Anda di halaman 1dari 12

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam
dengan judul "Bagaimana Agama Menjamin Kebahagiaan" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam
penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan
aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat
menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Tangerang, 30 Maret 2017

Penyusun

Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menelusuri Konsep dan Karakteristik Agama sebagai Jalan Menuju Tuhan dan Kebahagiaan

2.2 Menanyakan Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia?

2.3 Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang Pemikiran Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan

2.4 Membangun Argumen tentang Tauḫīdullāh sebagai Satu-satunya Model Beragama yang Benar

BAB III
KESIMPULAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud dalam diri
seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi diri) untuk selalu berpegang pada nilai-
nilai kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta menjunjung tinggi kejujuran,
kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak
lengkap jika tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.
Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti
kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah
kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi
langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup. Dan ini menjadi cita-cita tertinggi setiap orang baik
yang mukmin atau yang kafir kepada Allah.
Apabila kebahagiaan itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk
meraihnya. Nyatanya, itu tak pernah diraih dan membuat pengorbanannya sia-sia. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketinggian
pangkat dan jabatan, mereka juga telah siap mengorbankan apa saja demi memperoleh apa yang diinginkannya. Tapi tetap saja
kebahagiaan itu tidak pernah didapatkannya. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketenaran nama, mereka telah berusaha untuk
meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak mendapati apa yang disebut kebahagiaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menelusuri Konsep dan Karakteristik Agama sebagai Jalan Menuju Tuhan dan
Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud
dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi diri) untuk selalu
berpegang pada nilai-nilai kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta
menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional. Pada sisi lain,
kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.

Berikut pendapat dari beberapa ahli mengenai makna kebahagiaan:


1. Al-Alusi : bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa mencapai keinginan atau cita-cita yang dituju dan diharapkan
2. Ibnul Qayyim al-Jauziyah : kebahagiaan adalah perasaan senang dan tentram karena hati sehat dan ber!ungsi dengan baik.
3. Al Ghazali: bahagia terbagi menjadi dua antara lain:
o Bahagia hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi yang dapat diperoleh dengan modal iman, ilmu dan amal.
o Bahagia majusi adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diperoleh baik itu orang yang beriman maupun yang tidak beriman

Beberapa karakteristik hati yang sehat diantaranya:


1. Selalu beriman kepada Allah dan menjadikan Al Qur’an sebagai obat untuk hati.
2. Selalu berorientasi ke masa depan dan akhirat.
3. Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah.
4. Selalu mengingat Allah.
5. Selalu menyadarkan diri apabila melupakan Allah karena urusan dunia.
6. Selalu mendapatkan ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan ketika menjalankan sholat.
7. Selalu memperhatikan waktu agar tidak terbuang sia-sia.
8. Selalu berorientasi kepada kualitas amal selama hidup.

2.2 Menanyakan Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat
Membahagiakan Umat Manusia?
Kunci beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang melekat dalamdiri manusia dan telah menjadi karakter
(tabiat) manusia.Kata “fitrah”secara kebahasaan memang asal maknanya adalah suci. Yang dimaksud suci adalah suci dari
dosa dan suci secara genetis Meminjam term Prof. Udin Winataputra,fitrah adalah lahir dengan membawa iman. Berbeda
dengan konsep teologi Islam, teologi tertentu berpendapat sebaliknya yaitu bahwa setiap manusia lahir telah membawa dosa
yakni dosa warisan. Didunia, menurut teologi ini,manusia dibebanitugas yaitu harus membebaskan diri dari dosa itu. Adapun
dalam teologi Islam, seperti telah dijelaskan,bahwa setiap manusia lahir dalam kesucian yakni suci dari dosa dan telah beragama
yakni agama Islam.Tugas manusia adalah berupaya agar kesucian dan keimanan terus terjaga dalam hatinya hingga kembali
kepada Allah.

2.3 Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang
Pemikiran Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan.
Secara teologis,beragama itu adalah fitrah. Jika manusia hidup sesuai dengan fitrahnya, maka ia akan bahagia. Sebaliknya, jika
ia hidup tidak sesuai dengan fitrahnya, maka ia tidak akan bahagia. Secara historis, pada sepanjang sejarah hidup manusia,
beragama itu merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Banyak buku membicarakan atau mengulas kisah
manusia mencari Tuhan. Umpamanya buku yang ditulis oleh Ibnu Thufail. Buku ini menguraikan bahwa kebenaran bisa
ditemukan manakala ada keserasian antara akal manusia dan wahyu. Dengan akalnya, manusia mencari Tuhan dan bisa
sampai kepada Tuhan. Namun, penemuannya itu perlu konfirmasi dari Tuhan melalui wahyu, agar ia dapat menemukan yang
hakiki dan akhirnya ia bisa berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang diperolehnya terutama nikmat bisa
menemukan Tuhan dengan akalnya itu.

Secara horizontal, manusia butuh berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungannya baik flora maupun fauna. Secara vertikal
manusia lebih butuh berinteraksi dengan Zat yang menjadi sebab ada dirinya. Manusia dapat wujud/ tercipta bukan oleh dirinya
sendiri, namun oleh yang lain. Yang menjadi sebab wujud manusia tentulah harus Zat Yang Wujud dengan sendirinya
sehingga tidak membutuhkan yang lain. Zat yang wujud dengan sendirinya disebut wujud hakiki, sedangkan suatu perkara
yang wujudnya tegantung kepada yang lain sebenarnya tidak ada/ tidak berwujud.

Kalau perkara itu mau disebut ada (berwujud), maka adalah wujud idhāfī. Wujud idhāfī sangat tergantung kepada wujud hakiki.
Itulah sebabnya, manusia yang sebenarnya adalah wujud idhāfī yang sangat membutuhkan Zat yang berwujud secara hakiki,
itulah Allah. Jadi, manusia sangat membutuhkan Allah. Allahlah yang menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan,
mengayakan,memiskinkan, dan Dialah Allah Yang Zahir Yang Batin, dan Yang Berkuasa atas segala sesuatu.

2.4 Membangun Argumen tentang Tauḫīdullāh sebagai Satu-satunya Model Beragama yang Benar
Sebagaimana telah diketahui bahwa misi utama Rasulullah saw., seperti halnya rasul-rasul yang sebelum beliau adalah
mengajak manusia kepada Allah. Lāilāha illallāhitulah landasan teologis agama yang dibawa oleh Rasulullah dan oleh semua
para nabi dan rasul. Makna kalimat tersebut adalah “Tidak ada Tuhan kecuali Allah;” “Tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah;” “Tidak ada yang dicintai kecuali Allah;” “Tidak ada yang berhak dimintai tolong/bantuan kecuali Allah;” “Tidak
ada yang harus dituju kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus ditakuti kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus diminta ridanya
kecuali Allah”. Tauḫīdullāh menempatkan manusia pada tempat yang bermartabat, tidak menghambarkan diri kepada
makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada manusia. Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan paling sempurna
dibanding dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Itulah sebabnya, Allah memberikan amanah kepada manusia.
Manusia adalah roh alam, Allah menciptakan alam karena Allah menciptakan manusia sempurna (insan kamil).

Tauḫīdullāh adalah barometer kebenaran agama-agama sebelum Islam. Jika agama samawi yang dibawa oleh nabi-nabi
sebelum Muhammad saw.masih tauḫīdullāh, maka agama itu benar, dan seandainya agama nabi-nabi sebelum Muhammad
saw.itu sudah tidak tauḫīdullāh yakni sudah ada syirik, unsur menyekutukan Allah, maka dengan terang benderang agama
itu telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Agama yang dibawa para nabi pun namanya Islam.

BAB III
KESIMPULAN
Tujuan hidup manusia adalah sejahtera di dunia dan bahagia diakhirat. Dengan kata lain,dapat disebutkan bahagia di dunia dan
bahagia diakhirat. Kebahagiaan yang diimpikan adalah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Untuk menggapai kebahagiaan
termaksud mustahil tanpa landasan agama. Agama dimaksud adalah agama tauḫīdullāh. Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan
autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap
tobat (melakukan introspeksi dan koreksi diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa
nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial,
dan profesional.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan seringkali manusia mengalami titik balik kebahagiaan. Dimana
manusia harus merasakan kesedihan karena tidak adanya motivasi kehidupan. Kondisi ini
membuat keprihatinan tersendiri bahwa sesungguhnya untuk menjadi bahagia tidaklah harus
selalu berlebihan dalam hidup, tetapi hanya cukup bersyukur dan menyerahkan diri kepada
Allah. Ketika manusia berada pada titik jenuh haruslah terdapat motivasi supaya manusia tidak
terjebak dalam kesedihan yang mendalam. Manusia dapat bangkit melalui dirinya sendiri dengan
pendekatan Agama dan Tuhannya.
Kehidupan sekarang banyak memberi pelajaran kepada kita semua bahwa kesedihan tidak
perlu dibendung didalam hati terlalu lama, kesedihan harus ada penyelesaiannya karena banyak
jalan menuju kebahagiaan. Tetapi sesungguhnya kekayaan bukanlah penyelesaian dari
kesedihan, kekayaan justru membuat jalan kebahagiaan menjadi ketidakpuasan.
Rahasia kebahagiaan seorang sufi adalah beriman dan lebih memilih mengelola “perasaan”
dari pada harta benda, yaitu dengan tujuannya adalah hari akhir, maka seorang sufi tidak akan
takut kehilangan kebaikan di dunia. Seorang sufi menyerahkan semua kepada Allah, dengan
bersyukur dan ridho atas kehendak Allah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Bahagia?
2. Bagaimana Hubungan Kebahagiaan Sebagai Motivasi Hidup?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahagia Menurut Beberapa Ahli
1. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun berpendapat, “Bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang
ditentukan Allah dan prikemanusiaan”.
2. Imam al-Ghazali, orangtua dan panutan dari segala tabib jiwa berpendapat bahwa,
“Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Kata beliau
seterusnya, “ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan
dan kelezatannya. Dan kelezatan itu ialah menurut tabi`at kejadian masing-masing, maka
kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu,
demikian pula seluruh anggota yang lain di ubuh manusia. Adapun kelezatan Hati ialah teguh
ma`rifat keepada Allah, karena hati itu dijadikan untuk mengingat Tuhan.
3. Aristoteles
“Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk manusia, tetapi corak bahagia itu berlain-lain
dan berbagai ragam menurut perlainan corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang
sesuau yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak oleh orang lain. Sebab iu menurut undang-
undang Aristoteles, bahagia itu ialah suatu kesenangan yag dicapai oleh setiap orang menurut
kehendak masing-masing.”
4. Nabi Muhammad SAW
Dari `Aisyah radhiallahu`anha, bahwa pada suatu hari ia bertanya kepada Rasulullah Saw,
“Ya Rasulullah, dengan apakah berkelebihan setengah manusia dari yang setengahnya?”
Rasulullah menjawab, “Dengan akal!”
Kata `Aisyah pula, “Dan diakhirat?”
“Dengan akal juga,” kata beliau.
“Bukankah seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal paala lantaran amal
ibadahnya?” kata `Aisyah pula.
“Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya?
Sekadar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala
yang diberikan kepada mereka.”
Sabda Rasulullah pula :
“Allah telah membagi akal kepada tiga bagian; siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya,
sempurnalah akalnya; kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang
berakal.”
Dari sabda Nabi itu, dapat kita ambil kesimpulan bahwa derajat bahagia manusia itu
menurut derajat akalnya, karena akallah yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk.[1]

B. Hubungan Kebahagiaan Sebagai Motivasi Hidup


Ketika manusia berada jauh di dasar lubang kesedihan, manusia perlu motivasi untuk
dapat melanjutkan hidupnya. Manusia juga berhak hidup bahagia dan melanjutkan kehidupannya
menjadi titik balik dimana ia bahagia.
Fluktuasi perasaan memang sukar di prediksi, namun dengan adanya bahagia, sedih
manusia dapat merasakan arti hidup yang sesungguhnya. Tetapi ketika kesedihan yang berlarut-
larut manusia juga perlu dorongan untuk dapat kembali menjadi dirinya sebagai makhluk yang
mempunyai Tuhan.
Dalam pembahasan akan dijelaskan bagaimana kebahagaiaan yang sebenarnya, dari mana
saja asal kebahagiaan, unsur apa yang mendasari kebahagiaan, dan dari siapa kita dapat belajar
memaknai kebahagiaan sebagai sesuatu yang mudah kita dapatkan. Bagaimana kita dapat
bangkit dari keterpurukan, dan dapat melangkah kembali menapak sejuta jejak yang telah Allah
siapkan dalam perjalanan hidup seseorang.

1. Unsur-unsur kebahagiaan
a. Menurut Faham Phitagoristen dan Platonisten
1) Hikmat
2) Keberanian
3) `Iffah (kehormatan)
4) Adil
b. Menurut Faham Aristoteles
1) Badan sehat, pancaindera cukup
2) Cukup kekayaan,
3) Indah sebutan di antara manusia, terpuji dimana-mana
4) Tercapai apa yang dicita-cita didalam mengarungi lautan hidup
5) Tajam pikiran, runcing pendapatan, sempurna kepercayaan memagang agama atau dunia,
terjauh dari kesalahan dan tergelincir.
Demikian tercapailah bahagia yang sempurna Assa`adatul-kamilah) menurut
Aristoteles.[2]
2. Tingkat kebahagiaan
Kebahagiaaan adalah suatu misteri. Yang ditemukan dalam ilmu psikologi sangatlah
menarik. Tingkat kebahagiaaan seseorang sebenarnya secara tidak sengaja telah di set atau
ditentukan sejak dini. Yang telah di set adalah tingkat kebahagiaan seseorang, bukan tingkat
depresinya. Kebanyakan orang mempunyai alat ukur kebahagiaan. Bila seseorang memenangkan
lotre jutaan rupiah, ia sangat bahagia. Tetapi, hanya untuk sementara waktu. Tidak lama
kemudian, seiring berjalannya waktu, temperatur kebahagiaan mulai menurun balik ke tingkat
yang sudah diset sebelumnya.
Sang pemenang lotre memang jauh lebih kaya sekarang, namun dia tidak lebih bahagia
dibandingkan ketika dia miskin. Buat orang-orang kaya, ini jadi semacam kutukan. Sebagian dari
mereka mulai meyakini kalau mereka ditakdirkan untuk tidak bahagia. Namun, sebenarnya tidak
begitu.[3]
3. Temuan para Ahli Neuroscience tentang kebahagiaan
Para Neuroscientist telah menemukan apa yang dinamakan neuroplasticy. Mereka telah
beberapa dekade menyelidiki oak manusia dalam kondisi yang berbeda-beda dengan CT Scan
yang biasa ditemukan di rumah sakit besar. CT Scan berfungsi untuk mlakukan scanning
aktivitas gelombang elektromagnetik otak.
Sharon Bagley dalam buku Train Your Mind, Change Your Brain menjelaskan tentang
plastisitas otak. Ia menerangkan, jika anda melatih otak pada suatu aktivitas khusus, hal ini akan
mengubah keadaan otak Anda secara fisik. Jika anda mempelajari sesuatu yang baru, otak Anda
bisa mengalami perubahan dalam aspek neuron, jumlah sel otak, dan seterusnya. Jika Anda
belajar sesuatu dalam beberapa bulan, otak Anda berubah secara signifikan.
Yang pernah dipelajari para neuroscientist antara lain adalah otak para pendeta Buddha
dan Tibet yang telah lama berlatih meditasi berpuluh-puluh tahun lamaya. Bentuk otak meraka
agak berbeda. Mereka telah melatih daya konsentrasi selama berjam-jam, sementara orang
kebanyakan hanya sanggup beberapa menit saja. Bahkan, seorang genius pun hanya mampu
berkonsentrasi tiga kali manusia biasa.[4]
4. Cara-cara Mencapai Kebahagiaan
a. Kesehatan Badan
Jika kita mau berpikir dan merasakan sedikit saja tentang berapa harga kesehatan jasmani
yang telah kita miliki, tentu kita akan menggelengkan kepala, tidak bias menilainya dengan uang.
Kita bias merasakan keindahan alam dan seisinya, makan, minum adalah dengan syarat kita bias
sehat. Kalau sakita walau kita memiliki segalanya, semua itu tidak dapat kita raskan seratus
persen.
b. Bersyukur
Orang yang bahagia adalah orang yang bersyukur dengan keadaan apapun pada saat itu, baik
rezeki yang dterimanya, maupun nikmat yang diterimanya saat itu.
Sudah barang tentu di samping “nerima ing pandum”, adalah setelah berikhtiar dan berusaha
sekuat tenaga dengan mencukupi segala syaratnya, kemudian berdo`a agar Tuhan mengabulkan
tujuannya, kemudian yang terakhir adalah berserah diri kepada Allah setelah berikhtiar. Bukan
fatalism, yakni menyerah kepada nasib tanpa berusaha mengubah keadaannya dari tidak baik
menjadi lebh baik.
c. Bergembira Senantiasa
Bergembira senantiasa dengan keadaan yang ada pada anda sekarang. Sementara itu
janganlah berhenti berusaha menuju kepada perbaikan dan peningkatan pada keadaan anda. Dan
dalam menuju proses usaha itu pun bergembiralah senantiasa.
Seorang pujangga Mesir berkata, bahwa seluruh sejarah hidup manusia hanya berkisar empat
pasal, yakni lahir, menangis, tertawa dan kemudian mati, titik. Mulai dari rakyat jelata sampai
raja tidak dapat melebihi dan melenceng diluar empat pasal itu.
Memang tiada kegembiraan tanpa kesusahan. Tidak ada orang yang selamanya bergembira
tanpa diselingi sedih sama sekali. Silih berganti itulah yang terjadi.
d. Hilangkan Rasa Dengki
Jika ingin bahagia, rasa dengki hrus dihilangkan dari diri anda, karena orang yang dengki
biasanya susah tidur.
Dalam masyarakat Jawa, hasad atau dengki mempunyai tiga criteria, yakni iri, dengki dan
srei.
Iri ialah dirinya yang ingin memiliki atau menerima atau mengalami nasib seperti yang
dimiliki oleh orang lain.
Dengki ialah usaha untuk menghilangkan atau supaya hilanglah nikmat yang telah diperoleh
orang lain.
Srei ialah puncak dari kedengkian tersebut, sehingga dapat menyebabkan seseorang merusak
atau mengganggu hak orang lain.
e. Bahagia dalam Berumah Tangga
f. Menjaga Keseimbangan dalam Hidup
Seimbang antara material dan spiritual, seimbang antara akal dan nafsu.[5]
5. Sumber Kebahagiaan
Beragam sumber kebahagiaan dapat diperoleh. Ia dapat diraih dan dirasakan kapan dan
dimana saja, karena ia tidak mengenal ruang dan waktu. Secara mutlak ia bersumber dari Allah.
Allah-lah yang memancarkan cahaya kebahagiaan itu ke seluruh penjuru alam. Oleh karena itu ia
tidak hanya dirasakan oleh manusia saja tetapi oleh seluruh makhluk Allah dimuka bumi. Hal ini
siisyaratkan melalui firman-Nya,
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi…” (an-Nur :35).
Inti dari semua itu adalah akal dan hati. Karena sesungguhnya akal dan hati yang memegang
peranan penting adanya kebahagiaan tersebut.[6]
Otak Fleksibel Membuat Anda Bahagia
Melalui neuroplasticy, para neuroacientist menjelaskan bahwa otak iyu fleksibel asalkan
terus dilatih dan diberi latihan. Oleh karena itu, sangat dianjurkan agar setiap orang tetap belajar
sesuatu yang baru sampai kapan pun. Semakin sering kita belajar sesuatu yang baru, semakin
sehatlah otak kta. Tubuh kita sehat karena olahraga, otak kita sehat juga karena berolahraga.
Otak kita jenuh dengan latihan yang sama setiap saat. Otak butuh sesuatu yang baru, bisa berupa
ilmu pengetahuan, hobi, atau keahlian yang baru. Anda perlu terus tumbuh secara mental.
Hati yang Tenang dan kebahagiaan Abadi
Dan sesungguhnya kecintannya kepada harta benda berlebihan. (QS. Al-`Adiyat [100]:8)
Kebanyakan orang menganggap sebuah objek sama dengan apa yang dirasakan. Mereka
mempunyai rumus matematika di otak.
Punya barang-barang bagus = emosi yang positif. Banyak orang terkondisi pada pola pikir
semacam ini. Mereka seperti kecanduan narkoba. Mereka keranjingan harta benda karena
mereka berpikir dan percaya bahwa dengan memiliki harta benda yang mahal, mewah, ataupun
cantik adalah sumber kebahagiaan.
Namun, sayangnya, kala suhu di temperatur kebahagiaan mencapai titik balik, merek akan
kembali merana. Merekapun kembali merasa kekurangan. Alhasil mereka ingin terus-menerus
seuatu yang baru yang dapat membuat mereka bahagia..
Kebanyakan orang memiliki kepercayaan yang keliru bahwa Objek = Perasaan. Orang-orang
yang bercahaya Ilahi dengan Spiritual Happiness-nya mempunyai rumusan yang berbeda.
Rumusan mereka adalah : Berkah = Perasaan Positif+Objek.
Sekarang bayangkan : Anda merasa sangat bersyukur dengan karunia Allah Swt. Karena
rasa syukur Anda yang dalam, Allah menambah karunianya. Tiba-tiba anda mersa senang,
gembira, damai, dan terpuaskan. Terlebih lai llah menambah nikmat sehat.
Allah berfirman “sesungguhnya jika kamu merasa bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku
sangat pedih (QS. Ibrahim [14]:7).
Orang-orang yang bercahaya Ilahi dengan spiritual Mindsets-nya memahami hal itu. Mereka
tahu apa yang merka pilih itu yang abadi, misalnya kepandaian dan pengetahuan. Mereka tahu
bahwa perasaan yang posotif tidak muncul dari hal-hal yang berbau keduniawian. Perasaan
positif bersal dari jiwa yang tenang.
Allah Swt. Berfirmn, Wahai jiwa yang ketenangan! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yag ridha dan diridhai-Nya. Maka, masuklah kedalam golongan hamba-Ku. Dan, masuklah
kedalam surga-Ku (QS. Al-Fajr [89]:27-30).
6. Jalan Sederhana Menuju Kebahagiaan
Ketika seseorang mengalami putus asa, sedih, bingung, dan depresi. Ingatlah Tuhanmu dan
dan berpikirlah untuk mencari kebahagiaan.
Mewujudkan kebahagiaan spiritual
Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepedihan kepadamu, tak ada yang dapat
menghilangkannya, selain Dia. Dan, jika Dia mendatangkan kebahagiaan, kepadamu Dia
mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-An`am (6):17).
7. Bahagia dan Agama
Jalan menuju kebahagiaan ada kalanya sukar, tetapi ada kalanya mudah.
Maka tidaklah susah mencapai bahagia – menurut agama – kalau telah tercapai emapat perkara :
a. I`tikad
I`tikad terambil dari bahas Arab, asal katanya ialah `aqada dipindahkan kepada i`tiqada, artinya
ikatan. Kalau telah ber`itiqad artinya hati manusia telah terkait dengan suatu kepercayaan atau
pnedirian.
b. Yakin
Yakin itu lawan dari syak dan ragu-ragu. Keyakinan datang setelah menyelidiki.

c. Iman
Iman artinya percaya, mempercayai dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan perbuatan.
d. Ad-din, dapat diartikan sebagai agama. Arinya yaitu menyembah, menundukkan diri, atau
memuja. Agama menurutahli bahasa yaitu pendirian.
Agama ialah buah atau hasil kepercayaan dalam hati, yaitu ibadah yang terbit lantaran telah ada
I`tikad lebih dahulu, menurut, patuh karena Iman.[7]
Bahagia di jalan agama
Saat ini, ada fenomena banyak orang yang beragama, akan tetapi sebenarnya tidak senang
terhadap agama. Agama dianggapnya usang dan ketinggalan zaman sehingga dia tidak percaya
dan tidak mau mengandalkan Tuhan. Bagi orang seperti ini, agama hanya dijadikan formalitas
belaka dan dijadikan alat untuk menggapai kepentingan jahatnya. Haram dan halal sudah tidak
lagi diperhatikan, yang terpentingan tujuannya tercapai. Kehidupan orang seperti ini sudah pasti
jiwanya sengsara meskipun harta kekayaannya ada. Itu semua bisa terjadi disebabkan dirinya
sudah terkena pengaruh syaitan sehingga dia berpaling dari Tuhan dan setiap langkanya dipenuhi
dengan berbagai kebusukan, kekejian, dan kejahatan.
Bila agama dijadikan alat demi menggapai keuasaan, kepentingan dan memaksakan
kehendak, maka selama itu pula tidak nakan terjadi kedamaian dan tidak mungkin ada rasa aman.
Itu lantaran agama oleh mereka dijadikan sebagai sumber konflik demi kepentingan nafsu
serakahnya. Agama yang sebenarnya merupakan merupakan petunjuk agar kehidupan manusia
ada dalam bahagia, damai, tenang dan penuh rasa aman akan tetapi oleh mereka diaduk-aduk dan
dijungkir-balikkan agar menjadi sangar, brutal, gontok-gontokkan, saling menghujat, dan
menyerang dengan tujuan hendak merusak dan menghancurkan. Begitulah kejamnya manusia
bila sudah berteman dengan syaitan sehingga menghalalkan berbagai cara demi meraih
kepentingan dan kekuasaan.
Allah menyuruh kita agar hidup bahagia dengan cara melaksanakan perintah agama
dengan penuh keimanan di dalam jiwa. Sedangkan syaitan senantiasa berusaha dengan berbagai
cara untuk mempengaruhi manusia agar kehidupannya berada dalam derita dan duka lara. Jadi,
bila saat sekarang ini kehidupan kita senantiasa ada dalam resah gelisah, tersiksa dan menderita
berarti kita sedang mengikuti keinginan syaitan yang hendak menghancurkan. Jika kita tidak
berharap mendapatkan kerugian yang berkepanjangan, maka derita itu mesti kita buang dan kita
ganti dengan melaksanakan perintah Tuhan agar kehidupan kita senantiasa ada dalam keadaan
tenang penuh dengan kesejukan, kedamaian, dan rasa aman.
Keserakahan, keangkuhan, kesombongan, dan kemunafikan kian semakin tampak jelas
terlihat di lingkungan sekitar kita. Merasa dirinya paling benar dan paling pintar pada akhirnya
saling menghujat dan menjelekkan sehingga terjadi permusuhan yang berkepanjangan. Itulah
sesungguhnya cerminan dari kebodohan yang senantiasa dipelihara, pada gilirannya
kesengsaraan dan kehancuran yang didapatkannya. Begitulh keinginan syaitan agar manusia
berada dalam penderitaan dan kerugian. Sedangkan bagi orang yang beriman sudah pasti tidak
mungkin melakukan perbuatan demikian. Dia akan bersifat kasih sayang, memberikan
kedamaian, memperkokoh persatuan, mengkodisikan rasa aman dan penuh dengan rasa toleran.
Begitulah yang semestinya kita lakukan agar kehidupannya sarat dengan kebahagiaan.
Sesungguhnya kita ini tidak terbebas dengan dari kesalahan, pengetahuan kita terbatas
sekali, dan kita ini dhaif (lemah) tidak punya daya dan kuasa apa-apa. Oleh karena itu, tidak
perlu merasa paling benar dan paling pintar sehingga begitu gampangnya menyalahkan,
menghujat, memfitnah dan mengatakan sesat kepada orang yang tidak sepaham pada akhirnya
terjadi keributan. Perilaku yang demikian itu bisa terjadi disebabkan kebodohan, keangkuhan,
kesombongan, dan arogan yang datangnya dari syaitan lantaran jiwanya hampa tanpa adanya
iman kepada Allah yang maha kuasa. Syaitan akan berdalih dengan cara apapun juga untuk
membuat manusia senantiasa berada dalam keributan dan kehancuran. Beda halnya dengan orang
pintar dan benar yang didalam jiwanya bersemayam iman, maka aan tercermin perilaku arif
bijaksana sehingga dia cinta pada kedamaian, kesejukan, kasih sayang, peduli pada orang,
menghargai perbedaan dan toleran.
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh
alam,” (QS al Anbiya[21]:P 107). (QS ash-Shaff [61]:3).
“Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka,” (QS an-Nisa [4]:145).
“sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” [8]
Pintu Kebahagiaan Abadi
Pintu kebahagiaan abadi ialah berbakti kepada orang tua, orang tua memiliki kedudukan
tinggi dalam Islam. Setiap anak memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada orangtuanya.
Kasih saying yang tulus yang di berikan orang tua tidak akan mampu dibayar dengan uang oleh
seorang anak. Karena itu, kasih saying, perhatian, dan pengorbanan orangtua harus dibalas
dengan kebikan, kasih saying, dan pengorbanan serupa, meski tidak sebanding. Islam mengenal
dua macam orang tua yang harus dihormati, yakni orangtua biologis yang telah melahirkan kita
dan orang tua ruhani yang telah menghantarkan kita menuju pengenalan terhadap Allah.[9]

8. Belajar Bahagia dari Sufi


Kita perlu belajar dari para sufi yang telah menemukan kebahagiaan yang langgeng dan
kekal. Bila sudah menguasai ilmunya, dengan rahmat Allah, kita pun akan mendapatkan
kebahagiaan yang sama. Setiap manusia yang bekerja keras dan terus belajar tidak pernah gagal,
maka mereka kadang hanya perlu berubah dan belajar dengan ilmu baru yang lebih efektif.
Para sufi menyerahkan harapan mereka kepada Allah, Mereka berhenti berandai-andai,
misalnya, tentang masa lalu yang bias lebih baik. Mereka bersyukur dengan kehadiran Allah,
sekarang, hari ini, dan detik ini. Mereka berhenti mengharapkan masa depan yang lebih baik.
Mereka berkeyakinan penuh kepada Allah, Raja masa depan. Mereka yakin dan percaya bahwa
selama mereka dekat dengan sang Raja, masa depan yang terbaik telah disiapkan buat mereka.
9. Bahagia Karena Melakukan Kebahagiaan
Sungguh alangkah indahnya kehidupan ini andaikan manusia hidup bersatu untuk saling
berlomba dalam berbuat kebaikan yang dititahkan Tuhan. Hidup saling tolong menolong yang
disadari dengan kasih sayang hingga kehidupan ini akan penuh dengan kedamaian, kesejukan,
dan kebahagiaan. Tidak ada gontok-gontokan, tidak saling menyalahkan, dan tidak cakar-
cakaran akan tetapi kehidupan yang penuh dengan saling toleran. Itu akan terjadi pada manusia
yang arif dan bijaksana karena dia sadar bahwa keyakinan merupakan hak manusia yang paling
mendasar dan masing-masing akan mempertanggungjawabkan kepada Tuhannya. Kita tidak
boleh memaksakan dan saling menyalahkan keyakinan seseorang. Biarkanlah di antara kita
untuk memilih keyakinannya masing-masing demi tercapainya kebahagiaan dirinya. Keyakinan
yang benar itu adalah yang bisa membawa hidup kita bahagia dan bisa memberikan kesejukan
dan kedamaian buat sesama. Jangan sampai terjadi keyakinan diri sendiri belum benar tapi malah
gontok-gontokan, menyalahkan, dan menghujat keyakinan orang. Itu namanya kezhaliman dan
hanya akan membawa pada kehancuran. Yang paling penting memperbaiki diri sendiri dulu agar
menjadi orang benar hingga hidupnya bahagia. Diri sendiri belum benar tapi kenapa malah sibuk
menyalahkan orang.
Bila saja akalnya masih waras, semestinya dia sadar dan banyak bertaubat karena bisanya
hidup selalu susah, tersiksa dan menderita diakibatkan karena kelakuannya yang tidak benar,
banyak salah dan dosa, ya dosa kepada Allah dan zhalim kepada sesama manusia. Kenapa diri
sendiri belum benar tapi sudah menyalahkan dan menghujat orang, sedangkan manusia yang
sudah pasti benar saja tidak suka menghujat dan memfitnah orang, dan malahan mereka itu
mendoakannya. Orang-orang yang gemar menyalahkan, memfitnah dan menghujat sesama itu
sebenarnya mengerjakan titah siapa? Mengerjakan perintah syaitan ataukan perintah Allah?
Sebab kalau perintah Allah menyuruhnya berbuat kebaikan.
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim,” (QS ash-Shaff {61}:7).
“maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka,” (QS ash-
Shaff [61]:5).
“...ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim,” (QS Hud [10]:18).
Semua manusia berharap hidupnya berada dalam bahagia. Tidak ada manusia yang
menginginkan hidupnya menderita. Bila ada manusia yang membuat orang lain hidupnya
menderita maka manusia tersebut sedang kesyaitanan. Sebenarnya adanya perbedaan itu agar
kita bisa saling menyayangi, mencintai, dan menghargai agar terjadi kedamaian. Memang hidup
ini bersaing akan tetapi mestinya dijadikan sarana untuk berlomba dalam berbuat kebaikan pada
akhirnya dunia ini dipenuhi oleh orang-oranfg baik yang cinta pada kedamaian. Sadarilah bahwa
dunia ini bukan milik agama tertentu ataupun milik golongan tertentu, akan tetapi dunia ini milik
kita oleh karenanya ciptakan kesejukan dan kedamaian agar hidup kita menjadi aman dan
nyaman.
“janganlah kamu mengakatan kafir(sesat) kepada sesama orang yang beriman; supaya kafir
(sesat) tidak kembali kepada diri kamu sendiri,” (HR Muslim).
“...maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan,” (QS al-Baqarah [2]: 26).
“...sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orangorang yang berbuat baik,”(QS al-A`raf
[7]: 56).
“maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka memperolleh amunan dan
rezeki yang mulia,” (QS al-Hajj [22]: 50).[10]

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemapamaran di atas dapat disimpulkan bahwa derajat bahagia manusia itu
menurut derajat akalnya, karena akallah yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk.
Bahagia itu sendiri adalah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan Allah dengan
rasa syukur dan keridhoan atas segala yang diberikan oleh Allah.
Kebanyakan orang sebenarnya memiliki alat ukur kebahagiaan untuk mengukur tingkat
kebahagiaan orang itu sendiri, yaitu dirinya sendiri dengan apa yang telah ia miliki atau ia
dapatkan.
Cara-cara mencapai kebahagiaan yaitu dengan menjaga kesehatan badan, bersyukur,
bergembira senantiasa, menghilangkan rasa dengki, bahagia dalam berumah tangga, dan menjaga
keseimbangan dalam hidup.
Beragam sumber kebahagiaan dapat diperoleh. Ia dapat diraih dan dirasakan kapan dan
dimana saja, karena ia tidak mengenal ruang dan waktu. Secara mutlak ia bersumber dari
Allah. Jika seseorang sedang jauh dari kebahagiaan, maka ingatlah Allah. Karena sesungguhnya
Allah adalah sumber kebahagiaan utama.
Jalan mencapai bahagia menurut agama kalau telah tercapai emapat perkara, yaitu i`tikad,
yakin, iman, agama. Kita juga dapat belajar dari para sufi, para sufimenyerahkan harapan mereka
kepada Allah, Mereka berhenti berandai-andai, Mereka merasa cukup dan ikhlas atas kehendak
Allah. Begitulah cara Mereka mendapatkan kebahagiaan.
B. Saran
Demikian makalah ini saya susun, semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi
para pembaca. Saya menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan guna memperbaiki
makalah saya selanjutnya.

[1] Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta : Republika Penerbit. 2015. Hal.11-21


[2] Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas. 1987. Hal.28-29
[3] David Wattimena dan Priatno H. Martokoesoemo. Spiritual Happiness. Bandung : Mizania. 2011. Hlm. 271-272
[4] David Wattimena dan Priatno H. Martokoesoemo. 2011. Hlm.272-274
[5] Hasyim Umar. Memburu Kebahagiaan. Surabaya : Bina Ilmu. 1983. Hlm.145-168
[6] Anwar Sanusi. Jalan Kebahagiaan. Jakarta : Gema Insani. 2006. Hlm.8-10
[7] Hamka. 1987. Hlm. 48-72
[8] Anshori Yusuf. Bahagia di Jalan Agama. Jakarta Selatan : Republika Penerbit. 2013. Hlm.81-86
[9] Shihab Othman. Pintu-pintu Kesalehan. Jakarta : Mizan Publika. 2007. Hlm. 103-106
[10] Anshori Yusuf. Hlm. 187-189

DAFTAR PUSTAKA
Anshori Yusuf. 2013. Bahagia di Jalan Agama. Jakarta Selatan : Republika Penerbit
Hamka. 1987. Tasawuf Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas
Hamka. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta : Republika Penerbit
Hasyim Umar. 1983. Memburu Kebahagiaan. Surabaya : Bina Ilmu
Sanusi Anwar. 2006. Jalan Kebahagiaan. Jakarta : Gema Insani
Shihab Othman. 2007. Pintu-pintu Kesalehan. Jakarta : Mizan Publika
Wattimena, David dan Priatno H. Martokoesoemo. 2011. Spiritual Happiness. Bandung : Mizania

Anda mungkin juga menyukai