Anda di halaman 1dari 5

Gangguan Stress Pasca Trauma

OLEH
KELOMPOK 2
Dewi Sartika
Ayu Anggita Putri
Sefty Utami Amaliah
Obaja Rahayaan

AKPER PUTRA PERTIWI WATANSOPPENG


2019/2020
Gangguan Stress Pasca Trauma/ Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)

Merupakan hal yang sering terjadi apabila seseorang yang mengalami


atau menyaksikan kejadian mengerikan seperti bencana alam, kecelakaan,
terorisme, perang, atau kematian seseorang yang dicintai akan mengalami trauma.
Beberapa orang ada yang sembuh dan kembali beraktivitas normal, namun ada yang
mengalami trauma berkelanjutan hingga mengembangkan gangguan stres pasca
trauma atau posttraumatic stress disorder (PTSD).
PTSD tergolong umum. PTSD umumnya lebih banyak mempengaruhi
wanita daripada pria karena kebanyakan wanita lebih sensitif terhadap perubahan
daripada pria, sehingga mereka mengalami emosi yang lebih intens. PTSD dapat
mempengaruhi pasien dalam semua golongan usia, bahkan anak-anak. PTSD bisa
diatasi dengan mengurangi faktor risiko.

Gambaran Klinis PTSD


Gejala PTSD umumnya dapat di kelompokkan menjadi tiga jenis:
kenangan yang mengganggu (intrusive memories), menghindari (avoidance) dan
mati rasa emosional (emotional numbing), serta kecemasan atau peningkatan gairah
atau emosi (hyperarousal). Seseorang dapat didiagnosa menderita PTSD apabila
gejala-gejala dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.
Gejala yang termasuk dalam kelompok intrusive memories antara lain
adalah individu mengalami kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa
traumatis selama beberapa menit atau bahkan berhari-hari. Individu kerap teringat
pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan
emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian
tersebut seperti petir yang mengingatkan seorang veteran pada medan
pertempuran, atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu misalanya hari dimana
seorang wanita mengalami penyerangan seksual.
Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait
(avoidance) atau mati rasa (numbing) dalam responsivitas, yaitu individu berusaha
menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang akan
mengingatkan pada kejadian tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya amnesia
terhadap kejadian traumatik tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan
pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan
berbagai emosi positif. Gejala-gejala ini tampak berlawanan dengan gejala pada
kelompok pertama, namun pada kenyataannya terdapat fluktuasi, penderita
bergantian mengalami kembali dan mati rasa.
Gejala kecemasan dan peningkatan ketegangan, gairah atau
emosi(hyperarousal) meliputi sulit tidur, sulit berkonsentrasi, waspada yang
berlebihan, dan respons terkejut yang berlebihan.

Pedoman Diagnostik
Harus ada bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa
traumatik yang luar biasa beratnya.
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apa bila tertundanya waktu
antara terjadinya peristiwa dan onset gangguan melebihi 6 bulan asalkan
manifestasi klinisnya khas dan tidak didapat alternatif lain yang memungkinkan
dari gangguan ini (misalnya sebagai suatu gangguan anxietas atau gangguan
obsesif-kompulsif atau episode depresif).
Adanya bukti trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi
mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang (flash back). Sering kali
terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan , penghindaran
terhadap stimulus yang mungkin mengingatkan kembali akan traumanya,

Berikut merupakan Kriteria DSM-IV-TR untuk PTSD:


1. Pemaparan pada suatu kejadian traumatik menyebabkan ketakutan ekstrem
2. Kejadian tersebut dialami ulangOrang yang bersangkutan menghindari stimuli
yang diasosiasikan dengan trauma dan memiliki ketumpulan responsivitas
3. Simptom-simptom ketegangan berlebihan seperti respons terkejut yang
berlebihan
4. Durasi simptom lebih dari satu bulan
Mencegah terjadinya PTSD dapat dilakukan dengan:
 Debriefing(pembekalan psikologis, kadangkala disebut traumatologi atau
konseling duka cita), yaitu dengan sesi wawancara yang segera dilakukan
setelah peristiwa traumatis terjadi. Wawancara ini dimaksudkan untuk
membantu mengatasi respon emosional individu terhadap trauma dan
mencegah perkembangan PTSD, termasuk mendorong individu untuk berbicara
mengenai kejadian traumatis dan reaksi emosional merekasecara rinci dan
sistematis. Wawancara ini diperkirakan dapat membantu pengintegrasian
ingatan kejadian ke dalam sistem memori umum. Saat ini, pembekalan dilakukan
secara teratur setelah terjadinya pengalaman traumatis, meskipun meningkatnya
pertanyaan mengenai efektivitas pembekalan ini.

Contoh Kasus Penderita PTSD


Seorang Dokter perempuan yang bernama Dian Saraswati, berusia 34 tahun
yang bekerja di Rumah Sakit sebagai Spesialis pengobatan darurat mengalami
kecelakaan bersama kekasihnya yang juga merupakan seorang Dokter Departemen
Bedah.
Saat hendak pulang dari Rumah Sakit Dokter tersebut dijemput oleh
kekasihnya dengan mobil. Saat didalam mobil dokter dian dilamar oleh kekasihnya
dan dokter dian mengatakan pada kekasihnya bahwa ada seorang dokter magang
yang menyatakan perasaan padanya hari ini dan dia goyah. Hingga kekasihnya pun
tidak fokus menyetir dan tiba-tiba ada sebuah truk besar yang menabrak mobilnya
dari samping.
Dokter Dian mengalami cedera dibagian kepala dan tangannya akan tetapi
cedera ditangannya lebih parah sedangkan kekasihnya tidak mengalami cedera luar
akan tetapi megalami trauma akibat benturan yang terlalu keras di kepalanya dan
akhirnya meninggal karena tidak mendapat penanganan dengan cepat. Saat dokter
Dian mengetahui bahwa kekasihnya telah meninggal dia pergi mendaki untuk
melampiaskan kesedihannya, dan tiba tiba saat perjalanan Dr.dian tergelincir dan
jatuh ke jurang hingga tangannya yang sakit bertambah parah dan beruntungnya
ada seorang dokter yang lewat dihutan tersebut dan menyelamatkannya.
Setelah kecelakaan tersebut dokter Dian mengalami Trauma (PTSD), dimana
dia sering mengalami halusinasi pendengaran yang selalu mendengar kekasihnya
mengatakan “aku mati karenamu, itu semua salahmu” dan tangannya yang cedera
mengalami tremor sehingga dia selalumengonsumsi obat penenang. Dan setelah 5
tahun, ia tidak mengalaminya lagi.
Hingga akhirnya dokter Dian kembali bertemu dengan dokter yang pernah
menyatakan perasaan padanya dan akhirnya halusinasi dan tremornya kambuh dan
dia mengonsumsi obat penenang yang terlalu banyak yang menyebabkan dia
melukai tangannya lagi.

Anda mungkin juga menyukai