Anda di halaman 1dari 16

A.

Aspek Farmakoterapi
a. Definisi penyakit
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolik yang
dikarakterisasi oleh kondisi hiperglikemia. Hal ini terkait dengan tidak normalnya
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sehingga mengakibatkan komplikasi
kronis yang mencakup komplikasi mikrovaskuler, makrovaskuler, serta gangguan
neuropatik (Dipiro, et al., 2008, hal 1334)
Menurut WHO (2011), diabetes melitus adalah suatu penyakit kronis yang terjadi
ketika pankreas tidak memproduksi cukup insulin, atau ketika tubuh tidak mampu
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Hal tersebut menyebabkan
kenaikan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia).
Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit yang dikarakterisasi oleh tingginya
level glukosa darah sebagai akibat dari penurunan kemampuan tubuh untuk
memproduksi dan atau menggunakan insulin (American Diabetes Association,
2011).

Klasifikasi
Diabetes adalah gangguan metabolik yang ditandai dengan resistensi terhadap
tindakan insulin, sekresi insulin tidak cukup, atau keduanya. Manifestasi klinis
gangguan ini adalah hiperglikemia. Sebagian besar pasien diabetes
diklasifikasikan ke dalam salah satu dari dua kategori: diabetes tipe 1 disebabkan
oleh kekurangan mutlak insulin, atau diabetes tipe 2 didefinisikan oleh adanya
resistensi insulin dengan peningkatan kompensasi memadai dalam sekresi insulin.
Wanita yang menderita diabetes karena stres kehamilan diklasifikasikan sebagai
memiliki gestational diabetes. Terakhir, tipe jarang diabetes yang disebabkan oleh
infeksi, obat-obatan, endocrinopathies, kerusakan pankreas, dan cacat genetik
yang dikenal diklasifikasikan secara terpisah.

b. Patofisiologi
DM tipe I (sebelumnya disebut tergantung insulin) merupakan 10% dari semua
kasus diabetes. Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda dan
biasanya muncul dari perusakan sel β pankreas yang dimediasi sistem imun,
sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Ada periode preklinis yang panjang
(sampai 9-13 tahun) yang ditandai oleh kehadiran penanda imun ketika perusakan
sel β diperkirakan terjadi. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel β hancur. Ada
masa remisi singkat (fase ‘bulan madu’) yang diikuti munculnya penyakit dengan
resiko yang dihubungkan dengan komplikasi dan kematian. Faktor yang
memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya dimediasi oleh
makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang tersirkulasi ke berbagai antigen
sel β (seperti, antibodi islet cell, antibodi insulin).
DM tipe II (sebelumnya disebut tidak tergantung insulin) merupakan 90%
dari semua kasus DM dan biasanya ditandai dengan resistensi terhadap insulin
dan defisiensi insulin. Resistensi insulin manifestasinya berupa peningkatan
lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik,
dan penurunan asupan glukosa ke otot rangka. Disfungsi sel β terjadi progresif
dan memperburuk kontrol atas glukosa darah dengan berjalannya waktu. DM tipe
II terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan
fisik, dan kegemukan) yang memperburuk genotip tertentu. (dipiro, 2008, hal
1337)
Sebab diabetes yang tidak umum (1-2% dari semua kasus) termasuk kelainan
endokrin (seperti akromegali, sindrom Cushing), gestational diabetes mellitus
(GDM), penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis), dan obat-obatan (seperti,
glukokortikoid, pentamidine, niasin, dan α-interferon).
Kelainan glukosa puasa dan kelainan toleransi glukosa adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan pasien dengan level glukosa plasma lebih tinggi
dari normal tapi tidak didiagnosa DM. Kelainan ini adalah faktor resiko untuk
berkembangnya DM dan penyakit kardiovaskular dan dihubungkan dengan
sindrome resistensi insulin.
Komplikasi mikrovaskular termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati.
Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke, dan
penyakit vaskular perifer.
c. Etiologi
DM tipe 1 ditandai dengan defisiensi absolut insulin. Paling sering ini adalah hasil
dari kerusakan kekebalan yang dimediasi sel β pankreas, tapi proses yang tidak
diketahui atau idiopatik langka dapat berkontribusi. Apa yang terbukti empat fitur
utama:
(1) masa pra-klinis yang panjang ditandai dengan kehadiran penanda kekebalan
tubuh ketika kerusakan β-sel diperkirakan terjadi;
(2) hiperglikemia ketika 80% sampai 90% dari sel-sel β yang hancur;
(3) remisi bersifat sementara (yang disebut, "bulan madu" fase);
(4) ditetapkan dengan penyakit risiko yang terkait untuk komplikasi dan kematian.
Diketahui adalah apakah ada satu atau lebih faktor memicu (misalnya, susu sapi,
atau virus, makanan, atau lainnya paparan lingkungan) yang mengawali proses
autoimun.
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap
dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta kurang gerak badan. Selain itu, hipertensi , dislipidemia (
trigliserida tinggi dan kadar HDL - kolesterol rendah ) , dan peningkatan inhibitor
aktivator plasminogen - 1 ( PAI - 1 ) tingkat sering hadir pada individu-individu .
d. Manifestasi klinik
DM TIPE I
 Individu dengan DM tipe I umumnya kurus dan rentan terkena diabetic
ketoacidosis (DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah kondisi
stress parah dimana terjadi ekskresi berlebih hormon yang kerjanya
berlawanan dengan insulin.
 Sekitar 20-40% pasien akan mengalami DKA setelah beberapa hari
mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat turun.

DM TIPE II

 Pasien DM tipe II seringkali asimtomatik. Tetapi, beberapa mengalami


komplikasi serius, seperti neuropati.
 Diagnosa DM tipe II bisa dilakukan pada pasien obese, pasien dengan
keluarga dekat yang mengidap DM tipe II, berasal dari etnis resiko
tinggi, wanita yang baru saja melahirkan bayi dengan berat badan
besar atau dengan riwayat untuk GDM, pasien dengan hipertensi, atau
pasien dengan trigliserida tinggi (> 250 mg/dl) atau high density
lipoprotein cholseterol (HDL-C) rendah (<35 mg/dl).

e. Guideline/Alghoritma Therapy?

Bhs inggris na,,,nu d bawah terjemahan na,,heee


Algoritme penatalaksaan DM tipe 2 pada anak dan dewasa (glicemic control)
f. Mekanisme kerja obat yang digunakan ?
 Sulfonilurea
Glyburide, glipizide, dan sulfonilurea lainnya memberikan aksi hipoglisemia dengan merangsang sekresi insulin pada
pankreas. Semua sulfonilurea sama efektifnya untuk menurunkan gula darah ketika diberikan dalam dosis yang setara.
Umumnya, HbA1C akan turun 1,5-2,0%.
Efek samping paling umum adalah hipoglisemia, yang lebih menjadi masalah dengan obat yang bekerja lama
(seperti,chlorpropamide). Individu dengan resiko tinggi termasuk lansia, mereka dengan gangguan fungsi ginjal atau penyakit
liver stadium lanjut, dan mereka yang tidak makan, melakukan olahraga berlebihan, atau kehilangan berat badan dalam
jumlah besar. Berat bertambah umum terjadi; efek samping yang kurang umum termasuk kulit kemerahan,anemia hemolitik,
gangguan saluran cerna, dan cholestasis. Hiponatremia paling umum terjadi dengan chlorpropamide tapi juga telah dilaporkan
dengan tolbutamide.
Dosis awal yang dianjurkan sebaiknya dikurangi pada pasien lansia yang sudah mengalami kompromi fungsi renal dan liver.
Dosis bisa dititrasi tiap 1-2 minggu (interval lebih panjang untuk chlorpropamide) untuk mendapatkan target glisemi.
 Biguanida
Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia. Metformin mengurangi produksi glukosa dan meningkatkan
penggunaan glukosa di perifer. Metformin juga bisa menyebabkan anoreksia ringan yang membantu kontrol glisemi dengan
memperkecil bertambahnya berat atau merangsang pengurangan berat. Insulin harus ada agar metformin bisa bekerja.
Metformin sama efektifnya dengan sulfonilurea dalam mengontrol glukosa darah. Metformin umumnya lebih mempengaruhi
lipid, mengurangi trigliserida puasa sekitar 16% dan low density lipoprotein cholesterol (LDL-C) sekitar 8%, dan
meningkatkan HDL-C sekitar 2%. Metformin tidak menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian.
Efek samping paling umum adalah mual, muntah, diare, anoreksia dan rasa logam. Efek ini bisa dikurangi dengan mentitrasi
dosisnya perlahan dan menggunakannya bersama makanan. Sediaan lepas lambat (Glucophage XR) mengurangi efek samping
saluran cerna dan bisa digunakan sekali sehari, tapi mempunyai efek yang berbahaya pada lipid dan bisa tidak mempunyai
aktivitas glisemik yang setara dengan sediaan metformin konvensional.
Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua kali sehari dengan makanan (atau 850 mg sekali sehari) dan
ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg tiap 2 minggu) sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis harian maksimum
yang dianjurkan adalah 2550 mg/hari.
Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai dengan 500 mg dengan makanan sore hari dan ditingkatkan 500 mg
tiap minggu sampai total 2000 mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan dosis sekali sehari pada dosis maksimum,
bisa diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.
Interaksi obat : Cimetidineda metformin bersaing untuk sekresi di tubulus ginjal dan administrasi bersamaan menyebabkan konsentrasi
serum metformin lebih meningkat . Obat kationik lainnya dapat berinteraksi sama seperti procainamide , digoxin , quinidine ,
trimetoprim , dan vankomisin .
 Thiazolidinediones (Glitazone)
Agen-agen ini mengaktifkan PPAR-γ, suatu faktor transkripsi nuklear yang penting pada diferensiasi sel lemak dan
metabolisme asam lemak. Agonis PPAR-γ mengurangi resistensi insulin pada perifer (membuat otot dan lemak sensitif
terhadap insulin) dan kemungkinan di liver. Insulin harus ada dalam jumlah yang signifikan sehingga aksi ini bisa
terjadi. Agen-agen ini umumnya menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL-C, tapi LDL-C juga meningkat.
Pioglitazone (Actos) dimulai 15-30 mg sekali sehari. Dosis maksimum adalah 45 mg/hari.
Rosiglitazone (Avandia ) dimulai 2-4 mg sekali sehari. Dosis maksimum adalah 8 mg/hari. Respon yang sedikit lebih besar
bisa muncul ketika dosis 4-8 mg/hari diberikan dalam dua dosis terbagi. Bisa butuh 3-4 bulan untuk melihat efek
antihiperglisemi sepenuhnya. Monoterapi seringkali tidak efektif kecuali obat diberikan di awal perjalanan penyakit ketika
jumlah sel β masih cukup dan terjadi hiperinsulinemia. Edema dan bertambah berat bisa menjadi masalah substantial bagi
pasien yang menggunakan glitazone dengan atau tanpa insulin secretagogu. Retensi cairan bisa merangsang atau
memperburuk gagal jantung kongestif pada pasien dengan kompromi pada fungsi ventrikel kiri. Rosiglitazone dan
pioglitazone tampaknya tidak memberikan masalah toksisitas liver yang menyebabkan troglitazone ditarik dari pasar. Tetapi,
uji kerusakan liver (AST, ALT) sebaiknya diperoleh ketika memulai terapi, selama tiap bulan pada tahun pertama, dan secara
periodik setelahnya. Kedua obat tidak boleh diberikan jika baseline AST atau ALT melebihi 2,5 kali batas atas normal.
Pemberiannya harus dihentikan jika hasil uji melebihi tiga kali batas atas normal atau ada tanda atau simtom kerusakan liver.

 Inhibitor α Glukosidase
Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di usus kecil, sehingga memperlama absorpsi
karbohidrat. Ini berefek langsung pada berkurangnya konsentrasi glukosa post prandial sementara glukosa puasa relatif tidak
berubah. Efek pada kontrol glisemi cukup moderat, dengan rerata pengurangan HbA1C 0,3-1%.
Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan serupa. Terapi dimulai dengan dosis rendah (25-50 mg dengan satu kali
makan sehari) dan ditingkatkan bertahap (selama sebulan) sampai maksimum 50 mg tiga kali sehari untuk pasien <60 kg atau
100 mg tiga kali sehari untuk pasien >60 kg.
Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare, dan kejang abdominal, yang bisa dikurangi dengan memperlambat
titrasi dosis. Jika hipoglisemia terjadi ketika digunakan bersama dengan agen hipoglisemi (sulfonilurea atau insulin ), produk
glukosa oral atau parenteral (dextrosa) atau glukagon harus diberikan karena obat akan menginhibit pemecahan dan absrpsi
molekul gula yang lebih komplek (seperti, sukrosa).

g. Identifikasi DRP, penyelesaian dan pencegahan? Harus liat kasusnya duluuuu,,,heee


h. Rekomendasi dan plan untuk pasien : terapi non farmakologi seperti mengatur diet dengan baik, melakukan olahraga ringan, selalu
kontrol kadar gula darah,
B. Aspek Farmasetik dan Distribusi
a. Pertimbangan bentuk sediaan
b. Hubungan kekuatan sediaan dengan dosis
c. Wadah dan Penyimpanan
d. Stabilitas

C. Aspek Regulasi

a. Penggolongan obat berdasarkan perUU


M

Penggolongan obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 917/Menkes/Per/X /1993 yang kini telah

diperbaiki dengan Permenkes RI Nomor 949/Menkes/Per/ VI/2000 penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan

dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi.


Penggolongan obat ini terdiri dari : obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan

narkotika.

a. Obat Bebas

Peratuan daerah Tingkat II tangerang yakni Perda Nomor 12 Tahun1994 tentang izin Pedagang Eceran Obat memuat

pengertian obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak termasuk dalam daftar

narkotika, psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas dan sudah terdaftar di Depkes RI.

Contoh : Minyak Kayu Putih, Tablet Parasetamol, tablet Vitamin C, B Compleks, E dan Obat batuk hitam

Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang tanda khusus untuk untuk

obat bebas dan untuk obat bebas terbatas.

Tanda khusus untuk obat bebas yaitu bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam, seperti terlihat pada gambar

berikut :
Penandaan Obat Bebas

b. Obat Bebas Terbatas

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan ke

dalam daftar obat “W” (Waarschuwing) memberikan pengertian obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan

kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau pembuatnya.

2. Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan. Tanda peringatan tersebut berwarna

hitam,berukuran panjang 5 cm,lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut :
Gambar II.2
Peringatan Obat Bebas Terbatas

Penandaannya diatur berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No.2380/A/SK/VI/83 tanda khusus untuk obat bebas terbatas

berupa lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam, seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar II.3
Penandaan Obat Bebas Terbatas
c. Obat Keras

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukkan obat-obatan kedalam daftar obat keras,

memberikan pengertian obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan sebagai berikut :

1. Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa obat itu hanya boleh diserahkan denagn resep dokter.

2. Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan secara parenteral.

3. Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan secara tertulis bahwa obat baru itu tidak

membahayakan kesehatan manusia.

Contoh :

 Andrenalinum

 Antibiotika

 Antihistaminika, dan lain-lain

Adapun penandaannya diatur berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda

khusus Obat Keras daftar G adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan hurup K yang

menyentuh garis tepi”, seperti yang terlihat pada gambar berikut:


Gambar II.4
Penandaan Obat Keras

d. Obat Wajib Apotek

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker

di apotek tanpa resep dokter.

Menurut keputusan mentri kesehatan RI Nomor 347/Menkes/SK/VIII/1990 yang telah diperbaharui Mentri Kesehatan Nomor

924/Menkes/Per/X/1993 dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Pertimbangan utama untuk obat wajib apotek ini sama dengan pertimbangan obat yang diserahkan tanpa resep dokter, yaitu

meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan,

dengan meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.


2. Pertimbangan yang kedua untuk meningkatkatkan peran apoteker di apotek dalam pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi

serta pelayanan obat kepada masyarakat.

3. Pertimbangan ketiga untuk peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri. Obat yang termasuk kedalam

obat wajib apotek misalnya : obat saluran cerna (antasida), ranitidine, clindamicin cream dan lain-lain.

e. Obat Golongan Narkotika

Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika adalah zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan I, II dan III.

Contoh :

 Tanaman Papaver Somniferum

 Tanaman Koka

 Tanaman ganja

 Heroina

 Morfina

 Ovium
 Kodeina

Gambar II.5
Penandaan Obat Narkotika

f. Obat Psikotropika

Pengertian psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997

tentang psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.

Contoh :

 Lisergida

 Amphetamin

 Codein
 Diazepam

 Nitrazepam

 Fenobarbital

Untuk Psikotropika penandaan yang dipergunakan sama dengan penandaan untuk obat keras, hal ini karena sebelum

diundangkannya UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, maka obat-obat psikotropika termasuk obat keras, hanya saja

karena efeknya dapat mengakibatkan sidroma ketergantungan sehingga dulu disebut Obat Keras Tertentu.

Sehingga untuk Psikotropika penandaannya : lingkaran bulat berwarna merah,

dengan huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam.

b. Penandaan
c. Warna Etiket
d. No registrasi
D. Aspek Informasi Obat dalam brosur/ kemasan Obat

C. m

Anda mungkin juga menyukai