Anda di halaman 1dari 9

MEMPERKOKOH GERAKAN MAHASISWA

SEBAGAI GERAKAN NASIONALISME UNTUK


KEUTUHAN BANGSA

Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan se-mata-matacopie atas tiruan dari
Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasacinta akan manusia dan kemanusiaan
(Soekarno, Dibawah Bendera Refolusi).
Bentuk kecintaan kepada suatu Negara nya menjadi sebuah tanggungjawab yang seharusnya
dimiliki oleh setiap warga Negara sebagai bentuk kontribusi terhadap wilayah tempat ia
hidup dan berkehidupan. Sudah sewajaranya memang rasa cinta ini dikembangkan sejak dini
untuk memberikan suatu semangat bela Negara dan semangat filantropi terhadap Negara
tercinta. Makna mendalam ini tentunya bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk, akan
tetapi semangat yang dibangun adalah semangat untuk senantiasa melakukan pengembangan
diri dan pengembangan komunitas sebagai bentuk kecintaan terhadap Negara. Di Indonesia,
nasionalisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) yang
hakiki dan bersifat asasi. Tujuannya, mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan
setiap bangsa untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi di dalam
hubungan-hubungan sosial. Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah muncul
manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara
kebangsaan.

Jika kita gambarkan, nasionalisme saat ini berada di titik rendah, dimana semua kebijakan
berkiblat pada neoliberalisme, sehingga kesejahteraan rakyat jauh dari cita- cita Funding
Father bangsa ini. Terpuruknya kedaulatan bangsa dan nasib rakyat bukanlah suatu
fenomena yang datang dengan sendirinya. Kondisi ini tidak lepas dari fenomena global yang
berkembang pesat, dalam dan luas dewasa ini yakni ketidaksiapan dan kemampuan mental
dalam menghadapi ancaman globalisme dan neoliberalisme. Menurut Soepriyatno (2008),
dalam pandangan ekonomi dan politik, kepentingan globalisasi adalah sebuah proses
sistematis untuk merombak struktur negaa-negara miskin, terutama dalam pengkerdilan peran
Negara dan peningkatan peran pasar, sehingga memudahkan pengintegrasian perekonomian
Negara-negara miskin itu ke dalam genggaman para pemodal negara-negara kaya.

Pada saat ini juga, moralitas Indonesia mencapai titik kritis terendah. Korupsi bukan hanya
menjadi bagian dari budaya, tetapi juga telah menjadi bagian dari mata pencaharian untuk
mendapatkan tambahan bagi biaya hidup yang semakin membumbung tinggi. Sedangkan
bagi yang sudah hidup layak, korupsi merupakan bagian dari kekuasaan, bahkan sekarang ini
dalam prakteknya justru semakin tersistematis dan laten. Kekuasaan yang dimiliki dalam
prakteknya bukan lagi untuk mensejahterakan dan memakmurkan segenap rakyat melainkan
penindasan-penindasan secara terselubung. Uang telah menjadi berhala yang paling berharga,
melalui uang dan kekuasaan melakukan perampasan harapan dan peri kehidupan rakyat. lalu
peran wakil rakyat sudah terganti, sudah bukan lagi milik rakyat. Rakyat yang semestinya
subyek bagi para penguasa telah dijadikan sekedar obyek bagi kepentingan-kepentingan
sesaat, rakyat kecil hanya menjadi bintang iklan kampanye dan setelah itu terlupakan. Lalu
melihat realitas ini, kebobrokan dari dalam dan tekanan serta pengaruh dari luar, lantas
muncul pertanyaan : Dimana rasa Nasionalisme itu?
Sejumlah pemerhati sosial menilai prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia
pada umumnya telah mengalami degradasi dan hal diakibatkan oleh terus menerus tergerus
oleh nilai-nilai dari luar. Kondisi ini terlihat semakin parah karena belum adanya
pembaharuan atas pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri mahasiswa. Jika kondisi
dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam
generasi muda sebagai penerus bangsa. Kita sebagai generasi intelektual bangsa umumnya
belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa.
Jika kita melihat sejarah ke belakang puluhan tahun yang lalu, bagaimana pemuda Indonesia
berusaha dengan gigih menyatakan keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia dalam
satu wadah yaitu “ Indonesia”.

Diakui atau tidak mahasiswa merupakan element yang sangat vital bagi bangsa ini dalam
menapaki sejarah panjang yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang tak dapat
tergantikan dengan apapun. Bahwa, bukan sebuah mitos kalau kaum muda, utamanya
mahasiswa dengan segala kapabilitas yang di milkinya mampu menciptakan perubahan yang
fenomenal baik yang bersifat mikro maupun makro. Menjadi mahasiswa adalah sebuah
kebanggaan tersendiri bagi seseorang. Hal ini tidak terlepas dari penempatan posisi seorang
cendekia dalam strata sosial masyarakat Indonesia; dalam jenjang pelopor perubahan dan
penentu sejarah masa depan. Sebuah posisi yang tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang
tidak memiliki pengetahuan dan keilmuan mumpuni. Tidak pula oleh mereka yang telah
terjebak dalam kutub-kutub kekuasaan dan modal yang telah menciptakan ruang pemisah
dengan kearifan lokal.
Namun pada saat ini kita diperhadapkan pada kenyataan yang menjadi problema dan
dilematis. Kita bisa melihat banyak generasi muda yang nota bene adalah Mahasiswa dan
kaum pelajar yang tidak perduli dengan kondisi keterpurukan yang melanda bangsa ini,
dimana sekarang mereka lebih tertarik pada hal-hal yang merupakan nilai luar Indonesia,
lantas memproklamasikan keyakinanya akan dongeng-dongeng Cindrella tentang “The end of
nations states” yang serba imajiner, serba ilusif dan tentu pula delusive, bahkan dengan
mudah kita membiarkan kebudayaan bangsa kita diambil oleh bangsa lain, kalangan ini
semestinya sadar, masa depan negara ini tergantung pada kita, apa jadinya negara ini jika kita
tak peduli?.
Ahli Kajian Budaya, Kajian Postkolonial, dan Kajian Multikultural Universitas Indonesia
(UI) Melani Budianta menyatakan, Jangan memberikan nilai-nilai nasionalisme itu dengan
jargon tapi melalui contoh-contoh yang inspiratif dari berbagai bidang. Lewat kegiatan-
kegiatan yang inspiratif tersebut, lanjutnya, mahasiswa dapat mempelajari bahwa menjadi
pahlawan dapat dimulai dari tindakan yang sederhana. Mereka jadi menyadari bagaimana
melalui sastra maupun kegiatan sosial orang bisa berkontribusi bagi negaranya dan
menjadikan mereka sebagai pahlawan. Dalam memberikan nilai-nilai nasionalisme, pihak
kampus perlu berhati-hati. Sebab, terkadang akan timbul pemahaman yang salah mengenai
arti nasionalisme dan justru berbelok pada nasionalisme chauvimistis. Justru perlu dihindari
nasionalisme chauvimstis dan jargonistis atau cinta buta terhadap negara. Paham ini membuat
mereka tidak dapat menerima kritik apa pun terhadap Indonesia.

Akhir-akhir ini banyak putra bangsa yang menuntut ilmu di luar negeri tidak kembali ke
Indonesia setelah lulus kuliah. Mereka memilih meneruskan bekerja dan tinggal di luar negeri
karena pertimbangan gaji yang lebih baik. Fenomena yang banyak dijumpai pada negara
berkembang ini dikenal dengan istilah brain drain. Rektor Universitas Bakrie Prof. Ir. Sofia
W. Alisjahbana Ph.D menilai, fenomena brain drain tersebut perlu mendapat perhatian
khusus agar aset bangsa tidak hilang. Oleh karena itu, nasionalisme perlu dipupuk agar para
mahasiswa lulusan luar negeri mau kembali ke Indonesia dan membangun negeri, Sebab,
kadang kita kurang melihat apa yang bisa mereka kembangkan untuk Indonesia. Padahal,
seharusnya kita bisa melihat kemungkinan inovasi dari suatu potensi alam di Indonesia yang
bisa mereka kembangkan. Dan budaya ini harus dibangun agar rasa nasionalisme ikut
meningkat
Jika kita kembali masa lalu ketika separatisme mencoba merongrong kesatuan bangsa kita,
lalu dimana suara Gerakan Mahasiswa? Coba perhatikan, apa sumbangan pemikiran
mahasiswa untuk memecahkan masalah separatis di Papua dan Aceh? Dan kalau kita ingat
kelahiran Sumpah Pemuda, justru seharusnya dalam kondisi saat ini, para mahasiswa tampil
di depan untuk mempertahankan NKRI dengan ikut bahu membahu memberikan kontribusi
solutif kepada Pemerinta untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ironis memang tapi
ternyata gerakan mahasiswa hanya kelihatan lebih hobi berpolitik di jalanan daripada
masalah krisis kedaulatan bangsa. Tidak sedikit aksi mahsiswa dalam unjuk rasa yang
beruntut anarkisme yang meresahkan dan merusak dan sudah tentu merugikan, sehingga
tujuan utama untuk menyampaikan aspirasi masyarakat menjadi bias.

Tentang kepemimpinan, idealnya mahasiswa harus berkarakter demokratis-sederhana dan


tidak mementingkan golongan secara berlebihan. Inilah yang sering kali terjadi dalam dunia
mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Ketika menjadi mahasiswa dengan lantangnya mereka
sering meneriakkan reformasi, dan mengutuk korupsi dan antek-anteknya. Namun ketika
mereka masuk dalam lubang jarum kekuasaan, yang terjadi malah sebaliknya, mereka
memuseumkan "kata suci” yang bernama ”reformasi" dalam ruang ambisi. Dan
memberhalakan korupsi dengan memuja-mujanya dalam setiap kesempatan. Inilah ironi dan
absurditas yang selalu menjadi simponi dalam sejarah mahasiswa. Mahasiswa, juga tidak
semestinya menggunakan jabatan dan nama lembaga untuk kepentingan pribadi. Misalnya,
banyak oknum mahasiswa yang mengais ”hidup” dari proposal fiktif, hal inilah yang
menjadikan mahasiswa mempunyai pradigma "profit oriented" sehingga terbentuklah
mahasiswa pragmatis – ekonomis – konsumtif.
Potret buram kondisi gerakan mahasiswa kita saat ini nampak jelas di depan kita, tidak
sedikit komunitas mahasiswa dengan berbagai masalah yang mereka anggap sudah lumrah
dan biasa terjadi di kalangan pemuda, seperti tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba
dan sebagainya. Mereka berlomba- lomba berkiblat pada dunia barat. Tampaknya
westernisasi telah menyulap generasi muda negeri ini menjadi lupa akan jati diri mereka
sebagai bangsa Indonesia yang masih memegang teguh budaya timur. Selain itu, munculnya
sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku sesama warga.
Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsanya.
Kesimpulannya adalah kenegaraan Indonesia berkembang sesuai dinamika perubahan yang
amat besar terutama berkaitan dengan globalisasi dan reformasi. Dalam perubahan ini setiap
komponen bangsa termasuk Gerakan Mahasiswa dituntut kontribusinya sesuai kemampuan,
kompetensi, dan profesinya. Hendaknya mahasiswa dalam pergerakannya dituntut untuk
mengembangkan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa, sikap keteladanan
dan disiplin. Di sisi lain, perlu diciptakan suasana yang lebih dinamis dan demokratis yang
mendorong pemuda untuk berkiprah dalam transformasi pembangunan baik regional maupun
skala global.

Mahasiswa sebagai generasi muda bangsa Indonesia diharapkan dapat terus membangun
bangsa. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menumbuhkan kesadaran
nasionalisme pada masing-masing pribadi bangsa ini.
Pengertian sikap nasionalisme sendiri adalah sikap cinta tanah air, yang artinya mereka
mencintai dan mau membangun tanah air menjadi lebih baik. Sikap Nasionalisme harus
dimiliki oleh setiap warga Negara, sebab dengan adanya sikap cinta tanah air, mereka dapat
menjaga dan melindungi Negara kita dari ancaman dalam bentuk apapun.
Bentuk dari pembuktikan rasa Nasionalisme kini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh
pejuang kita di masa lalu. Pejuang kemerdekaan dan revolusi lebih banyak mengedepakan
perjuangan fisik sebagai bentuk Nasionalisme. Atau saat pejuang reformasi melawan rezim,
pergerakan dengan mobilisasi massa menjadi pilihan untuk menumbangkan rezim yang
memimpin secara tidak adil.
Masa kini adalah masa globalisasi informasi dan kompentensi. Sudah sewajarnya pembuktian
Nasionalisme dilakukan dalam bentuk karya nyata dan prestasi yang mampu menjadikan
sebuah Inspirasi bagi banyak orang. Mengejar prestasi secara akademik dengan pembuktian
hasil yang memuaskan merupakan bentuk Nasionalisme jika diiringi dengan semangat
inovasi dan kreatifitas untuk mengembangkan masyarakat. Mahasiswa kini dituntut mampu
membuat karya nyata yang bisa bermanfaat untuk hajat hidup orang banyak. Mahasiswa tidak
boleh lagi berpikir tentang pekerjaan apa yang akan didapatkannya setelah lulus, akan tetapi
mahasiswa dituntut untuk berpikir keras agar mampu membuka lapangan pekerjaan untuk
kesejahteraan masyarakat banyak. Disinilah peran mahasiswa masa kini dan masa depan,
dimana mampu menjadi bagian dari solusi atas permasalahan masyarakat, mampu
membangun opini positif di masyarakat dan mampu menginspirasi masyarakat agar memiliki
suatu perspektif positif terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.

Mahasiswa dan pemuda sebagai sumber kekuatan moral reformasi perlu tetap terbina agar
selalu berlandaskan pada kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap moral yang
luhur, berkepribadian nasional dan berjiwa patriotisme. Optimisme, spirit, kepedulian dan
juga bangunan intelektual keindonesiaan kaum muda sebagai generasi bangsa akan selalu
menjawab problematika bangsa ini. Gagasan-gagasan yang orisinil disertai langkah yang
progresif dan kepekaan terhadap kondisi bangsa merupakan salah satu langkah utama dalam
yang harus dipelopori oleh Gerakan Mahasiswa sebegai penerobos dan pembawa era baru
bangsa yang bermartabat dan berdaulat.
Pergeseran Makna

Menjelang perayaan peringatan 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa waktu dekat


ini, muncul kembali diskusi tentang nasionalisme, patriotisme, dan semangat kebangsaan.
Meskipun tidak sehangat yang terjadi di masa-masa sebelumnya, diskusi mengenai
nasionalisme di masa sekarang kembali berada pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih
subtantif dan mendasar. Hal ini sama sekali berbeda dengan pembahasan nasionalisme yang
terjadi di masa awal kemerdekaan dan masa Orde Baru. Pada masa awal kemerdekaan hingga
Orde Baru, pembahasan mengenai nasionalisme masih menggunakan konteks sejarah Perang
Dunia II. Dengan konteks tersebut pembahasan nasionalisme dan patriotisme bukanlah suatu
yang njlimet karena masih menggunakan perspektif yang sederhana.

Kini, ketika globalisasi dan berkembangnya teknologi informasi telah mengakibatkan


kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah
nasionalisme dan patriotisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat
dilihat dari satu perspektif saja. Dalam dunia yang oleh sebagian orang disifatkan sebagai
dunia yang semakin borderless, banyak pengamat yang mulai mempertanyakan kembali
pengertian negara beserta aspek-aspeknya.

Contoh nyata yang menarik dapat diambil dari kasus berikut: sekitar awal 1999 terjadi unjuk
rasa kecil yang dilakukan sekelompok ormas terhadap LSM yang konsen pada masalah
HAM. Para pengunjuk rasa menuding para aktifis LSM tersebut tidak memiliki jiwa
nasionalisme karena dinilai telah menjadi agen kepentingan asing di Indonesia. Para
pengunjuk rasa melihat bahwa sebagian besar atau seluruh aktifitas LSM-LSM tersebut
mendapat dukungan dari lembaga donor asing. Sebagai konsekuensinya, LSM-LSM tersebut
harus menjalankan agenda yang menjadi “titipan” lembaga asing tersebut. Akibatnya,
beberapa persoalan dalam negeri Indonesia kemudian menjadi sorotan internasional. Mereka
membeberkan beberapa kasus yang mereka nilai sebagai pelanggaran HAM berat. Citra
Indonesia pun menjadi tercemar di pergaulan internasional. Bahkan, lepasnya Timor Timur
dari NKRI merupakan andil dari LSM-LSM tersebut.

Dalam unjuk rasa tersebut, salah seorang pimpinan LSM meminta beberapa orang perwakilan
pengunjuk rasa untuk masuk ke ruangan untuk diajak berdialog. Selepas berdialog, sang
pemimpin LSM didampingi perwakilan pengunjuk rasa kemudian berorasi di depan para
pengunjuk rasa. Dengan berapi-api, sang pimpinan LSM menyampaikan bahwa dia dan
teman-teman juga memiliki rasa nasionalisme. Namun pengertian nasionalisme yang mereka
pahami tidaklah sama dengan yang disampaikan pengunjuk rasa. Kiprah mereka selama ini di
LSM justru merupakan perwujudan nasionalisme mereka. Mereka ingin agar Indonesia
setaraf dengan negara lain, terutama dalam masalah penghormatan terhadap HAM. Setelah
mendengarkan orasi tersebut, para pengunjuk rasa terlihat masygul dan mereka pun pulang
tanpa dapat berkata-kata lagi.

Kejadian tersebut merupakan bukti betapa persoalan nasionalisme dan patriotisme telah
memiliki logika yang tidak lagi sederhana sebagaimana dipahami di masa-masa sebelumnya.
Jika menggunakan perspektif lama, tudingan rendahnya nasionalisme yang diarahkan
terhadap para aktifis LSM tersebut sebenarnya cukup masuk akal dan didasari fakta. Namun
ketika dilihat dalam perspektif globalisasi, logika tersebut gampang sekali dipatahkan.

Persoalan nasionalisme dan patriotisme di era global sebenarnya bukan hanya masalah yang
dialami oleh Indonesia. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dengan kekuatan
politik, ekonomi, budaya, dan hankam yang tak tertandingi pun harus berdaya upaya sekeras-
kerasnya dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan warganya.
Demikian pula dengan negara-negara lain. Bahkan Malaysia, misalnya, beberapa waktu
belakangan ini tengah ramai diskusi dan program tentang pembangunan nasionalisme dan
patriotisme di negara tersebut.

Jika kita menuliskan kata-kata: “patriotisme” atau “semangat kebangsaan” di program


pencarian situs internet (seperti: Google), maka hampir sebagian besar dipenuhi situs-situs
dari negeri jiran tersebut. Situs-situs dari Malaysia ini tidak hanya berasal dari kementerian
dalam negeri atau departemen pertahanan di sana, tetapi juga dari departemen pendidikan,
organisasi politik, lembaga kajian, dan swasta. Sedangkan situs dari Indonesia hanya sedikit,
rata-rata berasal dari situs TNI, Dephan, atau Bappenas. Itupun sebagian merupakan arsip
dari GBHN atau Repelita di masa Orde Baru.

Memperhatikan kenyataan di atas dimana masalah pembangunan nasionalisme dan


patriotisme saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat, maka perlu dimulai upaya-
upaya untuk kembali mengangkat tema tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme.
Apalagi di sisi lain, pembahasan atau diskusi tentang nasionalisme dan patriotisme di
Indonesia justru kurang berkembang (atau mungkin memang kurang dikembangkan).

Beberapa Pandangan tentang Nasionalisme dan Patriotisme


Nasionalisme adalah masalah yang fundamental bagi sebuah negara, terlebih-lebih jika
negara tersebut memiliki karakter primordial yang sangat pluralistik. Klaim telah
dicapainya bhinneka tunggal ika, apalagi lewat politik homogenisasi, sebetulnya tidak pernah
betul-betul menjadi realitas historis, melainkan sebuah agenda nation-building yang sarat
beban harapan. Oleh sebab itu, ia kerap terasa hambar.
Dengan penafsiran tersendiri, ini merupakan bentuk imagined society seperti istilah Benedict
Anderson. Benedict Anderson (1999) menggunakan istilah imajinasi untuk menggambarkan
kemiripan makna tentang fantasi. Penjelasannya lebih condong menggunakan analisis sejarah
politik untuk menjelaskan kaitan antara imajinasi kolektif yang mengikat suatu komunitas.
Orang disatukan sebagai suatu negara karena persamaan identitas darah, ideologi, dan
kepentingan. Kalau mau jujur, gagasan Indonesia sebagai negara adalah produk kolonialisme.
Kesatuan teritori dagang di bawah Belanda, Inggris, kemudian diambil alih Jepang dan
diwariskan ke pemerintahan bersama warga lokal yang bernama Indonesia.
Indonesia adalah laboratorium sosial yang sangat kaya karena pluralitasnya, baik dari aspek
ras dan etnis, bahasa, agama dan lainnya. Itu pun ditambah status geografis sebagai negara
maritim yang terdiri dari setidaknya 13.000 pulau. Bahwa pluralitas di satu pihak adalah aset
bangsa jika dikelola secara tepat, di pihak lain ia juga membawa bibit ancaman disintegrasi.
Karakter pluralistik itu hanya suatu pressing factor dalam realitas ikatan negara.
Negara itu sendiri pada hakikatnya merupakan social contract, seperti istilah Rousseau, yang
secara intrinsik selalu memiliki tantangan disintegrasi. Yang menjadi soal, seberapa
besar derajat ancaman itu dan sebarapa baik manajemen penyelesaiannya. Ada
faktor contagion, bahwa langkah yang satu dapat ditiru yang lain, akan memperkuat tekanan
itu terlebih-lebih bila masing-masing mengalami pengalaman traumatik yang mirip.
Konsepsi pembentukan Indonesia sendiri memang lebih relevan, seperti istilah David
Beetham, sebagai sebuah produk historis, bukan a fact of nature. Ini selaras dengan asumsi
bahwa “semua wilayah nusantara bekas jajahan Belanda adalah wilayah Indonesia”. Dengan
demikian masalah legalitas wilayah terpecahkan secara lebih mudah dan diterima oleh
rakyatnya maupun komunitas internasional. Lewat landasan yang sama, maka rasional untuk
memisahkan diri bagi bagian-bagian wilayah yang termasuk bekas jajahan Belanda itu tidak
kuat.
Perlu dicatat bahwa cita-cita kolektif melalui pembentukan suatu negara antara lain
merupakan itikad mulia untuk bekerja sama senasib sepenanggungan melalui kerangka
nasionalisme dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat. Nasionalisme itu sendiri
sebetulnya adalah pendefenisian identitas kebangsaan dengan siapa kita ingin bekerja
bersama dalam mencapai bonum publicum, apakah karena ikatan etnis, agama,
wilayah/teritorial atau lainnya atau kombinasi sebagian atau seluruhnya. Seperti kata Ernst
Gellner, ada rasional pembangunan sebagai alasan eksistensi negara.
Soekarno dianggap paling mewakili semangat patriotisme dan nasionalisme generasi muda
Indonesia di masanya. Baginya, martabat dan identitas diri sebagai bangsa merdeka sangat
penting. Proklamator Kemerdekaan Indonesia lainnya, Bung Hatta pernah mengutip
pandangan Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan
keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit
karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena
persamaan nasib, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa
bersama. Pendeknya, oleh karena ingat kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam
dalam hati dan otak”.

Dalam perspektif yang kurang lebih sama, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang saat menjabat
sebagai KSAD sangat getol memompakan semangat patriotik kepada berbagai kalangan
menyatakan bahwa rasa kebangsaan merupakan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang tumbuh secara alamiah karena adanya kesamaan budaya, sejarah dan aspirasi
perjuangan yang membuahkan semangat untuk maju bersama. Dari semangat kebangsaan
akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dapat menumbuhkan jiwa
patriotisme. Dalam perspektif seperti itu, menurut Ryamizard, kita akan mampu
meneriakkan kata-kata: ‘Merdeka atau Mati’ dengan penuh penghayatan yang sebenarnya.

Di sini, kepentingan terhadap nasionalisme dipupuk dengan sikap patriotisme yang tinggi.
Nasionalisme tidak harus hidup dalam bayang-bayang—memakai bahasa Benedict
Anderson, imaginedcommunity—tetapi harus dilaburi dengan sikap jujur dan berani
mengambil risiko. Seluruh kelompok intelektual muda Indonesia di masa perjuangan
kemerdekaan ambil peran dalam partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan.
Perspektif yang sedikit berbeda tentang nasionalisme dan patriotisme dikemukakan oleh
pakar ilmu sosial Dr. Gandung Ismanto. Dia menyampaikan bahwa semangat kebangsaan
atau nasionalisme merupakan hal yang terus berkembang seiring dengan tantangan dan
kemajuan zaman. Semangat kebangsaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi yang
sedang terjadi pada masanya. Di situlah rasa kebangsaan menampakkan relativismenya
karena dia digelorakan oleh manusia yang juga relatif. Jadi, menurut Gandung, kita akan
gagal dan kecewa bila berharap semangat dan rasa nasionalisme para pelaku sejarah
Proklamasi tahun 1945 harus sama persis dengan semangat nasionalisme generasi sekarang.

Meskipun demikian Gandung melihat ada benang merah dari semangat kebangsaan
antargenerasi yang hidup di sepanjang zaman yakni pada intinya semangat kebangsaan
merupakan upaya kolektif untuk memerdekakan diri, suatu upaya pencarian identitas baru
agar bisa maju bersama menuju kehidupan ideal yang dicita-citakan. Kehendak bebas untuk
menentukan identitas diri merupakan hak yang tidak dapat dicabut dari diri seseorang
maupun dari suatu bangsa oleh pihak mana pun.

Strategi Penguatan Nasionalisme dan Patriotisme di Era Global

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa semangat nasionalisme


dan patriotisme sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa agar setiap elemen bangsa
bekerja dan berjuang keras mencapai jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa
yang bermartabat. Jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan modal
yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan di masa depan. Penguatan
semangat nasionalisme dan patriotisme dalam konteks globalisasi saat ini harus lebih
dititikberatkan pada elemen-elemen strategis dalam percaturan global. Oleh karena itu,
strategi yang dapat dilakukan antara lain:

1. Penguatan peran lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dalam ikut membangun


semangat nasionalisme dan patriotisme, terutama di kalangan generasi muda. Sebagai
contoh: Gerakan Pramuka. Sebagai catatan, keberhasilan Gerakan Pramuka dalam
membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda
Indonesia tengah menjadi kajian mendalam di Malaysia untuk diterapkan di sana.
Generasi muda adalah elemen strategis di masa depan. Mereka sepertinya menyadari
bahwa dalam era globalisasi, generasi muda dapat berperan sebagai subjek maupun
objek.
2. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat yang tinggal di
wilayah-wilayah yang dalam perspektif kepentingan nasional dinilai strategis, seperti:
daerah perbatasan, kawasan industri strategis, daerah pertanian (logistik), serta daerah
penghasil bahan tambang dan hasil hutan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkecil
kesenjangan ekonomi, sosial, dan budaya di wilayah tersebut melalui berbagai program
pendidikan dan pembinaan yang melibatkan peran masyarakat setempat.
3. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat yang hidup di
daerah rawan pangan (miskin), rawan konflik, dan rawan bencana alam. Strategi ini
dapat dilakukan dengan menyelenggarakan berbagai program yang diorientasikan pada
peningkatan kesetiakawanan sosial dan partisipasi masyarakat.
4. Peningkatan apresiasi terhadap anggota atau kelompok masyarakat yang berusaha
melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa. Demikian pula dengan
anggota atau kelompok masyarakat yang berhasil mencapai prestasi yang
membanggakan di dunia internasional. Apresiasi ini dapat dilakukan dengan pemberian
penghargaan oleh negara dan kemudian prestasinya diangkat oleh media massa.

Peningkatan peran Pemerintah dan masyarakat RI dalam ikut berperan aktif dalam
penyelesaian berbagai persoalan regional dan internasional, seperti: penyelesaian konflik,
kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain

Anda mungkin juga menyukai