Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS IGD DOKTER INTERNSHIP

SEORANG PRIA 58 TAHUN DENGAN ASMA BRONKIALE SERANGAN BERAT DAN


IMPENDING GAGAL NAPAS

Disusun Oleh :
dr. Astrid Vivianni

Pendamping :
dr. Joko Arif Kurniawan

dr. Widiatmoko

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR LOEKMONO HADI KUDUS

2019
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
No rekam medik : 808265
Inisial pasien : Tn. H
Usia : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Panjunan Wetan 03/01 Kota Kudus
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Tanggal masuk IGD : 6 Juni 2019

B. Data Klinis Pasien


1. Anamnesis
Keluhan utama : sesak napas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan sesak napas sangat berat beberapa saat sebelum masuk rumah
sakit yang tidak membaik dengan obat asma hirup yang dimilikinya. Dada terasa
seperti diikat dan keluar keringat dingin. Pasien memiliki riwayat penyakit asma dan
hampir setiap hari mengalami serangan namun biasanya membaik dengan obat hirup
ataupun dengan pengasapan (nebulisasi). Sesak terutama timbul saat terpapar udara
dingin. Batuk disangkal. Serangan sesak kali ini dirasa yang terberat yang pernah
dialami pasien.
Riwayat merokok (-).
Riwayat penyakit dahulu : Asma (+), DM (-), alergi obat (-)
Riwayat penyakit keluarga : DM (-), HT (-), keluarga dengan keluhan serupa (-)

2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : gelisah, tampak sesak, posisi pasien duduk membungkuk ke
depan, bicara tiap suku kata, keringat dingin
Kesadaran : composmentis
Tanda vital :
Tekanan Darah : 200/110 mmHg
Heart Rate : 120 x/menit
Respiratory Rate : 34 x/menit
Suhu : 36.5 °C
Saturasi Oksigen : 89%
GDS : 185 mg/dL
Kulit : akral dingin, sianosis
Mata : konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : discharge (-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : retraksi dinding dada +/+, penggunaan otot bantu napas (+)
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : wheezing +/+ di seluruh lapang paru
Cor
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba setinggi SIC V 2 cm lateral LMCS
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II murni reguler
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih(-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium :
 Hemoglobin : 17.1 g/dL
 Eritrosit : 5.53 juta/uL
 Hematokrit : 53 %
 Trombosit : 253 ribu/uL
 Leukosit : 16.2 ribu/uL (↑)
 HBsAg : negatif
 Anti HCV : negatif
 Anti HIV : non reaktif
 Kalium : 3.9 mmol/L
 Natrium : 142 mmol/L
 Chlorida : 104 mmol/L
 Ureum : 18.4 mg/dL
 Creatinin : 1.0 mg/dL
 SGOT : 28 U/L
 SGPT : 28 U/L

C. Diagnosis
Dyspneu ec asma bronkhiale persisten sedang serangan berat dengan impending gagal
napas
D. Tatalaksana
 Saturasi 89%:
 Nebul ventolin + pulmicort + bisolvon 20 tetes
 O2 nasal canul 3 lpm
 Apneu  Saturasi 37% :
 Ventilasi tekanan positif
 Midazolam 1 ampul
 Intubasi  Saturasi 100%  RR kembali spontan
 Konsul SpP :
 Injeksi Metilprednisolon 1 ampul IV ekstra
 Injeksi Aminofilin 1 ampul bolus pelan dalam 20 menit  lanjut SP Aminofilin 0.6
mg/kgBB/jam
 Injeksi Ceftazidim 3x1 gram
 Nebul combivent 1 resp + pulmicort 2 resp / 4 jam
 MgSO4 20% 2 gram dioplos dalam D5% habiskan dalam 30 menit
 Rontgen thorax
 Pindah rawat ICU
 Cek DR, EKG, GDS, elektrolit, SGOT, SGPT, Ur, Cr, skrining

E. Edukasi pasien dan keluarga


 Memberikan informasi kepada keluarga bahwa pasien mengalami gagal napas dan
membutuhkan bantuan peralatan yang lebih lengkap di ruang ICU untuk pengawasan
dan bantuan pernapasan yang lebih memadai.
 Gagal napas yang terjadi pada pasien disebabkan oleh serangan asma yang sangat berat
sehingga saluran napas pasien mengalami pembengkakan dan penyempitan yang tidak
dapat diatasi hanya dengan terapi pengasapan (nebulisasi) melainkan harus dibantu
dengan pemasangan selang bantu pernapasan.
 Pemasangan selang bantu pernapasan mutlak dibutuhkan untuk menjaga patensi jalan
napas pasien sehingga pasokan oksigen ke jaringan tubuh tercukupi. Tindakan
pemasangan selang bantu pernapasan ini juga memiliki risiko antara lain gigi patah,
trauma jalan napas, dan perdarahan.
 Sebagai penderita asma pasien harus kontrol secara teratur antara lain untuk menilai
dan monitor berat asma secara berkala (asthma control test/ ACT)
 Pola hidup sehat.
 Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
a. Menghindari setiap pencetus.
b. Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan exercise untuk
mencegah exercise induced asthma
F. Prognosis
Dubia ad vitam : dubia ad bonam
Dubia ad functionam : ad bonam
Dubia ad sanam : dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada
terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan
atau tanpa pengobatan.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan
dapat menimbulkan kematian

B. Faktor risiko asma


Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a. Hipereaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
b. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
f. Ekpresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas
tertentu
j. Perubahan cuaca
C. Patofisiologi dan mekanisme terjadinya asma
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Faktor risiko Faktor risiko

Inflamasi

Hipereaktifitas Obstruksi bronkus


bronkus

Faktor risiko Gejala

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus


ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif
untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan
uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat
nonspesifik.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction =
LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut
menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di
bronkus dan se-kitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit
dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan
di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal.
Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain yang juga
dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas,
netrofil, platelet, limfosit dan monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan
asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. Tromboksan, PAF
dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka
terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung
lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas
bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi)
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah,
binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta
pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus:
Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin
dan metakolin.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Hipereaktifitas bronkus obstruksi

Faktor genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma

Faktor lingkungan
Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)

D. Diagnosis asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan semestinya, mengi (wheezing) dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik
awal untuk menegakkan diagnosis.
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka menigkatkan kemungkinan pasien memiliki
Asma, yaitu :
a. Terdapat lebih dari satu gejala ( mengi, sesak, dada terasa berat) khususnya pada
dewasa muda
b. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
c. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa
atau iritan seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang sangat tajam
Pada status asmatikus (serangan asma akut berat) riwayat singkat serangan meliputi
gejala, pengobatan yang telah digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya
dan penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk
mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu :
a. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanis
b. Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke instalasi gawat darurat dalam
satu tahun terakhir
c. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja menghentikan
salbutamol atau ekivalennya
d. Dengan gangguan/ penyakit psikatri atau masalah psikososial termasuk penggunaan
sedasi
e. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya kelainan.
Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang
paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak
didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi
dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan
kesadaran menurun.
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut, sesuai derajat serangan :
Inspeksi
 Pasien terlihat gelisah,
 Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal),
 Sianosis
Palpasi
 Biasanya tidak ditemukan kelainan
 Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
Perkusi
 Biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi
 Ekspirasi memanjang,
 Mengi,
 Suara lendir
Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan sumber daya manusia
terbatas, dapat hanya menekankan kepada:
a. Posisi penderita
b. Cara bicara
c. Frekuensi napas
d. Penggunaan otot – otot bantu napas
e. Nadi
f. Tekanan darah (pulsus paradoksus)
g. Ada tidak mengi
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
 Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
 Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
Pada serangan asma, APE sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan, tanpa menunda
pemberian pengobatan. Pemeriksaan ini dilakukan jika alat tersedia.
 Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
 Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
 Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
 Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain asma.
 Analisis gas darah

E. Diagnosis banding
 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
 Bronkitis kronik
 Gagal jantung kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi laring (pita suara)
 Obstruksi mekanis
 Emboli paru

F. Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan
tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya
pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-
ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

Tabel 2. Penilaian derajat kontrol asma


2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma
serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).
Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan
ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang
mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat
menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien
memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk
dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi.
Tabel 3. Klasifikasi serangan akut asma
G. Tatalaksana
1. Asma Stabil
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda terkadang juga disebut sebagai obat pelega atau
obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
yang sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan gejala sudah menghilang, obat ini
tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang sering disebut
sebagai obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Dengan demikian, obat ini dipakai terus
menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada derajat penyakit asma
dan responsnya terhadap pengobatan.

Tabel 4. Penatalaksanaan asma berdasarkan beratnya keluhan


2. Asma serangan
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala – gejala asma secara
progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan,
atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distress
pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Pengukuran ini
merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian berdasarkan gejala.
Sebaliknya, derajat gejala lebih sensitive untuk menentukan awal terjadinya eksaserbasi
karena memberatnya gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma
bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa, perburukan dapat terjadi
dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan
terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau allergen atau kombinasi
keduanya), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap mencerminkan
kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit.

Tabel 5. Pengobatan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan


REFERENSI

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2. Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
3. Global strategy for asthma management and prevention. GINA. 2014.(Global Initiatives for
Asthma, 2011)
4. Global strategy for asthma management and prevention. GINA. 2006.(Global Initiatives for
Asthma, 2006)
5. PDPI (Perhimpunan dokter paru Indonesia). 2004. Asma dan Pedoman Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai