Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

Jaundice ec Kolestasis

Oleh :

Dina , S.Ked

NIM. 18309123

Pembimbing :

dr. Hasni Hasan Basri, Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

September, 2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…........................................................................... i

DAFTAR ISI…........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN …............................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3

BAB III LAPORAN KASUS............................................................... 8

BAB IV DISKUSI................................................................................. 9

BAB V PENUTUP............................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan

sklera berwarna kuning, yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan

membrana mukosa, karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga

hiperbilirubinemia. Ikterik terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi bilirubin

dalam darah pada bayi atau anak >5 mg/L. Ikterik terjadi pada 60% bayi cukup

bulan dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama kehidupan. Pada sebagian

besar bayi, kondisi ini merupakan suatu hal yang fisiologis.1

Bila ikterik menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3

minggu pada bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice, yang terdiri

dari prehepatik, hepatik dan post hepatik. Hal ini dapat terjadi pada kurang lebih

15% bayi baru lahir. Membedakan jaundice fisiologis dengan kelainan

hepatobilier merupakan suatu hal yang tidak mudah.2

Kolestasis adalah kondisi dimana terdapat defisiensi aliran kanalikular bilier

yang akirnya menyebabkan akumulasi produk bilier di darah dan organ lain. Pada

praktik, kolestasis ditandai dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi dan atau

peningkatan gamma glutamil transpeptidase (GGT) dan atau alkalin fosfatase

(ALP). Kolestasis didefinisikan jika kadar bilirubin terkonjugasi > 1 mg/dl ketika

total bilirubin < 5 mg/dl atau lebih dari 20% total bilirubin, jika total bilirubin > 5

mg/dl. 3,4

1
Kolestatis pada bayi terjadi pada 1:25.000 kelahiran hidup, insidens

hepatitis neonatal 1:5.000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10.000-13.000,

defisiensi α–1 anti-tripsin 1:20.000. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000

kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki 2:1,

sedangkan pada hepatitis neonatal rasionya terbalik.5

Etiologi bisa disebabkan oleh infeksi sepsis, TORCH (Toxoplasmosis, Sifilis,

Varicella-Zoster, Parvovirus B19, Rubella, Citomegalovirus dan Herpes), bayi dengan

riwayat intrauterine growth restriction (IUGR), apne, prematuritas, eklampsi,

asfiksia, Necrotizing Enterocolitis (NEC), dan malformasi kongenital. Telah

dilaporkan sebuah kasus Jaundice ec Kolestasis pada anak laki-laki berusia 3

bulan yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Ulin Banjarmasin.6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa dan sklera

akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila

kadar bilirubin serum > 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin > 5

mg/dl. Kolestasis adalah hambatan aliran empedu yang menyebabkan

terganggunya sekresi berbagai substansi yang seharusnya dieksresikan ke

duodenum, sehingga bahan-bahan tersebut tertahan di dalam hati dan

menimbulkan kerusakan hepatosit. 7,8

B. Epidemiologi

Kolestatis pada bayi terjadi pada 1:25.000 kelahiran hidup, insidens

hepatitis neonatal 1:5.000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10.000-13.000,

defisiensi α–1 anti-tripsin 1:20.000. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000

kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki 2:1,

sedangkan pada hepatitis neonatal rasionya terbalik.5

Hampir 25-40% penyebab kolestasis adalah atresi bilier. Atresia bilier biasanya

teridentifikasi 3 bulan pertama kehidupan. Prevalensinya berbeda-beda setiap negara,

di Taiwan 1 : 6000 kelahiran hidup, Amerika Serikat 1 : 12.000 kelahiran hidup, dan

Eropa 1 : 18.000 kelahiran hidup. Terdapat 3 klasifikasi atresia bilier yaitu

nonsindrom 84%, atresia bilier dengan 1 malformasi seperti situs inversus 6%, defek

lateral 10%. Pada pasien atresia bilier juga terdapat kelainan pada spleen. Sedangkan

3
25 % penyebab sisa dari kolestasis adalah genetik, infeksi virus, racun, inflamasi

kronik dan penyakit autoimun.

C. Etiologi

Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi

karena peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated

hyperbilirubinemia) dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).

Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau

kolestasis secara umum diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan

intrahepatik serta kelainan ekstrahepatik.

Ekstrahepatik

- Atresia biliaris

- Hipoplasia biliaris

- Stenosis duktus biliaris

- Anomalies choledochopancreaticoductal junction

- Perforasi spontan duktus biliaris

- Massa (neoplasma, batu)

Intrahepatik

Idiopatik

a. Hepatitis neonatal idiopatik

b. Kolestasis intrahepatik persisten

- Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile)

- Byler’s disease

4
- Trihydroxycoprostanic academia

- Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)

- Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts

- Disfungsi mikrofilamen

c. Kolestasis intrahepatik rekurens

- Familiar benign recurrent cholestasis

- Kolestasis herediter dengan limfedema

Anatomi

a. Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal

b. Caroli’s disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik)

Gangguan Metabolisme

a. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin dan hipermetionin

b. Gangguan metabolisme lemak

- Wolman’s disease

- Niemann-Pick disease

- Gauchers’s disease

c. Gangguan metabolisme karbohidrat

- Galaktosemia

- Fruktosemia

- Glikogenosis IV

d. Gangguan metabolisme asam empedu

- 3β-hidroksisteroid dehidrogenase/isomerase

- 4-3 oksosteroid 5β-reduktase

5
e. Gangguan metabolik yang tidak khas

- Defisensi alfa-1 antitripsin

- Fibrosis Kistik

- Hipopituarisme idiopatik

- Hipotiroid

- Neonatal iron storage disease

- Infantile copper overload

- Multiple acyl-coA dehydrogenation deficiency

- Familiar erytrophagocytic lymphohistiocytosis

Hepatitis

a. Infeksi (hepatitis pada neonatus)

- Cytomegalovirus (CMV)

- Virus hepatitis B

- Virus Rubela

- Reovirus tipe 3

- Virus herpes

- Virus varisela

- Coxsackievirus

- Echovirus

- Parvovirus B19

- Toksoplasmosis

- Sifilis

- Tuberkulosis

6
- Listeriosis

b. Toksik

- Kolestasis akibat nutrisi perenteral

- Sepsis

Gangguan genetik atau kromosom

a. Trisomi E

b. Sindrom Down

c. Sindrom Donahue

Lain-lain

a. Histiositosis X

b. Syok atau hiperperfusi

c. Obstruksi intestinal

d. Sindrom polisplenia

e. Lupus neonatal

D. Patofisiologi

Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir. Jaundice harus

diwaspadai sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis,

tetapi jaundice fisiologis pun tetap merupakan suatu tanda gangguan metabolisme

bilirubin. Prolonged jaundice, seharusnya tidak dianggap sebagai kondisi

fisiologis sampai terbukti sebaliknya.Ikterus dapat terjadi karena:

1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan

2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati

7
3. Defek konjugasi bilirubin

4. Penurunan ekskresi bilirubin

5. Gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi yang

berlebihan dan penurunan sekresi

Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek

pengambilan, dan konjugasi bilirubin akan menghasilkan peningkatan biliribin

tidak terkonjugasi. Penurunan ekskresi bilirubin akan meningkatkan kadar

bilirubin terkonjugasi atau disebut juga kolestasis. Bila mekanismenya bersifat

campuran, akan terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi maupun tidak

terkonjugasi.

Gambar 1. Mekanisme distribusi bilirubin

8
E. Diagnosis

Beberapa kondisi jaundice pada neonatus yang harus waspadai sebagai non

fisiologis jaundice, yaitu:

1. Jaundice yang terjadi sebelum usia 24 jam

2. Peningkatan bilirubin serum yang sangat tinggi sehingga memerlukan

fototerapi

3. Peningkatan bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam

4. Tanda-tanda penyakit dasar yang meyertai (muntah, letargis, malas menetek,

apnea, takipnea, kehilangan berat badan yang ekstrem, atau suhu yang tidak

stabil)

Dalam menentukan diagnostik kolestasis yang paling penting adalah

menetapkan apakah intrahepatik atau ekstrahepatik, terutama atresia biliar yang

prognosisnya tergantung usia pada saat dioperasi. Pada usia kurang 8 minggu

angka keberhasilan bisa mencapai 80%, sedangkan setelah 12 minggu angka

keberhasilan tinggal 20% karena telah terjadi sirosis. Membedakannya dengan

kolestasis intrahepatik tidaklah mudah, karena semua bentuk kolestasis

menimbulkan sindrom klinis ikterik yang sama, yaitu disertai pruritus,

peningkatan transaminase dan alkali fosfatase dan gangguan ekskresi zat warna

kolesistografi.

Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk membedakan kolestasis

intrahepatik dengan ekstrahepatik, namun tidak ada cara yang dapat digunakan

secra tunggal dengan akuarasi diagnostik 100%, oleh karena itu memerlukan

anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat dan pemeriksaan penunjang yang

9
memadai.

Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan

riwayat mulai timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang

menyeluruh dan bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk

menyingkirkan kolestasis hepatik akibat kelainan genetik atau metabolik.

Demikian pula mengenai riwayat morbitias ibu selama kehamilan, misalnya

infeksi Toksoplasma, others, rubela, cytomegalovirus dan Herpes (TORCH),

hepatitis B serta infeksi lainnya dan riwayat kelahiran (adanya infeksi

intrapartum, berat lahir), riwayat pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah

serta penggunaan obat hepatotoksik.

Pemeriksaan fisis penderita kolestasis harus mencakup berat badan, tinggi

badan dan lingkar kepala, selain pemeriksaan abdomen yang mencakup lingkar

perut, hati, limpa serta adanya massa atau asites. Walaupun etiologi kolestasis

sangat beragam, terdapat beberapa gambaran klinis yang dapat memberi petunjuk

kolestasis tersebut, apakah suatu kelainan intrahepatik atau ekstrahepatik.

Misalnya bayi kolestasis yang disertai gejala muntah dan riwayat hipoglikemia

harus dicurigai kemungkinan sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa atau

tirosinemia. Contoh lainnya adalah kecurigaan sindrom paucity duktus biliaris

intrahepatik (sindrom Alagille) sebagai penyebab kolestasis bila ditemukan danya

defek vertebra dan kardiovaskular serta peningkatan trigliserida. Selain itu,

keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik biasanya lebih berat dan mungkin

disertai dengan kelainan non hepatik seperti katarak, kalsifikasi intrakranial,

wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya, sedangkan penderita

10
kolestasis ekstrahepatik bisanya memiliki keadaan umum yang baik. Tetapi atresia

biliaris mungkin disertai dengan levokardia, atresia intestinal dan sindrom Turner.

Selain pengamatan di atas, juga dapat dilakukan pengamatan warna tinja

harian dengan mengumpulkan tinja 3 porsi (porsi pertama antara jam 06.00 –

14.00) porsi kedua jam 14.00– 22.00, dan porsi ketiga antara jam 22.00 – 06.00)

dalam wadah yang transparan dan disimpan di dalam kantong plastik yang

berwarna gelap. Tindakan ini dapat digunakan sebagai penyaring tahap pertama,

karena kolestasis ekstrahepatik terutama atresia biliaris hampir selalu

menyebabkan tinja yang akolis pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi tinja tetap

berwarna dempul selama beberapa hari, maka kemungkinan besar adalah

kolestasis ekstra hepatik (atresia biliaris). Pada kolestasis intrahepatik, warna tinja

kuning atau dempul berfluktuasi dan pada keadaan lanjut tinja dapat pula seperti

dempul terus-menerus.

PEMERIKSAAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Pencitraan

Biopsi hati

Pemeriksaan laboratorium

Kadar bilirubin

Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia

Fungsi hati : transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase

(γGT), alkali fosfatase (AF), Waktu protombin dan tromboplastin

Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam

11
empedu serum dan urin serta asam empedu dalam tinja.

Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau >

800 U/L terutama yang disertai peningkatan γGT yang kurang dari 5 x normal,

lebih mendukung SGPT kurang dari 5 x nilai normal dengan peningkatan γGT

lebih dari 5 x normal atau > 600 U/L, lebih mengarah kepada atresia biliaris atau

obstruksi duktus biliaris lainnya.

Bila AF tinggi dan γGT rendah (< 100 U/L), penderita mungkin mengidap

suatu kolestasis familial progesif atau gangguan sintesis garam empedu. Dengan

cara pemeriksaaan spektrometri terhadap urin penderita. Kelainan metabolisme

asam empedu seperti defisiensi 3-β- hidroksisteroid-dehidrogenase/isomerase

yang bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat dapat dideteksi pula.

Pemeriksaan lain yang dilakukan pada kecurigaan kolestasis intrahepatik

adalah pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi TORCH, petanda hepatitis

B (bayi dan ibu) dan kadar a-1-antitripsin serta fenotipenya. Sementara

pemeriksaan khusus seperti hormon tiroid, asam amino serum dan urin, kultur

darah dan urin, zat reduktor dalam urin, galaktosa-1 fosfat uridil-transferase, uji

klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila

ada gejala klinis lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.

Pemeriksaan oftalmologis dilakukan pada kolestasis intrahepatik untuk

mencari korioretinitis (infeksi CMV, toksoplasmosis, rubela), embriotokson

posterior (pada sindrom Alagille), katarak (pada galaktosemia) atau cherry-red

spot (pada lipid storage disease).

12
Utrasonografi

Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk skrining

kolestasis pada bayi. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan pada semua penderita

kolestasis karena tekniknya sederhana dan non invasif. Melalui USG ini kista

(duktus koledokus atau intrahepatik), batu kandung empedu atau biliary sludge

akibat nutrisi parenteral atau penyakit hemolitik serta tumor dapat dideteksi.

Untuk kista duktus koledokus dan batu, akurasi pemeriksaan ini mencapai

90−95%. Tetapi untuk biliary sludge atau inspissated bile akurasinya buruk. Pada

pemeriksaan USG juga dapat diukur panjang dan kontraktilitas gall bladder. Pada

atresia biliaris dapat ditemukan panjang gall bladder <1,5 cm, kolaps, tidak

berlumen, atau bahkan gall bladder tidak terlihat sama sekali. Selain itu, pada

atresia biliaris didapatkan nilai kontraktilitas gall bladder rendah atau tidak

terdapat kontraktilitas sama sekali. Pemeriksaan ini dilakukan setelah penderita

dipuasakan minimal 3-4 jam dan diulang kembali setelah bayi minum. Akurasi

diagnostik pemeriksaan USG ini untuk kolestasis hanya 80%. Namun dengan

USG dapat ditemukan gambaran Triangular cord sign (gambaran masa fibrotik

membentuk kerucut atau tubular pada bagian cranial dan bifurkasio vena porta)

yang kelainan hepatoselular (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya bila peningkatan

SGOT atau sangat membantu untuk mendiagnosis atresia biliaris. Triangular cord

sign dengan ketebalan > 4 mm dengan memberikan kepastian diagnosa atresia

biliaris dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 100%.

13
Scintigraphy

Disida Tc99m (Tc99m yang berikatan dengan 2.6-diisopropyliminodiacetic

acid) adalah radioisotope yang paling sering digunakan pada pemeriksaan

cholestasis jaundice karena memiliki waktu paruh yang pendek, konsentrasi yang

tinggi di dalam hepar, dan dieksresikan melalui hepar dan ginjal. Disida Tc99m

tidak boleh dilakukan bila kadar blirubin direk >20mg/dl. Satu minggu sebelum

pemeriksaan, penderita diberikan phenobarbital oral dengan dosis 5-10mg/kg/hari

dibagi menjadi 2 dosis. Bila terdapat ekskresi isotope pada usus halus dalam 24

jam setelah pemeriksaan, menunjukkan patensi dari sistem duktus biliaris. Hasil

scan yang negatif belum pasti dapat menyingkirkan penyebab kolestatsis jaundice

lainnya, karena sekitar 40% penderita dengan hepatitis neonatal yang lanjut

menunjukkan hasil scan yang negatif akibat terjadinya disfungsi hepar, oleh

karena itu pemeriksaan scintigraphy dapat diulang 2 minggu kemudian. Hasil

penelitian menunjukkan penggunaan dicida untuk diagnosa atresia biliaris

menghasilkan sensitivitas 100% dan spesifitas 43%.

Cholangiography

Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan diatas

diagnosis masih meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat

dilakukan untuk memastikan diagnosis prolonged jaundiced, terutama untuk

memastikan adanya atresia biliaris, yaitu :

1. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP adalah endoskopi ke duktus biliaris melalui ampula vateri, dengan

14
memasukkan kontras untuk memvisualisasikan duktus biliaris. Sensitivitas dan

spesifitasnya 100%. Namun ERCP memerlukan general anestesia dan merupakan

pemeriksaan operator dependen, yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman

klinis. Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan

rutin.

2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi

100%. Namun pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia.

Diperlukan keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP

pada anak. Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai

pemeriksaan rutin.

3. Intraoperative Cholangiography (IOC)

Langkah akhir untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan

laparotomy diagnostik dengan persiapan intraoperative cholangiography (IOC),

wedge biopsy hepar, dan jika atresia biliaris ditemukan maka dilakukan Kasai

prosedur (portoenterostomy).

Biopsi hepar

Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan cholestasis jaundice

antara intrahepatik dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda

cholestasis ekstrahepatik walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik

terhadap atresia biliaris yaitu proliferasi duktus pada porta hepatis, thrombus di

daerah porta hepatis, proses inflamasi dan fibrosis pada porta hepatis, dan

15
lymphedema. Biopsi hepar memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.

Gambar 2. Algoritma diagnosis jaundice pada neonatal

F. Tatalaksana

Penatalaksanaan kolestasis terdiri dari tindakan operatif dan pemberian obat

obatan dengan tujuan mengatasi etiologi, meningkatkan aliran empedu,

melindungi hepatosit, mengurangi absorpsi lemak, mencegah dan mengatasi

komplikasi di luar sistem hepatobilier serta mempertahankan tumbuh kembang

bayi seoptimal mungkin dengan cara pemberian nutrisi dan suplemen/vitamin

yang larut dalam lemak.

Terapi operatif dilakukan pada kolestasis ekstrahepatik, misalnya

portoenterostomi pada atresia biliaris ekstrahepatik. Penggunaan obat-obatan pada

16
kolestasis terbagi menjadi 2 yaitu: sebagai terapi spesifik pada tipe intrahepatik

dan terapi suportif pada semua jenis kolestasis.

Obat-obatan untuk mengatasi etiologi kolestasis

1. Obat-obatan yang sering digunakan adalah untuk infeksi toksoplasma yaitu

pirimetamin, sulfadiazin, asam folinik dan spiramisin.

a. Pirimetamin

Dosis yang diberikan 2 mg/kgbb/hari (maksimum 50 mg/hr) diberikan

selama 2 hari pertama selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgbb/hr selama 6

bulan, kemudian 1mg/kgBB/hari diberikan selang sehari sampai 1 tahun. Efek

samping yang sering terjadi adalah anemia defisiensi asam folat.

b. Sulfadiazin

Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 1 tahun.

Sulfadiazin diekskresikan dengan cepat melalui ginjal dan dapat menimbulkan

kristaluria sehingga pada pemberian sulfadiazine harus selalu dilakukan

pemantauan terhadap diuresis. Pemberian sulfadiazin dan pirimetamin

mempunyai efek sinergisme.

c. Asam Folat (Kalsium Leukovorin)

Dosis 5-10 mg/kgbb/hari, 3 x perminggu untuk mencegah toksisitas

pirimetamin.

2. Obat yang digunakan adalah untuk infeksi sitomegalovirus adalah gansiklovir.

Gansiklovir adalah obat antiviral yang banyak mempunyai kesamaan dengan

asiklovir, hanya berbeda dengan adanya gugus hidroksimetil tambahan. Cara

17
pemberian terbagi menjadi terapi induksi dan pemeliharaan. Pada dosis induksi

diberikan 5mg/kgBB/hari setiap 12 jam intravena dalam 3 minggu. Dosis

pemeliharaan diberikan 5mg/kgBB/hari intravena sehari sekali. Efek samping obat

ini adalah supresi sumsum tulang, neutropenia terjadi pada sekitar 15-40% kasus

dan trombositopenia terjadi pada sekitar 5-20%. Neutropenia sering terjadi pada

minggu kedua terapi dan biasanya reversibel dalam 1 minggu setelah obat

dihentikan. Efek samping lain adalah gangguan fungsi ginjal, dan pada sistem

saraf pusat yaitu sekitar 5-15%. Gejalanya dapat berupa sakit kepala, perubahan

tingkah laku, kejang, sampai koma.

Obat-obatan Suportif

Akhir-akhir ini obat yang sering untuk terapi suportif adalah

ursodeoxycholic acid (UDCA). Ursodeoxycholic acid (3α, 7β-dihidroksi-5β-

cholanic acid) merupakan asam empedu yang terbentuk secara alami, secara

normal terdapat pada 1-2% asam empedu manusia. Ursodeoxycholic acid

merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di hepar dari 7

ketolithicolic acid, yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam

kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus.

Asam Ursodeoksikolat bekerja dengan cara :

1. Merubah Pool Asam Empedu

Pada manusia, asam empedu terutama terdiri dari 38-54% AKDK, 26-39%

asam kolat (AK) dan 16-33% asam deoksikolat; UDCA dan asam litokolat (LK)

didapatkan hanya dalam jumlah kecil (0,1-5%). Kecuali UDCA, semua asam

18
empedu bersifat toksis terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi

hambatan aliran empedu ke usus, asam empedu tersebut akan merusak hati yang

bila berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan

UDCA terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara

AKDK, asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang

peranan penting dalam pengobatan kolestasis.

2. Proteksi hepatosit dan kolangiosit

Asam empedu toksik mempunyai efek merusak membran sel dengan cara

meningkatkan polaritas pada bagian apolar membran hepatosit dan kolangiosit.

Ursodeoxycholic acid secara kompetitif akan berikatan dengan bagian apolar

membran tersebut, sehingga efek yang ditimbulkan oleh asam empedu toksik

dapat dikurangi.

Asam empedu toksik juga merusak sel dengan cara membuka pori-pori

protein pada membran mitokondria bagian dalam dan mengakibatkan peningkatan

permeabilitas mitokondria, sehingga terjadi kerusakan membran potensial dan

pembengkakan mitokondria. Ursodeoxycholic acid akan mengubah stuktur dan

komposisi miscelles yang terbentuk ini bersifat protektif terhadap hepatosit

maupun kolangiosit.

3. Efek Imunomodulator

Pada kolestasis terjadi peningkatan ekspresi major histocompability

complex (MHC) kelas I dan II yang berakibat terjadinya dekstrusi sel oleh limfosit

Sitotoksik. Ursodeoxycholic acid bekerja mengurangi ekspresi kelas I dan II

tersebut.

19
4. Meningkatkan Sekresi Hepatobilier

Mekanisme retensi asam empedu antara lain disebabkan oleh gangguan

sekresi bikarbonat di kolangiosit. Pemberian UDCA akan meningkatkan kalsium

intraselular yang akan mengaktifkan kanal klorida ini kemudian akan

meningkatkan sekresi bikarbonat ke saluran biliaris.

Dosis pemberian UDCA bervariasi, 10-16 mg/kgbb/hari dibagi 3

dosis.30,32,33 Efek samping UDCA yang pernah dilaporkan adalah diare, mual

dan muntah.

Nutrisi

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis

(lebih dari 60%). Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada

lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka

pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi untuk menjaga

tumbuh kembang bayi, serta vitamin, mineral dan trace element:

a. Formula Medium chain triglyceride (MCT) karena relative larut dalam air

sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi.

b. Kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 2-3g/kgbb/hari.

c. Vitamin yang larut dalam lemak:

- A : 5000-25000 U/hari

- D3 : calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari

- E : 25-50 IU/kgbb/hari

- K1 : 2,5-5mg/2-7x/minggu

20
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Selenium dan Fe.

Gambar 3. Algoritma tatalaksana jaundice neonatal

21
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. MG

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal Lahir : Banjarmasin, 30 Mei 2019

Umur : 3 bulan

B. Identitas Orangtua

Nama ayah : Tn. JS Nama ibu : Ny. HA


Usia : 31 th Usia : 18 th
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Landasan Ulin Banjarmasin

II. ANAMNESIS

Kiriman dari : Rujukan Spesialis Anak

Diagnosis : Jaundice

Aloanamnesis dengan : Orang tua pasien

Tanggal/jam : 27 Agustus 2019/ 06.00 WITA

Masuk rumah sakit tanggal : 27 Agustus 2019

1. Keluhan Utama

Badan kuning

2. Riwayat Penyakit Sekarang

22
Orang tua pasien mengeluhkan anaknya terlihat kuning sejak 1 minggu

setelah lahir. Awalnya kuning di mata kemudian meluas ke wajah dan badan. Ibu

mengatakan anaknya tidak pernah dibawa berobat karena mengira kuningnya akan

membaik tapi ternyata tidak. BAB anak berwarna kuning pucat sejak usia 1

minggu, tidak berdarah dan tidak berbau amis. Demam disangkal, perdarahan

disangkal, mual muntah juga disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Hal serupa tidak pernah dialami, anak tidak pernah dirawat di rumah sakit
4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal : Ibu dengan P1A0 rutin pemeriksaan Antenatal Care (ANC)

di puskesmas, sebanyak 6 kali ibu melakukan ANC.

Tidak ada keluhan saat kehamilan, tidak ada penyakit

serius yang diderita ibu, serta pengakuan ibu tidak ada

obat obat yang dikonsumsi selain pemberian dari

puskesmas. Ibu tidak ada memelihara kucing ataupun

hewan lainnya di rumah.

Riwayat Natal :

Spontan/tidak spontan : Spontan

Nilai APGAR : Menangis kuat

Berat badan lahir : 2700 gram

Panjang badan lahir : 48 cm

Lingkar kepala : Ibu lupa

23
Penolong : Dokter

Tempat : Rumah Sakit

5. Riwayat Neonatal

Anak kejang disangkal, rawat inkubator juga disangkal. Anak tidak pernah di

rawat di NICU dan terpapar oksigen kadar tinggi.

6. Riwayat Perkembangan

Tiarap :-

Merangkak : -

Duduk :-

Berdiri :-

Berjalan :-

Saat ini : sudah bisa mengangkat kepala

7.Riwayat Imunisasi :

Dasar Ulangan
Nama
(umur dalam bulan) (Umur dalam bulan)
BCG 2 -
Polio 2 | - | - | - -
Hepatitis B 0 | - | - | - -
DPT - | - | - -
Campak - -

8. Makanan (Tulis jenis/kualitas, kuantitas, dan umur)

Sejak lahir anak minum ASI dan dicampur susu formula. Pemberian ASI

sering, dan susu formula sebanyak 3-4 kali sehari.

9. Riwayat Penyakit Keluarga

Iktisar Keturunan :

24
Ket :

: Perempuan : Laki-laki
: Pasien

Susunan Keluarga

Jelaskan : Sehat, Sakit (apa)


No. Nama Umur L/P
Meninggal (umur,sebab)
1. Tn. JS 31 tahun L Sehat

2. Ny. HA 18 tahun P Sehat

3. An. MG 3 bulan L Sakit

9. Riwayat Sosial Lingkungan

Pasien tinggal di kawasan padat penduduk dan tinggal bersama orang tua.

Sumber air untuk keperluan sehari-hari menggunakan air PDAM. WC dan kamar

mandi terletak di dalam rumah.

I. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 27 Agustus 2019)

1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4 V5 M6

25
2. Pengukuran

Tanda vital : Nadi : 128 x/menit, kualitas : reguler, kuat angkat

Suhu : 36.6°C,

SPO2 : 99% tanpa O2

Respirasi : 30 x/menit

Berat badan : 5,5 kg

Panjang/tinggi badan : 59 cm

3. Kulit : Warna : Kuning

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Lembab

Pucat : (-)

Lain-lain : ptekie (-), hematom (-)

4. Kepala : Bentuk : Normocefali

UUB : Datar

UUK : Datar

Lain-lain : (-)

Rambut : Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tipis

Distribusi : Normal

Alopesia : -

Lain-lain : -

26
Mata : Palpebra : Simetris, edema (-)

Alis dan bulu mata : Distribusi merata, tidak mudah dicabut

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (+/+)

Produksi air mata : normal

Pupil : Diameter : 3 mm / 3 mm

Simetris : +/+

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih / jernih

Telinga : Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernafasan Cuping Hidung : Tidak ada

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut : Bentuk : Simetris

Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)

Gusi : Tidak mudah berdarah

Lidah : Bentuk : Simetris

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor

27
Kotor/tidak : Tidak kotor

Warna : Merah muda

Faring : Hiperemi : Tidak ada

Edem : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

Tonsil : Warna : merah muda

Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

1. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : Tidak teraba

Tekanan : Tidak terdapat peningkatan JVP

Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Massa : Tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

1. Toraks :
a. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk : Simetris (+/+)

Retraksi : Tidak ada

Dispnea : Tidak ada

Pernafasan : Thoraco-abdominal Palpasi

: Fremitus fokal : Simetris kanan dan

kiri

28
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Vesikuler

Suara Tambahan : Tidak ada, rh (-) wh (-)

b. Jantung

Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Teraba di ICS V LMCS

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS II LPS (d) – ICS V LPS (d)

Batas kiri : ICS V LMCS

Batas atas : ICS II LPS (d) – ICS II LPS (s)

Auskultasi : Murmur (-)

1. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : cembung, distensi

Lain-lain : Venektasi vena (+), hematom (-)

Spider nevi (-), petekie (-), hernia

umbilikalis (+)

Palpasi : Hati : Tidak ada pembesaran hepar, margo

hepatis licin, permukaan tidak berdugul.

Lien : Tidak ada splenomegali

Ginjal : Tidak ada nyeri ketok ginjal

Massa : Tidak ada di seluruh region abdomen

Perkusi : Timpani/pekak : Pekak

Auskultasi : Bising usus (+) normal

29
8. Ekstremitas :

Umum : Ekstremitas atas : Akral hangat (+),parese (-), edema (-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat (+),parese (-), edema (-)

Neurologis :

Lengan Tungkai
Tanda Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Refleks ++/++ ++/++ ++/++ ++/++
Fisiologis
Refleks - - - -
patologis
Sensibilitas +(baik) +(baik) + (baik) +(baik)
Tanda - - - -
meningeal

9. Susunan Saraf : N.Kranialis I-XII normal

10. Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan

11. Anus : Ada, tidak ada kelainan

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 26 Agustus 2019


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.7 11.0-14.0 g/dl
Leukosit 15.7* 4.00-10.5 ribu/ul
Eritrosit 3.99* 4.40-5.50 juta/ul

30
Hematokrit 33.6* 44.00-64.00 vol%
Trombosit 198 150-450 ribu/ul
RDW-CV 15.8 12.1-14.0 %
KIMIA DARAH
SGOT 511* 5-34 U/l
SGPT 249* 0-55 U/l
ALP 801* 245-768 U/l
Bilirubin Total 6.85* < 1.0 Mg/dl
Bilirubin Direk 4.08* < 0.25 Mg/dl
Bilirbun Indirek 2.27* <0.75 Mg/dl

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 27 Agustus 2019


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hasil PT 72.5 9.9-13.5 Detik
INR 7.67 Detik
Kontrol Normal PT 10.8
Hasil APTT 62.9 22.2-37.0 Detik
Kontrol Normal APTT 24.8
KIMIA DARAH
Ureum 10 0-50 Mg/dl
Kreatinin 0.04 0.72-1.25 Mg/dl

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen 27 Agustus 2019


- USG Abdomen
Hepatosplenomegali non spesifik

Tak tampak pembesaran KGB paraaorta

USG kandung empedu, pankreas, ren, buli tak tampak kelainan

31
RESUME

Nama : An. MG

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 3 bulan

Berat badan : 5.5 kg

32
Keluhan Utama : Badan kuning

Uraian :

Orang tua mengatakan badan anaknya menguning sejak usia 1 minggu,

awalnya di mata, lalu menyebar ke wajah dan badan. Ibu tidak membawa

berobat, karena yakin akan sembuh sendiri. BAB kuning pucat, tidak ada

darah, tidak bau amis, perdarahan disangkal. RPD (-) RPK (-)

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Denyut Nadi : 128 kali/menit kualitas : reguler, kuat angkat

Pernafasan : 30 kali/menit

Suhu : 36.7 °C

Kulit : Kuning langsat, ikterik (+), pucat (-)

Kepala : Normal

Mata : Konjungtiva anemis (-), ikterik (+/+)

Telinga : Normal

Hidung : Normal

Mulut : Normal

Toraks/Paru : Normal

Jantung : Normal

Abdomen : Hernia umbilikalis, venektasi (+)

Ekstremitas : Normal

Susunan saraf : Normal

Genitalia : Laki-laki

33
Anus : Normal

DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja : Jaundice ec Kolestasis

PENATALAKSAAN

- Venflont
- Urdahex 2x50 mg
- Vitamin K 1x1/2 tab
- Avialis 1x0.5 ml

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Follow up

Tgl (Agustus) 27 28 29
Subjektif
Pucat - - -
Kuning + < <
Demam - - -
Perdarahan - - -
Mual/muntah - - -
Batuk/pilek +/- </- </-
Minum Asi + + +
BAB/BAK +/+ +/+ +/+
Keluhan lain - - -

34
Objektif
Kesadaran CM CM CM
CRT (detik) < 3” < 3” < 3”
HR (x/m) 128 120 122
RR (x/m) 30 32 40
T (oC) 36.7 36.9 37.3
SpO2 (%) 99 99 98
Kulit ikterik + < <
Sklera ikterik + + +
Thorax : Rh/Wh -/- -/- -/-
Abdomen : +/+ +/+ +/+
supel/ BU
Extremitas + + +
hangat
Assesment
Jaundice ec Kolestasis
DD Kolelitiasis
Planning
Venflont
Urdahex 2x50 mg
Vitamin K 1x1/2 tab
Avialis 1x0.5 ml

Cek fungsi
tiroid
Cek TORCH
Cer urin rutin

35
BAB IV

PEMBAHASAN

Telah

36
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Elias E. Jaundice and cholestasis. Dalam: Dooley JS, Lok A, Burroughs AK,
Heathcote EJ, editor. Sherlock's dissease of the liver and billiary system. Edisi
ke-12: Blackwell Publishing, 2011. hlm. 234−56.

2. Tyler W, Mckiernan PJ. Prolonged jaundice in the preterm infant−what to do,


when and why. Curr Pediatr. 2006;16:43−50.

3. Fischler B, Lamireau T. Cholestasis in the newborn and infant. Clin Res


Hepatol Gastroenterol. 2014;38(3):263-7.

4. Feldman AG, Sokol RJ. Neonatal Cholestasis. NeoReviews. 2013;14(2).

5. Hasan HA, Balistneri W. Neonatal cholestasis. Dalam: Kliegman RM,


Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi 18. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007; p.1668-72.

6. Gotze T, Blessing H, Grillhosl C, Gerner P, Hoerning A. Neonatal Cholestasis


Differential Diagnoses, Current Diagnostic Procedures, and Treatment. Front
Pediatr. 2015;3:43.

49

Anda mungkin juga menyukai