Makalah Model Pembelajaran
Makalah Model Pembelajaran
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Dosen : Armita Sari,MP.d
Nama : - David Girsang (5183351003)
- Ari Azhari (5183351005)
- Azqal Azkia (5183351011)
- Fikri Hanif (5183351017)
- Gunawan Sagala (5183351019)
- Yusril Hamdi (5183351020)
Jurusan : Pendidikan Teknik Informatika dan
Komputer
FAKULTAS TEKNIK
PENDIDIKAN TIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga Kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan judul
“Model Pembelajaran”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, Kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini Kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
Penyelesaian makalah ini.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya guru adalah seorang pendidik. Pendidik adalah orang dewasa dengan
segala kemampuan yang dimilikinya untuk dapat mengubah psikis dan pola pikir anak
didiknya dari tidak tahu menjadi tahu serta mendewasakan anak didiknya. Salah satu hal yang
harus dilakukan oleh guru adalah dengan mengajar di kelas. Salah satu yang paling penting
adalah performance guru di kelas. Bagaimana seorang guru dapat menguasai keadaan kelas
sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan. Dengan demikian guru harus
menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didiknya.
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan.
Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak
benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme
merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman
dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori
belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara
konkret.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov yang
didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak refleks setelah
menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan
munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya
ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun,
suatu saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami
materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung
jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
5
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut
disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-
faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini
tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun
ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
3. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan
yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah
ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama
menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan
kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
6
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang
sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang
terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut
antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut
akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya
dalam pembelajaran.
1) Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku
yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
7
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2) Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut
sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson
adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
3) Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan
biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam
teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4) Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah
perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,
oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie
juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
5) Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan
respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
8
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan
interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada
ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
b. Membantu guru Menurut teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam
bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-
9
tingkat perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki
kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang
tidak dapat diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah :
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada
ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
b. Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama muridnya, dan membantu
dirinya sendiri
c. Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterapkan dalam kelas dan untuk
menghasilkan prosedur yang memungkinkan belajar menjadi produktif.
Insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang
sama atau hamper sama. Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap suatu
situasi secara mendalam. Insight terjadi dengan malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah,
kemudian manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.
Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning stimulus-respons adalah sebagai
berikut.
b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan teori behaviorisme pada sejarah
masa lalu.
c. Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungannya secara
simultan dan saling membutuhkan.
b. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak, seperti
penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor
manusia dan lingkungan psikologisnya.
c. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak
tetap dari waktu ke waktu.
10
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah model
belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan
informasi dan model peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model “perkembangan
intelektual” dari Jean Piaget.
11
kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist,
historian atau ahli matematika. Biarkan murid kita menemukan arti bagi diri mereka
sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang
mereka mengerti
5) Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi
kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas –
tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal
development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah
secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada
seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan
sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan
Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia tunduk
pada peneguhan dan hukuman, pada perspektif kognitif ternyata ditemui tiap individu justru
merencakan respons perilakunya, menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia
mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang
berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari
konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori
belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Jenis Pengetahuan
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa
yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian,
dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses
belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset
terapan tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan
dasar yang luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia
12
sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang
baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
13
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara
struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen
tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mngisap,
menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu
yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Jelas, jika asimilasi adalah satu-
satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab organisme
hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses
penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu
accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
2) Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes
(2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share
the general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted
to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”.
Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar
meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan
dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori
seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist
views of learning include a range of theories that share the general perspective that
knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these
theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa
pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang
membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan
ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon
Dewey.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984),
salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi
bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di
dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain
mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua
pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat
subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
3) Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada
beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
14
Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita
sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pandangan
konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan
kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari
pengetahuan dasar manusia secara individual.
4) Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang
dianggap tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang
demokratis dan dialogis. Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa
untuk melakukan kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau
gagasannya, guru tidak memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa
belajar jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
kepada oemutakhiran struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas.
Proses tersebut berupa “…constructing and restructuring of knowledge and skills
(schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual
consistency…”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh dindividu
tersebut tidak dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar
kelas.
15
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan
siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya (2008: 23-24) berpendapat bahwa ada
beberapa yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan
berbagai media dan sumber pembelajaran yaitu:
1. Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-
masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan, belum tentu
semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan pelajaran. Setiap
media memiliki karakteristik tersendiri
2. Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan perancangan
media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan tercapai
secara optimal.
3. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat
memanfaatkan berbagai sumber belajar.
4. Guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
siswa. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka..
Peran guru dan siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru
atau pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan memberdayakan seluruh potensi
siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas tidak
mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan
seluruh potensi dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya
sendiri.
Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran guru perlu dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Mampu membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian dengan cara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam memahami
pengetahuan atau teori;
2. Mampu membangun atau memimbing siswa dalam memahami pengetahuan dan mampu
berprilaku atau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam realitas masyarakat;
Sementara itu, peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam proses
pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan
memberikan makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivisme
memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum
16
mempelajari sesuatu. Siswa dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun
ide atau gagasan tanpa harus diintervensi oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa
yang sudah memiliki modal awal pengetahuan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap
tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja
sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut
cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja
sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.
17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental
yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan
lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman,
tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Behaviorisme
adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons
pelajar terhadap rangsangan. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan
stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk
berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon
sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Teori belajar kognitif lebih
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan
pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip
yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
18
DAFTAR PUSTAKA
- http://sekolah-dasar.blogspot.com/teori-belajar-behavioristik-kognitif/
- https://www.academia.edu/32816109/
19