240210100003
Kelompok 11A
VI. PEMBAHASAN
Pada gambar tersebut terlihat bahwa jumlah CO2 yang dikeluarkan akan
terus menurun, kemudian pada saat mendekati “senescene” produksi CO2
kembali meningkat, dan selanjutnya menurun lagi. Buah-buahan yang melakukan
respirasi semacam itu disebut buah klimaterik, sedangkan buah-buahan yang
jumlah CO2 yang dihasilkannya terus menurun secara perlahan sampai pada saat
senescene disebut buah nonklimaterik.
Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi laju respirasi, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Ketersediaan substrat
2. Ketersediaan oksigen
3. Suhu
4. Jenis dan umur tumbuhan
Pada praktikum kali ini faktor lingkungan yang diperhatikan dalam
pengukuran laju respirasi adalah suhu dengan sampel yang digunakan adalah
jeruk, alpukat, timun, dan apel. Alpukat dan apel merupakan buah klimakterik,
sedangkan timun, jeruk merupakan buah non klimakterik. Langkah-langkah yang
dilakukan dalam menetukan pola respirasi ini diantaranya dengan menggunakan 5
buah bejana berupa topless. Topless pertama berisi larutan Ca(OH)2 jenuh dan
topless ke dua berisis larutan NaOH 0,1 N. Penggunaan Ca(OH)2 bertujuan untuk
mengikat gas CO2 yang terkandung dalam udara yang dialirkan melalui aerator.
Topless ke tiga berisi sampel buah yang akan melakukan respirasi dan es batu
Nova Nurfauziawati
240210100003
Kelompok 11A
yang berfungsi sebagai indikator pengaruh suhu terhadap laju respirasi buah,
sedangkan toples ke empat dan ke lima berisi NaOH 0,1 N. Setelah aerator
dinyalakan selama 1 jam, NaOH yang terdapat pada toples ke empat dan ke lima
dicampurkan untuk selanjutnya dilakukan titrasi terhadap HCl dengan
menggunakan indikator phenolpthalein (PP), sehingga satuan dari laju respirasi
adalah mg CO2/kg/jam. Hasil pengamatan pengaruh suhu terhadap laju respirasi
dapat dilihat pada tabel 1.
300 jeruk
250 Alpukat
200 timun
150 apel
100
50
0
hari ke - 1 hari ke -2 hari ke - 3 hari ke - 4 hari ke - 5 waktu
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa baik warna, aroma, tekstur
maupun berat dari semua buah yang dijadikan sample berubah. Proses ini disebut
sebagai proses pematangan. Proses pematangan diartikan sebagai suatu fase akhir
dari proses penguraian substrat dan merupakan suatu proses yang dibutuhkan oleh
bahan untuk mensintesis enzim-enzim yang spesifik yang diantaranya digunakan
Nova Nurfauziawati
240210100003
Kelompok 11A
dalam proses kelayuan. Perubahan yang secara umum mudah diamati dalam
proses pematangan ini diantaranya berubahnya warna kulit yang tadinya berwarna
menjadi semakin terang, buah yang tadinya bercita rasa asam menjadi manis,
tekstur yang tadinya keras menjadi lunak, serta timbulnya aroma khas karena
terbentuknya senyawa-senyawa volatil atau senyawa-senyawa yang mudah
menguap. Selain mengalami pematangan, setelah pemanenan buah-buahan pun
mengalami laju respirasi.
Laju respirasi lebih cepat jika suhu penyimpanan tinggi, umur panen muda,
ukuran buah lebih besar, adanya luka pada buah dan kandungan gula awal yang
tinggi pada produk (Winarno dan Aman, 1981). Metode yang umum digunakan
untuk menurunkan laju respirasi buah-buahan segar adalah pengontrolan suhu
ruang penyimpanan. Pengontrolan suhu untuk mengendalikan laju respirasi
produk hasil pertanian sangat penting artinya dalam usaha memperpanjang umur
simpan produk tersebut. Metode yang umum digunakan adalah penyimpanan
dengan pendinginan karena sederhana dan efektif. Menurut Broto (2003), prinsip
penyimpanan dengan pendinginan adalah mendinginkan lingkungan secara
mekanis dengan penguapan gas cair bertekanan (refrigerant) dalam sistem
tertutup.
Menurut Kays (1991), untuk beberapa produk hasil pertanian, dengan
kenaikan suhu penyimpanan sebesar 100C akan mengakibatkan naiknya laju
respirasi sebesar 2 sampai 2.5 kali, tetapi di atas suhu 350C laju respirasi akan
menurun karena aktivitas enzim terganggu yang menyebabkan terhambatnya
difusi oksigen.
Pengaruh faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan
faktor Q10, dimana umumnya laju reaksi respirasi akan meningkat untuk setiap
kenaikan suhu sebesar 10oC, namun hal ini tergantung pada masing-masing
spesies. Bagi sebagian besar bagian tumbuhan dan spesies tumbuhan, Q10 respirasi
biasanya 2,0 sampai 2,5 pada suhu antara 5 dan 25°C. Bila suhu meningkat lebih
jauh sampai 30 atau 35°C, laju respirasi tetap meningkat, tapi lebih lambat, jadi
Q10 mulai menurun. Penjelasan tentang penurunan Q10 pada suhu yang tinggi ini
adalah bahwa laju penetrasi O2 ke dalam sel lewat kutikula atau periderma mulai
menghambat respirasi saat reaksi kimia berlangsung dengan cepat. Difusi O2 dan
Nova Nurfauziawati
240210100003
Kelompok 11A
CO2 juga dipercepat dengan peningkatan suhu, tapi Q10 untuk proses fisika ini
hanya 1,1 ; jadi suhu tidak mempercepat secara nyata difusi larutan lewat air.
Peningkatan suhu sampai 40°C atau lebih, laju respirasi menurun, khususnya bila
tumbuhan berada pada keadaan ini dalam jangka waktu yang lama. Nampaknya
enzim yang diperlukan mulai mengalami denaturasi dengan cepat pada suhu yang
tinggi, mencegah peningkatan metabolik yang semestinya terjadi. (Salisbury &
Ross, 1995)
Faktor lain yang dapat mempengaruhi laju respirasi adalah luka memar.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini hampir sama dengan pada
praktikum sebelumnya dan dengan sampel yang sama pula. Jika pada praktikum
sebelumnya buah yang disimpan pada toples ke 3 diisi dengan es, pada praktikum
kali ini buah yang akan diukur laju respirasinya dilukai atau dimemarkan terlebih
dahulu. Adapun hasil pengamatan pengaruh suhu terhadap laju respirasi dapat
dilihat pada tabel 2.
Laju rspirasi dapat dipengaryhi oleh suhu, luka memar dan etilen
Suhu dapat menurunkan laju respirasi
Luka memar dapat meningkatkan laju respirasi dan menyebabkan proses
pembusukan buah menajdi lebih cepat karena mikroorganisme dapat
masuk ke dalam buah.
Etilen dapat mempercepat laju respirasi
Nova Nurfauziawati
240210100003
Kelompok 11A
DAFTAR PUSTAKA
Salisbury, Frank and Ross, Cleon. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung:
Penerbit ITB
Winarno, F.G. 1992. Kimia Panan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Nova Nurfauziawati
240210100003
Kelompok 11A
Jawaban Pertanyaan
1. Pada penyimpanan suhu dingin untuk buah juga sering terjadi kerusakan
chilling injury. Apa dan bagaimana hal ini terjadi?
Chilling injury adalah rusaknya bahan pangan yang disebabkan oleh
penyimpanan dingin, hal ini dapat terjadi karena adanya kepekaan suatau
bahan pangan terhadap suhu rendah, daya tahan dinding sel yang terbatas.