur
b Pendekatan Global
c Pendekatan Moral/Religius/Pendidikan : diperlukan peran guru, dan
orangtua dalam menanamkan moral serta ajaran agama yang benar
sesuai dengan identitas bangsa.
2 Kebijakan Penal
Kebijakan penal pada umumnya terbatas terkait dengan penanganan kasus
yang begitu luas dan terkesan maya yaitu cyberporn. Namun dalam
penerapannya pemerintah Indonesia dapat menerapkan UU No. 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, KUHP pasal 282, ayat 1,
2, dan 3, mengenai Undang-Undang penyiaran, KUHP No. 8 tahun 1992
mengenai perfilman (Dewi, 2013).
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Upaya pemerintah dalam kasus cyberporn di kalangan remaja dilakukan melalui dua
kebijakan yaitu kebijakan non-penal dan kebijakan penal. Kebijakan penal dilakukan
melalui sarana sosial, seperti teknologi dan pendidikan, sedangkan kebijakan penal
dilakukan melalui dasar hukum yang berlaku di Indonesia mengenai teknologi.
3.2. Saran
1 Kasus cyberporn yang bersifat maya menjadikan kasus ini sulit dijangkau oleh
keterbatasan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga diharapkan di masa
mendatang pemerintah dapat memikirkan UU yang benar-benar membahas
mengenai cyberporn terkhususnya pada remaja
2 Guru dan orang tua diharapkan memiliki pemahaman yang benar mengenai
perkembangan remaja terutama perkembangan seksualitas remaja dan
cyberporn sehingga dapat mengawasi anak ketika berselancar di cyberspace.
DAFTAR PUSTAKA

A. (2015, October 31). Usai Nonton Film Porno, Anak Pendeta Perkosa dan Bunuh Seorang
Jemaat Gereja. Retrieved October 27, 2016, from http://www.suara-
islam.com/read/index/15336/Usai-Nonton-Film-Porno--Anak-Pendeta-Perkosa-dan-
Bunuh-Seorang-Jemaat-Gereja
Chomaria, N. (2008). Aku Sudah Gede. Solo: Samudera.
Dewi, S. S. (2013). Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Kasus Cybercrime (Studi
kasus Cyberporn di Indonesia). EJurnal Ilmu Hubungan Internasional, 1, 2nd ser. doi:387 –
406
Gunarsa, S., & Gunarsa, S. Y. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta:
Gunung Mulia.
Kunandar. (2011). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan
Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Pres.
Rahmawati, D. V., Hadjam, N. R., & Afiatin, T. (2002). Hubungan Antara Kecenderungan
Perilaku Mengakses Situs Porno dan Religiusitas Pada Remaja. Jurnal Psikologi
Universitas Gadja Mada.
Sjahdeini, S. R. (2009). Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Sulianta, F. (2010). Cyberporn: bisnis atau kriminal. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Sutarman, H., Widiana, I. G., & Amin, I. (2007). Cyber crime: Modus operandi dan
penanggulangannya. Jogjakarta: LaksBang Pressindo.
Wahid, H. A. (2005). Kejahatan mayantara = Cyber crime. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai