Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. OJ
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia/ Tgl Lahir : 50 tahun 4 bulan / 12 April 1967
No. Rekam Medis : 0231xxxx
Agama : Protestan
Status pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pegawai swasta

I.2 Anamnesis

Keluhan utama
Pasien mengeluh ada benjolah di leher sebelah kiri, benjolan terasa kurang lebih
sudah 1 tahun.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh ada benjolah di leher sebelah kiri, benjolan terasa kurang lebih
sudah 1 tahun, awalnya berukuran kecil sebesar kacang merah namun semakin lama
semakin membesar. Selama benjolannya muncul pasien tidak pernah merasa jantung
berdebar-debar cepat, keringat berlebih dan tangan bergetar. Selain itu pasien juga tidak
menguluh mudah lelah ataupun tidak tahan diruangan dingin.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat sakit hipertensi, diabetes mellitus, jantung, paru,
ginjal, stroke, asma. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan
maupun makanan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan asma pada keluarga.
Riwayat Operasi/Anestesi Sebelumnya
Pasien belum pernah menjalankan operasi sebelumnya.

1
Riwayat Sosial Ekonomi
- Pasien seorang wiraswasta. Riwayat kebiasaan pasien yaitu tidak merokok, tidak
minum-minuman beralkohol, jarang berolahraga.
I.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TB : 165 cm
BB : 60 kg
BMI : 22,05 (normoweight)
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 80 x /menit,
Suhu : 36,40C
SpO2 : 98%
Kepala
 Bentuk : Normocephale
 Rambut : Warna hitam, distribusi rambut merata, rambut tidak
mudah dicabut.
 Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva tidak
anemis (-/-), sklera tidak ikterik (-/-), pupil mata iskor
kanan dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
 Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak hiperemis,
dan tidak ada secret yang keluar dari lubang hidung.
 Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak pucat, tidak sianosis.
 Gigi : Gigi palsu (-), gigi ompong (-)
 Telinga : Normotia, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
 Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T2.

2
Leher
 Inspeksi : terlihat adanya massa atau benjolan disebelah kiri
berwarna menyerupai kulit
 Palpasi : benjolan kiri disebelah kiri ukuran 4x4 cm konsistensi
keras, tidak mobile dan tidak nyeri tekan.

Thorax
Thorax : Pulmo : Simetris kanan – kiri, vesikuler (+/+) normal
ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : S1/S2 reguler , murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, tidak ada distensi abdomen, nyeri tekan (+), timpani
(+), supel (+), bising usus (+) normal.
Extremitas : Superior :Edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior: Edema (-/-), sianosis (-/-)

Kulit
Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit baik, CRT
<2 detik

Ekstremitas
 Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik
dan motoric baik.
 Inferior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik
dan motoric baik.
Kesulitan Airway
 Gigi : Tidak ada gigi yang hilang atau goyang. Tidak ada
pemakaian gigi palsu
 Malampati : 2
 3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak tiroid
ke hyoid (2).

3
 Mobilisasi leher : Baik
 Trauma cervical : Tidak ada
 Leher pendek : Tidak ada
I.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboraturium

Hasil Pemeriksaan Hematologi


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hb 17 g/dL H 13-16 g/dL


Ht 50.3 H 40,0-48,0 %
Eritrosit 6.56 4,50-5,50 juta/uL
Leukosit 10.90 H 5000-10000 /uL
Trombosit 294.000 150.000-400.000 /uL

Hasil Pemeriksaan Hemostasis


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PT + INR
PT pasien 10.4 9,8-11,2 detik
PT control 11,0
INR 0,92
APTT
APTT pasien 29,2 L 31,0-47,0 detik
APTT control 33.3

4
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT (AST) 18 5-34 U/L
SGPT (ALT) 25 0-55 U/L
Ureum darah 19 21-43 mg/dL
Kreatinin darah 0,8 0,6-1,2 mg/dL
Glukosa sewaktu 70 70-200 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Elektrolit


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Natrium (Na) darah 139 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,70 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 1089 H 99,0-107,0 mEq/L

a. Rontgent thorax
Kesan: Dalam batas normal

I.5 Diagnosis Klinis


Diagnosis prabedah : Struma Nodusa non Toksis (SNNT)
Diagnosis pasca bedah : Tiroidektomi
Jenis pembedahan : Post Tiroidektomi

5
BAB II
ANESTESI

II.1 Kunjungan Pre Anestesi


a. Lemon Law
L : Look externally
Tidak ada kelainan pada gigi, dan leher tidak pendek
E : Evaluation 2-3-2
Large incisors (2) (+)
Hyoid-mental distance (3) (+)
Thyroid-to-mouth distance (2) (+)
M : Mallampati score  2
O : Obstruction (-)
N : Neck mobility
Baik, tidak ada hambatan
b. Konsultasi
Jantung : Toleransi operasi risiko ringan
IPD : Toleransi operasi risiko ringan
c. Kesan
ASA I

II.2 Rencana Anestesi


General anestesi dengan intubasi

II.3 Tatalaksana
PREMEDIKASI
1) Midazolam
 Dosis : 0,05 - 0,1 mg/kgbb.
 Rentang dosis : 3 mg – 6 mg  5 mg
 Sediaan : 1 mg/ml  5 mg/5 cc
2) Fentanyl
 Dosis : 1 – 3 mcg/ml.

6
 Rentang dosis : 60 mcg - 180 mcg  150 mcg
 Sediaan : 50 mcg/ml  5 ml/ 5 cc
INDUKSI
1) Propofol
 Dosis : 2 – 2,5 mg/kgbb
 Rentang dosis : 120 mg – 150 mg  150 mg
 Sediaan : 10 mg/ml  15 ml/ 15 cc
RELAKSAN
1) Atracurium
 Dosis : 0,5 - 0,6 mg/kgbb
 Rentang dosis : 30 mg – 36 mg  35 mg
 Sediaan : 10 mg/ml  3,5 ml/ 3,5 cc
MAINTENANCE
1) Inhalasi
 O2 : Udara = 1 : 1
 Sevofluran 2 volum % (hipnotik)
2) Relaksan
 Atracurium (dosis 0,1 mg/kgbb/30 menit)  0,5 mg/30 menit.
3) Obat-obatan lain
 Dexamethasone 10 mg.
 Ondansetron 4 mg.
 Ranitidin 25 mg
 Tranexamat 1 gr.
 Ketorolac 30 mg
II.4 Tindakan
1) Intubasi
 Intubasi menggunakan ETT king-king ukuran 7,5 dengan fiksasi
sedalam 19 cm.
 Intubasi dilakukan setelah pasien tidur.
 ETT disambungkan ke ventilator dengan Tidal volume 400, RR 18

7
II.5 Monitoring
1) Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesi :
 Pemantauan tanda klinis  pergerakan dada, observasi reservoir
breathing bag, pastikan stabilitas ETT tetap terjaga.
2) Pemantauan oksigenasi selama anestesi :
 Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan pemasangan pulse
oximetry dan pemantauan melalui monitor.
3) Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
 Pemantauan tekanan darah dan denyut jantung.
 Pemantauan EKG secara continue mulai sebelum induksi anestesi.
 Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesi :

II.6 Pemantauan Tanda Vital


Hasil Pemantauan Tanda Vital Pasien Selama Operasi
Jam TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit) SpO2 (%)

12.00 125/68 78 18 100

12.15 110/65 75 16 100

12.30 115/71 74 15 100

12.45 128/82 76 14 100

13.00 126/78 80 14 100

13.15 118/76 73 14 100

13.30 117/70 82 15 100

II.7 Pemantauan Cairan


 Pemberian cairan :
- Kebutuhan cairan :
 Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 ml

8
 Pengganti puasa : lama puasa x maintenance  6 jam x 100 ml =
600 ml.
 Stress operasi : skala berat x BB  6 x 60 kg = 360 ml
- Pemberian cairan jam ke- :
 Jam ke I : maintenance + ½ pengganti puasa + stress operasi
100 ml + ½ (300) + 360 = 760 ml
 Perdarahan : 500 cc
 Urin output : -
 Total kebutuhan cairan : 760 ml
 Jumlah pemberian cairan :
Total pemberian cairan adalah 760 cc, dengan rincian :
- Ringer laktat : 500 cc
- Asering : 500 cc

II.8 Pasca Operasi


 Pasien dilakukan ekstubasi setelah operasi selesai
 Pengelolaan nyeri :
Diberikan paracetamol 3x1gr.
 Pengelolaan mual-muntah :
Diberikan ondansetron 3x4 mg.
 Antibiotika :
Sesuai kepentingan bidang bedah.
 Infus :
RL 100 cc/jam
 Diet dan nutrisi :
Minum sedikit-sedikit dan bertahap jika tidak ada mual dan muntah.
 Pemantauan TTV :
Pemantauan tiap 15 menit.

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III. 1 Anatomi Kelenjar Thyroid

Thyroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah
kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar thyroid terdiri dari dua buah lobus
yang simetris. Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal yang
besar. Antara kedua lobus dihubungkan oleh isthmus, dan dari tepi superiornya terdapat
lobus piramidalis yang bertumbuh ke cranial, dapat mencapai os hyoideum. Pada
umumnya lobus piramidalis berada di sebelah kiri linea mediana.

Setiap lobus kelenjar thyroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia
propria yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia
pretrachealis yang membentuk false capsule.

III.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid.


Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel sedangkan kalsitonin dihasilkan oleh
parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini adalah yodium yang
diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang dikomsumsi akan diubah menjadi
ion yodium (yodida) yang masuk secara aktif ke dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP
sebagai sumber energi. Proses ini disebut pompa iodida, yang dapat dihambat oleh

10
ATP-ase, ion klorat dan ion sianat. Sel folikel membentuk molekul glikoprotein yang
disebut Tiroglobulin yang kemudian mengalami penguraian menjadi mono iodotironin
(MIT) dan Diiodotironin (DIT). Selanjutnya terjadi reaksi penggabungan antara MIT
dan DIT yang akan membentuk Tri iodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan
membentuk tetra iodotironin atau tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang
oleh TSH namun dapat dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil
kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk PBI
(protein binding Iodine).

III.3 Struma Nodusa Nontoksik

Defenisi
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena
folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel
tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu:


a. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
b. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
c. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
d. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau struma
semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang
jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien

11
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi
autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat
badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban,
konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormone yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa
berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur,
rambut rontok, dan atrofi otot.

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi:


a. Struma nodosa toxic
Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa toxic
dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas ke
jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma
nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang
berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh
pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor
TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan
kelenjar tiroid hiperaktif.

12
b. Struma nodosa non toxic
Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi
menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic. Struma
nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma nodosa ini
disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau struma nodosa
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumnya kurang sekali mengandung
yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba
nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.

Klasifikasi
Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:
1. Berdasarkan jumlah nodul; bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk nodul
tiroid yaitu: nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya; nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.

Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor
penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain:
a. Defisiensi iodium

Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang


kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.

b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.

c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.

Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi,


kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana menimbulkan

13
nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan bentuk yang dapat bekelanjutan dengan
berkurangnya aliran darah didaerah tersebut.

Patofisiologi
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi
darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, yodium
dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimulasikan oleh Tiroid Stimulating
Hormon (TSH) kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4)
dan molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik
negatif dari seksesi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3
merupakan hormon metabolic yang tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka tidak
terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan
kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Beberapa obat dan keadaan
dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat
sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan
pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesarankelenjar
tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsurangsur, struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian
struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol kebagian depan,
sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.

Manifestasi Klinik
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup
besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi
dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
Pasien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme.
Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena klien hiperaktif dengan

14
meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti; jantung menjadi berdebar-
debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan.

Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal:

1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).

2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras.

3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada

4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.

5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak ada.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya
kenyal.

2. Human thyrologlobulin (untuk keganasan thyroid)

3. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3


(triyodotironin) dalam batas normal. Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11

4. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya


nodul.

5. Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsy aspirasi jarum halus yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman

6. Pemeriksaan sidik tiroid.

Hasil dapat dibedakan 3 bentuk yaitu:

a) Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya.
Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.

b) Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan
ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.

15
c) Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi
nodul sama dengan bagian tiroid yang lain

Penatalaksanaan
1. Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah
endemik sedang dan berat.
2. Edukasi Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan
dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
3. Penyuntikan lipidol. Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di
daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang
dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2
cc – 0,8 cc.
4. Tindakan operasi (strumektomi)
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila
pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya: penekanan pada organ sekitar
nya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
5. L-tiroksin selama 4-5 bulan.
Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan
sidik tiroid ulang. Apabila nodul mengecil, terapi dianjutkan apabila tidak mengecil
bahkan membesar dilakukan biopsy atau operasi.
6. Biopsy aspirasi jarum halus.
Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10mm
Komplikasi

1. Gangguan menelan atau bernafas


2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif
(jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi
rapuh, keropos dan mudah patah

16
BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Pre Operatif

Sebelum tindakan operasi, dilakukan kunjungan pre operatif terlebih dahulu


dengan tujuan untuk mempersiapkan fisik dan mental pasien, merencanakan dan
memilih obat-obat anestesi yang sesuai untuk digunakan serta untuk menentukan
klasifikasi ASA serta penyulit yang ada pada pasien jika ada seperti difficult airway /
Kesulitan Jalan Napas menurut The American Society of Anesthesiology adalah adanya
faktor-faktor klinis yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi
dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan terampil, difficult ventilation / Kesulitan
Ventilasi ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 >
90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan
ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal dan
Difficult intubation / Kesulitan Intubasi adalah dibutukkannya > 3 kali usaha intubasi
atau usaha intubasi yang terakhir > 10 menit. Pada pasien ini tidak didapatkan adanya
kesulitan jalan nafas, sulit ventilasi dan sulit intubasi
Pada kunjungan ini juga dipastikan beberapa hal seperti identitas pasien, nomer
rekam medis, jenis bagian tubuh yang akan dioperasi serta beberapa pertanyaan-
pertanyaan (history taking) yang dapat menunjang utnuk proses pembedahan seperti
riwayat alergi, konsumsi obat, asma, tindakan operasi yang pernah dijalani serta ada
tidaknya efek samping. Selain itu, pada saat kunjungan pre operatif juga dinilai ada
tidaknya tanda-tanda sulit intubasi dan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang
untuk mengetahui adanya kelainan pada pasien yang nantinya akan mempengaruhi
operasi. Berdasarkan anamnesa pasien tidak ditemukan adanya alergi pada makanan
maupun obat, pasien tidak sedang konsumsi obat, asma, kejang disangkal. Serta pasien
juga tidak memiliki riwayat hipertensi, DM, Ginjal dan stroke. tindakan operasi yang
pernah dijalani tidak ada. pemeriksaan fisik dan penunjang, maka kesimpulan pada
kunjungan pre operatif ini adalah pasien ASA 1.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien dianjurkan untuk puasa selama
6 jam. Puasa sebelum pembedahan bertujuan untuk menghindari terjadinya aspirasi.
Karena refleks laring mengalami penurunan selama anestesi, regurgitasi isi lambung

17
dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi.

IV.2 Intra Operatif

Tindakan operasi yang dilakukan adalah tiroidektomidilakukan dengan cara


General Anestesi dengan intubasi nasal, face mask no 4.0, ETT non King-King no 7,5
yang difiksasi setinggi 19 cm. Dalam pelaksanaanya, anestesi selalu mencakup trias
anestesi yaitu analgetik, hipnosis, dan relaksasi. Sebelum itu dilakukan premedikasi.
Premedikasi ini bertujuan untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan pemakaian obat
anestesi, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi
cairan lambung, mengurangi reflex yang membahayakan. Tahap berikutnya adalah
tahap induksi dengan tujuan untuk membuat pasien tidak sadar (hipnotik).
Setelah induksi, nilai kesadaran pasien dengan memanggil jika tidak berespon
terhadap suara, dapat dilakukan penilaian dengan reflex bulu mata. Saat pasien tertidur,
gas oksigen diberikan dan diinjeksikan obat relaksasi Pada saat obat sudah bekerja
dilakukan intubasi. Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat
yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi dengan dosis maintenance. Selama intra operatif,
monitoring dilakukan dilakukan setiap 15 menit.

IV.3 Post Operatif

Pada kasus ini penatalaksanaan nyeri yang diberikan adalah Paracetamol 3 x 1 gr


dan ketorolac 3x3 gr. Untuk menangani mual muntah pasca operasi pasien diberikan
ondansetron 3x 4 mg. Sistem scoring yang digunakan adalah aldrette score. Kriteria
yang dinilai adalah aktivitas, sirkulasi, pernafasan, kesadaran dan warna kulit. Pada
kasus ini, pasien didapat skor VAS 2 setelah di monitoring 1 jam pasien dibawa ke
ruangan.
Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi.
Komplikasi pasca operasi utama yang berhubungan dengan cedera berulang pada saraf
laring superior dan kelenjar paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi sengaja dari
satu atau lebih kelenjar paratiroid dapat menyebabkan hipoparatiroidisme dan

18
hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau permanen. Pemeriksaan yang teliti
tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar paratiroid yang adekuat sangat penting
untuk menghindari komplikasi ini. Namun, prosedur ini umumnya dapat ditoleransi
dengan baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal. Komplikasi lain yang dapat
timbul pasca tiroidektomi adalah perdarahan, thyrotoxic strom, edema pada laring,
pneumothoraks, hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan syaraf laringeus reccurens, dan
hipotiroidisme. Tindakan tiroidektomi dapat menyebabkan keadaan hipotiroidisme,
yaitu suatu keadaan terjadinya kegagalan kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon
dalam jumlah adekuat, keadaan ini ditandai dengan adanya lesu, cepat lelah, kulit kering
dan kasar, produksi keringat berkurang, serta kulit terlihat pucat. Tanda-tanda yang
harus diobservasi pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang ditandai dengan adanya
rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari tangan dan kaki, dan kedutan otot pada area
wajah. Keadaan hipolakalsemia menunjukkan perlunya penggantian kalsium dalam
tubuh. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah kelumpuhan nervus laringeus
reccurens yang menyebabkan suara serak. Jika dilakukan tiroidektomi total, pasien perlu
diberikan informasi mengenai obat pengganti hormon tiroid, seperti natrium
levotiroksin (Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini harus
diminum selamanya.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C. Hormon Thyroid, Fisiologi Manusia dan Mekanisme


Penyakit, edisi ketiga. Jakarta, EGC.
2. Lewinski, A. (2002). The problem of goitre with particular consideration of
goitre resulting from iodine deficiency (I): Classification, diagnostics and
treatment. Style Sheet: http://www.nel.edu/23_4/NEL230402R04_Lewinski.htm
3. Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid 1. Media
Aesculapius : Jakarta.
4. Moore, Keith L. and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea, Anatomi Klinis
Dasar. Jakarta, Hipokrates. 2002
5. Rehman, SU., Hutchison, FN., Basile, JN. (2006). Goitre in Older Adults.
Journal of Aging Health. 2 (5). 823 – 831. USA : Medical Center and Medical
University of South Carolina.
6. Sloane, Ethel. Kelenjar Thyroid, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, edisi
pertama. Jakarta, EGC.2004.
7. Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P., (2009). Assesment of nodular
goiter.Journal of best practice & research clinical endocrinology and
metabolism. Pisa : Elsevier.

20

Anda mungkin juga menyukai